Malam ini Kemala benar-benar menginap di apartemen mewah milik nenek itu. Ia bahkan hanya sekali membantunya, tapi sudah diperlakukan seperti ratu. Kemala merasa bahagia, ia menjatuhkan tubuhnya di atas kasur empuk dan wangi. Menciumi aromanya yang asing. Namun, sayang. Entah apa alasannya ia sulit untuk terlelap tidur dan merindukan aroma bantal guling lapuk miliknya. Ternyata, tidur di tempat mewah membuat tubuhnya sulit beradaptasi.
"Menyingkirlah!" Satu persatu Kemala melemparkan bantal guling ke atas lantai, membolak-balik tubuhnya agar mendapat posisi yang nyaman. Hampir setiap sudut ia coba dengan posisi yang berbeda. Nihil! matanya tetap saja terjaga. _______ Brugh! Dug! Dug! Mata Kemala yang baru saja terpejam langsung melotot. Ia menyapu sekeliling ruangan dan mulai ketakutan. " Mungkinkah ada maling masuk ke apartemen mewah ini?" tanyanya pada diri sendiri. Kemala mengendap keluar dari kamar. Tidak ada sesuatupun yang mencurigakan, tapi suara bising itu semakin kencang terdengar. Kemala berjalan ke arah pintu, tampak keributan terdengar dari luar. "Buka! Buka pintunya!" Kemala bisa mendengar jelas suara itu. Suara kakaknya yang sering ia dengar di media sosial. Gadis itu mengintip dari lubang pintu yang sengaja dibuat untuk melihat keadaan di luar, meski terbatas. "Mbak Nadine. Itu benar-benar dia!" Kemala sungguh tidak percaya dengan apa yang dilihatnya, Nadine berpakaian koyak dengan dan menjambak-jambak rambutnya sendiri. "Buka! Ibu, buka pintunya!" Pintu itu terus saja dipukul keras, hingga terlihat Nadine terduduk di sana dengan lemas. "Kemana saja kamu saat aku menjemputmu, tadi!" Suara Kumari terdengar keras dan menarik tubuh Nadine masuk ke dalam. "Bukankah sudah kukatkan agar kau tidak minum terlalu banyak!" "Berisik! Lepaskan aku!" "Kamu tidak pernah mengikuti arahanku, Nadine. Kamu bisa celaka dengan kelakuanmu ini!" "Aku tidak peduli." "Tapi, aku masih peduli!" Brugh! Nadine menjatuhkan dirinya sendiri ke atas kasur. Ia tidak lagi ingin mendengarkan ibunya yang hanya peduli terhadap uangnya dan bukan dirinya. ___________ "Kamu pasti terganggu dengan suara berisik itu 'kan? Seperti itu pula aku dan hampir setiap malam" Kemala segera berbalik dan melihat nenek yang keluar dari kamarnya. Ia menuangkan secangkir air putih. Kemala menghampirnya, dan nenek itu menuangkan air yang sama di gelas yang berbeda. "Sungguh Nadine seperti ini setiap malam, Nek?" "Ya, hampir setiap malam. Kadang juga pagi." Nenek meneguk air putih miliknya. "Tapi, aku lihat Nadine seperti orang yang begitu beruntung, Nek. Di istagram ia kerap kali memarkan kebahagiaannya." "Apa yang bisa kamu percaya dari sana. Orang-orang bisa lebih mudah pura-pura bahagia daripada menjalani kehidupan sesunggugnya." Kemala mengerti, ia hanya mengangguk dua kali dan menelan ludahnya yang terasa kering. "Minum lah dan kembali tidur, ini masih malam!" Nenek melihat jam yang masih menunjukkan pukul 02.00 pagi. Kemala kembali masuk ke dalam kamarnya. Ia hanya terbaring dengan mata menatap kosong ke atas langit-langit kamar. Kenyataan yang dilihatnya barusan seperti tamparan keras untuknya. Ia yang bersekolah dan sampai kuliah, meski dengan biaya terbatas bisa hidup lebih baik dibanding kakaknya yang hidup berantakan seperti itu dan setahu Kemala, kakanya bahkan hanya tamat Sekolah Menengah Atas. "Apakah semua yang diperlihatkan Mbak Nadine selama ini hanya kebahagiaan semu?" Otak Kemala yang terus memikirkan banyak hal membuatnya menjadi pusing, apalagi karena ia belum sempat tidur dengan benar sejak tadi malam dan ini hampir pagi. Perlahan, matanya yang berat tertutup juga. ________ "Bau apa ini, Nek?" "Apa?" "Sepertinya aku mencium aroma-aroma lain di sini." "Tajam sekali hidungmu. Ada seseorang yang menginap di kamarmu, Emeril." "Apa? Bagaimana mungkin di kamarku, Nek?" "Hanya malam ini. Itu adalah gadis yang menolongku dari jambret itu, kemarin." "Nenek yakin, dia bukan bagian dari komplotannya?" "Hus! Jaga bicaramu dia bisa mendengarnya." Kemala memicingkan telinganya. Samar-samar ia mendengar percakapan itu. "Apa? Siapa yang berani berbicara seperti itu padaku?" Kemala bangkit dari tidurnya, membuka pintu dan melihat seorang pria tengah berdiri bersama nenek itu. "Kamu sudah bangun?" Nenek menyapa Kemala. Pria itu berbalik dan mendelik pada Kemala. 'Kenapa dia menatapku seperti itu?' batin Kemala sama-sama sinis pada pria yang memandangnya tanpa berkedip, seperti mengintainya dari ujung rambut hingga telapak kaki gadis itu. "Nenek, apakah wanita ini yang Nenek maksud?" "Benar. Namanya Kemala. Kemari lah, Nak!" Kemala menghampiri Nenek dan melewati pria itu, mencibirnya dengan kesal. Begitu pun dengan Emeril. Ia segera masuk ke dalam kamarnya dan melihat semua kekacauan itu. "Nenek! Ada apa dengan kamarku?" teriak Emeril tidak terima. Kemala yang mendengar itu langsung menghampiri, matanya terbelalak. Ia lupa kalau semalam ia menjatuhkan semua penghuni kasur itu dan seprainya pun lepas dari kasurnya. Benar-benar amburadul. "Aku akan segera merapikan ini. Tunggu 5 menit!" ucap Kemala mengambil bantal yang tergeletak di lantai. "Tidak perlu. Aku akan melaundry semuanya!" Cegah Emeril. "Tidak perlu!" "Perlu!" "Tidak!" "Perlu!" Keduanya saling menarik bantal itu, satu sama lain. "Hentikan! Dan simpan guling itu!" Nenek datang untuk menghentikkan mereka. "Mari kita sarapan. Aku akan memasak untuk kalian." "Tidak perlu, Nek. Biar Emeril saja!" Pria itu cepat-cepat melepaskan guling yang dipegangnya. Kemala mengikuti keduanya. Ia duduk menunggu dengan nenek di kursi makan. "Jangan dengarkan dia. Sebenarnya hatinya sangat baik," bisik nenek. Kemala hanya tersenyum kecut. 'Kebaikan apa yang ada pada pria angkuh dan sombong seperti itu?' "Jadiii!" Emeril menyiapkan dua piring sarapan untuknya dan nenek. "Emeril!" ucap nenek menekan dengan mata yang membulat. "Dia kan bisa mengambilnya sendiri, Nek. Sudah untung aku buatkan." "Dia tamu, Nak!" "Ish! Menyusahkan saja!" Bibir Kemala berkerucut dengan tatapan mata sebal. Tangannya mengepal kesal, berkali-kali ia menahan tangannya yang sangat ingin memukul pria itu dari belakang. Namun, karena sang nenek yang sudah sangat baik padanya, ia berusaha menahan. 'Pria berbibir lemes seperti itu biasanya adalah keluarga bebek. Ya, benar. Dia sangat mirip dengan bebek. Bebek jantan!' umpat Kemala. "Tidak perlu berterimakasih," ujar Emeril sembari menyimpan kasar sarapan milik gadis itu. 'Dih! Siapa juga yang sudi berterimakasih!' batin Kemala geram. Makan pun jadi tidak selera, Emeril terus saja memperhatikan, ia bahkan beberapa kali menyindir dan menghitung setiap suapan yang masuk ke dalam mulut Kemala. 'Ya, ampun. Menyebalkan sekali!' "Kamu tidak suka makanannya, Kemala?"tanya nenek. Gadis itu menggeleng cepat. "Makannya enak, Nek. Hanya saja, sepertinya ada seseorang yang siap menghitung makanan ini menjadi tagihan." "Hahaha ..." Nenek tertawa lepas. Lalu, menggeleng. Ia melihat sorot mata Emeril yang tajam, begitu pun dengan Kemala. Keduanya tampak sedang berperang dalam diam sekarang. "Tidak perlu saling membenci berlebihan, karena cinta bisa saja datang setelahnya," seloroh nenek. "Iiih amit-amit!" Keduanya memekik bersamaan. Bersambung ....Berhari-hari semuanya terasa sepi, Kemala hanya keluar saat pagi, membuat sarapan dan merapikan rumah Emeril, tanpa kata apalagi lelucon. Pria itu hanya memperhatikan dalam diam, ia pun tidak banyak menegur dan membiarkan Kemala seperti itu. Siang hari hingga malam Kemala punya waktu bebas, ia lepas dari tugasnya sebagai pembantu di rumah pemuda kaya itu. Kemala memanfaatkan waktu senggangnya untuk belajar menghadapi sidang dan mencari informasi lowongan di beberapa media sosial, tentu saja ia harus memiliki pekerjaan setelah satu bulan berada di kamar yang ia tempati sekarang. Selain itu, rasa ingin berbakti pada bapaknya kian hari kian besar.[Aku akan datang sekarang!]Pagi ini, Emeril terlihat rusuh saat keluar dari kamar. Ia tampak serius dan sama sekali tidak mencicipi sarapannya seperti biasa. Kemala memperhatikannya dari dapur. Laki-laki itu langsung mengenakan kaos kaki dan sepatu."Tunggu!" Kemala bergegas mengejar, memberikan kotak makan.Emeril tidak menyahut ia hanya mene
"Di mana kamu tinggal?" Pria yang memperkenalkan dirinya sebagai Herman itu sedikit menoleh pada Nadine yang setengah sadar akan keadaannya sendiri. "Aku tidak punya tempat tinggal," jawab Nadine singkat. Kepalanya serasa mau pecah saat sedikit saja terjadi benturan karena kondisi jalan yang tidak rata. Untung saja Herman datang tepat waktu, dia yang mengaku sebagai paman Nadine itu menawarkan diri untuk mengemudi. Tentu saja mobil Nadine karena dia datang menggunakan kendaraan umum."Tinggal bersama paman saja, Nadine," ucapnya kemudian.Nadine enggan menanggapi, mulutnya terasa penuh. Sebuah cairan terasa mendesak naik ke atas. Gadis itu memukul pintu mobil, ia meminta untuk berhenti. Tangan kirinya sudah memegangi mulutnya sendiri."Iya, iya, sebentar!" Herman segera menepikan mobil yang dikendarainya. Nadine membukanya tanpa isyarat, menerobos begitu saja dan memuntahkan semuanya di trotoar. Ia bahkan tidak bisa bergeser sedikit saja ke rerumputan. Orang-orang yang sedang berjala
Nadine memutar setir mobil sembari membantingnya ke arah kiri. Ia sangat terlihat kacau sekarang, otaknya terasa mendidih dengan amarah dan kebencian. Terasa sebuah api meletup-letup di dalam dadanya, ia ingin meluapkan semua itu, namun entah dengan cara apa. Nadine hanya tahu kalau dirinya saat ini tengah terluka, sangat dalam, hingga tidak bisa mengungkapkan bagaimana rasanya. Tangannya yang memegang kemudi tampak bergetar, lajunya pun tidak terarah, matanya pudar dan terhalang air mata. Gadis itu merasa sendiri, entah kemana ia harus pergi.Tiiiiid! Sebuah mobil menyalakan klakson dengan nyaring. Nadine tidak peduli, ia tetap melajukan mobilnya ugal-ugalan tanpa arah. Banyak mobil yang memilih menghindar, ada juga yang menyalip dan meninggalkannya jauh. "Hentikkan mobilmu!" pekik seseorang dari kendaraan lain. Sayang, Nadine bahkan tidak ingin meliriknya. Ia tidak peduli pada siapapun, bahkan pada dirinya sendiri. Ia merasa mati bahkan sebelum menemui ajalnya sendiri.Mata Nadine
"Kamu yakin nggak mau ke Rumah Sakit?" tanya Emeril. Ia merasa ada sesuatu yang terjadi pada gadis ayamnya itu. 'Apa mungkin dia masih trauma?' batin pria itu bahkan bertanya-tanya. Ia pun terus memperhatikan Kemala dari kaca spion. Kemala hanya menggeleng pelan. Sejak diselamatkan dari penculikan itu, Kemala bungkam, ia tidak sebawel biasanya apalagi sampai rewel. Wajahnya masih menoleh pada kaca luar, padahal di sana sepi dan gelap."Bagaimana, Pak. Kita akan kemana?" tanya Jeri_orang kepercayaan Emeril sekaligus satu-satunya sahabat pria itu.Emeril melirik, pembicaraan mereka rupanya tidak didengar oleh Kemala. "Eheum!" Pria itu pura-pura berdehem. "Aku akan mengantarmu pulang, Kemala," ucap Emeril. Kemala menyeka air matanya yang sulit berhenti. Lalu, ia berbalik dan merespon Emeril yang kebingungan. "Turunkan saja aku di tempat yang terang dan ramai," jawab Kemala. Ini sudah pukul 04.00 pagi, matahari sebentar lagi akan terbit, Kemala pikir tidak masalah, ia hanya tinggal menun
[Kenapa kamu menggangguku di tengah malam seperti ini, Nadine?] Kumari mengangkat panggilan dari Nadine dengan malas. Ia hampir enggan membuka mata. Wanita itu tidak tahu kalau rahasia besar yang telah di sembunyikannya sudah terbongkar. [Kemala diculik, Bu,] jawab Nadine cepat.[Apa?! Apa maksdumu?] Wanita itu langsung terperanjat dari tidurnya, ia menarik kimono yang terjepit kakinya sendiri. "Ish!" Kumari bahkan hampir tersungkur. [Bagaimana kejadiannya, Nadine. Di mana kamu sekarang?][Kemala bertengkar dengan Bapak. Kemala pergi dan tidak pulang. Aku mencarinya dan mengajak dia pulang. Tapi, di perjalanan 3 orang pria menghadang kami, mereka membawa pergi Kemala, Bu. Aku sedang mengikuti mobil itu.][Kirimkan alamatmu sekarang!] perintah Kumari.[Iya, Bu.]Kumari langsung berganti pakaian. Ia bahkn menghubungi tangan kanannya. Sayangnya, panggilan itu tidak juga mendapat jawaban. "Kemana dia!" Wanita itu menyimpan kasar ponselnya di atas dasbord. Ia segera mengemudi dan mengikut
Langit sudah menjadi sangat gelap sekarang, Kemala termenung di samping motornya. Ia tidak punya tempat untuk kembali. Ke apartemen ibunya terasa tak mungkin, gadis itu tidak ingin menemui wanita yang telah melahirkannya sekarang. Jika, malam kemarin ia masih bisa pergi ke rumah Emeril, saat ini situasinya pun tidak mendukung.[Kamu tidak perlu datang lagi ke rumahku!] Pesan singkat pria itu membuat Kemala semakin terpuruk. Ia masih menggenggam ponselnya dengan tangan yang bergetar. Bingung dan tak tahu arah, sedangkan malam terus beranjak naik. Entah kesalahan apa yang dibuatnya pada Emeril, sepertinya ia tidak suka saat Kemala datang bersama Abian ke rumahnya tadi siang.Kemala tidak terbiasa berada di luar semalam ini. Sangat jarang dan bahkan tidak sama sekali. Hanya setelah keputusannya mencari sang ibu membuatnya kini berakhir pada penyesalan yang begitu dalam. Tapi, siapa yang sangka akan seperti ini. Tidak pernah terlintas sedikit pun dalam benaknya, rindu pada sang ibu akan b