Azril menatap tajam Devina ketika mendengar apa yang dikatakannya. Tadinya, hati kecilnya berharap kalau istri yang tidak dianggapnya itu akan membantu, seperti biasa yang dulu dia lakukan. Namun ternyata kali ini tidak, Devina malah mengatakan kata-kata yang sangat menyakiti hati dan perasaannya. Jauh dari harapan. "Kenapa, Mas? Mau marah?" tantang Devina sambil membawa buah kesukaan Azril, konyolknya dia malah berharap buah itu akan diberikan padanya. "Itu buatku, kan?" tanya Azril sambil menatap binar anggur hijau yang ada di tangan Devina. "Oh, kamu mau?" Devina tertawa kecil. "Apa maksudmu? Tentu saja aku mau!" Azril menggosok peralatan makan dengan penuh amarah, seperti ada dendam pribadi. "Kenapa kamu melotot gitu sama anak Mama?" tanya Bu Andin--mamanya Azril, tapi lebih menyayangi Devina--menantunya. "Em, enggak, Ma. Mungkin Mama salah lihat." kilahnya berbohong, lalu melanjutkan kembali pekerjaannya. "Awas kalau Mama menangkap kamu bersikap seperti ini lagi, Mama bis
PoV Azril Kedatangan Mama benar-benar membuatku kelimpungan. Bukan aku tidak tahu sifat Mama yang sangat menyayangi Devina, tentu saja aku sangat tahu, hanya saja aku takut kalau Devina memberitahu Mama tentang Nafisah. Semoga saja tidak dan hanya itu yang aku harapkan. Bukan masalah jika aku hanya membersihkan cucian piring sepanjang malam atau menyapu halaman sampai tidak peduli pada kantor, asalkan Devina tidak memberitahu tentang Nafis. Itu saja yang aku inginkan. Bisa bahaya kalah Mama sampai tahu tentang Nafis, bulan hanya masa depanku yang tidak akan terjamin lagi, tapi akan mendapatkan kebencian dari seluruh anggota keluarga. "Kamu gak bilang, kan?" tanyaku mengintrogasi Devina yang sedang tersenyum sinis. "Tentang?" "Tentu saja Nafisah!" "Kenapa?" tanyanya menentang, pakai tanya kenapa segala lagi. "Di sini kan ada Mama, kau kan tahu sendiri kalau Mama yang menegang kendali di keluarga besarku!" ucapku geram dengan nada pelan, takut Mama dengar. "Ya, terus?" tanyany
"Jangan dulu ditandatangani!" cegahku mengambil berkas yang setan dipegangnya itu. "Loh, kenapa Mas? Bukankah ini yang kau inginkan dari dulu?" tanyanya menatapku lekat, mungkin mencari jawaban atas laranganku. Entah kenapa, hati ini memang agar berat jika membahas masalah pernikahan. Apa mungkin karena Devina terlalu mengulur waktu sampai aku berniat untuk mengundur perceraian ini? Benar, ini pasti tujuan dari rencananya yang terselubung. "Gapapa, pokoknya kamu boleh tanda tangannya nanti, setelah aku dan Nafisah berhasil mendapatkan restu Mama." kilahku berbohong, untuk saat ini aku hanya bisa mengulur waktu, sama seperti yang dia lakukan padaku. Bedanya, kini aku merasa tertekan, sementara dulu dia melakukannya dengan senang hati. "Ngapain?" Ia menatapku lekat. "Dengar ya, Mas, aku bisa mendapatkan laki-laki sepertimu dengan mudah, jadi untuk apa terikat hubungan dengan laki-laki yang tidak mencintaiku, kayak gak waras saja." tegas Devina sambil meneguk segelas air putih. Na
Detak jantungku meningkat cepat ketika mendengar apa yang baru saja Mama katakan. Enggak, gak mungkin dia pergi begitu saja, aku tak percaya. "Mungkin dia sedang di kamar mandi, Ma." Aku berusaha untuk menenangkan. "Benar juga." ucapnya yang kembali terdengar ceria. "Awas saja kalau kamu melukai anak perempuan Mama satu-satunya itu, Mama coret nama kamu dari KK," ancamnya membuatku lemas seketika. Semoga saja Devina ada di rumah dan tidak melakukan hal-hal yang membuatkan naik darah, apalagi jika sampai pergi beneran. Aku akan mencari dan memarahinya. "Iy—" Tut.... Panggilan langsung terputus sebelum aku menjawabnya, dasar Mama. "Kenapa, Mas?" Nafisah tiba-tiba muncul di hadapanku. Wah, bisa gawat kalau dia tahu aslinya aku sudah punya istri. "Kok kayaknya penting, sih?" Untung saja sepertinya Nafisah tidak mendengar apa yang aku bicarakan dengan Mama. "Enggak ada apa-apa, nanti Mas tinggal pulang dulu, ya?" Nafisah menggeleng kuat. "Setelah menikah, tradisi di sini si peng
"Apa kau tahu apa saja yang mereka lakukan?" Aku kembali mengintrogasi Haris. "Makan!" jawabnya cepat. Aku sungguh ingin memakinya ketika "Maksudku apa saja yang mereka lakukan? Kenapa kamu jadi bodoh begini, sih?" tanyaku geram. "Mana kutahu, aku bukan seorang mata-mata." ucapnya semakin membuatku dongkol. "Tapi kan kamu bisa cari tah—" Tut ... sambungan terputus. Sial*n! Kenapa orang-orang yang nelpon hari ini pada seenaknya matikan sambungan telpon, sih. Mana pada gak bisa dihubungi lagi, huh. Kucoba kembali menghubungi Devina, tapi lagi-lagi jawabannya sama. "Nomor yang ada tuju tidak dapat dihubungi." "Mas, sepertinya dari tadi gelisah terus?" Nafisah menatapku heran. Melihatnya lembut seperti ini membuatku tersadar, kalau saat ini istriku tidak hanya Devina, tapi juga Nafisah, atau mungkin memang hanya Nafisah. "Iya, masih kepikiran kemana perginya Devina." Aku berucap jujur. "Ngapain sampe kepikiran, Mas? Lagian kan dia juga bukan orang penting." Nafisah menekuk wa
"Azril!" Ketika aku sedang menahan perut dengan kedua tangan karena kelaparan, pintu kamar diketuk beberapa kali dengan disertai suara yang memanggil namaku dengan pelan. "Azril!" panggilnya lagi, kali ini aku bisa mendengarnya dengan jelas. Ini adalah suara Bude Tintin. Aku langsung teringat dengan Jani Bude yang akan mengantarkan makanan ke kamarku pun membuatku langsung membuka pintu. "Eh, Bude, ada apa?" tanyaku basa-basi. Padahal, perutku sudah minta diisi. Melihat Bude yang membawa makanan dia sebuah nampan sedang membuat kedua mataku berbinar. "Masuk, Bude." Aku langsung bersikap seolah tidak terjadi apapun. "Ini, Bude sudah janji akan membawakan makanan untuk kamu." ucapnya sambil menyerahkan nampan itu. "Makan yang banyak, ya, sekalian Bude ada sesuatu yang mau dibicarakan denganmu." ucapnya sambil menutup pintu. Aku mengalihkan tatapan mataku, inginnya makan sendiri di sini. Eh, malah selalu gagal. "Tenang saja, Bude tidak memaksa untuk kamu menanggapi, cukup dengark
"Berhenti membicarakan tentangku, Haris. Aku tidak punya waktu banyak. Banyak uang yang sudah aku keluarkan hanya untuk bisa menemuimu di sini." ucapku kesal. "Banyak uang?" Harus menatapku lekat, ia sepertinya tidak percaya dengan apa yang kukatakan, tapi inilah kebenarannya. "Ya." Aku menghela napas berat. Mau bagaimana lagi, aku harus segera menemukan Devina. "Untuk apa?" tanyanya cuek, pake tanya untuk apa lagi. "Tentu saja untuk mencari Devina, aku harus segera menemukannya." jawabku mantap sambil menghabiskan minuman yang kupesan dua gelas. Bukannya simpati atau apa ke, Harus malah tertawa terbahak-bahak. "Bukankah ini yang kau harapkan? Menjalani hidup hanya berdua dengan orang yang kau cintai, tanpa bayang-bayang Devina. Lalu, kenapa sekarang kau malah mencarinya?" Ia menatapku lekat, bahkan aku merasa kalau tatapannya menyiratkan kebencian. Benar, aku sendiri yang mengatakan hal itu pada diriku sendiri. Namun, entah kenapa aku malah semakin ingin mencarinya. "Tentu sa
"Aku sudah jatuh cinta kepada wanita lain, jadi, mari kita bercerai, dan setelahnya, jangan ada pertemuan lagi!" hanya beberapa kata yang dikatakan Azril, tapi membuat Devina tak bisa berkutik. Tubuhnya mendadak tidak bisa digerakkan dan pendengaran serta penglihatan seperti tidak berfungsi lagi. Devina terhuyung ke arah sofa, tapi Azril sama sekali tidak melihatnya karena ia sedang berdiri di depan tangga membelakangi Devina. Selama tujuh tahun pernikahan, Devina belum diberikan kepercayaan untuk mempunyai anak, dan ini dijadikan alasan oleh Azril untuk berpisah. Ia sama sekali tidak tahu kalau wanita yang menjadi istrinya itu mencintainya. Bagi Devina, tentu saja cinta itu muncul tiba-tiba dengan seiring berjalannya waktu. Meksipun ia tahu Azril sama sekali tidak pernah mempunyai perasaan sedikit pun padanya, ia selalu percaya kalau pernikahannya akan langgeng sampai maut memisahkan. "Devi! Aku tidak mau mengulangi perkataanku lagi, semuanya sudah cukup sampai di sini." tegas A