Namaku Selena Selly, sama sekali tidak ada nama keislamannya. Aku bahkan belum bisa berjilbab seperti orang-orang yang tidak pernah dilepas selain di rumah.
Ketika menikah denganku, Mas Nizam memintaku untuk memakai jilbab dan pakaian yang lebih tertutup, tapi aku belum bisa. Rasanya masih berat dan sangat gerah. Paling aku hanya menggunakannya kalau ada pengajian. Kalau hal lain, aku tidak bisa.Enam tahun yang lalu, kita bertemu di sebuah restoran. Saat itu dompet Mas Nizam ketinggalan di rumah dan dia tidak memegang uang kas. Aku yang duduk tidak jauh darinya menawarkan diri dan dia pun menerimanya.Waktu itu Mas Nizam berjanji akan segera mengganti uangku, tapi ternyata setiap bertemu denganku, Mas Nizam malah selalu tidak membawa dompet ketika bertemu denganku.Tidak lama dari itu, kita menjadi dekat, lalu memutuskan untuk menikah. Hingga sekarang, aku tidak pernah mendengar Mas Nizam berbicara kasar atau bertingkah aneh.Baru sekarang aku curiga padanya setelah membaca pesan dari Rania. Kira-kira maksudnya apa. Aku mengetik beberapa kata dan mengirimkannya kepada Rania."Ada apa, Sayang?" Mama mendekat padaku dan menatap heran."Eh, gak ada apa-apa, Ma. Ini tadi katanya Mas Nizam transfer, aku mau cek aja," jawabku cepat sambil menyimpan ponsel kembali ke dalam saku celemek yang masih kupakai."Padahal tadi kamu enggak usah masak, Mama sudah membawa banyak makanan," ucap mama lesu."Aku masih tukang makan seperti dulu kok, Ma. Jadi jangan takut tidak habis. Aku pasti akan menghabiskan semuanya," hiburku dan mama kembali bersemangat.Aku berpamitan ke kamar ketika mama bermain dengan anakku kamar utama bawah, sama papa mertua juga. Jadi aku tenang meninggalkan anakku di sana.Setelah sampai di kamar, aku langsung mengeluarkan ponsel.(Aku mau bertemu rekan bisnis besok.) Rania membalas singkat.Aku semakin curiga kalau kepergian dia ada hubungannya dengan Mas Nizam yang tiba-tiba pergi ke Bogor. Kalau kecurigaanku terbukti benar, sepertinya aku tidak akan sanggup untuk hidup lagi. Bagaimana tidak, mereka berdua adalah orang yang sangat penting untukku.Kalau mereka sama-sama mengkhianati aku, kepada siapa aku pulang?Orang tua? Aku sudah kehilangan mereka sejak dulu. Lebih tepatnya aku tidak pernah tahu siapa orang tuaku. Selama ini aku hanya tinggal bersama Nenek yang beberapa bulan lalu ikut meninggalkan aku sendirian. Jadi, aku memilih bekerja, lalu dipindahkan ke Jakarta hingga bertemu dengan Mas Nizam.Karena tidak sabar ingin mendengar penjelasannya, aku segera meneleponnya."Halo, Sel, ada apa?" tanyanya cepat setelah mengangkat teleponku."Kamu di Bogor mau ketemu siapa?" Aku bertanya tanpa menutupi kecurigaanku."Ada, deh, Sel. Tumben kamu mau tahu pekerjaanku. Kenapa?" Dia kembali bertanya."Seriusan masalah kerjaan?""Iyalah, memangnya apalagi. Cuman akhir-akhir ini bicaranya dia itu agak beda gitu, Sel," ucapnya membuatku semakin penasaran."Iya, beda aja. Kaya tanya apa aku sudah siap nikah atau belum. Pokoknya pertanyaan semacam itu." Rania menjelaskan dengan nada riang, seolah dia juga tertarik dengan rekan bisnisnya itu."Masa sih? Mungkin kamu salah paham aja. Bagaimana kalau ternyata pria itu sudah menikah?" Aku berusaha bercanda."Kalau aku sudah cinta, pria beristri pun tidak masalah," desisnya membuatku marah."Kenapa bicaramu seperti itu, Rania? Kamu juga wanita, kenapa tega menyakiti perasaan wanita yang lain?" cecarku geram."Kalau sudah cinta, aku juga tidak bisa berbuat apa-apa. Sudah, ya, aku mau nyetir dulu. By." Rania menutup sambungan teleponnya begitu saja, sementara aku malah semakin meradang.Apa yang harus aku lakukan untuk membuktikan kalau bukan Rania yang ditemui Mas Nizam?***Aku kembali turun untuk melihat anakku yang sedang bermain dengan mama."Iya, Zam. Gapapa kalau sekadar suka. Itu wajar. Asal jangan kelewatan. Kalau mau pun gapapa, kamu bisa bawa ke rumah," ucap mama kepada seseorang di telepon.Mendengarnya aku mendadak kesal dan mendekat ke arah mama. "Apa yang sudah Mama katakan?""Kamu kenapa?" Mama langsung menatapku dengan wajah merah padam."Aku tidak sengaja mendengar percakapan Mama barusan. Siapa yang disukai Mas Nizam?" Aku berusaha menahan emosi dan bertanya dengan dingin."Ikan, katanya ada yang jual di koi di dekat rumah dinasnya," jawabnya membuatku semakin yakin kalau Mas Nizam dan Rania janjian untuk bertemu."Mas Nizam baru saja berangkat, Ma. Tidak mungkin sudah sampai lagi di Bogor," ucapku tidak percaya.Mama terlihat kebingungan, lalu menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Bisa aku pastikan kalau mama juga tengah berbohong.Segera aku berlari kembali ke kamar, lalu mengambil sebuah kertas dari temanku yang tinggal di Bogor. Kebetulan beberapa hari lalu kita bertemu lagi dan dia memberikan aku nomor barunya.Aku akan memergoki perselingkuhan kalian dan memberikan mereka pelajaran yang tidak bisa mereka lupakan.Panggilan pun tersambung kepada Nisa, satu-satunya temanku yang sekarang tinggal di Bogor."Nis, ini aku Selena. Apa kamu sedang ada di rumah yang di Bogor?" tanyaku tidak sabar."Tentu. Sekarang rumahku hanya ini. Kenapa?" "Apa dari tempat tinggalmu dekat dengan pembangunan pabrik yang aku bicarakan kemarin?""Enggak ada, Sel. Kalau kata suamiku, tidak ada pembangunan proyek baru, paling renovasi," jawabnya membuat kecurigaanku semakin bertambah. "Kalau tidak percaya, besok kamu ke sini saja, aku bawa kamu jalan-jalan, dan makan di tempat-tempat yang biasa dikunjungi orang luar. Terutama orang Jakarta.""Malam ini, apa bisa kamu menemani aku dan anakku jalan-jalan?""Apa? Kenapa harus malam ini? Apa kamu tidak tahu sekarang sudah jam berapa? Perjalanan ke sini memakan waktu satu jam lebih kalau lewat tol, kalau tidak tentu kamu akan sampai tengah malam." Nisa bertanya dengan kaget."Aku ada keperluan, Nis, dan sangat darurat. Apa benar tidak bisa?""Aku bilang suamiku dulu," putusny
"Apa yang kamu lakukan?" Rania menatap tajam ke arahku, tapi langsung bangkit ketika sadar yang ada di hadapannya adalah aku, sahabatnya. "Selena, kenapa kamu bisa ada di sini?""Sayang!" Mas Nizam ikut bangkit dan berjalan ke arahku. "Kenapa kamu ada di sini?Kenapa tidak kasih tahu aku kalau kalian mau makan di sini?" tanyanya ketika melihatku dan Kanaya.Di antara mereka tidak ada yang marah atas apa yang sudah aku lakukan dan aku sungguh penasaran, apa yang sebenarnya sedang mereka lakukan di sini malam-malam begini?"Siapa yang akan menjelaskan?" Aku bertanya dengan wajah dingin, bahkan tanpa ekspresi. Sekarang aku sudah tidak peduli dengan tatapan orang-orang yang melihat kami dengan tatapan aneh, yang aku tahu saat ini hatiku sangat berantakan."Maaf, sepertinya akan lebih baik kalau kita selesaikan dengan kepala dingin. Mari ikut saya!" Suaminya Nisa memimpin jalan kami hingga sampai di salah satu meja yang paling pojok, bahkan tidak ada seorang pun yang makan di meja sekitarny
"Apa masalahnya? Dia bosku, seorang pria juga." Mas Nizam langsung melakukan pembelaan.Aku dan Nisa mengembuskan napas lega."Tahu dia seorang pria, tapi hubungan kalian terlihat dekat, melebihi seorang bos dan bawahannya!" Rania langsung menyambar."Wajar kami dekat, karena aku sudah lama bekerja dengannya. Bahkan sebelum aku menikah dengan mamanya Kanaya." Mas Bagas kembali mengelak.Aku tersenyum kecut melihat kekompakan mereka, sama-sama saling menjatuhkan. "Sudahlah, toh, dia seorang pria juga. Terus apalagi yang kamu tahu?"Rania menatapku lekat. "Lalu aku menghampirinya dan kita pun berbincang-bincang biasa hingga kalian datang. Aku bahkan sangat bahagia bisa melihatmu di sini, Selena," jelasnya.Mas Nizam langsung menatap tajam ke arah Rania. "Jangan tatap istriku seperti itu!" ucapnya keberatan.Nisa mendekatkan kepalanya ke arahku dan berbisik," Sepertinya di antara mereka memang tidak ada apa-apa, tapi kita jangan terlampau percaya dulu. Kita lihat saja secara pelan-pelan.
"Tidak apa, biarkan semuanya mengalir begitu saja." Aku menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan.Pelan tapi pasti, aku akan membuat mereka merasakan luka yang lebih dalam daripada yang aku rasakan."Kita pulang saja." Suaminya Nisa membayar tagihan makan kami, lalu memimpin jalan untuk masuk ke dalam mobilnya."Gapapa kalau pulang ke rumah sederhana kami, kan, Selena?" tanya Nisa."Sederhana malah enak, Nis. Harus tetap disyukuri, daripada aku sama sekali tidak punya rumah.""Rumahmu gedong begitu, masa tidak punya." Nisa tertawa pelan."Itu kan rumah Mas Nizam dan suatu saat aku juga harus melepaskan rumah itu.""Yang sabar ya, Selena. Insyaallah kalau sudah rezeki tidak akan ke mana." Nisa kembali memberikan aku semangat. "Tapi kalau dilihat dari gelagatnya, aku rasa dia memang tidak ada hubungan apa-apa dengan Rania." Suaminya Nisa ikut bicara, tapi Nisa langsung terlihat kesal."Kalau memang tidak ada apa-apa, kenapa mereka masuk ke dalam mobil yang sama, Mas?" tan
Wanita yang Disembunyikan Suamiku 7RaniaNamaku Rania Anggita, orang-orang biasa memanggilku Nia, karena tidak terlalu panjang, dan enak didengar, tapi ada satu orang yang selalu memanggilku dengan nama yang berbeda. Dia adalah Selena Selly, seorang wanita cantik yang memiliki postur tubuh seperti gitar spanyol. Ya, karena dia sangat seksi dan sempurna.Kami sudah berteman sejak SMK karena kita sama-sama berasal dari Bogor yang berbatasan dengan Sukabumi dan rumah kita juga berdekatan. Hubungan kami dari waktu ke waktu sangat baik, tidak pernah sekalipun kita bertengkar, apalagi hanya karena masalah sepele.Bahkan banyak orang-orang yang iri atas kedekatan kami termasuk suaminya Selena. Awalnya aku mendukung hubungan mereka bahkan hingga ke jenjang pernikahan, karena Selena sangat mencintai pria itu, tapi beberapa waktu lalu, aku melihat dia membeli buket di toko bunga yang berada tepat di depan warung makan yang aku miliki.Semakin ke sini, tentu aku semakin curiga kalau pria itu me
Wanita yang Dirahasiakan Suamiku 8Rania"Mau ke mana kamu? Kenapa buru-buru begitu?" Emak menatapku dari atas ke bawah dengan tatapan yang tidak bisa diartikan."Aku ada perlu, Mak. Ini darurat." Aku berusaha keluar dari pintu karena Emak dan Bapak sudah menghalanginya."Jawab dulu mau ke mana, baru kita izinkan kamu pergi," pintanya. "Lagi pula kamu sendiri yang ajak kita jalan-jalan dan menginap di sini, kenapa sekarang malah kamu yang pergi meninggalkan kita?"Aku tersenyum lebar. "Aku memang ajak Emak sama Bapak, tapi nanti lebaran. Kalau enggak percaya, tanya saja sama Aa. Aku enggak pernah bilang sekarang-sekarang," jelasku tapi mereka masih tidak percaya."Ini penting, Mak." Aku berusaha menyentuh hati nuraninya."Apa?" Kini Bapak yang menodong."Pokonya ini antara hidup dan matinya Selena, Pak, Ma." Aku mengulurkan tangan untuk mencium punggung tangan mereka yang langsung melepaskan tangan."Hati-hati, ya, jangan biarkan Selena terluka sedikit pun," ucap Emak."Pokoknya Bapak
"Aku mau menunjukkan sebuah video padamu, ini bukan hal yang biasa. Jadi aku harap kamu bisa menerimanya dengan iklas."Aku terdiam ketika menerima panggilan telepon dari Rania. "Kamu masih di Bogor atau sudah di Jakarta lagi?"Dia kembali bertanya. Dari tadi memang hanya dia yang bicara, sementara aku hanya diam tanpa memberikan respon. Baru kemarin malam aku memergoki dia duduk dengan suamiku, hilang sudah kecurigaan ketika mereka memberikan penjelasan.Akan tetapi, ketika mendengar mereka masuk ke satu mobil yang sama, hatiku kembali dibuat hancur berkeping-keping. "Selena, kamu dengar aku, enggak?" tanyanya dengan nada yang sedikit ditekan hingga kuat."Iya. Aku mendengar semua perkataanmu. Kenapa? Apa kemarin malam kamu belum cukup melukaiku?" tanyaku lirih, karena luka ini benar-benar sangat menyakitkan."Selena, aku sungguh-sungguh bukan selingkuhan suamimu. Bahkan aku ke sini sengaja untuk mengikutinya agar tahu siapa bunga lain yang ada di hatinya," jelasnya tapi aku belum
"Tapi aku tidak tahu dia Sukabumi mana." Rania kembali mendesah, lalu mengusap wajahnya kasar. "Coba tanya sama Mamang dan Bibimu."Aku tidak bisa merespon apa yang dikatakan Rania, karena pikiranku langsung tertuju ke ingatan beberapa tahun lalu ketika Rania memperkenalkan Siska Amelia."Dia Siska, teman kantorku. Insyaallah baik karena selama ini dia tidak pernah membuat kami kecewa sebagai rekan kerjanya," ucap Rania memperkenalkan.Aku pun menerima Siksa dengan senang hati dan kami bercerita tentang banyak hal. Dia berkata, "Saya dari negeri yang jauh, Teh. Enggak punya siapa-siapa untuk didatangi. Apalagi kedua orang tua saya sudah meninggal."Mendengar kisahnya yang menyakitkan dan hampir sama denganku, aku jadi bersimpati, dan selalu meminta Mas Nizam untuk mengajaknya sepulang dari kantor untuk makan di rumahku. Kalau saja di video barusan Siska tidak memanggil Mas Nizam dengan sebutan sayang, sudah pasti aku tidak akan mencurigai hubungan di antara keduanya."Dengar, Selena!