Share

BAB 2. Mertua yang baik.

Kulihat paha Kia, benar saja ada bekas cubitan berwarna biru menghitam. Aku hanya beristighfar dalam hati, tega sekali Mbak Lili berperilaku seperti itu pada bayiku.

Bayiku tidak salah kalau dia benci padaku boleh melakukan apa pun yang dia suka pada diriku tapi tidak pada Kia.

“Tuh, kan, biru gini, Nak. Nanti jangan lupa dibaluri minyak telon yang dicampur bawa merah ya?” saran ibu Mas Eko.

“Iy—a, Bu,” jawabku singkat. Jujur minyak telon Kia sudah habis aku mau minta uang pada ibu pun pasti tidak dikasih.

“Ko, bengong? Ngantuk ya?” tanya beliau lagi.

“Iya, Bu,” jawabku sungkan.

“Ya, sudah kamu istirahat, kamu pasti sangat lelah, Ibu tahu kamu yang masak tadi untuk makan malam kami, tunggu sebentar ya?” Ibu Mas Eko pergi begitu saja tak lama kembali dengan membawa sekantong plastik berlogo Indoapril itu.

“I—ini apa, Bu?” Meski aku tahu isinya, tapi aku harus bertanya karena tidak mau terjadi salah paham antara aku dan Mbak Lili.

“Ibu sengaja beli ini untuk kamu sama Kia, kan kemarin waktu aqiqah Kia kami tidak bisa datang, diterima, ya?” jawab ibu sumringah.

“Tapi ... aku merepotkan, Ibu,” jawabku. Aku gelisah dan sesekali melihat ke arah pintu takut Mbak Lili tahu.

“Enggak repot, Ibu malah senang, kamu enggak usah takut. Ya, sudah, kamu istirahat ya, Nak, Ibu keluar dulu.” Seolah tahu kegelisahan hatiku yang sejak tadi terus saja melihat ke arah pintu. Mertua Mbak Lili mencium Kia yang terlelap sebelum ke luar kamar. 

Ucapan terima kasih rasanya tidak cukup, baru kali ini ada orang baik padaku selama aku tinggal di sini.

Aku tertegun menatap kantong plastik berukuran lumayan besar itu. Kutidurkan Kia ke kasur lalu mengunci pintu dan membuka isinya.

 Alhamdulillah aku sampai menitikkan air mata. Ada keperluan mandi Kia satu set lengkap, keperluan mandiku, bedak wardah, pensil alis, lipstik, dan aneka jajanan.

Sudah lama sekali aku tidak belanja seperti ini. Dari mana ibu mertua Mbak Lili tahu kalau pelengkapan pribadiku habis. Hanya doa yang bisa kuberikan untuk membalas kebaikan beliau.

 Kusimpan baik-baik di lemari bajuku. Kukunci dan kuncinya aku kaitkan dengan peniti di dalam baju dasterku. Bukan aku pelit, tapi aku takut ibu dan Mbak Lili tiba-tiba merebutnya dariku.

Seperti biasa sebelum ayam berkokok aku sudah bangun untuk menghidupkan tungku dan masak, sebenarnya lelah, tapi aku sangat terpaksa. Kalau tidak begini nanti ibu akan lebih murka padaku.

 Aku takut Kia yang jadi pelampiasan mereka.

Baru saja membuka pintu sudah terdengar suara orang mengiris sayuran. Apa ibu sudah bangun tumben sekali. Biasanya akan merepet kalau aku tidak ada di dapur saat dia tengah memasak.

“Loh, Bu, kenapa pagi sekali bangunnya. Sudah Bu, biar aku saja. Nanti Ibu capek.” Kuambil pisau dan sayur mayur yang sudah dipotong oleh mertuanya Mbak Lili.

“Eh, enggak apa-apa, Ibu malah senang bisa bantuin kamu di dapur. Yuk, kita masak bareng.”

“Tapi, Bu ... aku takut dimarah Mbak Lili. Sudah, Ibu masuk saja istirahat,” tolakku halus.

“Enggak akan ada yang marahi kamu, yuk, cepetan! Nanti keburu Kia bangun loh,” ucap beliau lagi.

Gegas aku mengambil kayu di luar rumah dan menghidupkan tungku.

"Ada kompor gasnya juga penuh, kenapa kamu pakai tungku begitu, Ta?” tanya beliau heran dan mengajakku beranjak dari tungku.

“Em, itu. Anu ... Bu?” jawabku terbata.

“Mertuamu marah? Atau Lili yang marah?” sahut ibu telak.

“Eng—gak, Bu. Bukan begitu, tapi ....”

“Sudah, kamu enggak usah takut gitu, biar Ibu nanti yang bilang ke mertuamu. Ayo, goreng ayam yang sudah Ibu ungkep tadi, biar Ibu yang lanjut motong-motong sayurannya.” Aku akhirnya menurut saja.

“Ibu perhatikan dulu, pas kamu lagi hamil besar dibawa ke sini sama suamimu juga masak di tungku, kasihan sekali kamu, Nduk,” ucap beliau lagi. Aku hanya diam saja, itu belum seberapa mereka tidak main kasar padaku sudah Alhamdulillah.

“Loh, Besan kok, sudah bangun? Kamu Ita, ngapain?!” Ibu mertuaku kaget melihat kami yang masak bersama sepagi ini. Matanya melotot ke arahku.

“Situ enggak lihat? Ya, masak lah,” jawab mertua Mbak Lili.

“Besan istirahat saja, biar Ita yang masak ini sudah tugas dia,” sahut ibu.

“Enggak apa-apa, aku ini terbiasa begini. Kalau di rumah setelah tahajud langsung ke dapur masak untuk sarapan, lagi pula memasak bukan hanya tugas Ita, dia punya bayi kasihan harus banyak istirahat,” sanggah mertua Mbak Lili.

“Loh, Besan kok, jadi belain Ita?” Suara mertuaku kini mulai meninggi.

“Ya, bukan membela, tapi yang aku ucapkan benar to? Kalau tugas masak itu ya, dikerjain sama-sama karena tugas seorang wanita dan istri. Apa Ita ini istrinya Eko, sampai sarapan yang siapkan dia sendirian, Lili ke mana?” Mertua Mbak Lili pun ikut meninggi suaranya.

“Ita, kerjaannya kan, di rumah. Santai saja, kalau Lili kan, harus ngantor, lagi pula Ita menantu di sini, jadi sudah menjadi tugas dia berbakti pada Ibu Mertuanya,” jawab ibu.

“Besan enggak bisa gitu dong, beda-bedain anak, kantor apa? Wong cuma tenaga sukarela saja di kantor Kelurahan, mendingan di rumah ngurus suami. Mau menantu ataupun anak sendiri itu tetap saja sama. Memang Besan mau kalau Lili tinggal di rumahku mendapat perlakuan sama seperti yang Ita alami?” tanya mertua Mbak Lili menohok.

“Ck, Besan ini apaan si, lagian besan mertua baik jadi ya, mana mungkin  memperlakukan Lili dengan semena-mena,” jawab ibu terkekeh.

“Itu Besan tahu, kalau begitu juga harus perlakuan menantu perempuanmu dengan baik, heran zaman modern begitu masih ada mertua kolot,” sindir mertua Mbak Lili lagi.

“Ya, sudah, dilanjutkan saja masaknya aku mau salat subuh,” elak ibu, kemudian beliau pergi lagi ke kamarnya. Pagi ini aku selamat, besok pasti ibu akan murka setelah besannya pulang.

Terdengar suara tangis Kia, buru-buru aku mengambil Kia lalu menggendongnya sambil memasak.

“Sini biar Kia sama Ibu, kalau enggak kamu sana ke depan ajak Kia duduk di teras biar kena udara pagi.” Aku menggeleng dengan cepat takut ibu memarahiku.

“Ya, sudah, kalau tidak mau lebih baik kamu sarapan dulu, kamu pasti lapar, bentar ya, ibu ambilkan.”

Aku tak mampu menolak lagi, akhirnya aku sarapan tepat waktu, aku memang sangat lapar. Biasanya aku akan memakan sisa mereka. Itu pun lauknya masih ibu simpan jadi lebih banyak aku makan nasi putih saja.

Setelah sarapan aku memandikan Kia, lalu kususui dan dia kembali tidur. Aku gegas membereskan rumah ini yang lumayan besar. Nyapu, ngepel, terakhir mencuci piring.

Mbak Lili yang tahu aku bersama mertuanya marah-marah tidak jelas. Segala apa yang ditemuinya dibanting

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status