Pak Jaka menghampiri anaknya yang masih berdiri mematung di sana. Ia meraih hasil USG itu dan membacanya.
"Apa aku bukan anak ibu, Pak?" tanya Kemala begitu saja. Fakta ibunya yang lebih memilih kakaknya membuat ia berpikir seperti itu. Pak Jaka hanya diam. Ia menatap lekat manik-manik mata putrinya. "Maafkan bapak, Nak." Pak Jaka mencoba memeluk gadis di hadapannya, tapi Kemala menolak. Ia menepis tangan itu dan melihat mata bapaknya, tajam. "Siapa ibuku, Pak?" tanya Kemala. "Nak. Bapak akan ceritakan nanti." "Tidak!" Kemala menggelengkan kepalanya kuat-kuat. "Bukankah karena ini, ibu tidak menginginkanku, Pak, karena aku bukan anaknya?" "Kemala, dengar bapak dulu!" "Tidak, Pak. Selama ini, kalian sudah membohongiku, menyembunyikan ini di belakangku dan berkata bahwa aku dan Mbak Nadine adalah kembar. Pantas saja kami tidak pernah memiliki kemiripan! Bapak jahat!" Kemala menghentakkan kakinnya dan pergi begitu saja. "Kemala! Dengar dulu, Nak!" Kemala tidak bisa mendengar itu, ia berlari cepat keluar, menghidupkan motor milik bapaknya. Memaut gas dengan kencang. "Kemala!" Pak Jaka mengejar. Sayang, hanya asap mengepul itu yang tersisa dan menambah sesak di dada. "Kemala," panggilnya lagi lebih lirih. Dadanya tiba-tiba saja terasa sesak, kepalanya menjadi berat dan sakit, tatapannya berubah sangat buram. Kemarahan yang membawa Kemala pergi membuatnya sangat khawatir dan takut, hanya gadis itu satu-satunya teman hidup. Brugh! Tubuh bapak terjatuh dengan sendirinya. "Kemala, kembali lah, Nak!" _____ "Bagaimana mungkin! Bagimana mungkin aku bukan anak ibu?" Kemala menggelengkan kepalanya berkali-kali. Air matanya beterbangan tersapu angin. Ia sungguh tidak pernah menduga kalau dia dan Nadine tidak lahir dari rahim yang sama. Kemala mengecap perih kehidupannya. Ia benar-benar kalut dan tidak tahu apa yang harus dilakukan. Gadis itu limpung, bingung kemana harus pergi. Ia hanya membawa tubuhnya ke sembarang arah, berharap angin bisa membawa lepas lukanya yang perih. "Ibu, aku ingin ibu." Bibir Kemala bergetar. Kehilangan kasih sayang ibunya sejak kecil, membuat gadis itu merasakan kehampaan dan kehidupan yang pincang. Kemala menyeka air matanya yang terus berjatuhan saat ponsel yang ia bawa di dalam saku, tiba-tiba bergetar. Berkali-kali hingga membuat gadis itu sejenak menepi. "Mang Dayat? Ada apa?" gumamnya saat melihat nama kontak di layar ponselnya. Mang Dayat adalah tetangga paling dekat dengan rumahnya. [Neng, Neng Kemala!] [Iya, Mang. Ada apa?] [Bapak Neng. Pak Jaka jatuh di depan rumah. Sekarang saya sedang dalam perjalanan ke rumah sakit.] [Apa?] [Cepat susul kami ya, Neng.] [Iya, iya, pak.] Kemala tidak berpikir panjang, menyeka habis air mata yang meluruhkan kesedihan. Gadis itu segera memutar balik motor bututnya dan memaut gas lebih kencang dari sebelumnya. Suaranya yang bising bahkan mendapat ejekan dari pengendara lain. Tapi, Kemala tidak peduli. Baginya keselamatan bapaknya adalah yang utama. Dia harus memastikan kalau bapaknya bisa mendapatkan perawatan medis dan sembuh kembali. "Di mana bapak, Mang?" "Masih di dalam, Neng." Kemala mengatur napasnya yang ngos-ngosan, ia benar-benar datang cepat. "Bagaimana keadaannya tadi, Mang?" "Bapak tidak sadarkan diri, Neng." "Apa?" Kemala semakin syok saat mendengar kabar itu. Padahal, sebelum ia pergi pria itu masih baik-baik saja. "Apa mungkin bapak sakit gara-gara aku mempertanyakan tentang ibu?" Kemala berpikir keras. Rupanya memberontakan itu hanya membuat bapaknya jatuh sakit. "Arrgh! Aku terlalu ceroboh!" Kemala menyalahkan dirinya sendiri. Meremas rambutnya dan duduk di kursi. Ia menyesal karena bersikap seperti itu. "Kalau ada apa-apa dengan bapak, ini semua salahmu, Kemala!" Gadis itu terus saja menyalahkan dirinya. "Aku tidak peduli! Aku tidak peduli lagi! Siapa pun ibuku, tolong selamatkan bapak, Tuhan. Maafkan aku," lirihnya mengiba. Dalam hatinya ia tidak ingin mempertanyakan hal itu lagi. Hidup bersama kasih sayang bapaknya sudah jauh lebih dari cukup untuknya sekarang. "Keluarga Pak Jaka?" panggil seorang Suster. "Iya, Sus. Saya putrinya." Kemala langsung bangkit berdiri. "Maaf, Mbak. Pak Jaka mengalami pecah pembuluh darah karena tekanan darah tinggi yang naik secara drastis ke otaknya. Kami harus segera mengambil tindakan untuk itu. Namun, biayanya cukup lumayan. Anda harus membayar 7 juta untuk di muka." "Tujuh juta?" tanya Kemala gugup. Dari mana ia bisa mendapatkan uang sebanyak itu? "Benar, Mbak. Kami tunggu pembayarannya sampai malam." Kemala semakin pusing, uang sebesar itu dengan waktu yang teramat singkat, pada siapa dia bisa meminjamnya? "I-ya, Suster. Lakukan saja yang terbaik untuk bapak saya. Saya akan segera datang dan membawa uangnya." Kemala melihat Pak Dayat yang melongo. Ia pun sama-sama bingung memikirkan itu. Uang sejumlah itu bagi mereka sangatlah besar. "Bagaimana ini, Neng?" tanya Pak Dayat. "Titip bapak sebentar ya, Mang." Kemala berucap lesu sembari meninggalkan lelaki itu. Ia berjalan limpung, entah kemana harus meminjam uang. Dalam benaknya saat ini hanya wajah ibunya yang terbayang. "Mungkin ibu atau Mbak Nadine bisa membantu?" ucap Kemala. Ia menyingkirkan tentang perasaannya. Terutama kejelasan statusnya itu. Bagi dia dua wanita itu adalah tetap keluarganya. Gadis itu kembali melajukan motornya, ia datang ke apartemen tempat Kumari dan Nadine tinggal. Naik ke lantai 3 dan mengetuk pintu kamar itu. Berkali-kali tanpa jeda, namun yang membuka pintu adalah kakaknya. "Kemala? Apa yang sedang kamu lakukan di sini?" "Aku ingin menemui ibu, Mbak." "Ibu sedang tidak ada di rumah. Pergi, entah kemana. Ponselnya pun tidak bisa dihubungi." "Benarkah? Kalau begitu aku ingin berbicara dengan Mbak Nadine saja." Wanita itu terlihat bingung, namun ia tetap menerima adiknya untuk masuk ke dalam. "Ada apa?" "Bapak sakit, Mbak. Pembuluh darahnya pecah. Beliau membutuhkan tindakan medis sekarang. Tapi, pihak rumah sakit meminta uang pembayarannya di muka sebesar 7 juta." "Sebesar itu?" Kemala mengangguk. "Apa Mbak Nadine punya uang, Kemala pinjam, Mbak. Janji, Kemala akan segera mencari kerja sampingan dan mengembalikannya." Gadis itu meyakinkan. "Tapi, aku tidak punya uang sebanyak itu, Kemala." "Terus, bagaimana, Mbak?" Kemala hampir putus asa. Air matanya berderai. Wajah bapaknya terus melambai-lambai dalam pandangan. "Sebenarnya Mbak ada kerjaan sekarang. Tapi, upahnya tidak sebesar itu." Nadine pun ikut bingung. "Bagaimana kalau aku ikut Mbak Nadine kerja?" ucap Kemala. Uhuk! Nadine tersedak ludahnya sendiri. "Kamu yakin?" "Yakin, Mbak. Kemala akan melakukan apa saja untuk bapak." "Apa kamu tahu pekerjaanku?" Kemala menggeleng. "Aku sempat melihat Mbak Nadine menggunakan pakain minim saat malam hari. Apakah pekerjaannya seperti itu?" "Eum ... ya kurang lebih seperti itu." "Terus, apa yang kita lakukan di sana, Mbak?" "Ya, kamu tinggal menemani seseorang saja." "Menemani?" "Benar. Aku akan mencarikan klien yang baik untukmu. Kamu hanya cukup berdandan cantik dan menemani seseorang yang menjadi klienmu saja, Kemala." "Menemani? Hanya itu?" Kemala mengulang pertanyaannya. Nadine hanya tersenyum canggung. "Baiklah, Mbak. Aku harus bisa melakukannya, ini demi kesembuhan bapak," jawab Kemala saat bayangan lelaki yang sangat dicintainya itu terus saja terbayang. "Baik lah kalau begitu. Aku akan mendandanimu dan meminjankan baju." Nadine membawa Kemala ke kamarnya. Ia benar-benar memoles wajah adiknya hingga hampir mirip dengannya. "Lumayan!" Nadine berdecak. "Pakai ini!" Kemala terpaksa menurut. Ia mengenakan pakaian yang sangat seksi. Mirip sekali dengan pakaian yang digunakan Nadine malam itu. "Apakah ini tidak terlalu terbuka, Mbak?" "Justru itu yang disukai para klien kita. Kamu harus segera di booking untuk mendapatkan uang." Nadine memotret gadis itu dan mengirimkannya pada mitra kerjanya. [Baiklah, bawa saja! Dia lumayan.] Balasan pesan dari sana. "Bagus, kamu di terima. Tunggu sebentar!" Nadine pun berdandan. Ia terlihat lebih terampil karena sudah terbiasa. Wanita itu mengenakan pakaian yang sama terbukanya dengan Kemala, hanya berbeda model dan warnanya saja. "Gunakan ini!" Nadine memberikan Kemala cardigan untuk menutupi pakaiannya yang terlalu terbuka. Lalu, keduanya turun. Kemala hanya menundukkan kepalanya sepanjang berjalan turun dari apartemen. Ia benar-benar malu berpakaian seperti itu. Namun sekali lagi, demi sang bapak ia menguatkan dirinya. "Masuk lah, Kemala!" Nadine meminta gadis itu untuk masuk ke dalam mobilnya. Gadis itu menurut. Pikirannya buntu, ia tidak bisa berpikir lebih jernih dari ini. Beberapa meter dari sana Emeril melihatnya. "Bukankah itu adalah gadis tomboy yang semalam mengancak kamarku di apartemen, Nenek? Kenapa dia berpenampilan seperti itu dan ikut dengan Nadine?" "Mungkinkah?" Emeril memiringkan kepalanya untuk berpikir. "Apa dia akan mengikuti jejak wanita yang menghasilkan uang dari pria-pria hidung belang itu?" Emeril tahu betul pekerjaan Nadine karena nenek selalu menceritakannya. "Bukankah sudah kukatakan pada nenek kalau gadis itu bermasalah. Kenapa nenek masih tetap bersikeras kalau dia adalah gadis baik?" Emeril hanya berbicara pada dirinya sendiri. Lalu, mobil yang dikendarai oleh Nadine melewatinya. Kemala masih terlihat menundukkan wajah. Ia tahu apa yang dilakukannya sekarang adalah salah. Namun, sungguh ia lemah. Bersambung ....Berhari-hari semuanya terasa sepi, Kemala hanya keluar saat pagi, membuat sarapan dan merapikan rumah Emeril, tanpa kata apalagi lelucon. Pria itu hanya memperhatikan dalam diam, ia pun tidak banyak menegur dan membiarkan Kemala seperti itu. Siang hari hingga malam Kemala punya waktu bebas, ia lepas dari tugasnya sebagai pembantu di rumah pemuda kaya itu. Kemala memanfaatkan waktu senggangnya untuk belajar menghadapi sidang dan mencari informasi lowongan di beberapa media sosial, tentu saja ia harus memiliki pekerjaan setelah satu bulan berada di kamar yang ia tempati sekarang. Selain itu, rasa ingin berbakti pada bapaknya kian hari kian besar.[Aku akan datang sekarang!]Pagi ini, Emeril terlihat rusuh saat keluar dari kamar. Ia tampak serius dan sama sekali tidak mencicipi sarapannya seperti biasa. Kemala memperhatikannya dari dapur. Laki-laki itu langsung mengenakan kaos kaki dan sepatu."Tunggu!" Kemala bergegas mengejar, memberikan kotak makan.Emeril tidak menyahut ia hanya mene
"Di mana kamu tinggal?" Pria yang memperkenalkan dirinya sebagai Herman itu sedikit menoleh pada Nadine yang setengah sadar akan keadaannya sendiri. "Aku tidak punya tempat tinggal," jawab Nadine singkat. Kepalanya serasa mau pecah saat sedikit saja terjadi benturan karena kondisi jalan yang tidak rata. Untung saja Herman datang tepat waktu, dia yang mengaku sebagai paman Nadine itu menawarkan diri untuk mengemudi. Tentu saja mobil Nadine karena dia datang menggunakan kendaraan umum."Tinggal bersama paman saja, Nadine," ucapnya kemudian.Nadine enggan menanggapi, mulutnya terasa penuh. Sebuah cairan terasa mendesak naik ke atas. Gadis itu memukul pintu mobil, ia meminta untuk berhenti. Tangan kirinya sudah memegangi mulutnya sendiri."Iya, iya, sebentar!" Herman segera menepikan mobil yang dikendarainya. Nadine membukanya tanpa isyarat, menerobos begitu saja dan memuntahkan semuanya di trotoar. Ia bahkan tidak bisa bergeser sedikit saja ke rerumputan. Orang-orang yang sedang berjala
Nadine memutar setir mobil sembari membantingnya ke arah kiri. Ia sangat terlihat kacau sekarang, otaknya terasa mendidih dengan amarah dan kebencian. Terasa sebuah api meletup-letup di dalam dadanya, ia ingin meluapkan semua itu, namun entah dengan cara apa. Nadine hanya tahu kalau dirinya saat ini tengah terluka, sangat dalam, hingga tidak bisa mengungkapkan bagaimana rasanya. Tangannya yang memegang kemudi tampak bergetar, lajunya pun tidak terarah, matanya pudar dan terhalang air mata. Gadis itu merasa sendiri, entah kemana ia harus pergi.Tiiiiid! Sebuah mobil menyalakan klakson dengan nyaring. Nadine tidak peduli, ia tetap melajukan mobilnya ugal-ugalan tanpa arah. Banyak mobil yang memilih menghindar, ada juga yang menyalip dan meninggalkannya jauh. "Hentikkan mobilmu!" pekik seseorang dari kendaraan lain. Sayang, Nadine bahkan tidak ingin meliriknya. Ia tidak peduli pada siapapun, bahkan pada dirinya sendiri. Ia merasa mati bahkan sebelum menemui ajalnya sendiri.Mata Nadine
"Kamu yakin nggak mau ke Rumah Sakit?" tanya Emeril. Ia merasa ada sesuatu yang terjadi pada gadis ayamnya itu. 'Apa mungkin dia masih trauma?' batin pria itu bahkan bertanya-tanya. Ia pun terus memperhatikan Kemala dari kaca spion. Kemala hanya menggeleng pelan. Sejak diselamatkan dari penculikan itu, Kemala bungkam, ia tidak sebawel biasanya apalagi sampai rewel. Wajahnya masih menoleh pada kaca luar, padahal di sana sepi dan gelap."Bagaimana, Pak. Kita akan kemana?" tanya Jeri_orang kepercayaan Emeril sekaligus satu-satunya sahabat pria itu.Emeril melirik, pembicaraan mereka rupanya tidak didengar oleh Kemala. "Eheum!" Pria itu pura-pura berdehem. "Aku akan mengantarmu pulang, Kemala," ucap Emeril. Kemala menyeka air matanya yang sulit berhenti. Lalu, ia berbalik dan merespon Emeril yang kebingungan. "Turunkan saja aku di tempat yang terang dan ramai," jawab Kemala. Ini sudah pukul 04.00 pagi, matahari sebentar lagi akan terbit, Kemala pikir tidak masalah, ia hanya tinggal menun
[Kenapa kamu menggangguku di tengah malam seperti ini, Nadine?] Kumari mengangkat panggilan dari Nadine dengan malas. Ia hampir enggan membuka mata. Wanita itu tidak tahu kalau rahasia besar yang telah di sembunyikannya sudah terbongkar. [Kemala diculik, Bu,] jawab Nadine cepat.[Apa?! Apa maksdumu?] Wanita itu langsung terperanjat dari tidurnya, ia menarik kimono yang terjepit kakinya sendiri. "Ish!" Kumari bahkan hampir tersungkur. [Bagaimana kejadiannya, Nadine. Di mana kamu sekarang?][Kemala bertengkar dengan Bapak. Kemala pergi dan tidak pulang. Aku mencarinya dan mengajak dia pulang. Tapi, di perjalanan 3 orang pria menghadang kami, mereka membawa pergi Kemala, Bu. Aku sedang mengikuti mobil itu.][Kirimkan alamatmu sekarang!] perintah Kumari.[Iya, Bu.]Kumari langsung berganti pakaian. Ia bahkn menghubungi tangan kanannya. Sayangnya, panggilan itu tidak juga mendapat jawaban. "Kemana dia!" Wanita itu menyimpan kasar ponselnya di atas dasbord. Ia segera mengemudi dan mengikut
Langit sudah menjadi sangat gelap sekarang, Kemala termenung di samping motornya. Ia tidak punya tempat untuk kembali. Ke apartemen ibunya terasa tak mungkin, gadis itu tidak ingin menemui wanita yang telah melahirkannya sekarang. Jika, malam kemarin ia masih bisa pergi ke rumah Emeril, saat ini situasinya pun tidak mendukung.[Kamu tidak perlu datang lagi ke rumahku!] Pesan singkat pria itu membuat Kemala semakin terpuruk. Ia masih menggenggam ponselnya dengan tangan yang bergetar. Bingung dan tak tahu arah, sedangkan malam terus beranjak naik. Entah kesalahan apa yang dibuatnya pada Emeril, sepertinya ia tidak suka saat Kemala datang bersama Abian ke rumahnya tadi siang.Kemala tidak terbiasa berada di luar semalam ini. Sangat jarang dan bahkan tidak sama sekali. Hanya setelah keputusannya mencari sang ibu membuatnya kini berakhir pada penyesalan yang begitu dalam. Tapi, siapa yang sangka akan seperti ini. Tidak pernah terlintas sedikit pun dalam benaknya, rindu pada sang ibu akan b