"Aish! Kenapa dia begitu mengkhawatirkan!" Emeril memukul lemah kemudinya. Ia yang datang untuk menemui nenek memutar setir mobilnya lagi. "Seharusnya aku tidak ikut campur 'kan? Biarkan saja dia!" Emeril memindahkan gigi mobil dan menginjak gas lebih dalam untuk menyusul mobil Nadine.
"Aku hanya ingin melihatnya saja, setelah itu pergi!" Pria itu hanya berbicara sendiri. Lalu, melesat menyusul mereka. __________ Mobil Nadine sampai di sebuah Bar. Kemala melihat lorong tempatnya mauk begitu redup, padahal di luar masih terang. Ia masih mengikuti Nadine masuk ke dalam. Di sana ada beberapa pria yang tengah duduk dengan wanitanya. Perpakaian seksi mirip seperti dirinya. "Titip dia, sebentar," ucap Nadine pada bartender. "Oke." Seorang pria tersenyum pada Kemala. Gadis itu sangat canggung dan mencoba menarik kursi untuk tempatnya duduk. "Minumlah!" Pria itu menyodorkannya minuman. Kemala bisa mencium bau alkohol dari air di gelas itu. Ia segera menggeleng cepat. Tubuh Kemala bergetar, selain kedinginan ia pun ketakutan. Tempat seperti ini benar-benar asing untuknya. Mata gadis itu melirik sekitar. Wanita-wanita seksi itu terlihat menemani pria-pria di sana, menyuguhkan minuman dan tertawa, duduk rapat dan sesekali meraba tubuh si pria, bahkan tidak sedikit yang menciumi wanitanya. Tubuh Kemala semakin bergetar, pikirannya kalut, dan kepalanya terasa berputar. "Apa yang sedang kulakukan di sini!" Kemala mencerca dirinya sendiri. "Bapak pasti akan sangat kecewa dengan kelakuanku!" Kemala turun dari kursi tempat duduknya sekarang. Ia berjalan cepat sembari menunduk untuk keluar. Brugh! Tubuhnya menabrak seseorang, cardigan yang ia gunakan terjatuh. "Maaf." Kemala tidak ingin menegakkan wajahnya, dalam pikirannya ia harus segera pergi dari sana. "Hei, kenapa terburu-buru gadis cantik?" Pria itu menarik tangan Kemala. "Lepaskan aku!" ujar Kemala. "Tidak perlu jual mahal seperti itu, Nona. Aku bisa membayarmu lebih." Tangan pria itu menggerayang menyentuh pundak Kemala yang polos. "Lepaskan aku!" Kemala menepisnya dan mundur. "Hei! Berani sekali kamu!" Mata pria itu melotor marah, Kemala bisa melihat itu. "Jangan coba-coba menolakku dan berbuat kebodohan!" Pria itu kembali menarik tangan Kemala. Kemala berusaha melepaskannya, tapi cengkraman pria itu sangat kencang. "Lepaskan dia!" Emeril datang tepat waktu. "Siapa kamu?" "Aku prianya!" Kemala melihat pria di sampingnya, si bebek jantan yang menyebalkan. 'Bagaimana mungkin dia bisa berada di tempat seperti ini? Apa dia sama saja dengan pria-pria itu?' batin Kemala. Tanpa kata lagi, Emeril langsung meraih tangan Kemala, menariknya cepat keluar hingga gadis itu terseret. Ia yang menggunakan sepatu berhak tinggi kesulitan untuk berjalan. Di bawah sana, Nadine melihat pertengkaran ketiganya, dan dia hanya diam. "Lepaskan aku!" Kemala menarik kuat tangannya yang dicengkram Emeril. "Aw!" Ia memekik sakit kakinya yang lecet, lalu membukanya, dan menjinjingnya begitu saja. "Terimakasih atas bantuanmu!" ujar Kemala berjalan polos tanpa alas kaki. Emeril melihat gadis itu. "Hah!" Ia menghembuskan napasnya lagi. "Gunakan ini! Kamu akan diteriaki orang gila, jika berjalan dengan pakaian seperti itu tanpa alas kaki." Emeril menyusul Kemala dan memberikan jas nya. "Tidak perlu!" tolak Kemala. "Pakai saja dan berikan pada nenek! Kamu harus punya alasan untuk bertemu dengannya dan mengatakan kebaikanku hari ini!" Kemala terdiam saat mendengarnya, tapi lelaki itu langsung pergi tanpa menoleh lagi. "Kesambet apa dia?" umpat Kemala. "Tapi, lumayan. Setidaknya aku tidak terlalu malu dengan pakaian seperti ini. Kemala menaiki angkutan umum menuju apartemen. Langit sudah mulai gelap, tapi ia masih belum mendapatkan uang itu. Kepala Kemala kembali terasa sakit. "Apa yang harus aku lakukan?" Gadis itu berdiri termenung di parkiran motornya. Ia benar-benar bingung. "Kenapa aku tidak bisa bertahan sebentar saja di sana?" Ia menyalahkan dirinya sendiri. Bingung dengan sikap apa yang harus diambilnya. "Kemala!" Kepala gadis itu langsung terangkat, ia melihat ibunya berdiri di hadapannya kini. Plak! Satu tamparan mendarat di pipinya. Kemala menunduk merasakan panas di area sana. "Apa hanya ini yang bisa kamu lakukan, Kemala?" "Bapak, sakit, Bu. Kemala membutuhkan uang untuk biaya rumah sakit." "Tapi, bukan berarti dengan cara seperti ini, Kemala! Pakai otakmu!" "Kemala tidak tahu harus melakukan apa yang bisa menghasilkan uang banyak dalam waktu cepat." "Aku akan membayar biaya rumah sakit pria merepotkan itu. Pulang dan ganti pakaianmu!" Kumari memberikan segepok uang. "Ini terlalu banyak, Bu." Baru kali ini Kemala memegang uang sebanyak itu. "Anggap saja ini adalah uang bayaranmu! Jangan pernah datang lagi dan menggangguku bersama Nadine. Pergilah sejauh mungkin yang kamu bisa dari kami!" Kumari langsung pergi setelah berbicara. Gadis itu mengambil pakaiannya di dalam jok motor, ikut ke kamar mandi untuk sekedar berganti pakaian dan menitipkan pakain Nadine ke penjaga apartemen. Ia berjalan gontai meninggalkan bangunan mewah bertingkat itu. Diperlakukan begitu oleh wanita yang ia anggap ibunya terasa begitu perih, namun setidaknya ia sudah mendapatkan uangnya untuk membayar Rumah Sakit dan menyelamatkan bapaknya. Kemala bergegas kembali ke Rumah Sakit, ia harus segera membayar semua adminidtrasi perawatan bapaknya. Gadis itu langsung menuju meja resepsionis dan menanyakan jumlah uang yang harus ia bayarkan. "Sebentar. Saya siapakan dulu." Suster yang kebagian piket malam menyerahkan beberapa lembar kertas sebagai rincian pembayaran. Uang yang didapatkan Kemala dari ibunya masih banyak bersisa. Ia menyimpannya hati-hati, barangkali ada biaya tambahan yang harus dibayarkan lagi. "Mang Dayat? Bagaimana keadaan bapak?" Kemala menghampiri sahabat setia bapaknya yang masih duduk di sana. "Amang masih belum bisa melihatnya, Neng." "Kita tunggu sebentar lagi. Kemala sudah membayar semua biayanya." "Syukurlah kalau begitu." Mang Dayat memilih untuk tidak banyak bertanya tentang uang itu, mereka berdua masih duduk menunggu di sana, di hadapan sebuah ruangan di mana Pak Jaka di rawat dan mendapatkan tindakan medis. Tiga puluh menit menunggu keduanya akhirnya diperbolehkan untuk menemui Pak Jaka. Kemala berdiri paling depan saat ia mendorong pintu, wajahnya bapaknya tersenyum kecil menyambut. "Bapak!" Kemala menghambur. "Nak," ucapnya lemah mengelus lembut rambut putrinya yang menyelusup di sana. "Dayat." Bapak menyapa sahabatnya. Mang Dayat menyeka air mata sembari memegangi kaki lelaki itu. "Terimakasih, bapak sudah bertahan dan bangun lagi," lirih Kemala yang tidak bisa menahan air matanya. "Apa bapak telah membuatmu sangat takut?" Kemala mengangkat kepalanya, cemberut dan merajuk, "Bukan lagi membuat takut, tapi hampir jantungan!" "Kamu terlalu penakut," ejeknya. Meski baru saja lolos dari kematian, lelaki itu masih saja bisa mengajak putrinya bercanda. "Besok pagi kita akan pulang." "Tidak!" Geleng Kemala cepat. "Kita harus pulang sebelum diusir, Kemala. Darimana kita punya uang untuk membayar Rumah Sakit ini?" Pak Jaka berbisik. "Tidak ada yang akan berani mengusir kita, Bapak harus dirawat di rumah sakit ini sampai sembuh." "Darimana kamu mendapatkan uang itu, apakah dari ibumu?" "Dari mana lagi? Tenang saja, Kemala akan membayarnya, Pak." "Husst! Itu urusanku dengan ibumu. Fokus saja dengan kuliahmu! Aku sudah habis uang membiayai sekolahmu itu, cepatlah lulus!" "Ish! Baru juga sembuh!" Kemala memenyengkan bibirnya. Mang Dayat pamit pulang, Kemala tidur di ruangan itu bersama bapaknya malam ini. Ia memeluk tangannya dan tidak ingin sebentar saja untuk melepaskannya. Obat pelipur laranya hari ini, dia bisa bersama bapaknya lagi. Semua kesulitan dan kesedihan bisa ia lewati, tapi tidak untuk kehilangan pria yang paling dicintainya itu. Bersambung...Kemala berdiri di depan pintu kamarnya. Tangannya basah menggenggam alat tes kehamilan yang diberikan oleh Emeril. "Apa yang sedang kamu lakukan di sana?" Nadine menengok dari celah pintu yang terbuka.Kemala perlahan masuk, melihat kakaknya yang tengah duduk sembari memijat kening."Bagaimana keadaan Mbak sekarang?""Aku masih mual dan kepala terasa pening," jawab Nadine seadanya. Kemala kembali terdiam, hingga kakaknya melirik lagi dengan ekor mata."Kamu tidak sedang sakit gigi 'kan, Kemala? Bukan tipemu diam seperti itu. Katakanlah kalau ada sesuatu!" Nadine menarik wajahnya lagi dan melanjutkan pijatan."Mbak, tahu kan kalau aku selalu siap saat mbak membutuhkan bantuan?" ujar Kemala membuat tubuh Nadine berbalik dan memandangnya."Katakanlah! Aku tidak bisa menebak-nebak pikiranmu.""Emeril memberikan ini." Kemala membuka telapak tangannya. Alis Nadine berkerut. Tentu saja ia tahu alat apa itu."Aku memang wanita sewaan, tapi tidak semua pria aku tiduri." Nadine ingat betul, ha
"Turun!" Jeri menarik paksa pria yang baru saja dibawanya dari dalam mobil. Ia dibekuk untuk diserahkan ke pihak berwajib. "Lepaskan aku!" Pria itu tetap saja menolak. Namun, Jeri dan beberapa anak buahnya menyeret pria itu untuk masuk ke dalam kantor polisi. "Pekerjaan yang bagus." Emeril menepuk pundak asistennya itu. "Siap, Pak." "Selesaikan pekerjaanmu, aku ingin urusan ini cepat selesai." "Baik, Pak. Sekarang, kita sudah mendapatkan saksi yang kuat. Rekaman cctv dan pihak managent hotel pun akan segera datang untuk memberikan kesaksian. Saya yakin hari ini Mbak Nadine bahkan bisa terbebas dari tuduhan dan dilepaskan dari sel tahanan." "Oke. Aku akan menunggu." Jeri mengangguk cepat dan segera menyusul anak buahnya untuk memberi keterangan pada pihak kepolisian. Sebenanrya bisa saja Emeril membiarkan pihak penyidik yang melakukan ini, tapi tentu saja akan lama. "Kalau sudah begini tidak ada alasan lagi dari pihak penyidik untuk mengulur waktu," gumam Emeril. Beber
"Rencana itu spontan terucap begitu saja. Aku tidak bisa menghentikkan air mata bapak. Maafkan aku, jika telah lancang seperti ini dan memperkeruh suasana." Wajah Kemala tertunduk. Mereka kini berbicara empat mata di dalam mobil. "Aku tahu kamu tidak mungkin memilih wanita sepertiku untuk dijadikan istri. Aku sadar diri, Emeril. Namun, situasinya sudah seperti ini. Entah takdir apa yang telah Tuhan tuliskan untuk kita, tapi untuk menyelesaikan setiap masalah yang menerpa, bagaimana kalau kita menerima takdir ini.""Maksudmu dengan menikah?""Ya, Bukan pernikahan seperti yang lainnya. Simbiosis mutualisme, pernikahan ini hanya untuk itu. Bukankah kamu membutuhkanku untuk tetap bisa mempertahankan perusahaan? Dan aku membutuhkan bantuanmu untuk mengeluarkan kakakku dari penjara. Kita akan impas. Setelah semuanya kembali normal, kamu bisa melepasku lagi.""Heum!" Emeril berdecak tak percaya. "Sepicik itu kamu berpikir tentang pernikahan, Kemala! Aku tidak akan menikahi wanita yang tidak
Kemala tidak berhenti menatap pria yang berada di sampingnya, sekarang. Bukan karena tiba-tiba takjub apalagi jatuh cinta, hanya karena pria itu tengah menghubungi seseorang dan dia ikut menunggu jawabannya.[Kami menemukan identitasnya, Pak. Ibu Nerma ini adalah istri dari Pak Candra. Beliau salah satu pejabat kota dan sebelumnya gencar diberitakan ada skandal diantara Mbak Nadine dan Pak Candra.] Lapor salah tim IT yang diminta Emeril untuk menyelusuri identitas Nerma."Apa mungkin ini adalah sebuah jebakan yang sengaja dilakukan oleh ibu Nerma?" tanya Kemala."Ya, sepertinya begitu.""Terus bagaimana?" tanya Kemala lagi."Tidak ada jalan lain. Kita harus menyewa pengacara." Emeril mengendikkan bahunya dan mulai menyalakan mesin untuk beranjak dari hotel itu.Kemala menunduk lesu, tentu saja karena ia tidak punya uang untuk menyewa pengacara dan dari mana ia bisa mendapatkan uang sebanyak itu. Sedangkan, berita ini lambat laun pasti akan tercium media dan sampai pada bapaknya. Hanya
"Ayo!" Emeril berdiri di samping Nadine yang masih menenggelamkan kepala pada bantal kursi. Gadis itu sedikit mengangkat wajah, melihat Emeril sebentar sebelum kembali menelukupkannya ke tempat yang sama."Bukannnya kamu mau ke kantor polisi?" ujar Emeril lagi."Bagaimana kita bisa melewati mereka?" tanya Kemala, ia sudah mengintipnya sekali dari gorden. Bukannya pergi, jumlah mereka malah semakin banyak, menyusul berdatangan."Aku punya jalan lain," ujar Emeril lagi. Kemala hampir tidak percaya. Bisa saja pria itu hanya bercanda. "Aku tidak sedang membuat lelucon. Rumah ini punya jalan rahasia."Mata Kemala menyelidik, sekali lagi ia enggan percaya, tapi perasaannya untuk segera menemui Nadine tidak bisa ditahan. "Awas kalau kamu mengerjaiku!" Kedua bola mata itu hampir keluar, mengancam.Emeril berjalan lebih dulu diikuti Kemala. Ia keluar dari pintu samping yang langsung ke kamar Kemala. Mengendap untuk tidak terlihat. Setahu gadis itu di belakang rumah Emeril dibatasai dinding tem
Nadine terduduk di sebuah kursi, di depannya terdapat seorang pria yang sejak tadi menatapnya setelah mengajukan beberapa pertanyaan. Ia mencatat dan merekam secara detail semua penjelasan yang Nadine utarakan. Gadis itu tidak banyak bicara, ia masih syok dengan kejadian yang seperti mimpi, jelas tidak pernah terpikirkan olehnya akan duduk di kursi ini dengan status tersangka pencurian. Dia memang bukan wanita baik-baik, tapi tidak pernah sekali pun dalam hatinya terbersit untuk mengambil harta milik orang lain."Bersama siapa Anda datang, semalam?" tanya penyidik yang bertugas. Nadine yang menunduk sejak tadi memikirkan perihal orang yang menjebaknya, perlahan mengangkat wajah. Ia harus berpikir untuk menjawab pertanyaan penyidik itu, karena dirinya memang tidak mengenal pria yang ditemuinya semalam. Nadine hanya datang untuk menemaninya makan malam, pria itu mengaku bernama Abram, pengusaha kaya yang katanya memiliki kantor di mana-mana sampai peloksok Indonesia."Namanya Abram," ja