Dengan senyumnya yang menawan, Pak Bagas langsung meraih hand bag milikku dan membawanya. Apa-apaan ini, dia ingin membawakan tasku. Tidak ingin berebut dengannya akhirnya aku mengalah juga. "Jadi benar Pak Bagaskara calon suami kamu, Ri?" tanya mbak Aira padaku. Aku binggung hendak menjawab apa, bagaimana bisa tiba-tiba saja Pak Bagas mengaku seperti itu. Mas Rayyan tampak memandangku seperti meminta jawaban. "Kita bukan siapa-siapa lagi mas, jadi apa pedulimu dengan semua ini," ucapku dalam hati. "Ri, ditanya kok malah bengong sih?" ucap Pak Bagas mengagetkan diriku. "Menurut Mbak Aira, kami cocok tidak jadi pasangan suami istri?" Aku balik bertanya.Pertanyaan konyol macam apa ini, masa malah bertanya seperti itu pada orang lain. Biarlah daripada aku menjawab iya atau tidak.Tak habis pikir aku dengan Pak Bagas, apa dia tidak memikirkan dampak yang akan aku terima setelah pengakuannya ini. "Cocok saja, Pak Bagas terlihat dewasa dan kamu terlihat apa adanya. Mungkin saja beliau
Mendengar perkataan pak Bagas, refleks tanganku melingkar dipinggangnya dan memeluknya dengan erat. Ada rasa nyaman menelusup didalam hatiku. Cukup lama aku terisak dengan posisi seperti itu."Mentari, kalau kita seperti ini terus sepertinya aku tidak bisa menahan diriku," lirih pak Bagas. Menyadari situasi itu, aku segera mendorong tubuhnya hingga lelaki yang sedang memelukku itu terjengkang ke belakang. "Aduh!" pekiknya. "Kamu ini pendekar wanita atau semacamnya, sih. Kuat banget tenaganya." "Bapak yang mulai duluan," sunggutku kesal. "Aku yang mulai ngapain? kan kamu yang mulai menangis duluan. Aku hanya mengikuti naluri lelakiku, saat melihat wanita menangis.""Oh, jadi Bapak akan memeluk semua wanita yang menangis gitu?" "Bukan begitu, Mentari. Iissh, sudahlah lupakan. Jadi bagaimana lamaranku tadi?""Lamaran yang mana?" tanyaku pura-pura tidak mengerti. "Udah sana pulang, kan sudah selesai shalatnya," usirku. "Tega sekali kamu mengusirku. Ini masih sore, baru jam enam lew
"Aku mau bicara denganmu," ucapnya sambil mendekat padaku. "Bicaralah mas," sahutku dengan bersandar dipintu gerbang."Tidak disini, ayo kita keluar sebentar." "Tapi ini sudah malam mas," tolakku. "Sebentar saja, jam sembilan kita udah pulang." Mas Rayyan ini hendak membicarakan apa sih, pakai acara keluar pada jam segini. Bukankah besok kami harus masuk kerja juga. "Ayolah, Mentari. Sebentar saja," bujuknya. "Aku kunci pintu kamar sama ambil tas dulu ya." "Oke, aku tunggu disini." Segera aku naik ke kamar kosku, mengganti kemejaku dengan kaos dan kardigan. Tidak mungkin aku pergi dengan memakai kemeja kerja yang sejak tadi pagi aku kenakan. Menyisir rambutku dan mengikatnya, lalu meraih Sling bag dan bergegas turun menemui Mas Rayyan yang masih menungguku dengan setia di depan pintu gerbang. Begitu kami sudah Sama-sama diatas motor, Mas Rayyan segera menjalankan kendaraan roda dua tersebut. Aku tidak bertanya sama sekali hendak kemana kami pergi. Hingga akhirnya Pria yang ad
[Mentari, kamu bisa masuk kosan kan?] Pesan masuk dari nomor mas Rayyan. [Bisa mas] balasku singkat. Percuma juga jika aku bilang tidak bisa, dia akan melakukan apa untuk membantuku. Aku mondar-mandir di depan gerbang sambil berpikir bagaimana caranya agar tidak tidur diluar. "Ayo berpikirlah mentari," gumamku sambil memukul pelan kepalaku. Aku teringat jika sekarang ada banyak penginapan dengan harga terjangkau. Segera aku buka aplikasi yang berfungsi untuk mendownload berbagai aplikasi di ponselku. Banyak jenis aplikasi penginapan tersebut terpampang di layar datar tersebut. Dari mulai yang logonya berwarna biru, hingga merah. Aku segera mengunduh salah satu dan mencari yang terdekat dari tempatku berada. Satu persatu aku buka tapi kenapa semuanya terisi penuh. "Kenapa bisa seperti ini sih, kok kayak kebetulan banget," ucapku geram. Apa iya aku harus ke hotel hanya untuk tidur semalam, sendirian lagi. Lagipula satu malam di hotel biasa, bisa aku pakai untuk makan siang di k
Aku terbangun saat mendengar alarm dari ponsel Pak Bagas. Smartphone milikku sendiri tertinggal di kamar sebelah bersama dengan sling bag. Saat terbangun dari tidur, hal pertama yang aku lakukan adalah melihat keadaan diriku apakah masih dengan pakaian lengkap atau tidak. Aku menarik nafas lega saat terbangun dalam keadaan sama seperti saat akan tidur.Tatapanku berpindah ke samping tempat aku tidur, tapi tidak mendapati lelaki itu. Mungkin Pak Bagas pindah tidur atau sudah bangun terlebih dahulu.Aku bergegas ke kamar mandi untuk mencuci muka dan mengambil air wudhu, semalam aku sudah lalai melaksanakan salat isya. Mudah-mudahan di tempat ini ada sesuatu yang bisa aku pakai untuk menutup aurat dan menjalankan salat subuh. Selesai dengan kegiatanku di kamar mandi, aku segera keluar dan hendak mencari Pak Bagas, namun ternyata dia sudah ada di dalam kamar."Pakai ini buat shalat," ucapnya sambil menyodorkan sajadah serta mukena yang terlipat rapi. Tanpa banyak bertanya aku menerima
Sesuai kesepakatan kami sebelum hari libur tiba waktu itu, akhirnya kami akan pergi jalan-jalan ke tempat wisata alam dan pegunungan. Menurut pak Bagas jarak yang akan ditempuh tidaklah memakan waktu lama, kurang lebih hanya tiga jam saja. Selain itu akses tol membuat perjalanan jauh lebih singkat. Aku tidak mau ada lagi acara menginap di luar kota seperti dulu. Pak Bagas berjanji jika kami akan pulang sebelum sore menjelang. Aku juga sudah meminta izin pada penjaga kosan akan terlambat pulang mungkin sekitar 30 menit. Hanya untuk berjaga-jaga saja agar aku tidak terkunci di luar seperti dulu.Pagi-pagi sekali kami sudah berangkat, saat matahari belum menampakkan sinarnya, mobil yang kami tumpangi sudah melaju meninggalkan kota. Pak Bagas bilang tempat itu buka jam delapan pagi. Dan kami akan sampai sana pagi-pagi sekali untuk melihat matahari terbit. Awalnya pria itu mengajakku melihat matahari terbenam, tapi aku tidak mau karena takut kemalaman kembali ke rumah. "Apa dulu kamu ser
"Buka pintunya, cepat!" Teriakan kembali terdengar. "Pak, bangun!" Aku menguncang tubuhnya dengan keras. Lelaki yang duduk di sampingku itu bangun dengan kebingungan. "Kenapa?" tanyanya kebingungan. "Kenapa bapak ikutan tertidur," ucapku menyalahkannya. Padahal harusnya dialah yang lebih berhak tidur karena kelelahan menyetir. "Itu diluar rame, dikira kita melakukan hal yang tidak-tidak didalam mobil." Pak Bagas mengusap wajahnya dan merapikan rambutnya, lalu perlahan menurunkannya kaca jendela mobil. "Wah beneran mereka sepasang anak manusia. Bener-benar melakukan perbuatan mesum sepertinya," ucap laki-laki berkopiah hitam. "Tidak pak, tadi kami mau shalat tapi malah ketiduran di dalam mobil," ucap Pak Bagas menjelaskan. "Halah, jangan banyak alasan. Mau shalat kok parkir sejak tadi gak keluar-keluar, saya udah lihat mobil ini dari tadi," ucap pria itu lagi. "Cepat keluar! jangan banyak alasan," teriak yang lain tidak mau kalah. Ketakutan mulai merayap dihatiku, bagaimana
Mau tidak mau, akhirnya kami memutar balik karena tidak bisa lewat tempat itu. "Kenapa hari ini sial banget sih," gumamku pelan. "Apa kamu merasa pernikahan kita termasuk hal yang sial?" tanya Pak Bagas pelan. Seperti ada kekecewaan dalam pertanyaan, apa pria ini kecewa dengan ucapkanku barusan. "Bukan begitu, maksudku kita jadi tidak bisa pulang. Bagaimana ditempat seperti ini akan menemukan penginapan atau hotel. Tidak mungkin kan kita tidur didalam mobil, nanti kalau digrebek lagi kita dinikahkan lagi. Mau berapa kali kita menikah?" Aku berusaha membuat candaan tapi sepertinya perkataanku yang pertama sudah membuatnya kecewa. "Disini mungkin susah mendapatkan tempat menginap, tapi jika kita kebagian kotanya pasti ramai juga seperti di Jakarta. Atau jika tidak, kita bisa cari jalan lain. Meskipun harus berputar-putar pasti ada jalan menuju ke ibukota selain jalan ini," tuturnya panjang lebar. "Tidak perlu pulang malam ini, kita cari saja penginapan sini. Bapak sudah menyetir d