Aku terbangun disebuah kamar dengan cat berwarna putih tulang. Mataku segera memindai ruangan, disampingku tampak tertidur dengan pulas pria yang tadi membawakan, Pak Bagas. Dengan panik segera kubuka selimut yang menutupi tubuhku, aku menarik nafas lega saat melihat pakaianku masih melekat dengan lengkap dibadanku. Perlahan aku membalikkan tubuhku, tertidur miring dan menghadap pada Pak Bagas yang matanya terpejam, seakan-akan tak punya beban setelah membuat hidupku dalam kekacauan.Dia pria yang tampan dan mapan, tapi sudah beristri. Lagi pula kemapanannya karena keluarga isterinya itu. Andai saja dia belum beristri, mungkin saja aku akan jatuh hati padanya. Selama ini dia memperlakukan diriku dengan baik, meksipun dia membayar tubuhku. Aku dikejar-kejar oleh pria beristri tapi dicampakkan oleh pria lajang. Apa takdirku hanya akan menjadi wanita simpanan, wanita ke-dua, atau wanita penggoda. Tidak, aku tidak akan terjebak lagi dengan situasi seperti itu. Jika tidak ada laki-laki l
Dengan geram aku mendorong tubuh Pak Bagas hingga terpental menjauhiku. "Plakk, plakk!" Dua tamparan mendarat dipipi pria itu kanan dan kiri. Pak Bagas terlihat shock dan terdiam dengan apa yang aku lakukan padanya. Tangannya memegangi pipinya yang mungkin saja terasa sakit. Aku pun tidak menyangka dengan reaksiku baru saja. Ya Allah aku menampar pria itu, ibu bilang semarah apapun jangan pernah mendaratkan pukulan pada wajah seseorang. Wajah adalah bagian tubuh yang dimuliakan, jika hendak memukul pilihlah bagian tubuh yang lain. "Ma-maaf," lirihku. "Aku akan turun disini." Saat aku hendak membuka pintu mobil lagi-lagi pria itu menarik tubuhku, membawaku dalam dekapannya. "Aku yang harusnya minta maaf. Lakukan apapun padaku, kamu boleh memukulku dan meluapkan amarahmu tapi jangan menangis. Aku tidak suka melihatnya, aku juga sedih jika melihatmu seperti ini." Aku malah semakin ingin menangis, meluapkan semua beban yang ada didalam hatiku. Badanku terguncang dalam dekapannya,
"Kamu ikut denganku karena pria itu?" tanya Pak Bagas. "Apa perlu aku jawab?" Aku balik bertanya."Sampai kapan kamu akan memikirkan pria itu, Mentari?""Aku sudah melupakannya." Kami sama-sama terdiam, sibuk dengan pikiran masing-masing sambil menatap jalanan yang semakin padat merayap. Hari ini memang beberapa karyawan pulang lebih telat dari biasanya, aku sendiri pulang setelah salat Ashar. "Kita mau kemana Pak?" tanyaku memecah keheningan. "Bagaimanapun jika makan malam, sudah lama aku tidak pernah makan denganmu." Aku tidak menanggapi ucapan Pak Bagas, biarlah jika pria ini ingin mengajakku makan malam. "Pak, mampir dulu ke masjid didepan itu," ucapku menunjuk bangunan masjid dengan cat warna hijau muda. "Ngapain?" tanyanya seakan tidak mengerti. "Bentar lagi Maghrib, lebih baik kita nunggu Maghrib di tempat itu dulu," jawabku datar. Orang ke masjid ya untuk salat, gak mungkin mau belanja. Begitu saja pakai tanya. Saat ini, aku mulai rajin kembali kewajiban lima waktu. J
"Siapa pria yang kemarin menjemputmu?" tanya Mas Rayyan. Kami sedang mengobrol sambil menikmati makanan yang sudah terhidang di depan kami. "Pria yang sama dengan yang mas lihat divideo itu," jawabku apa adanya. Entahlah, aku tidak akan menutup-nutupi apapun. Aku akan menjawab semua pertanyaan meskipun sekarang dia tidak berhak tahu dengan kehidupanku lagi. Entah kebohongan atau kejujuran yang akan keluar dari mulutku nantinya. "Kalian masih berhubungan?" "Awalnya tidak, sudah lama aku meninggalkan dunianya. Namun dia datang lagi dan membuat kekacauan dalam hidupku, hidup yang aku pikir akan baik-baik saja. Setelah mengacaukannya sepertinya dia ingin memperbaikinya, setelah membuatku dalam kesedihan nampaknya dia ingin menghiburku," tuturku panjang lebar sambil mengaduk-aduk nasi dalam piringku. Entah bagaimana bisa aku begitu tenang menghadapi pria didepanku ini. Menjawab pertanyaannya dengan sangat santai. "Aku minta maaf sudah menyakitimu waktu itu. Seharusnya aku tidak berk
Dengan senyumnya yang menawan, Pak Bagas langsung meraih hand bag milikku dan membawanya. Apa-apaan ini, dia ingin membawakan tasku. Tidak ingin berebut dengannya akhirnya aku mengalah juga. "Jadi benar Pak Bagaskara calon suami kamu, Ri?" tanya mbak Aira padaku. Aku binggung hendak menjawab apa, bagaimana bisa tiba-tiba saja Pak Bagas mengaku seperti itu. Mas Rayyan tampak memandangku seperti meminta jawaban. "Kita bukan siapa-siapa lagi mas, jadi apa pedulimu dengan semua ini," ucapku dalam hati. "Ri, ditanya kok malah bengong sih?" ucap Pak Bagas mengagetkan diriku. "Menurut Mbak Aira, kami cocok tidak jadi pasangan suami istri?" Aku balik bertanya.Pertanyaan konyol macam apa ini, masa malah bertanya seperti itu pada orang lain. Biarlah daripada aku menjawab iya atau tidak.Tak habis pikir aku dengan Pak Bagas, apa dia tidak memikirkan dampak yang akan aku terima setelah pengakuannya ini. "Cocok saja, Pak Bagas terlihat dewasa dan kamu terlihat apa adanya. Mungkin saja beliau
Mendengar perkataan pak Bagas, refleks tanganku melingkar dipinggangnya dan memeluknya dengan erat. Ada rasa nyaman menelusup didalam hatiku. Cukup lama aku terisak dengan posisi seperti itu."Mentari, kalau kita seperti ini terus sepertinya aku tidak bisa menahan diriku," lirih pak Bagas. Menyadari situasi itu, aku segera mendorong tubuhnya hingga lelaki yang sedang memelukku itu terjengkang ke belakang. "Aduh!" pekiknya. "Kamu ini pendekar wanita atau semacamnya, sih. Kuat banget tenaganya." "Bapak yang mulai duluan," sunggutku kesal. "Aku yang mulai ngapain? kan kamu yang mulai menangis duluan. Aku hanya mengikuti naluri lelakiku, saat melihat wanita menangis.""Oh, jadi Bapak akan memeluk semua wanita yang menangis gitu?" "Bukan begitu, Mentari. Iissh, sudahlah lupakan. Jadi bagaimana lamaranku tadi?""Lamaran yang mana?" tanyaku pura-pura tidak mengerti. "Udah sana pulang, kan sudah selesai shalatnya," usirku. "Tega sekali kamu mengusirku. Ini masih sore, baru jam enam lew
"Aku mau bicara denganmu," ucapnya sambil mendekat padaku. "Bicaralah mas," sahutku dengan bersandar dipintu gerbang."Tidak disini, ayo kita keluar sebentar." "Tapi ini sudah malam mas," tolakku. "Sebentar saja, jam sembilan kita udah pulang." Mas Rayyan ini hendak membicarakan apa sih, pakai acara keluar pada jam segini. Bukankah besok kami harus masuk kerja juga. "Ayolah, Mentari. Sebentar saja," bujuknya. "Aku kunci pintu kamar sama ambil tas dulu ya." "Oke, aku tunggu disini." Segera aku naik ke kamar kosku, mengganti kemejaku dengan kaos dan kardigan. Tidak mungkin aku pergi dengan memakai kemeja kerja yang sejak tadi pagi aku kenakan. Menyisir rambutku dan mengikatnya, lalu meraih Sling bag dan bergegas turun menemui Mas Rayyan yang masih menungguku dengan setia di depan pintu gerbang. Begitu kami sudah Sama-sama diatas motor, Mas Rayyan segera menjalankan kendaraan roda dua tersebut. Aku tidak bertanya sama sekali hendak kemana kami pergi. Hingga akhirnya Pria yang ad
[Mentari, kamu bisa masuk kosan kan?] Pesan masuk dari nomor mas Rayyan. [Bisa mas] balasku singkat. Percuma juga jika aku bilang tidak bisa, dia akan melakukan apa untuk membantuku. Aku mondar-mandir di depan gerbang sambil berpikir bagaimana caranya agar tidak tidur diluar. "Ayo berpikirlah mentari," gumamku sambil memukul pelan kepalaku. Aku teringat jika sekarang ada banyak penginapan dengan harga terjangkau. Segera aku buka aplikasi yang berfungsi untuk mendownload berbagai aplikasi di ponselku. Banyak jenis aplikasi penginapan tersebut terpampang di layar datar tersebut. Dari mulai yang logonya berwarna biru, hingga merah. Aku segera mengunduh salah satu dan mencari yang terdekat dari tempatku berada. Satu persatu aku buka tapi kenapa semuanya terisi penuh. "Kenapa bisa seperti ini sih, kok kayak kebetulan banget," ucapku geram. Apa iya aku harus ke hotel hanya untuk tidur semalam, sendirian lagi. Lagipula satu malam di hotel biasa, bisa aku pakai untuk makan siang di k