Kulihat paha Kia, benar saja ada bekas cubitan berwarna biru menghitam. Aku hanya beristighfar dalam hati, tega sekali Mbak Lili berperilaku seperti itu pada bayiku.
Bayiku tidak salah kalau dia benci padaku boleh melakukan apa pun yang dia suka pada diriku tapi tidak pada Kia.
“Tuh, kan, biru gini, Nak. Nanti jangan lupa dibaluri minyak telon yang dicampur bawa merah ya?” saran ibu Mas Eko.
“Iy—a, Bu,” jawabku singkat. Jujur minyak telon Kia sudah habis aku mau minta uang pada ibu pun pasti tidak dikasih.
“Ko, bengong? Ngantuk ya?” tanya beliau lagi.
“Iya, Bu,” jawabku sungkan.
“Ya, sudah kamu istirahat, kamu pasti sangat lelah, Ibu tahu kamu yang masak tadi untuk makan malam kami, tunggu sebentar ya?” Ibu Mas Eko pergi begitu saja tak lama kembali dengan membawa sekantong plastik berlogo Indoapril itu.
“I—ini apa, Bu?” Meski aku tahu isinya, tapi aku harus bertanya karena tidak mau terjadi salah paham antara aku dan Mbak Lili.
“Ibu sengaja beli ini untuk kamu sama Kia, kan kemarin waktu aqiqah Kia kami tidak bisa datang, diterima, ya?” jawab ibu sumringah.
“Tapi ... aku merepotkan, Ibu,” jawabku. Aku gelisah dan sesekali melihat ke arah pintu takut Mbak Lili tahu.
“Enggak repot, Ibu malah senang, kamu enggak usah takut. Ya, sudah, kamu istirahat ya, Nak, Ibu keluar dulu.” Seolah tahu kegelisahan hatiku yang sejak tadi terus saja melihat ke arah pintu. Mertua Mbak Lili mencium Kia yang terlelap sebelum ke luar kamar.
Ucapan terima kasih rasanya tidak cukup, baru kali ini ada orang baik padaku selama aku tinggal di sini.
Aku tertegun menatap kantong plastik berukuran lumayan besar itu. Kutidurkan Kia ke kasur lalu mengunci pintu dan membuka isinya.
Alhamdulillah aku sampai menitikkan air mata. Ada keperluan mandi Kia satu set lengkap, keperluan mandiku, bedak wardah, pensil alis, lipstik, dan aneka jajanan.
Sudah lama sekali aku tidak belanja seperti ini. Dari mana ibu mertua Mbak Lili tahu kalau pelengkapan pribadiku habis. Hanya doa yang bisa kuberikan untuk membalas kebaikan beliau.
Kusimpan baik-baik di lemari bajuku. Kukunci dan kuncinya aku kaitkan dengan peniti di dalam baju dasterku. Bukan aku pelit, tapi aku takut ibu dan Mbak Lili tiba-tiba merebutnya dariku.
Seperti biasa sebelum ayam berkokok aku sudah bangun untuk menghidupkan tungku dan masak, sebenarnya lelah, tapi aku sangat terpaksa. Kalau tidak begini nanti ibu akan lebih murka padaku.
Aku takut Kia yang jadi pelampiasan mereka.
Baru saja membuka pintu sudah terdengar suara orang mengiris sayuran. Apa ibu sudah bangun tumben sekali. Biasanya akan merepet kalau aku tidak ada di dapur saat dia tengah memasak.
“Loh, Bu, kenapa pagi sekali bangunnya. Sudah Bu, biar aku saja. Nanti Ibu capek.” Kuambil pisau dan sayur mayur yang sudah dipotong oleh mertuanya Mbak Lili.
“Eh, enggak apa-apa, Ibu malah senang bisa bantuin kamu di dapur. Yuk, kita masak bareng.”
“Tapi, Bu ... aku takut dimarah Mbak Lili. Sudah, Ibu masuk saja istirahat,” tolakku halus.
“Enggak akan ada yang marahi kamu, yuk, cepetan! Nanti keburu Kia bangun loh,” ucap beliau lagi.
Gegas aku mengambil kayu di luar rumah dan menghidupkan tungku.
"Ada kompor gasnya juga penuh, kenapa kamu pakai tungku begitu, Ta?” tanya beliau heran dan mengajakku beranjak dari tungku.
“Em, itu. Anu ... Bu?” jawabku terbata.
“Mertuamu marah? Atau Lili yang marah?” sahut ibu telak.
“Eng—gak, Bu. Bukan begitu, tapi ....”
“Sudah, kamu enggak usah takut gitu, biar Ibu nanti yang bilang ke mertuamu. Ayo, goreng ayam yang sudah Ibu ungkep tadi, biar Ibu yang lanjut motong-motong sayurannya.” Aku akhirnya menurut saja.
“Ibu perhatikan dulu, pas kamu lagi hamil besar dibawa ke sini sama suamimu juga masak di tungku, kasihan sekali kamu, Nduk,” ucap beliau lagi. Aku hanya diam saja, itu belum seberapa mereka tidak main kasar padaku sudah Alhamdulillah.
“Loh, Besan kok, sudah bangun? Kamu Ita, ngapain?!” Ibu mertuaku kaget melihat kami yang masak bersama sepagi ini. Matanya melotot ke arahku.
“Situ enggak lihat? Ya, masak lah,” jawab mertua Mbak Lili.
“Besan istirahat saja, biar Ita yang masak ini sudah tugas dia,” sahut ibu.
“Enggak apa-apa, aku ini terbiasa begini. Kalau di rumah setelah tahajud langsung ke dapur masak untuk sarapan, lagi pula memasak bukan hanya tugas Ita, dia punya bayi kasihan harus banyak istirahat,” sanggah mertua Mbak Lili.
“Loh, Besan kok, jadi belain Ita?” Suara mertuaku kini mulai meninggi.
“Ya, bukan membela, tapi yang aku ucapkan benar to? Kalau tugas masak itu ya, dikerjain sama-sama karena tugas seorang wanita dan istri. Apa Ita ini istrinya Eko, sampai sarapan yang siapkan dia sendirian, Lili ke mana?” Mertua Mbak Lili pun ikut meninggi suaranya.
“Ita, kerjaannya kan, di rumah. Santai saja, kalau Lili kan, harus ngantor, lagi pula Ita menantu di sini, jadi sudah menjadi tugas dia berbakti pada Ibu Mertuanya,” jawab ibu.
“Besan enggak bisa gitu dong, beda-bedain anak, kantor apa? Wong cuma tenaga sukarela saja di kantor Kelurahan, mendingan di rumah ngurus suami. Mau menantu ataupun anak sendiri itu tetap saja sama. Memang Besan mau kalau Lili tinggal di rumahku mendapat perlakuan sama seperti yang Ita alami?” tanya mertua Mbak Lili menohok.
“Ck, Besan ini apaan si, lagian besan mertua baik jadi ya, mana mungkin memperlakukan Lili dengan semena-mena,” jawab ibu terkekeh.
“Itu Besan tahu, kalau begitu juga harus perlakuan menantu perempuanmu dengan baik, heran zaman modern begitu masih ada mertua kolot,” sindir mertua Mbak Lili lagi.
“Ya, sudah, dilanjutkan saja masaknya aku mau salat subuh,” elak ibu, kemudian beliau pergi lagi ke kamarnya. Pagi ini aku selamat, besok pasti ibu akan murka setelah besannya pulang.
Terdengar suara tangis Kia, buru-buru aku mengambil Kia lalu menggendongnya sambil memasak.
“Sini biar Kia sama Ibu, kalau enggak kamu sana ke depan ajak Kia duduk di teras biar kena udara pagi.” Aku menggeleng dengan cepat takut ibu memarahiku.
“Ya, sudah, kalau tidak mau lebih baik kamu sarapan dulu, kamu pasti lapar, bentar ya, ibu ambilkan.”
Aku tak mampu menolak lagi, akhirnya aku sarapan tepat waktu, aku memang sangat lapar. Biasanya aku akan memakan sisa mereka. Itu pun lauknya masih ibu simpan jadi lebih banyak aku makan nasi putih saja.
Setelah sarapan aku memandikan Kia, lalu kususui dan dia kembali tidur. Aku gegas membereskan rumah ini yang lumayan besar. Nyapu, ngepel, terakhir mencuci piring.
Mbak Lili yang tahu aku bersama mertuanya marah-marah tidak jelas. Segala apa yang ditemuinya dibanting
Brak!Aku terkejut saat pintu reot kamarku didobrak oleh Mbak Lili, pasalnya aku sedang menyusui Kia.Seperti orang kesetanan Mbak Lili menyerangku. Kubalikkan badan untuk melindungi Kia agar tidak terkena pukulan Mbak Lili. Jika tidak ada Kia sudah kupastikan akan terjadi duel antara aku dan Mbak Lili.“Mampus kamu Ita! Mati aja kamu! Hah! Kurang ajar ya, kamu! Gara-gara kamu mertuaku jadi lebih membelamu!”Bugh!Bugh!Kunikmati pukulan demi pukulan yang mendarat di tubuhku Terpenting Kia tidak jadi sasarannya.“Bagus, pukulin aja terus biar kapok! Dasar menantu tidak tahu diri, sudah bagus dikasih tumpangan tempat tinggal masih saja belagak nyoya! Pukul terus Li, bila perlu pakai pukulan kasur itu!” seru ibu mertuaku.“Stop!” Suara bariton Mas Danu menggema. Benarkah itu suamiku?Mbak Lili yang tahu suamiku pulang sangat terkejut dan salah tingkah. Kulihat wajah Mas Danu merah menahan amarah. Dia langsung memelukku. Tangisku pecah.“Maafkan, aku ... maaf, Dik,” ucap Mas Danu, suara
Mbak Lili seperti kerasukan jin, dia menarik-narik bajuku dengan brutal karena tak terima kompor, magicom, dan wajan anti lengket kuambil paksa.Terjadi adegan tarik menarik antara aku dan Mbak Lili. Aku tidak tahu Mas Danu di mana tadi pamit sebentar ke rumah temannya Joko, sampai mau Maghrib belum pulang juga.“Manusia tidak tahu diri, tidak bisa balas budi, barang jelek saja kamu ambil lagi, menjilat ludah sendiri kamu kan sudah memberikannya untuk Ibu!” teriak Mbak Lili.“Aku tidak pernah memberikan barang jelek ini untuk kalian, toh selama ini kalian sudah puas memakainya. Aku kalian paksa masak pakai tungku padahal ini milikku sendiri. Kalian kan, orang kaya masa beli begini saja tidak mampu,” jawabku kesal.“Sudah berani jawab ya, kamu! Mentang-mentang mau pindah!” Ibu menarik rambutku ke belakang, sakit sekali, tapi aku tahan, aku tidak mau kualat dan nambahin masalah dengan melawannya.Aku kualahan karena harus menghadapi Mbak Lili dan ibu sendirian. Beruntung Mas Eko suami
“Silakan duduk dulu, Mbak. Aku buatin minum,” kataku mempersilakan mereka untuk duduk barang sebentar.“Enggak sudilah aku duduk di tikar lusuh begini, bisa-bisa tulang ekorku pegal-pegal,” jawab suami Mbak Asih.“Iya, enggak perlu juga beramah tamah sama orang miskin enggak bakalan bisa balas juga,” sahut Mbak Lili. Kemudian mereka pergi dari gubukku ini tanpa permisi.Sakit hati sudah pasti, tapi apalah dayaku tidak bisa membalas perlakuan mereka. Mbak Lili dan Mbak Asih apa lupa mereka bisa jadi orang terpandang seperti sekarang ini karena jerih payah Mas Danu, yang dengan ikhlas siang malam membanting tulang demi biaya keluarganya meskipun mereka hanya keluarga angkat.Suamiku Mas Danu ditinggal pergi ibunya sewaktu berumur 5 tahun. Orang-orang bilang bapaknya Mas Danu suka main fisik hingga Istrinya tidak betah dan akhirnya kabur. Bapak Mas Danu sendiri ikutan pergi meninggalkan Mas Danu pada ibunya Mbak Lili padahal mereka tidak ada hubungan apa pun hanya tetangga saja. Sejak i
Assalamualaikum selamat pagi semuanya cerbung baruku ini ikutin terus, ya? Follow juga akunku. Terima kasih 💕🌸🌸🌸Belum juga aku menjawab Mbak Lili sudah menarik tangan ibu. Aku dipersilakan oleh panitia untuk langsung ke prasmanan. Meski terdengar bisik-bisik karena aku tidak memakai seragam sendiri, tapi aku tetap percaya diri saja tidak mengapa tidak dianggap keluarga.“Kamu makin cantik aja, Ta,” ucap Bibi Warni, adik ibu.“Alhamdulillah, terima kasih, Bi,” jawabku.“Maaf ya, Bibi belum jenguk suamimu. Tahu sendiri Bibi lagi sibuk banyak kegiatan maklum pejabat,” katanya lagi sambil mengibaskan jilbabnya. Aku mengiyakan saja. Entah mungkin sudah keturunan dari nenek moyangnya ibu, ini keluarga kerjaannya tukang pamer.“Kamu nyumbang berapa, Ta?” Seketika tenggorokanku tercekat susah menelan makanan.“Kenapa kamu tanya begitu, Li? Sudah tahulah jawabannya,” sindir Bibi. Kemudian mereka terkekeh.Kucoba menghirup udara sebanyak-banyaknya agar tidak sesak dada ini. Kembali kunik
“Aneh, orang tua kok begitu, seumur-umur aku baru tahu orang tua aneh ya, sekarang ini,” timpal Joko.“Heh, ambil itu bingkisan dari Asih. Bukannya diambil malah dibiarkan saja,” titah ibu.“Iya, Bu, terima kasih “ Kuambil bingkisan itu lalu kubawa masuk.“Dik, kami langsung berangkat ya, kamu hati-hati di rumah, assalamualaikum.” Pamit suamiku. Aku raih tangannya penuh takzim kudoakan keselamatan dan kesembuhan untuknya.Uang yang kumiliki sangat aku irit-irit makan seadanya jadilah yang penting tidak kelaparan. Sayur mayur di kebun ini sebenarnya cukup, tapi semua diakui milik ibu. Jadi mau tidak mau aku menanam sendiri di sekitar gubukku ini.Kubuka bingkisan dari ibu tadi. Hatiku mencelos ini memberi makan untuk hewan apa manusia kenapa isinya begini? Nasi yang tercampur urapan dan kering tempe sudah agak basi. Dari pada aku sakit lebih baik aku berikan saja pada ayam tetangga.Aku akan merebus daun singkong dan sambal orek saja untuk lauk malam ini.“Ita ... sudah kaya kau rupan
“Kamu kenapa, Nak? Kok diam begitu?” tanya ibu aku sedang bingung karena tidak ada beras sebutir pun untuk dimasak siang ini.Tadi pagi aku dan Mas Danu sarapan pakai nasi sisa kemarin. Sebenarnya masih ada uang sedikit tapi itu untuk jaga-jaga Mas Danu berobat.“Em ... anu aku lagi enggak enak badan Bu, seperti masuk angin,” jawabku berbohong.Ibu mengernyitkan dahinya melihatku aneh.“Oo ... ya sudah kamu istirahat saja sana biar Ibu yang masak,” ucap ibu lagi.“Enggak apa-apa, Bu ini hanya masuk angin biasa nanti juga sembuh kalau dibawa gerak, sudah Ibu di depan saja sama Kia,” tolakku halus. Meski ibu tidak mau aku tetap memaksanya. Aku tidak mau ibu tahu masalahku. Kasihan sudah tua. Nanti aku akan minjam beras dulu di warung semoga saja dikasih.Gegas aku ke warung Wak Haji, di sana kata orang-orang lebih lengkap dan Wak Haji orangnya baik. Aku menunggu deretan ibu-ibu yang sedang berbelanja. Rasanya malu sekali karena ini pertama kalinya aku mau berhutang. Setelah aku menguta
🌸🌸🌸🌸Mas Danu sedang dilatih berjalan oleh bapak di halaman depan, tadi bapak sudah membuatkan tongkat untuk Mas Danu. Aku sedang memakaikan baju Kia, sore ini aku merasa sangat bahagia.“Ibu ini kenapa sekarang setuju hubungan Mbak Ita sama Mas Danu?” ucap Wira. Ibu dan Wira memang masih di dapur. Tadi mereka membantuku mengisi bak mandi.“Sudah jodohnya Mbaku Wir. Ibu tidak mau jadi orang tua jahat yang tidak mau mengerti perasaan anaknya. Mungkin dulu Ibu tidak setuju, tapi setelah tahu semuanya begini dan nasihat-nasihat bapakmu membuat Ibu sadar bahwa selama ini Ibu salah,” jawab ibu.Aku jadi ingat dulu sewaktu meminta restu orang tua. Ibu dan Wira adalah orang-orang yang paling menentang hubunganku dengan Mas Danu. Kata mereka asal-usulnya tidak jelas maka dari itu apa pun yang aku alami tidak pernah sedikit pun mengeluh pada keluarga. Aku takut disuruh pergi meninggalkan Mas Danu oleh mereka. Syukur sekarang ini ibu sudah ikhlas dan merestui hubungan kami.“Aku tetap tida
Sepeninggal ibu mertuaku Wira marah-marah padaku dan terus saja mengomporiku untuk meninggalkan Mas Danu. Aku tahu adikku peduli dan sayang padaku, tapi bukan berarti aku harus meninggalkan Mas Danu.“Wira, Pelankan suaramu. Enggak enak didengar tetangga!” tegur ibu.Wira marah dan seperti biasa dia akan pergi keluar entah ke mana. Adikku itu memang sangat care pada keluarga, tapi sifat temperamentalnya terkadang membuatku jengah.“Gelap banget Mbak, baru juga Maghrib lampu sudah dipadamkan,” gerutu Wira.“Pakai lilin kan, ada. Tadi Ibu sudah beli satu pack,” sahut ibu.“Hari gini masih pakai lilin, semiskin-miskinnya kita enggak pernah kita gelap-gelapan begini,” ujar Wira lagi, kali ini sambil melirikku dan juga Mas Danu.“Besok pasang listrik sendiri aja, Mbak. Susah bener hidup sekali juga.”“Insya Allah. Do’akan saja kami banyak rezeki ya, biar bisa pasang sendiri,” ucap Mas Danu.“Aamiin ....” Aku mengaminkan ucapan Mas Danu begitu pula bapak dan ibu.“Kerja selama ini ke mana