Pagi-pagi sekali Ibu sudah bangun seperti biasanya jika di kampung. Kepalaku sangat berat karena aku tertidur cukup malam, sehingga aku terbangun dengan kepala denyut-denyut. "Nduk, besok Ibu pulang ya. Ibu tidak betah lama-lama di sini, lagi pula besok kamu kan harus bekerja juga. Hari ini kita bisa jalan-jalan ke manapun yang kamu mau ibu akan menemanimu.""Tapi Bu ...." ucapku menggantung. Harusnya yang terjadi bukanlah hal seperti ini. Seharusnya semalam kami pergi ke tempat Mas Bagas, lalu ibu akan mengetahui segalanya, kemudian hari ini mungkin kami akan jalan-jalan bertiga. Lalu Ibu tidak akan pulang hingga minggu depan kami mengadakan acara syukuran untuk mengundang teman-temanku dan juga karyawan Mas Bagas. Kemudian setelah Ibu pulang, kami akan meminta orang untuk menyiapkan berkas-berkas dari kampung. Berkas yang diperlukan untuk mendaftarkan pernikahan kami di kantor urusan agama kota ini. Hanya mas Bagas yang memiliki kartu keluarga dan juga identitas kota ini, jadi un
POV BagaskaraHatiku bergemuruh saat melihat paper bag berisi jas seorang pria berada di dalam mobilku, yang aku tahu itu bukan milikku. Ini pasti dibawa oleh Mentari, wanita yang sudah beberapa hari ini menjadi istriku. Bagaimana bisa ada pakaian laki-laki lain di dalam mobilku. Aku yakin ini adalah baju milik atasannya yang bernama Arya itu. Selama beberapa hari ini Mentari bekerja bersamanya dan sering bersama keluar masuk hotel membuat pikiranku berkelana kemana-mana. Membayangkan tubuhnya disentuh oleh orang lain membuatku frustasi.Meskipun aku berusaha untuk menghapusnya, namun pikiran kotor itu selalu saja menghantuiku. Sebenarnya Mentari sudah menceritakannya. Isteriku itu memang sedang mengurus semua pekerjaan yang berhubungan dengan pria itu namun kenapa harus saja selalu ke hotel. Dengan perasaan malas aku akhirnya memutuskan untuk mengantarkan pakaian itu ke kantornya lagi pulang tadi dia berangkat kerja sendiri setelah menjemput ibunya. Sampai di kantornya aku tidak b
Aku peluk erat tubuh wanita yang sudah melahirkanku itu. Aku tidak bisa menyembunyikan air mata saat memeluk tubuhnya, air mata ini bukan air mata kesedihan karena hendak berpisah dengannya tapi lebih pada rasa kecewa dan sedih yang ada dalam hati. Aku menangis dan bersedih karena perbuatan yang dilakukan oleh Mas Bagas. Dia bukan hanya mengecewakanku tapi juga mengabaikan ibuku yang sudah jauh-jauh datang dari kampung. "Jangan menangis tho, Nduk. Kamu ini udah kayak anak kecil saja. Besok kalau kamu libur kita ketemu lagi," ucap ibu sambil mengelus punggungku. Aku hanya mengangguk dan menyeka air mataku. "Ibu tidak tahu apa yang membuatku menangis," sahutku dalam hati. Setelah berpamitan, aku melepas ibu masuk ke dalam peron untuk menunggu kedatangan kereta api yang sebentar lagi datang dan akan membawa ibu pulang ke kampung halaman. "Mentari," sebuah panggilan menyapa Indra pendengaranku. Aku sangat mengenal suara itu suara yang selama 3 hari ini mengabaikanku, membuatku saki
Nafasku tersengal saat Mas Bagas melepaskan pertautan bibir kami. Itupun aku harus memukulinya dengan kasar, bibirku terasa membengkak. "Kamu mau membunuhku mas!" "Lebih baik kita mati bersama jika kamu menjadi milik orang lain." "Dasar tidak waras," makiku dalam hati. "Jangan pernah bicara omong kosong lagi," ucapnya melunak. Aku terdiam, mungkin perkataanku memang sudah keterlaluan barusan. "Antarkan aku pulang ke kosan," lirihku. "Ayo kita masuk kedalam, kita sudah ada dirumah," sahut Mas Bagas. "Biarkan aku sendiri, aku ingin menenangkan diri. Antarkan saja aku pulang ke kosanku.""Sampai kapan kamu tidak mau bersamaku?" "Aku tidak bisa menjanjikan kapan." Mas Bagas menghela nafas berat, tidak ada kata lagi yang terucap dari mulutnya. Lelaki itu lantas menyalakan mesin mobilnya kembali dan menjalankannya. Pergi dari rumah, sepertinya dia memenuhi keinginanku. Mengantarkanku aku kembali pulang ke kosan.Tidak ada percakapan sama sekali selama perjalanan, hanya keheningan
Tanpa berpikir panjang, aku berlari dan masuk kedalam peron, meninggalkan kartu identitas meskipun sebenarnya itu dilarang. Lebih baik aku mencegah ibunya daripada mengejar Mentari. Aku langsung mencari wanita yang tadi di peluk Mentari. Terlihat olehku, beliau sedang duduk di kursi tunggu. Sepertinya kereta yang lima menit lagi berangkat bukan kereta yang akan beliau tumpangi. "Permisi, Bu," sapaku. Wanita dengan yang melahirkan istriku itu mengangkat wajahnya menatapku. "Iya," sahutnya pendek. "Boleh saya duduk disini?" Aku berkata sambil menatap kearah bangku kosong di sampingnya. "Oh iya, silahkan nak," sahutnya ramah. Aku segera menghempaskan pantatku diatas kursi, lalu menata hati dan pikiran agar berbicara dengan lancar. "Keretanya belum datang, Bu?" tanyaku membuka percakapan dan berbasa-basi."Setelah kereta ini jalan, baru kereta ibu datang," jawabnya. Aku mengangguk kepala mendengar jawabannya. "Ada banyak waktu untuk menjelaskan sekaligus membujuk ibu mertuaku ini
"Aku rindu," bisik Mas Bagas di telingaku. Saat aku sedang memijit pinggangnya tiba-tiba saja dia berbalik dan menatap sendu padaku. Menarik tubuhku hingga aku terjatuh di atas dadanya dan lalu dia membisikkan kalimat kata itu. Rasa yang sama seperti yang aku rasakan, aku juga rindu padanya meskipun rasa kecewa dan marah juga menguasai hati. Apa lagi dengan semua yang sudah dilakukan hari ini di kantor, lalu fakta tentang ibu yang ada di rumah ini. Juga bagaimana ibu terlihat perhatian pada Mas Bagas, tentu saja membuatku diam-diam luluh juga. "Jangan macam-macam yaa mas! aku belum sepenuhnya memaafkanmu. Aku ini wanita pendendam, kau tahu." Aku berkata sambil menarik tubuhku dari atas dadanya yang terbuka. Tidak bisa aku pungkiri jika tubuhku juga menginginkan dekapannya, tapi aku sedang berhalangan. Tidak mungkin kan jika sampai kebablasan. Begitulah wanita, padahal tubuh dan hatinya ingin namun kadang mulutnya berucap lain."Iya, maaf," sahutnya dengan nada memelas. "Tapi mas
"Jangan apa, sayang? tanya Mas Bagas sambil mengecup keningku, lalu merebahkan tubuhnya di sampingku. "Kamu mikir apa hayo? Aku kan hanya mau mengajakmu tidur di ranjang," ledeknya. Mas Bagas memiringkan tubuhnya menghadap padaku, bukan salahku jika aku berpikir yang macam-macam. Bagaimana tidak, dia memperlakukan diriku seperti itu tadi. "Kamu kan lagi berhalangan, masa mau melakukan itu. Dasar mesum," ledeknya lagi, kali ini jarinya menjentik jidatku. "Enak saja bilang aku mesum. Kamu itu yang mesum, Mas," sahutku tak mau kalah. Melihatku yang tidak mau mengalah, Mas Bagas hanya diam dan tersenyum padaku. "Kenapa senyum-senyum?" tanyaku galak."I love you," sahutnya. Kali ini aku yang salah tingkah, bukannya mendebatku malah mengatakan cinta. Akhirnya aku memilih diam dan memejamkan mata. "Tidurlah, besok kita harus menelpon kedua orang tuaku dan bersiap-siap pulang ke kampung." Mas Bagas berkata sambil mendekapku dalam pelukannya.Akhirnya kami tidur bersama lagi setelah be
"Gak enak sama Ibu dan Bulek, Mas. Masa pagi-pagi dikamar terus," ucapku sembari berjalan mundur menjauhi Mas Bagas. "Bilang aja mau istirahat, kan capek setelah menyetir semalaman. Pasti mereka mengerti, tenang saja," sahut Mas Bagas, langkah kakinya semakin mendekat padaku. "Tapi kan tadi suruh sarapan dulu sebelum istirahat," ujarku beralasan. "Istirahat dulu baru sarapan, biar makannya tambah banyak," timpalnya tidak mau kalah. "Tok ... tok, tok! Nduk, mau sarapan apa jadi jalan-jalan dulu." Ketukan pintu dan panggilan dari Ibu membuat langkah Mas Bagas yang kian dekat denganku terhenti. "Mau jalan-jalan dulu, Bu!" Sahutku berteriak. Aku menjulurkan lidah untuk meledek suamiku, lantas berjalan menuju ke arah pintu. "Awas nanti kamu ya," bisik Mas Bagas saat aku melewatinya.Aku segera membuka pintu kamar dan terlihat Ibu sudah berada di depan pintu kamar kami."Kalau jalan-jalan nggak usah lama-lama, cepat pulang, sarapan terus kalau mau istirahat saja. Soalnya hari ini aka