Perselingkuhan yang bapak lakukan di masa lalu, membawa luka hingga anak-anaknya. Anak yang tak punya salah apapun, menjadi korban kebencian istrinya. Anak-anak bapak terpaksa harus menanggung luka dari kesalahannya. Hingga berlarut-larut, anak yang dilahirkan di luar nikah, bahkan harus menanggung kesalahan yang sama.
Lihat lebih banyak[Hallo, apakah saya bisa bicara dengan Ibu Kumari?]
[Ya, saya sendiri.] [Maaf, Ibu Kumari. Suami Anda mengalami kecelakaan. Beliau bersama seorang wanita hamil. Sekarang keduanya berada di rumah sakit Mayapada. Keadaannya kritis, jadi saya harap ada wali pasien yang bisa segera datang.] [Ya.] Kumari merasa gugup. Ia sedikit bingung mendengar kabar itu. Lalu, melihat perutnya yang membuncit besar. "Siapa yang dimaksud wanita hamil itu?" gumamnya, karena wanita itu tidak mungkin dirinya. [Bagaimana Ibu?] [Ya. Ya, Pak. Saya akan segera datang.] Kumari segera mengambil tas selempeng kecil miliknya. Ia bergegas mengunci pintu dan berusaha menepis pikiran-pikiran buruk tentang kabar mengejutkan yang baru saja di dengarnya. Dalam hati Kumari saat ini, ia hanya ingin segera melihat keadaan suaminya yang 2 hari yang lalu izin untuk mengirimkan ayam ke luar kota. Kumari sedikit kesulitan saat ia harus berdesakan dengan penumpang angkutan kota lainnya. Perutnya yang sudah besar menyulitkannya untuk duduk dengan nyaman. Belum lagi, tiba-tiba perutnya terasa tegang, mungkin karena perasaannya yang sedang gelisah, janinnya pun merasakan hal yang sama. Kumari hanya mengelusnya sesekali untuk menenangkan. "Ibu Kumari?" Seorang pria menghampiri. "Mari ikut saya, Bu." Ajaknya pada Kumari saat ia bertanya pada suster penjaga di sana. "Siapa, Anda?" "Saya yang menghubungi Anda sebelumnya. Saya adalah saksi yang melihat kecelakaan tunggal yang terjadi pada Pak Jaka dan membawanya kemari," Jelasnya cepat. "Apakah benar suami saya bersama seorang wanita hamil?" tanya Kumari ragu saat ia berjalan gamang mengikuti pria itu. "Benar, Bu." "Di mana dia?" tanyanya lagi sembari menarik lengan pria itu. "Wanita itu langsung mendapat tindakan operasi secar dari pihak dokter, Bu," jelas pria itu lagi. Kumari melirik pada seorang pasien yang tengah di dorong oleh dua perawat. Seorang wanita yang sempat ia lihat dulu saat awal-awal menjadi istri dari suaminya sekarang. "Itu, wanitanya, Bu," ujar pria itu yang juga ikut melirik. Kaki Kumari melangkah mengikuti ranjang dorong yang mengantarkan wanita itu. Kondisinya yang buruk akan segera dipindahkan pada ruangan ICU untuk mendapatkan perawatan lanjutan. Kumari setengah berlari untuk mengejarnya. Menatap wanita itu dengan seksama, seorang wanita yang tengah terbaring pucat dengan mata terpejam. Tidak salah, dialah potret wanita yang pernah dilihatnya waktu itu. "Foto siapa ini, Mas?" Kumari yang baru saja pindah ke rumah kecilnya bersama sang suami menemukan sebuah foto di dalam tas suaminya. "Apakah kamu masih menyimpan foto wanita lain padahal sudah menikah denganku?" Ia melihat jelas tanda love pada foto itu. Seorang wanita dengan rambut yang tergerai indah, cantik dan manis. "Maaf, Sayang. Mas lupa membuangnya." Jaka langsung mengambil foto itu dan meremasnya. Membuang foto itu ke tempat sampah. "Mbak Kumari." Tiba-tiba wanita itu membuka matanya. Kumari terperajat saat namanya dipanggil lirih. "Maafkan aku, Mbak." Kumari masih diam membisu, ia sulit menerima keadaan yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya, kalau suaminya masih menyimpan wanita itu tidak hanya potretnya, akan tetapi orangnya langsung. "Mbak, aku titip putriku," lirihnya lagi. Dan Kaki Kumari terhenti di depan ruangan. Wanita itu menatap sayu pada Kumari yang hanya berdiri membeku. "Keluarga Pak Jaka?" Seorang suster memanggil. "Ya." Pria itu menyahut, lalu datang menghampiri Kumari. "Ayo, Bu." Kumari yang masih belum bisa menerima itu semua hanya seperti patung yang menurut, ia ikut saja saat pria itu membawanya ke ruangan Jaka, tempat suaminya mendapat tindakan. "Ini istrinya, Sus," ujar pria itu menyodorkan Kumari. "Ibu, Pak Jaka harus segera di operasi untuk menghentikkan luka dalam yang di alaminya karena benturan. Silahkan untuk menandatangani ini!" Kumari menerima lembara surat itu. Huruf-hurufnya terlihat pudar di pandangan matanya. Tapi, Kumari masih bisa melihat kalau itu adalah surat persetujuan tindakan terhadap pasien dan tidak ada tuntutan terhadap pihak Rumah Sakit, jika hal buruk terjadi. "Di sini, Bu." Tunjuk Suster itu. Kumari bergetar saat membubuhkan tanda tangannya di sana. Suster itu langsung pergi membawa kertas yang sudah ditandatangani. Dan kumari hanya berdiri membeku. "Mari, duduk, Bu." Ajak pria asing itu. "Bu?" "Argh!" Kumari melenguh kesakitan. Perut bawahnya terasa kencang. Janin di dalam perutnya seperti berontak ingin keluar. "Bu. Apakah ibu ingin melahirkan? Tolong!" teriak pria itu saat tangan Kumari mencengkram erat bajunya. Beberapa perawat segera datang membantu. Kumari merasa lendir pecah dari jalan lahirnya dan berserakan di lantai. Ia segera di bawa ke ruangan bersalin oleh tenaga medis dan mendapatkan pertolongan. "Dorong, Bu. Dorong! Bayi ibu hampir keluar," ucap satu perawat yang menolongnya melahirkan. "Ayo, Bu. Dorong perlahan!" Ucapan-ucapan itu terasa gamang di telinga Kumari. Pikirannya penuh dengan bayangan suaminya dan wanita itu. Wanita yang mungkin telah melahirkan seorang anak dari perselingkuhan mereka. "Bu, Ibu. Sadarlah!" Seorang suster menguncangkan tubuh Kumari yang tidak sadarkan diri. Wanita itu hanya mendengar samar beberapa perawat yang sedang sibuk menyelamatkan dirinya dan bayinya. Lalu, semuanya terasa kosong. ** Kumari membuka matanya, melihat langit-langit rumah sakit yang terasa dekat. Ia melirik pada pintu yang berbunyi, seorang suster tersenyum menyambut kesadarannya. "Bagaimana keadaannya, Bu?" tanyanya ramah. "Sudah lebih baik, Sus. Di mana anak saya?" "Ia masih di ruangan bayi, Bu." "Bolehkah saya melihatnya?" "Tentu saja, jika ibu sudah bisa turun dari ranjang." "Bisa, Sus." Kumari menguatkan dirinya. Ia ingin segera melihat bayi yang dilahirkannya itu. Suster tersebut membawakan kursi roda. Perlahan Kumari bangun dan turun dari ranjangnya. Entah berapa lama dia tertidur, tapi tubuhnya masih terasa remuk. "Suami ibu pun sudah sadarkan diri, beliau ada di ruangan itu," tunjuknya ke ruangan sebelah, tidak jauh dari tempatnya di rawat. "Benarkah?" pertanyaannya semu, antara bahagia dan tidak. "Mari saya antar." Suster itu mengantar Kumari ke ruangan sebelah khusus untuk pasien pria. "Bagaimana keadaan Diana, dok?" Kumari mendengar suara suaminya berbicara dengan seorang dokter yang tengah memeriksa. "Maaf, Pak. Ibu Diana tidak bisa kami selamatkan. Ia mengalami pendaharan pasca melahirkan." "Bayinya?" "Dia selamat. Bayinya seorang perempuan." "Syukurlah, dok. Setidaknya Diana masih meninggalkan putri kami." Sebuah belati terasa melesat dan menghujam tepat di hati Kumari. Ia yang tengah masuk ke dalam ruangan itu menjegalkan tangannya di pintu. "Saya ingin melihat putri saya terlebih dahulu, Sus." Kumari menoleh pada suster yang mendorongnya. Suster itu hanya tersenyum menanggapi. Lalu, berbelok kembali menuju ruangan bayi. "Di sana bayi Anda, Bu." Suster itu menujuk pada deretan boks di hadapan mereka. "Saya tinggal sebentar, ya." Kumari mengangguk saat suster itu meninggalkannya. Ia mengelindingkan kursi rodanya dan masuk ke dalam sebuah ruangan bayi, di dalam terdapat beberapa bayi yang baru saja lahir. Ia pun bisa melihat nama bayinya yang tertera dalam boks maupun gelang kaki. Di samping bayinya, seorang bayi perempuan tengah menangis, ia terlihat lapar dan gelisah. Wajah mereka hampir sama, Kumari bisa melihat garis wajah suaminya di beberapa bagian wajah bayinya maupun bayi itu_ bayi nyonya Diana. Jelas terlihat kalau darah Jaka mengalir di keduanya. Kumari melihat bayinya dengan senyum yang berurai air mata. Ia mengelusnya dengan luka. Menciumnya dengan putus asa. Anak pertama yang ditanyakan suaminya bukan putri yang ia lahirkan, tapi putri dari Diana. Wanita selingkuhannya. "Ayahmu mungkin akan lebih mencintainya, Nak. Kamu akan mendapatkan luka ini sama seperti ibu. Ayahmu lebih memilih wanita itu dan bayinya dari pada kita." "Tidak! Ibu tidak akan membiarkan itu, Sayang. Kamu akan mendapatkan cinta ayahmu seutuhnya." Kumari menggenggam lengan kecil itu. "Ibu melakukannya untukmu." Wanita itu menciumnya perlahan, lalu melepas gelang di kaki putrinya. "Tidak ada pengkhiatan yang berakhir bahagia. Kalian harus menuai apa yang telah ditanam!" Mata Kumari memerah, detak kebencian dan dendam mengalirkan darah ke seluruh tubuhnya. Bersambung ....Kemala berdiri di depan pintu kamarnya. Tangannya basah menggenggam alat tes kehamilan yang diberikan oleh Emeril. "Apa yang sedang kamu lakukan di sana?" Nadine menengok dari celah pintu yang terbuka.Kemala perlahan masuk, melihat kakaknya yang tengah duduk sembari memijat kening."Bagaimana keadaan Mbak sekarang?""Aku masih mual dan kepala terasa pening," jawab Nadine seadanya. Kemala kembali terdiam, hingga kakaknya melirik lagi dengan ekor mata."Kamu tidak sedang sakit gigi 'kan, Kemala? Bukan tipemu diam seperti itu. Katakanlah kalau ada sesuatu!" Nadine menarik wajahnya lagi dan melanjutkan pijatan."Mbak, tahu kan kalau aku selalu siap saat mbak membutuhkan bantuan?" ujar Kemala membuat tubuh Nadine berbalik dan memandangnya."Katakanlah! Aku tidak bisa menebak-nebak pikiranmu.""Emeril memberikan ini." Kemala membuka telapak tangannya. Alis Nadine berkerut. Tentu saja ia tahu alat apa itu."Aku memang wanita sewaan, tapi tidak semua pria aku tiduri." Nadine ingat betul, ha
"Turun!" Jeri menarik paksa pria yang baru saja dibawanya dari dalam mobil. Ia dibekuk untuk diserahkan ke pihak berwajib. "Lepaskan aku!" Pria itu tetap saja menolak. Namun, Jeri dan beberapa anak buahnya menyeret pria itu untuk masuk ke dalam kantor polisi. "Pekerjaan yang bagus." Emeril menepuk pundak asistennya itu. "Siap, Pak." "Selesaikan pekerjaanmu, aku ingin urusan ini cepat selesai." "Baik, Pak. Sekarang, kita sudah mendapatkan saksi yang kuat. Rekaman cctv dan pihak managent hotel pun akan segera datang untuk memberikan kesaksian. Saya yakin hari ini Mbak Nadine bahkan bisa terbebas dari tuduhan dan dilepaskan dari sel tahanan." "Oke. Aku akan menunggu." Jeri mengangguk cepat dan segera menyusul anak buahnya untuk memberi keterangan pada pihak kepolisian. Sebenanrya bisa saja Emeril membiarkan pihak penyidik yang melakukan ini, tapi tentu saja akan lama. "Kalau sudah begini tidak ada alasan lagi dari pihak penyidik untuk mengulur waktu," gumam Emeril. Beber
"Rencana itu spontan terucap begitu saja. Aku tidak bisa menghentikkan air mata bapak. Maafkan aku, jika telah lancang seperti ini dan memperkeruh suasana." Wajah Kemala tertunduk. Mereka kini berbicara empat mata di dalam mobil. "Aku tahu kamu tidak mungkin memilih wanita sepertiku untuk dijadikan istri. Aku sadar diri, Emeril. Namun, situasinya sudah seperti ini. Entah takdir apa yang telah Tuhan tuliskan untuk kita, tapi untuk menyelesaikan setiap masalah yang menerpa, bagaimana kalau kita menerima takdir ini.""Maksudmu dengan menikah?""Ya, Bukan pernikahan seperti yang lainnya. Simbiosis mutualisme, pernikahan ini hanya untuk itu. Bukankah kamu membutuhkanku untuk tetap bisa mempertahankan perusahaan? Dan aku membutuhkan bantuanmu untuk mengeluarkan kakakku dari penjara. Kita akan impas. Setelah semuanya kembali normal, kamu bisa melepasku lagi.""Heum!" Emeril berdecak tak percaya. "Sepicik itu kamu berpikir tentang pernikahan, Kemala! Aku tidak akan menikahi wanita yang tidak
Kemala tidak berhenti menatap pria yang berada di sampingnya, sekarang. Bukan karena tiba-tiba takjub apalagi jatuh cinta, hanya karena pria itu tengah menghubungi seseorang dan dia ikut menunggu jawabannya.[Kami menemukan identitasnya, Pak. Ibu Nerma ini adalah istri dari Pak Candra. Beliau salah satu pejabat kota dan sebelumnya gencar diberitakan ada skandal diantara Mbak Nadine dan Pak Candra.] Lapor salah tim IT yang diminta Emeril untuk menyelusuri identitas Nerma."Apa mungkin ini adalah sebuah jebakan yang sengaja dilakukan oleh ibu Nerma?" tanya Kemala."Ya, sepertinya begitu.""Terus bagaimana?" tanya Kemala lagi."Tidak ada jalan lain. Kita harus menyewa pengacara." Emeril mengendikkan bahunya dan mulai menyalakan mesin untuk beranjak dari hotel itu.Kemala menunduk lesu, tentu saja karena ia tidak punya uang untuk menyewa pengacara dan dari mana ia bisa mendapatkan uang sebanyak itu. Sedangkan, berita ini lambat laun pasti akan tercium media dan sampai pada bapaknya. Hanya
"Ayo!" Emeril berdiri di samping Nadine yang masih menenggelamkan kepala pada bantal kursi. Gadis itu sedikit mengangkat wajah, melihat Emeril sebentar sebelum kembali menelukupkannya ke tempat yang sama."Bukannnya kamu mau ke kantor polisi?" ujar Emeril lagi."Bagaimana kita bisa melewati mereka?" tanya Kemala, ia sudah mengintipnya sekali dari gorden. Bukannya pergi, jumlah mereka malah semakin banyak, menyusul berdatangan."Aku punya jalan lain," ujar Emeril lagi. Kemala hampir tidak percaya. Bisa saja pria itu hanya bercanda. "Aku tidak sedang membuat lelucon. Rumah ini punya jalan rahasia."Mata Kemala menyelidik, sekali lagi ia enggan percaya, tapi perasaannya untuk segera menemui Nadine tidak bisa ditahan. "Awas kalau kamu mengerjaiku!" Kedua bola mata itu hampir keluar, mengancam.Emeril berjalan lebih dulu diikuti Kemala. Ia keluar dari pintu samping yang langsung ke kamar Kemala. Mengendap untuk tidak terlihat. Setahu gadis itu di belakang rumah Emeril dibatasai dinding tem
Nadine terduduk di sebuah kursi, di depannya terdapat seorang pria yang sejak tadi menatapnya setelah mengajukan beberapa pertanyaan. Ia mencatat dan merekam secara detail semua penjelasan yang Nadine utarakan. Gadis itu tidak banyak bicara, ia masih syok dengan kejadian yang seperti mimpi, jelas tidak pernah terpikirkan olehnya akan duduk di kursi ini dengan status tersangka pencurian. Dia memang bukan wanita baik-baik, tapi tidak pernah sekali pun dalam hatinya terbersit untuk mengambil harta milik orang lain."Bersama siapa Anda datang, semalam?" tanya penyidik yang bertugas. Nadine yang menunduk sejak tadi memikirkan perihal orang yang menjebaknya, perlahan mengangkat wajah. Ia harus berpikir untuk menjawab pertanyaan penyidik itu, karena dirinya memang tidak mengenal pria yang ditemuinya semalam. Nadine hanya datang untuk menemaninya makan malam, pria itu mengaku bernama Abram, pengusaha kaya yang katanya memiliki kantor di mana-mana sampai peloksok Indonesia."Namanya Abram," ja
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen