"Kamu yakin suamimu setia padamu?" tanya sahabatku, Rania. Dia adalah temanku ketika aku masih bekerja di salah satu pabrik yang ada di Sukabumi, Jawa Barat. Sekarang dia merantau ke Jakarta agar mendapatakan gaji yang lebih besar.
Saat ini kita sedang makan di restoran yang mahal dan aku sendiri yang meminta Rania untuk datang karena sudah lama kita tidak bertemu.Jujur saja, aku sebenarnya sangat terkejut dengan pertanyaannya. Secara garis besar, dia juga sudah tahu Mas Nizam, suamiku, dia sangat setia dan baik hati.Dia tidak akan berani melukai hati orang, apalagi aku, istrinya sendiri. Aku yakin itu."Tentu saja. Bukankah kamu lebih tahu tentang hal ini setelah aku?" Aku tertawa kecil, berusaha mencairkan suasana yang sudah menegang."Aku tahu kamu sangat percaya pada suamimu, tapi aku tidak," ucapnya lagi membuatku sangat terkejut.Jelas-jelas dia tahu semuanya, tapi kenapa harus berbohong?"Sudahlah, Rania. Aku cukup bahagia dengan pernikahan ini, jadi aku tidak mau menyiramkan minyak pada tempat yang masih aman," tolakku halus.Aku paling tidak menyukai orang-orang yang membicarakan kejelekan suamiku, padahal dia adalah orang yang sangat baik. Jangankan manusia, kalau di rumah tiba-tiba ada semut pun, dia biasa mendiamkan, katanya kasihan.Rania tidak lagi bicara, dia bahkan menghabiskan semua nasi gorengnya tanpa sisa sedikit pun di piring. Padahal biasanya dia tidak makan banyak."Aku akan menganggap percakapan hari ini tidak ada. Aku mohon, sejahat apa pun Mas Bagas, dia tidak akan berani melukaiku, jadi jangan katakan yang tidak-tidak lagi, ya. Apalagi sahabatmu ini cinta mati sama dia," pintaku tulus.Dia masih bergeming dan tidak mengeluarkan suara apa pun. Matanya menatap kosong ke arah depan dan hingga kita kembali ke mobil, dia masih diam.Dari beberapa temanku, memang hanya Rania yang belum berumah tangga, dan selama ini penciumannya sangat sensitif. Bahkan sampai hal-hal mistis."Aku antar kamu sampai kontrakan," ucapku mengawali pembicaraan."Tidak usah. Aku ikut kamu pulang saja. Hari ini aku tidak tenang membiarkan kamu pulang sendirian," tolaknya membuatku menggelengkan kepala.Ini siang hari, tapi sikapnya sangar keterlaluan. Aku memang penakut, tapi kalau malam. Siang-siang gini memangnya ada hantu? Ada-ada saja dia ini.Aku hanya terkekeh. "Aku berani kalau siang bolong begini sendirian, Rania.""Aku tahu, tapi aku yang khawatir," tandasnya lagi.Kali ini aku hanya mengangguk dan melakukan apa yang dia katakan."Sudah, sekarang aku sudah di depan rumah." Aku tersenyum tipis ke arahnya yang masih memasang wajah dingin."Aku juga sudah pesan ojek," ucapnya yang tiba-tiba terdengar parau, lalu memelukku. "Ingat untuk selalu menghubungi aku apa pun yang terjadi nanti ya, Sel. Aku enggak tenang kalau sehari saja tidak bisa mendapatkan kabar darimu."Aku terdiam mendengar kata-katanya. Ah, ya, aku juga seperti itu. Namun, aku merasa sikap Rania akhir-akhir ini sedikit berubah. Apa mungkin dia tahu sesuatu yang tidak aku ketahui?"Baiklah, insyaallah kamu akan menjadi orang pertama yang akan aku hubungi di saat aku ada masalah," janjiku sebelum dia melepas pelukan, lalu turun dari mobil karena ojek yang dia pesan sudah menunggu.***Setelah pulang dari restoran, aku langsung memasak makanan kesukaan suamiku dan anak perempuanku yang masih berusia enam tahun. Selama ini hanya mereka berdua yang selalu aku perhatikan karena keduanya teramat penting.Rania dan teman lainnya juga penting, tapi tetap saja keluarga yang utama.Suara mobil masuk ke halaman membuatku tersenyum lebar karena artinya Mas Nizam sudah pulang. Segera aku berlari ke arah pintu dan membukanya, tapi hatiku sedikit kecewa karena yang aku lihat adalah mama mertua, bukan Mas Nizam seperti yang aku harapkan."Assalamualaikum." Mama mendekat dan memelukku erat. "Apa kabar, Sayang?""Wa'alaikumussalam, Ma. Alhamdulillah aku baik.""Tadinya Mama ke sini lusa, tapi tadi Nizam telepon, katanya dia tidak bisa pulang, dan tiba-tiba harus keluar kota. Jadi, Mama datang ke sini sekarang," jelasnya."Keluar kota?" Aku sedikit kaget."Iya. Katanya mau ke Bogor. Memang dekat, tapi katanya besok pagi-pagi sekali dia harus sudah ada di proyek untuk bertemu dengan pihak investor," jawabnya lagi. "Katanya nanti dia akan telepon kamu."Tidak lama ponselku berdering dan ternyata dari Mas Nizam."Halo, Mas! Kamu, kok, mendadak keluar kota, sih?" Aku bertanya kesal."Maaf, ya, Sayang. Tadi aku tiba-tiba ada pihak investor dan mereka mengajak berbicara di proyek besok pagi-pagi sekali. Karena proyeknya ada di Bogor, jadi Mas tepaksa langsung berangkat ke sama," jelasnya. "Sebagai permintaan maaf, Mas sudah tranfser, silakan habiskan untuk apa pun yang kamu inginkan.""Ya, sudah, hati-hati ya, Mas."Baru saja menutup telepon dari Mas Nizam, aku kembali dibuat diam dengan pesan yang dikirimkan Rania.(Aku ke Bogor dulu, ya, Sel. Ingat untuk menghubungi aku kalau ada apa-apa. Jaga dirimu baik-baik.)Kenapa mereka bisa kebetulan sama-sama ke Bogor?Tidak mungkin kalau mereka pergi bersama, bukan?Namaku Selena Selly, sama sekali tidak ada nama keislamannya. Aku bahkan belum bisa berjilbab seperti orang-orang yang tidak pernah dilepas selain di rumah.Ketika menikah denganku, Mas Nizam memintaku untuk memakai jilbab dan pakaian yang lebih tertutup, tapi aku belum bisa. Rasanya masih berat dan sangat gerah. Paling aku hanya menggunakannya kalau ada pengajian. Kalau hal lain, aku tidak bisa.Enam tahun yang lalu, kita bertemu di sebuah restoran. Saat itu dompet Mas Nizam ketinggalan di rumah dan dia tidak memegang uang kas. Aku yang duduk tidak jauh darinya menawarkan diri dan dia pun menerimanya.Waktu itu Mas Nizam berjanji akan segera mengganti uangku, tapi ternyata setiap bertemu denganku, Mas Nizam malah selalu tidak membawa dompet ketika bertemu denganku.Tidak lama dari itu, kita menjadi dekat, lalu memutuskan untuk menikah. Hingga sekarang, aku tidak pernah mendengar Mas Nizam berbicara kasar atau bertingkah aneh.Baru sekarang aku curiga padanya setelah membaca pesan dar
Panggilan pun tersambung kepada Nisa, satu-satunya temanku yang sekarang tinggal di Bogor."Nis, ini aku Selena. Apa kamu sedang ada di rumah yang di Bogor?" tanyaku tidak sabar."Tentu. Sekarang rumahku hanya ini. Kenapa?" "Apa dari tempat tinggalmu dekat dengan pembangunan pabrik yang aku bicarakan kemarin?""Enggak ada, Sel. Kalau kata suamiku, tidak ada pembangunan proyek baru, paling renovasi," jawabnya membuat kecurigaanku semakin bertambah. "Kalau tidak percaya, besok kamu ke sini saja, aku bawa kamu jalan-jalan, dan makan di tempat-tempat yang biasa dikunjungi orang luar. Terutama orang Jakarta.""Malam ini, apa bisa kamu menemani aku dan anakku jalan-jalan?""Apa? Kenapa harus malam ini? Apa kamu tidak tahu sekarang sudah jam berapa? Perjalanan ke sini memakan waktu satu jam lebih kalau lewat tol, kalau tidak tentu kamu akan sampai tengah malam." Nisa bertanya dengan kaget."Aku ada keperluan, Nis, dan sangat darurat. Apa benar tidak bisa?""Aku bilang suamiku dulu," putusny
"Apa yang kamu lakukan?" Rania menatap tajam ke arahku, tapi langsung bangkit ketika sadar yang ada di hadapannya adalah aku, sahabatnya. "Selena, kenapa kamu bisa ada di sini?""Sayang!" Mas Nizam ikut bangkit dan berjalan ke arahku. "Kenapa kamu ada di sini?Kenapa tidak kasih tahu aku kalau kalian mau makan di sini?" tanyanya ketika melihatku dan Kanaya.Di antara mereka tidak ada yang marah atas apa yang sudah aku lakukan dan aku sungguh penasaran, apa yang sebenarnya sedang mereka lakukan di sini malam-malam begini?"Siapa yang akan menjelaskan?" Aku bertanya dengan wajah dingin, bahkan tanpa ekspresi. Sekarang aku sudah tidak peduli dengan tatapan orang-orang yang melihat kami dengan tatapan aneh, yang aku tahu saat ini hatiku sangat berantakan."Maaf, sepertinya akan lebih baik kalau kita selesaikan dengan kepala dingin. Mari ikut saya!" Suaminya Nisa memimpin jalan kami hingga sampai di salah satu meja yang paling pojok, bahkan tidak ada seorang pun yang makan di meja sekitarny
"Apa masalahnya? Dia bosku, seorang pria juga." Mas Nizam langsung melakukan pembelaan.Aku dan Nisa mengembuskan napas lega."Tahu dia seorang pria, tapi hubungan kalian terlihat dekat, melebihi seorang bos dan bawahannya!" Rania langsung menyambar."Wajar kami dekat, karena aku sudah lama bekerja dengannya. Bahkan sebelum aku menikah dengan mamanya Kanaya." Mas Bagas kembali mengelak.Aku tersenyum kecut melihat kekompakan mereka, sama-sama saling menjatuhkan. "Sudahlah, toh, dia seorang pria juga. Terus apalagi yang kamu tahu?"Rania menatapku lekat. "Lalu aku menghampirinya dan kita pun berbincang-bincang biasa hingga kalian datang. Aku bahkan sangat bahagia bisa melihatmu di sini, Selena," jelasnya.Mas Nizam langsung menatap tajam ke arah Rania. "Jangan tatap istriku seperti itu!" ucapnya keberatan.Nisa mendekatkan kepalanya ke arahku dan berbisik," Sepertinya di antara mereka memang tidak ada apa-apa, tapi kita jangan terlampau percaya dulu. Kita lihat saja secara pelan-pelan.
"Tidak apa, biarkan semuanya mengalir begitu saja." Aku menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan.Pelan tapi pasti, aku akan membuat mereka merasakan luka yang lebih dalam daripada yang aku rasakan."Kita pulang saja." Suaminya Nisa membayar tagihan makan kami, lalu memimpin jalan untuk masuk ke dalam mobilnya."Gapapa kalau pulang ke rumah sederhana kami, kan, Selena?" tanya Nisa."Sederhana malah enak, Nis. Harus tetap disyukuri, daripada aku sama sekali tidak punya rumah.""Rumahmu gedong begitu, masa tidak punya." Nisa tertawa pelan."Itu kan rumah Mas Nizam dan suatu saat aku juga harus melepaskan rumah itu.""Yang sabar ya, Selena. Insyaallah kalau sudah rezeki tidak akan ke mana." Nisa kembali memberikan aku semangat. "Tapi kalau dilihat dari gelagatnya, aku rasa dia memang tidak ada hubungan apa-apa dengan Rania." Suaminya Nisa ikut bicara, tapi Nisa langsung terlihat kesal."Kalau memang tidak ada apa-apa, kenapa mereka masuk ke dalam mobil yang sama, Mas?" tan
Wanita yang Disembunyikan Suamiku 7RaniaNamaku Rania Anggita, orang-orang biasa memanggilku Nia, karena tidak terlalu panjang, dan enak didengar, tapi ada satu orang yang selalu memanggilku dengan nama yang berbeda. Dia adalah Selena Selly, seorang wanita cantik yang memiliki postur tubuh seperti gitar spanyol. Ya, karena dia sangat seksi dan sempurna.Kami sudah berteman sejak SMK karena kita sama-sama berasal dari Bogor yang berbatasan dengan Sukabumi dan rumah kita juga berdekatan. Hubungan kami dari waktu ke waktu sangat baik, tidak pernah sekalipun kita bertengkar, apalagi hanya karena masalah sepele.Bahkan banyak orang-orang yang iri atas kedekatan kami termasuk suaminya Selena. Awalnya aku mendukung hubungan mereka bahkan hingga ke jenjang pernikahan, karena Selena sangat mencintai pria itu, tapi beberapa waktu lalu, aku melihat dia membeli buket di toko bunga yang berada tepat di depan warung makan yang aku miliki.Semakin ke sini, tentu aku semakin curiga kalau pria itu me
Wanita yang Dirahasiakan Suamiku 8Rania"Mau ke mana kamu? Kenapa buru-buru begitu?" Emak menatapku dari atas ke bawah dengan tatapan yang tidak bisa diartikan."Aku ada perlu, Mak. Ini darurat." Aku berusaha keluar dari pintu karena Emak dan Bapak sudah menghalanginya."Jawab dulu mau ke mana, baru kita izinkan kamu pergi," pintanya. "Lagi pula kamu sendiri yang ajak kita jalan-jalan dan menginap di sini, kenapa sekarang malah kamu yang pergi meninggalkan kita?"Aku tersenyum lebar. "Aku memang ajak Emak sama Bapak, tapi nanti lebaran. Kalau enggak percaya, tanya saja sama Aa. Aku enggak pernah bilang sekarang-sekarang," jelasku tapi mereka masih tidak percaya."Ini penting, Mak." Aku berusaha menyentuh hati nuraninya."Apa?" Kini Bapak yang menodong."Pokonya ini antara hidup dan matinya Selena, Pak, Ma." Aku mengulurkan tangan untuk mencium punggung tangan mereka yang langsung melepaskan tangan."Hati-hati, ya, jangan biarkan Selena terluka sedikit pun," ucap Emak."Pokoknya Bapak
"Aku mau menunjukkan sebuah video padamu, ini bukan hal yang biasa. Jadi aku harap kamu bisa menerimanya dengan iklas."Aku terdiam ketika menerima panggilan telepon dari Rania. "Kamu masih di Bogor atau sudah di Jakarta lagi?"Dia kembali bertanya. Dari tadi memang hanya dia yang bicara, sementara aku hanya diam tanpa memberikan respon. Baru kemarin malam aku memergoki dia duduk dengan suamiku, hilang sudah kecurigaan ketika mereka memberikan penjelasan.Akan tetapi, ketika mendengar mereka masuk ke satu mobil yang sama, hatiku kembali dibuat hancur berkeping-keping. "Selena, kamu dengar aku, enggak?" tanyanya dengan nada yang sedikit ditekan hingga kuat."Iya. Aku mendengar semua perkataanmu. Kenapa? Apa kemarin malam kamu belum cukup melukaiku?" tanyaku lirih, karena luka ini benar-benar sangat menyakitkan."Selena, aku sungguh-sungguh bukan selingkuhan suamimu. Bahkan aku ke sini sengaja untuk mengikutinya agar tahu siapa bunga lain yang ada di hatinya," jelasnya tapi aku belum