"Ibu, aku akan ikut ibu!" Seorang gadis tomboy menguraikan rambutnya untuk pertama kali. Mengenakan dress pendek di atas lutut. Kakinya yang jenjang terlihat mulus. Meskipun, ia kurang nyaman dengan penampilan itu, tapi ia coba untuk bisa mendapatkan hati ibunya. Seorang ibu yang telah begitu lama meninggalkannya. Membiarkan ia tumbuh bersama seorang ayah yang hanya seorang penjual ayam.
"Apa yang sedang kamu lakukan dengan pakaian itu, Kemala! Cepat, pergi dari sini!" "Enggak. Aku ingin ikut ibu. Aku bisa seperti Mbak Nadine, jika itu bisa membuat ibu menyayangiku." Kumari menarik gadis itu dengan kasar, menyembunyikannya di balik dinding. "Apa yang sedang kamu pikirkan, Kemala. Tinggallah bersama bapakmu dan jadi anak baik untuknya. Kenapa kamu malah datang ke sini dengan pakaian seperti itu?" "Bukankah ini yang ibu suka dari Mbak Nadine? Dan aku bisa melakukannya lebih baik dari dia, Bu!" Plak! Satu tamparan mendarat di pipi gadis itu. "Pulang lah, Kemala! Belajar dengan baik dan juga pernah datang lagi!" "Tapi, kenapa, Bu? Aku juga putri ibu! Aku berhak mendapatkan cinta ibu seperti Mbak Nadine. Kenapa hanya dia yang mendapatkan perhatian dan kasih saya, Ibu." Kumari hanya diam, lalu meninggalkannya. "Bu! Aku juga ingin Ibu," teriak Kemala berurai air mata. Memandang punggung ibunya yang perlahan menghilang. "Bu, kenapa? Kenapa ibu tidak menginginka aku?" Kemala tertunduk lesu dengan air mata yang berjatuhan di atas lantai. Kemala berjalan gamang kembali ke toilet di mana ia menyimpan tasnya di sana. Memandang wajahnya di depan cermin. "Apa kurangnya aku, wajahku tak begitu buruk? Kenapa ibu lebih mencintai Mbak Nadine dari pada aku?" Kemala mencuci mukanya yang mengenakan riasan. "Percuma!" pekiknya marah, sembari menggosok kasar wajah itu. Lalu, ia mengenakan pakaiannya lagi. Celana jeans belel dengan kaos oblong yang habis cuci pakai sebagai andalannya. Ia pun mengikat rambutnya lagi dengan kencang. menyeka wajahnya yang masih penuh dengan air mata. Sungguh ia begitu marah pada keadaan. Kakaknya kerap kali membagikan kehidupannya yang mewah di media sosial, dengan kepribadian yang lebih terawat dan cantik. Sungguh jauh berbeda dengan dirinya yang hanya menggunakan motor butut milik bapaknya kemana-mana. "Argh! Aku bahkan harus membayar pakaian ini!" umpatnya sembari memasukkan dress yang baru saja ia pakai. Gadis itu menyewanya di tempat laundry. "Aku pikir ibu akan mempertimbangkanku, jika berpenampilan seperti Mbak Nadine! Ini benar-benar percuma!" Ia mengandong tas ransel miliknya dan keluar dari sana. Sebuah apartemen mewah tempat ibu dan kakaknya tinggal. "Nadine sedang tidak enak badan, Ma." Kemala melihat kakak dan ibunya turun dari apartemen mereka. "Hanya 3 jam saja, Nadine. Kamu bisa duduk manis di sana." "Tapi, Ma." "Sudahlah, jadi anak baik, Mama!" Kumari menepuk pundak gadis itu. Kemala yang melihat itu termenung tak mengerti, sebenarnya apa yang akan dilakukan kakaknya dengan pakaian seminim itu di malam sedingin ini. Pakaiannya lebih terbuka dari pakaian yang ia gunakan tadi. Pakaian yang menurutnya sangat seksi, tapi jauh lebih seksi dari pakaian Nadine saat ini. Kemala bahkan melihat dua pria tengah menunggu kakaknya, ibunya pun menghampiri mereka. "Hanya 3 jam. Aku harap kamu mengembalikannya dengan baik," ucap Kumari saat melepas Nadine bersama mereka menaiki mobil mewah. "Tidak akan lecet sama sekali, tenanglah!" jawab salah satu pria itu. Kumari kembali naik ke apartemannya. Kemala berjalan ke pintu luar, melihat mobil hitam mengkilat yang membawa kakanya pergi dari sana. "Mungkin aku memang kalah jauh dari Mbak Nadine, makanya ibu tetap tidak bisa menerima." Kemala menghembuskan napas sesalnya. Ia memutuskan untuk kembali pulang ke rumah bapaknya. "Bapak mungkin akan marah kalau aku pulang terlalu malam." Gadis itu mempercepat langkah kakinya. Ia mengendari motor bebek butut yang menjadi satu-satunya harta berharga milik mereka. "Jambret!" teriak seorang wanita tua menunjuk pada pria yang tengah berlari. Ia berlari ke arah Kemala. Tanpa pikir panjang gadis itu menginjak gas dan menabrak pria itu. Lalu, mengambil sebuah gelang yang di genggamnya erat. "Lepaskan itu atau aku menyeretmu hingga pemakaman di depan sana!" ancam Kemala, mengambilnya paksa. Jambret itu kembali bangkit dan lari tunggang langgang. Apalagi saat beberapa pria mengejarnya. "Ini milik, Nenek?" tanya Kemala memperlihatkan gelang yang baru saja diambilnya dari sang jambret. "Benar, Nak. Itu milik saya." Wanita tua itu sangat bahagia, ia bahkan mencium gelangnya berkali-kali. "Terimakasih." "Sama-sama, Nek." Kemala mengangguk tersenyum untuk membalas ucapan terimakasih wanita tua itu. "Aduh!" Kemala menepuk keningnya. "Bisa tidur di kandang ayam kalau jam segini aku belum pulang!" Gadis itu segera menginjak gas motornya dan asap terlihat mengepul di udara. Jam sudah menunjukkan pukul 22.00 malam saat Kemala tiba di rumahnya, ia sempat mampir untuk mengembalikan pakaian yang di sewa di tempat laundry sebelumnya. Gadis itu mematikan mesin motor, lalu mendorongnya hingga halaman, menaikkannya perlahan dan menyederkannya di teras. Lampu di dalam rumah sudah gelap, mungkin bapaknya sudah terlelap. Tapi, biasanya Pak Jaka tidak pernah mengunci pintunya. "Untung lah tidak dikunci. Lagian, siapa juga yang sudi masuk ke rumah ini," gumam Kemala sembari berjinjrit menghitung langkahnya di dalam ruangan gelap. "Dari mana saja kamu, Kemala?" Langkah gadis itu langsung terhenti. Lampu menyala dan seorang pria tengah berdiri tidak jauh darinya sekarang. "Apa kamu menemui ibumu lagi?" "Ibu bahkan enggan berbicara denganku." Kemala menjatuhkan dirinya di sofa usang. "Terus, kenapa kamu masih tetap ngeyel menemuinya?" "Memangnya ada yang salah dengan itu. Aku putrinya, kenapa tidak boleh menemui ibuku sendiri, Pak?" "Dia sudah memilih hidupnya sendiri bersama kakakmu, Kemala. Apa kamu tidak mengerti? Ibu mencampakkan kita dan memilih hidupnya yang berlimpah harta." "Ya, memangnya siapa yang tidak menginginkan itu, Pak. Aku pun mau hidup senang seperti Mbak Nadine. Tidak harus bau amis karena memotong dan membersihkan ayam-ayam itu!" Kemala bangkit dari tempat duduk, meninggalkan bapaknya yang masih berdiri memangku tangan. Brank! Pintu kamar reotnya bahkan bergetar saat gadis itu membantingnya kesal. Jaka hanya menghela napasnya yang berat saat melihat itu, "Kamu pantas berkata seperti itu, Nak. Bapak memang tidak bisa membahagiakanmu." Jaka duduk termenung di rumahnya. Puluhan tahun lalu yang penuh dengan kehangatan dan keceriaan istrinya Kumari. Namun, semua itu hancur saat mereka kembali dari Rumah Sakit dengan dua bayi yang harus ia bawa dari sana. "Maafkan aku, Sayang. Tapi, Diana hamil saat aku meninggalkannya dan itu adalah anakku." Kumari hanya diam membisu, tidak ada lagi kata yang ingin ia ucapkan pada pria di hadapannya kini. Dalam gendongan suaminya terlihat seorang bayi perempuan yang tengah tertidur. "Kumari. Kamu boleh menghukumku apa saja. Tapi, aku mohon ijinkan aku membesarkan anak ini." Kumari masih diam membisu, ia melihat bayi itu terlihat nyenyak di pangkuan ayahnya. Sedangkan, bayi di sampingnya terus menangis dan terlihat lapar. Bersambung ....Kemala berdiri di depan pintu kamarnya. Tangannya basah menggenggam alat tes kehamilan yang diberikan oleh Emeril. "Apa yang sedang kamu lakukan di sana?" Nadine menengok dari celah pintu yang terbuka.Kemala perlahan masuk, melihat kakaknya yang tengah duduk sembari memijat kening."Bagaimana keadaan Mbak sekarang?""Aku masih mual dan kepala terasa pening," jawab Nadine seadanya. Kemala kembali terdiam, hingga kakaknya melirik lagi dengan ekor mata."Kamu tidak sedang sakit gigi 'kan, Kemala? Bukan tipemu diam seperti itu. Katakanlah kalau ada sesuatu!" Nadine menarik wajahnya lagi dan melanjutkan pijatan."Mbak, tahu kan kalau aku selalu siap saat mbak membutuhkan bantuan?" ujar Kemala membuat tubuh Nadine berbalik dan memandangnya."Katakanlah! Aku tidak bisa menebak-nebak pikiranmu.""Emeril memberikan ini." Kemala membuka telapak tangannya. Alis Nadine berkerut. Tentu saja ia tahu alat apa itu."Aku memang wanita sewaan, tapi tidak semua pria aku tiduri." Nadine ingat betul, ha
"Turun!" Jeri menarik paksa pria yang baru saja dibawanya dari dalam mobil. Ia dibekuk untuk diserahkan ke pihak berwajib. "Lepaskan aku!" Pria itu tetap saja menolak. Namun, Jeri dan beberapa anak buahnya menyeret pria itu untuk masuk ke dalam kantor polisi. "Pekerjaan yang bagus." Emeril menepuk pundak asistennya itu. "Siap, Pak." "Selesaikan pekerjaanmu, aku ingin urusan ini cepat selesai." "Baik, Pak. Sekarang, kita sudah mendapatkan saksi yang kuat. Rekaman cctv dan pihak managent hotel pun akan segera datang untuk memberikan kesaksian. Saya yakin hari ini Mbak Nadine bahkan bisa terbebas dari tuduhan dan dilepaskan dari sel tahanan." "Oke. Aku akan menunggu." Jeri mengangguk cepat dan segera menyusul anak buahnya untuk memberi keterangan pada pihak kepolisian. Sebenanrya bisa saja Emeril membiarkan pihak penyidik yang melakukan ini, tapi tentu saja akan lama. "Kalau sudah begini tidak ada alasan lagi dari pihak penyidik untuk mengulur waktu," gumam Emeril. Beber
"Rencana itu spontan terucap begitu saja. Aku tidak bisa menghentikkan air mata bapak. Maafkan aku, jika telah lancang seperti ini dan memperkeruh suasana." Wajah Kemala tertunduk. Mereka kini berbicara empat mata di dalam mobil. "Aku tahu kamu tidak mungkin memilih wanita sepertiku untuk dijadikan istri. Aku sadar diri, Emeril. Namun, situasinya sudah seperti ini. Entah takdir apa yang telah Tuhan tuliskan untuk kita, tapi untuk menyelesaikan setiap masalah yang menerpa, bagaimana kalau kita menerima takdir ini.""Maksudmu dengan menikah?""Ya, Bukan pernikahan seperti yang lainnya. Simbiosis mutualisme, pernikahan ini hanya untuk itu. Bukankah kamu membutuhkanku untuk tetap bisa mempertahankan perusahaan? Dan aku membutuhkan bantuanmu untuk mengeluarkan kakakku dari penjara. Kita akan impas. Setelah semuanya kembali normal, kamu bisa melepasku lagi.""Heum!" Emeril berdecak tak percaya. "Sepicik itu kamu berpikir tentang pernikahan, Kemala! Aku tidak akan menikahi wanita yang tidak
Kemala tidak berhenti menatap pria yang berada di sampingnya, sekarang. Bukan karena tiba-tiba takjub apalagi jatuh cinta, hanya karena pria itu tengah menghubungi seseorang dan dia ikut menunggu jawabannya.[Kami menemukan identitasnya, Pak. Ibu Nerma ini adalah istri dari Pak Candra. Beliau salah satu pejabat kota dan sebelumnya gencar diberitakan ada skandal diantara Mbak Nadine dan Pak Candra.] Lapor salah tim IT yang diminta Emeril untuk menyelusuri identitas Nerma."Apa mungkin ini adalah sebuah jebakan yang sengaja dilakukan oleh ibu Nerma?" tanya Kemala."Ya, sepertinya begitu.""Terus bagaimana?" tanya Kemala lagi."Tidak ada jalan lain. Kita harus menyewa pengacara." Emeril mengendikkan bahunya dan mulai menyalakan mesin untuk beranjak dari hotel itu.Kemala menunduk lesu, tentu saja karena ia tidak punya uang untuk menyewa pengacara dan dari mana ia bisa mendapatkan uang sebanyak itu. Sedangkan, berita ini lambat laun pasti akan tercium media dan sampai pada bapaknya. Hanya
"Ayo!" Emeril berdiri di samping Nadine yang masih menenggelamkan kepala pada bantal kursi. Gadis itu sedikit mengangkat wajah, melihat Emeril sebentar sebelum kembali menelukupkannya ke tempat yang sama."Bukannnya kamu mau ke kantor polisi?" ujar Emeril lagi."Bagaimana kita bisa melewati mereka?" tanya Kemala, ia sudah mengintipnya sekali dari gorden. Bukannya pergi, jumlah mereka malah semakin banyak, menyusul berdatangan."Aku punya jalan lain," ujar Emeril lagi. Kemala hampir tidak percaya. Bisa saja pria itu hanya bercanda. "Aku tidak sedang membuat lelucon. Rumah ini punya jalan rahasia."Mata Kemala menyelidik, sekali lagi ia enggan percaya, tapi perasaannya untuk segera menemui Nadine tidak bisa ditahan. "Awas kalau kamu mengerjaiku!" Kedua bola mata itu hampir keluar, mengancam.Emeril berjalan lebih dulu diikuti Kemala. Ia keluar dari pintu samping yang langsung ke kamar Kemala. Mengendap untuk tidak terlihat. Setahu gadis itu di belakang rumah Emeril dibatasai dinding tem
Nadine terduduk di sebuah kursi, di depannya terdapat seorang pria yang sejak tadi menatapnya setelah mengajukan beberapa pertanyaan. Ia mencatat dan merekam secara detail semua penjelasan yang Nadine utarakan. Gadis itu tidak banyak bicara, ia masih syok dengan kejadian yang seperti mimpi, jelas tidak pernah terpikirkan olehnya akan duduk di kursi ini dengan status tersangka pencurian. Dia memang bukan wanita baik-baik, tapi tidak pernah sekali pun dalam hatinya terbersit untuk mengambil harta milik orang lain."Bersama siapa Anda datang, semalam?" tanya penyidik yang bertugas. Nadine yang menunduk sejak tadi memikirkan perihal orang yang menjebaknya, perlahan mengangkat wajah. Ia harus berpikir untuk menjawab pertanyaan penyidik itu, karena dirinya memang tidak mengenal pria yang ditemuinya semalam. Nadine hanya datang untuk menemaninya makan malam, pria itu mengaku bernama Abram, pengusaha kaya yang katanya memiliki kantor di mana-mana sampai peloksok Indonesia."Namanya Abram," ja