Share

Chapter 3

last update Last Updated: 2024-08-22 10:11:36

"Mau Kemana lagi kamu, Kemala?" Jaka tengah menghidangkan makanan sederhana untuk sarapan mereka pagi ini. Nasi goreng dengan ceplok telur yang tidak terlalu kering maupun basah, kesukaan putrinya.

"Ke apartemen ibu." Kemala menarik koper kecil berisi pakaian gantinya untuk beberapa hari ke depan. Setelah bergelut dengan pikirannya malam tadi, gadis itu memutuskan untuk bisa tinggal bersama ibunya meski dianggap parasit. Tiga belas tahun lamanya, saat ibunya meninggalkan rumah mereka dan hanya membawa kakaknya, Nadine. Kemala tidak pernah lagi mendapat sentuhan lembut tangan wanita itu, apalagi sebuah pelukan. Dia meninggalkannya begitu saja di rumah ini, meski Kemala merengek meminta untuk ikut, tapi itu tidak membuat Kumari menengokkan kepalanya lagi ke belakang.

"Hentikan!" Jaka datang dengan cepat dan menarik koper yang dipegang Kemala. "Masuk kamarmu dan jangan coba-coba kabur!"

"Aku anak ibu, Pak. Berhak untuk tinggal bersamanya, menikmati semua yang dimilikinya. Kenapa hanya Mbak Nadine?"

"Dia meninggalkanmu, Kemala. Apa kamu tidak sadar kalau ibumu tidak menginginkanmu?"

"Tapi, Kenapa? Apa kurangnya Kemala dibanding Mbak Nadine, Pak?" Aku pun akan terlihat cantik, jika memakai gaun yang sama. Aku bahkan lebih pandai. Apa yang membuat ibu tidak menginginkanku?"

'Karena kamu bukan putrinya, Kemala!' batin Jaka menatap kosong pada gadis itu.

"Masuk lah!" Nada suara Jaka melemah setelah mendengar perkataan berontak dari putrinya itu.

Kemala melemparkan kembali tas kopernya ke lantai, mengacak seprai sampai berserakan. "Ini tidak adil!" pekiknya. "Aku tidak bisa menerima ini begitu saja. Aku harus tahu alasan kenapa ibu sangat tidak menginginkanku!" tekad Kemala.

Suasana di luar kamarnya terdengar hening. Jam menunjukkan pukul 08.00 pagi. Ini adalah jadwal bapaknya memberi makan ayam-ayam mereka. Kemala menyelinap untuk sampai di luar. Posisi kandangnya berada di belakang rumah. Ini adalah kesempatan untuk gadis itu menjinjing kopernya dan berjalan cepat ke luar. Ia kembali mendorong motor maticnya untuk sampai di jalan raya. Tekadnya sudah bulat, ia ingin kembali ke apartemen ibunya dan tinggal beberapa hari di sana.

"Mau bertemu siapa, Neng?"

"Ibu Kumari, Pak."

"Ibu Kumari saya lihat keluar sejak pagi dan belum kembali." Satpam penjaga apartemen itu mencegat Kemala di depan pintu.

"Oh, begitu." Kemala sedikit kecewa. "Saya tunggu di dalam boleh?"

"Boleh. Masuk lah!"

Kemala tersenyum sebelum masuk ke lobi dan duduk di sana.

"Mending menunggu di sini kan, empuk. Dari pada di sofa butut bapak di rumah," gumam Kemala sembari mengambil beberapa koran dan majalah untuk menepis jenuh.

Berkali-kali Kemana melihat jam dinding yang terus berputar. Ia sudah berganti posisi berpuluh-puluh kali saat menunggu. Tapi, ibunya tidak kunjung terlihat.

Matahari di Ufuk Barat bahkan hampir tenggelam. Kemala mengusap perutnya yang lapar.

"Sebaiknya Neng pulang saja." Satpam itu memberi sekotak makanan dalam snack boks. "Bapak lihat Neng bahkan nggak makan apapun dari pagi."

Kemala menerima pemberian satpam itu, membukanya dan melihat banyak makanan enak. "Terimakasih, Pak. Tapi, saya akan menunggunya sebentar lagi," ucap Kemala.

"Ibu Kumari dan putrinya sering pulang larut malam, pagi hari, sampai tidak pulang sama sekali. Jadi, pulang lah, jika sudah pukul 21.00 malam," jelas satpam itu.

Kemala mengangguk lesu, sembari menelan makanan yang terasa hambar di mulutnya, padahal semua kue basah itu terlihat enak.

Kemala melihat jam dindingnya lagi. Benar-benar sudah pukul 21.00 lewat dan ibu maupun kakaknya masih belum kembali. Gadis itu terpaksa bangkit dari duduknya dan menarik kopernya keluar.

"Hati-hati ya, Neng," sapa Pak Satpam.

Kemala masih mencoba menarik garis senyum, meski hatinya begitu kecewa dan perih. Ia kembali mengendarai motor maticnya untuk pulang, meski resikonya ia akan mendapati kemarahan bapaknya yang mungkin tidak terbendung lagi.

Dddrt! Tiba-tiba motor yang dikendarai Kemala bergoyang, lalu berhenti. Gadis itu langsung turun untuk melihat keadaannya.

"Aish! Kenapa bisa mati di waktu yang tidak tepat, sih?" Kemala memukul motornya yang kehabisa bensin. Kesal sekali dirinya saat ini. Belum selesai rasa kesalnya, tiba-tiba turun hujan besar. Kemala melihat sekitar dan mendorong motornya untuk berteduh di sebuah halte bus. Ia memeluk dirinya yang mulai kedinginan. Angin semakin besar menerpa bersama butiran hujan. Bibir Kemala sampai bergetar menahan hawa dingin yang menerjang tubuhnya berkali-kali.

Tiiid! Mobil mewah tiba-tiba berhenti di depan gadis itu. Seorang pria keluar dengan dua payung. Satu digunakan untuk dirinya dan satu lagi ia pegang.

"Mari ikut, Non!"

Kemala menoleh ke samping kiri dan kanan. Ia tidak menemukan siapa pun di sana keculi dirinya sendiri.

"Saya?" tanya Kemala menunjuk dirinya.

"Hai!" Seorang wanita tua melambaikan tangan dari dalam mobil mewah itu.

"Nenek itu?"

"Ya, ini aku, Nak." Wanita yang kamu tolong kemarin. Naiklah! Ini sudah malam." Ajaknya.

Kemala terdiam sembari berpikir, sebenarnya ia sangat ingin menemui ibunya saat ini.

"Motormu, biar pegawaiku yang membawanya nanti," ucap nenek itu lagi.

"Baiklah." Kemala berdiri dan masuk ke dalam mobil. Dan pria yang turun tadi, akhirnya mendorong motorku yang mati di bawah guyuran hujan.

'Sorry, Om. Ternyata nasibku beruntung malam ini, dan nasib burukmu datang." Kemala menatap pria itu dengan perasaan iba. Tapi, bagaimana lagi, perlahan ia bisa menikmati fasilitas mewah mobil yang di tumpanginya saat ini.

"Nyaman sekali ya, Nek."

Nenek itu hanya tersenyum kecil menanggapi.

"Apa yang sedang kamu lakukan di daerah ini. Sebelumnya aku bahkan melihatmu berada di sekitar apartemen itu?"

"Ya." Kemala menatap canggung pada wanita tua di sampingnya. Rasanya tidak nyaman kalau ia harus mengadukan semua masalahnya sekarang, termasuk mencari ibunya yang tidak mau menerima dirinya.

"Aku hanya berjalan-jalan saja, Nek."

"Oh, ya. Kebetulan sekali. Karena kamu, gelang berhargaku bahkan selamat. Jadi, sebagai ucapan terimakasihku, malam ini aku mengajakmu untuk berkunjung ke rumahku."

"Tapi, Nek. Ini sudah malam."

"Ya, karena ini sudah malam. Aku tidak bisa membiarkanmu berkendara dengan motor itu di tengah hujan. Besok pagi, kamu bisa melanjutkan perjalananmu lagi." Lirik nenek itu pada koper yang di bawa Kemala.

Kemala hanya mengangguk lemah. Sebenarnya ia pun tidak yakin, tapi rasanya tidak ada pilihan. Jika pulang sekarang bapaknya akan benar-benar menguncinya dalam kamar dan ia tidak bisa lagi menemui ibunya. Jadi, Kemala mengangguk setuju.

Mobil yang ditumpangi Kemala berhenti di apartemen tempat ibunya tinggal. Ia melihatnya seolah tidak percaya.

"Nenek tinggal di sini?"

"Ya. Kenapa?"

"Enggak." Kemala cepat-cepat menggeleng. 'Kenapa bisa kebetulan?' batinnya.

"Ayo, turun!" Nenek itu turun dan Kemala mengikutinya. Ia menutupi wajahnya dari satpam sebelumnya dan melewatinya begitu saja. Mereka naik ke lantai 3.

Tempat yang sepi, dengan beberapa pintu kamar di sana. Kemala menunggu nenek itu mengambil kunci dari tasnya.

"Aku akan datang sekarang, tunggulah!"

"Ayo, masuk!" Nenek itu menarik tangan Kemala masuk ke dalam apartemennya. Padahal sebelumnya ia mendengar suara yang sama persis dengan ibunya keluar dari ruangan sebelah.

"Jangan sampai kamu bertemu dia!" ucap wanita tua itu.

"Bertemua dia? Siapa, Nek?"

"Wanita yang baru saja keluar dari samping kamar ini," jawabnya sembari masuk ke dalam.

Kemala melihat begitu nyamannya ruangan itu. Rak-rak yang mengkilat, lukisan yang indah, juga penataannya yang rapi. 'Pantas saja Mbak Nadine betah tinggal di tempat seperti ini,' batinnya meradang. Sedangkan, ia harus tinggal dengan bau kotoran ayam yang tidak jarang menguar hingga ke dalam rumah.

"Memangnya kenapa dengan wanita itu, Nek?"

"Wanita itu dan putrinya tidak terlihat seperti orang baik-baik. Aku perhatikan dia sering keluar malam dan pulang pagi dalam keadaan mabuk. Apalagi putrinya itu, pakaiannya saja sangat terbuka dan seksi. Kudengar dia seorang artis istagram. Sayang sekali, orang seperti itu harus menjadi publik figur."

"Siapa, Nek?" tanya Kemala memastikan agar ia tidak salah menduga.

"Namanya kalau tidak salah Nadine." Nenek itu terlihat berpikir, dan mengangguk. "Ya, benar itu namanya."

Deg! Kemala merenung tidak percaya, kalau yang dikatakan oleh nenek itu adalah kakak dan ibunya. Wanita yang membuat hidupnya sangat iri.

'Bagaimana mungkin mereka?' Ia tidak pernah berpikir hingga sejauh itu.

Bersambung ....

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • WARISAN LUKA DARI BAPAK    End ~

    Kemala berdiri di depan pintu kamarnya. Tangannya basah menggenggam alat tes kehamilan yang diberikan oleh Emeril. "Apa yang sedang kamu lakukan di sana?" Nadine menengok dari celah pintu yang terbuka.Kemala perlahan masuk, melihat kakaknya yang tengah duduk sembari memijat kening."Bagaimana keadaan Mbak sekarang?""Aku masih mual dan kepala terasa pening," jawab Nadine seadanya. Kemala kembali terdiam, hingga kakaknya melirik lagi dengan ekor mata."Kamu tidak sedang sakit gigi 'kan, Kemala? Bukan tipemu diam seperti itu. Katakanlah kalau ada sesuatu!" Nadine menarik wajahnya lagi dan melanjutkan pijatan."Mbak, tahu kan kalau aku selalu siap saat mbak membutuhkan bantuan?" ujar Kemala membuat tubuh Nadine berbalik dan memandangnya."Katakanlah! Aku tidak bisa menebak-nebak pikiranmu.""Emeril memberikan ini." Kemala membuka telapak tangannya. Alis Nadine berkerut. Tentu saja ia tahu alat apa itu."Aku memang wanita sewaan, tapi tidak semua pria aku tiduri." Nadine ingat betul, ha

  • WARISAN LUKA DARI BAPAK    Chapter 38

    "Turun!" Jeri menarik paksa pria yang baru saja dibawanya dari dalam mobil. Ia dibekuk untuk diserahkan ke pihak berwajib. "Lepaskan aku!" Pria itu tetap saja menolak. Namun, Jeri dan beberapa anak buahnya menyeret pria itu untuk masuk ke dalam kantor polisi. "Pekerjaan yang bagus." Emeril menepuk pundak asistennya itu. "Siap, Pak." "Selesaikan pekerjaanmu, aku ingin urusan ini cepat selesai." "Baik, Pak. Sekarang, kita sudah mendapatkan saksi yang kuat. Rekaman cctv dan pihak managent hotel pun akan segera datang untuk memberikan kesaksian. Saya yakin hari ini Mbak Nadine bahkan bisa terbebas dari tuduhan dan dilepaskan dari sel tahanan." "Oke. Aku akan menunggu." Jeri mengangguk cepat dan segera menyusul anak buahnya untuk memberi keterangan pada pihak kepolisian. Sebenanrya bisa saja Emeril membiarkan pihak penyidik yang melakukan ini, tapi tentu saja akan lama. "Kalau sudah begini tidak ada alasan lagi dari pihak penyidik untuk mengulur waktu," gumam Emeril. Beber

  • WARISAN LUKA DARI BAPAK    Chapter 37

    "Rencana itu spontan terucap begitu saja. Aku tidak bisa menghentikkan air mata bapak. Maafkan aku, jika telah lancang seperti ini dan memperkeruh suasana." Wajah Kemala tertunduk. Mereka kini berbicara empat mata di dalam mobil. "Aku tahu kamu tidak mungkin memilih wanita sepertiku untuk dijadikan istri. Aku sadar diri, Emeril. Namun, situasinya sudah seperti ini. Entah takdir apa yang telah Tuhan tuliskan untuk kita, tapi untuk menyelesaikan setiap masalah yang menerpa, bagaimana kalau kita menerima takdir ini.""Maksudmu dengan menikah?""Ya, Bukan pernikahan seperti yang lainnya. Simbiosis mutualisme, pernikahan ini hanya untuk itu. Bukankah kamu membutuhkanku untuk tetap bisa mempertahankan perusahaan? Dan aku membutuhkan bantuanmu untuk mengeluarkan kakakku dari penjara. Kita akan impas. Setelah semuanya kembali normal, kamu bisa melepasku lagi.""Heum!" Emeril berdecak tak percaya. "Sepicik itu kamu berpikir tentang pernikahan, Kemala! Aku tidak akan menikahi wanita yang tidak

  • WARISAN LUKA DARI BAPAK    Bab 36

    Kemala tidak berhenti menatap pria yang berada di sampingnya, sekarang. Bukan karena tiba-tiba takjub apalagi jatuh cinta, hanya karena pria itu tengah menghubungi seseorang dan dia ikut menunggu jawabannya.[Kami menemukan identitasnya, Pak. Ibu Nerma ini adalah istri dari Pak Candra. Beliau salah satu pejabat kota dan sebelumnya gencar diberitakan ada skandal diantara Mbak Nadine dan Pak Candra.] Lapor salah tim IT yang diminta Emeril untuk menyelusuri identitas Nerma."Apa mungkin ini adalah sebuah jebakan yang sengaja dilakukan oleh ibu Nerma?" tanya Kemala."Ya, sepertinya begitu.""Terus bagaimana?" tanya Kemala lagi."Tidak ada jalan lain. Kita harus menyewa pengacara." Emeril mengendikkan bahunya dan mulai menyalakan mesin untuk beranjak dari hotel itu.Kemala menunduk lesu, tentu saja karena ia tidak punya uang untuk menyewa pengacara dan dari mana ia bisa mendapatkan uang sebanyak itu. Sedangkan, berita ini lambat laun pasti akan tercium media dan sampai pada bapaknya. Hanya

  • WARISAN LUKA DARI BAPAK    Bab 35

    "Ayo!" Emeril berdiri di samping Nadine yang masih menenggelamkan kepala pada bantal kursi. Gadis itu sedikit mengangkat wajah, melihat Emeril sebentar sebelum kembali menelukupkannya ke tempat yang sama."Bukannnya kamu mau ke kantor polisi?" ujar Emeril lagi."Bagaimana kita bisa melewati mereka?" tanya Kemala, ia sudah mengintipnya sekali dari gorden. Bukannya pergi, jumlah mereka malah semakin banyak, menyusul berdatangan."Aku punya jalan lain," ujar Emeril lagi. Kemala hampir tidak percaya. Bisa saja pria itu hanya bercanda. "Aku tidak sedang membuat lelucon. Rumah ini punya jalan rahasia."Mata Kemala menyelidik, sekali lagi ia enggan percaya, tapi perasaannya untuk segera menemui Nadine tidak bisa ditahan. "Awas kalau kamu mengerjaiku!" Kedua bola mata itu hampir keluar, mengancam.Emeril berjalan lebih dulu diikuti Kemala. Ia keluar dari pintu samping yang langsung ke kamar Kemala. Mengendap untuk tidak terlihat. Setahu gadis itu di belakang rumah Emeril dibatasai dinding tem

  • WARISAN LUKA DARI BAPAK    Bab 34

    Nadine terduduk di sebuah kursi, di depannya terdapat seorang pria yang sejak tadi menatapnya setelah mengajukan beberapa pertanyaan. Ia mencatat dan merekam secara detail semua penjelasan yang Nadine utarakan. Gadis itu tidak banyak bicara, ia masih syok dengan kejadian yang seperti mimpi, jelas tidak pernah terpikirkan olehnya akan duduk di kursi ini dengan status tersangka pencurian. Dia memang bukan wanita baik-baik, tapi tidak pernah sekali pun dalam hatinya terbersit untuk mengambil harta milik orang lain."Bersama siapa Anda datang, semalam?" tanya penyidik yang bertugas. Nadine yang menunduk sejak tadi memikirkan perihal orang yang menjebaknya, perlahan mengangkat wajah. Ia harus berpikir untuk menjawab pertanyaan penyidik itu, karena dirinya memang tidak mengenal pria yang ditemuinya semalam. Nadine hanya datang untuk menemaninya makan malam, pria itu mengaku bernama Abram, pengusaha kaya yang katanya memiliki kantor di mana-mana sampai peloksok Indonesia."Namanya Abram," ja

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status