Share

Bab 2

Namaku Selena Selly, sama sekali tidak ada nama keislamannya. Aku bahkan belum bisa berjilbab seperti orang-orang yang tidak pernah dilepas selain di rumah.

Ketika menikah denganku, Mas Nizam memintaku untuk memakai jilbab dan pakaian yang lebih tertutup, tapi aku belum bisa. Rasanya masih berat dan sangat gerah. Paling aku hanya menggunakannya kalau ada pengajian. Kalau hal lain, aku tidak bisa.

Enam tahun yang lalu, kita bertemu di sebuah restoran. Saat itu dompet Mas Nizam ketinggalan di rumah dan dia tidak memegang uang kas. Aku yang duduk tidak jauh darinya menawarkan diri dan dia pun menerimanya.

Waktu itu Mas Nizam berjanji akan segera mengganti uangku, tapi ternyata setiap bertemu denganku, Mas Nizam malah selalu tidak membawa dompet ketika bertemu denganku.

Tidak lama dari itu, kita menjadi dekat, lalu memutuskan untuk menikah. Hingga sekarang, aku tidak pernah mendengar Mas Nizam berbicara kasar atau bertingkah aneh.

Baru sekarang aku curiga padanya setelah membaca pesan dari Rania. Kira-kira maksudnya apa. Aku mengetik beberapa kata dan mengirimkannya kepada Rania.

"Ada apa, Sayang?" Mama mendekat padaku dan menatap heran.

"Eh, gak ada apa-apa, Ma. Ini tadi katanya Mas Nizam transfer, aku mau cek aja," jawabku cepat sambil menyimpan ponsel kembali ke dalam saku celemek yang masih kupakai.

"Padahal tadi kamu enggak usah masak, Mama sudah membawa banyak makanan," ucap mama lesu.

"Aku masih tukang makan seperti dulu kok, Ma. Jadi jangan takut tidak habis. Aku pasti akan menghabiskan semuanya," hiburku dan mama kembali bersemangat.

Aku berpamitan ke kamar ketika mama bermain dengan anakku kamar utama bawah, sama papa mertua juga. Jadi aku tenang meninggalkan anakku di sana.

Setelah sampai di kamar, aku langsung mengeluarkan ponsel.

(Aku mau bertemu rekan bisnis besok.) Rania membalas singkat.

Aku semakin curiga kalau kepergian dia ada hubungannya dengan Mas Nizam yang tiba-tiba pergi ke Bogor. Kalau kecurigaanku terbukti benar, sepertinya aku tidak akan sanggup untuk hidup lagi. Bagaimana tidak, mereka berdua adalah orang yang sangat penting untukku.

Kalau mereka sama-sama mengkhianati aku, kepada siapa aku pulang?

Orang tua? Aku sudah kehilangan mereka sejak dulu. Lebih tepatnya aku tidak pernah tahu siapa orang tuaku. Selama ini aku hanya tinggal bersama Nenek yang beberapa bulan lalu ikut meninggalkan aku sendirian. Jadi, aku memilih bekerja, lalu dipindahkan ke Jakarta hingga bertemu dengan Mas Nizam.

Karena tidak sabar ingin mendengar penjelasannya, aku segera meneleponnya.

"Halo, Sel, ada apa?" tanyanya cepat setelah mengangkat teleponku.

"Kamu di Bogor mau ketemu siapa?" Aku bertanya tanpa menutupi kecurigaanku.

"Ada, deh, Sel. Tumben kamu mau tahu pekerjaanku. Kenapa?" Dia kembali bertanya.

"Seriusan masalah kerjaan?"

"Iyalah, memangnya apalagi. Cuman akhir-akhir ini bicaranya dia itu agak beda gitu, Sel," ucapnya membuatku semakin penasaran.

"Iya, beda aja. Kaya tanya apa aku sudah siap nikah atau belum. Pokoknya pertanyaan semacam itu." Rania menjelaskan dengan nada riang, seolah dia juga tertarik dengan rekan bisnisnya itu.

"Masa sih? Mungkin kamu salah paham aja. Bagaimana kalau ternyata pria itu sudah menikah?" Aku berusaha bercanda.

"Kalau aku sudah cinta, pria beristri pun tidak masalah," desisnya membuatku marah.

"Kenapa bicaramu seperti itu, Rania? Kamu juga wanita, kenapa tega menyakiti perasaan wanita yang lain?" cecarku geram.

"Kalau sudah cinta, aku juga tidak bisa berbuat apa-apa. Sudah, ya, aku mau nyetir dulu. By." Rania menutup sambungan teleponnya begitu saja, sementara aku malah semakin meradang.

Apa yang harus aku lakukan untuk membuktikan kalau bukan Rania yang ditemui Mas Nizam?

***

Aku kembali turun untuk melihat anakku yang sedang bermain dengan mama.

"Iya, Zam. Gapapa kalau sekadar suka. Itu wajar. Asal jangan kelewatan. Kalau mau pun gapapa, kamu bisa bawa ke rumah," ucap mama kepada seseorang di telepon.

Mendengarnya aku mendadak kesal dan mendekat ke arah mama. "Apa yang sudah Mama katakan?"

"Kamu kenapa?" Mama langsung menatapku dengan wajah merah padam.

"Aku tidak sengaja mendengar percakapan Mama barusan. Siapa yang disukai Mas Nizam?" Aku berusaha menahan emosi dan bertanya dengan dingin.

"Ikan, katanya ada yang jual di koi di dekat rumah dinasnya," jawabnya membuatku semakin yakin kalau Mas Nizam dan Rania janjian untuk bertemu.

"Mas Nizam baru saja berangkat, Ma. Tidak mungkin sudah sampai lagi di Bogor," ucapku tidak percaya.

Mama terlihat kebingungan, lalu menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Bisa aku pastikan kalau mama juga tengah berbohong.

Segera aku berlari kembali ke kamar, lalu mengambil sebuah kertas dari temanku yang tinggal di Bogor. Kebetulan beberapa hari lalu kita bertemu lagi dan dia memberikan aku nomor barunya.

Aku akan memergoki perselingkuhan kalian dan memberikan mereka pelajaran yang tidak bisa mereka lupakan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status