Share

2. Lupa Janji

Author: Tetiimulyati
last update Last Updated: 2023-05-31 16:38:18

Satu minggu kemudian.

Anak keduaku malam ini badannya panas. Seharusnya tadi sore sudah dibawa ke dokter, tapi aku tak ada simpanan. Uang yang didapatkan Mas Fikri dari kerja serabutan di pasar hanya cukup untuk makan.

Mas Fikri menyarankan supaya aku menghubungi Bang Usman untuk meminjam uang, toh nanti aku bakalan punya uang bagian dari penjualan rumah dan bengkel.

"Nanti bayarnya memotong uang bagianku saja, Bang, dari hasil penjualan rumah dan bengkel," ucapku setelah berbasa-basi.

"Dua minggu lagi pesta pernikahan Rani akan digelar. Kamu pikir aja, uang mau dipakai, kok dipinjam. Bagianmu juga mau Abang pinjam dulu," jawab Bang Usman tanpa ada beban. Padahal di awal aku sudah mengatakan bahwa anakku tengah sakit.

"Tapi aku butuh banget, Bang. Seratus ribu aja, untuk berobat Nisa."

"Aku juga butuh untuk biaya pesta yang semakin dekat. Uang 100.000 itu kamu jual saja dulu yang ada!"

Setelah itu panggilan berakhir, aku mengusap dada dengan sedikit menekan-rekannya. Rasanya sesak sekali. Bang Usman lebih mementingkan pesta pernikahan Rani daripada menolong anakku yang perlu berobat. Lagi pula aku bukan meminta secara cuma-cuma, melainkan meminta hakku. Apalagi seharusnya rumah dan bengkel itu adalah hakku seutuhnya

"Coba telepon Bang Halim!" Mas Fikri mengusap pundakku. Pria yang selalu sabar itu juga menghela berat, sepertinya apa yang dia pikirkan juga tidak jauh dengan apa yang ada di kepalaku.

Sebenarnya aku tidak mau menghubungi Bang Halim, sebab jawaban yang akan kudapat sudah bisa aku duga. Bang Halim tidak akan jauh berbeda dengan Bang Usman, tapi karena aku butuh, akhirnya aku pun mencari kontak Bang Halim.

"Kamu terlambat Nur, Abang baru saja melunasi pembelian sebuah sepeda motor untuk Vicky."

Sudah kuduga, jawaban yang sama kudapatkan dari Bang Halim.

"Ya sudah Bang, kalau tidak ada, tidak apa-apa. Maaf sudah mengganggu."

Aku tidak mau berdebat untuk memohon sebab ujungnya sudah bisa kutebak.

"Ya sudah Dek, terpaksa kita menjual yang ada saja." Mas Fikri menunduk lesu.

"Mas mau menjual apa?"

"Apa aja lah yang bisa dijual. Lagi pula alat-alat bengkel itu 'kan sekarang nganggur tidak bisa digunakan."

"Tapi bagaimana kalau suatu saat kita menemukan tempat untuk buka bengkel lagi, Mas?"

"Nanti kita pikirkan lagi, yang penting sekarang anak kita sembuh."

Kulirik Nisa yang ada dalamnya gendonganku. Gadis berusia empat tahun itu tak mau lepas, pundakku sudah terasa pegal.

"Mulai saat ini, jangan lagi minta tolong sama Abang-abangmu. Mereka benar, kalian adalah tanggung jawabku sebagai kepala keluarga."

"Tapi itu warisan untukku, Mas."

"Besok Mas akan pulang kampung dulu. Mudah-mudahan Bapak dan Emak bisa bantu."

Aku terdiam, Mas Fikri adalah dua bersaudara, kakaknya tinggal di kampung, tidak jauh-jauh dari mertuaku. Orang tua Mas Fikri bekerja sebagai petani, di kampungnya memang punya tanah berupa sawah dan kebun. Semoga saja di sana dia mendapat solusi.

Dari hasil penjualan beberapa ban motor yang terpaksa dijual dengan harga murah, aku bisa membawa Nisa ke dokter. Alhamdulillah hari ini anak itu sudah kembali ceria. Aku Tak habis pikir dengan isi kepala dua saudara laki-lakiku. Setelah Bapak dan Ibu tiada seharusnya Bang Usman dan Bang Halim bisa menjadi kakak yang baik. Tapi aku kembali teringat pada ucapan Mas Fikri, meski pada aku akan tetap memperjuangkan harta yang menjadi hakku.

"Nisa sekarang sudah baikan. Tidak apa-apa 'kan kalau Mas tinggal ke kampung sehari saja?" Mas Fikri menatapku yang baru saja selesai menidurkan Nisa.

"Iya, Mas. Engga apa-apa. Tapi janji gak nginep, ya."

"Iya, nanti sore Mas pulang lagi, kok."

"Sampaikan salamku pada Bapak dan Emak. Kalau ada uang untuk ongkos, sebenarnya aku juga mau ikut." Kutundukkan kepala, rasa nyeri tiba-tiba hadir lagi di dalam sini.

"Maaf, ya, Dek. Kali ini kamu gak kuajak. Motor kita gak muat untuk membawa kalian." Mas Fikri menghampiriku lalu duduk merapat.

Tak ada suara yang mampu kuucapkan, hanya anggukkan sebagai jawaban yang kuberikan. Biasanya aku dan anak-anak naik angkutan umum untuk bisa ikut bersilaturahmi ke rumah orang tua Mas Fikri, sementara suamiku itu menggunakan motor kami satu-satunya. Tapi kali ini, jangankan uang untuk ongkos, untuk makan dan biaya ke dokter pun kami pas-pasan.

"Ya, sudah, Mas berangkat sekarang takut kemalaman pulangnya."

"Hati-hati ya, Mas."

"Kalau Mas kecapean, nginap saja barang satu malam. Aku enggak apa-apa kok, ditinggal satu malam." Kusarankan supaya Mas Fikri menginap saja, perjalanan dari sini ke kampung halaman Mas Fikri memakan waktu 3 jam dengan menggunakan sepeda motor. Tentu itu akan membuat dia cape kalau harus pulang pergi dalam satu hari.

"Gimana nanti saja, Dek. Kalau gak cape Mas pulang lagi hari ini. Kalau mah nginep nanti Mas beri kabar," lanjut Mas Fikri sambil merapatkan jaketnya. Kemudian ia pergi ke sudut ruangan untuk mengambil helm. Namun baru saja beberapa langkah, Mas Fikri berhenti lantaran ponselnya berdering.

Tanpa bertanya, aku memperhatikan suamiku yang sedang mengeluarkan ponsel lalu mengusap layarnya.

"Assalamualaikum, Mak."

Ternyata Emak yang menghubungi, sudah barang pasti menggunakan ponsel tetangganya. Sebab Emak dan Bapak tidak bisa menggunakan benda itu.

"Kebetulan, ini baru saja mau berangkat."

" .... "

"Baik, Mak."

Hanya beberapa kalimat saja percakapan Mas Fikri dengan orang yang menelepon, yang kuyakin adalah Emak.

"Emak?" Tak sabar menunggu Mas Fikri memberitahu, aku pun segera bertanya.

"Ia," jawab Mas Fikri singkat. Setelah meletakkan ponsel di atas meja kecil, pria satu-satunya yang mengisi hatiku itu membuka jaketnya. Membuat aku menautkan kedua alisku.

"Gak jadi berangkat?" Lagi-lagi, kuajukan pertanyaan padanya.

Sebelum menjawab, Mas Fikri berjalan lagi ke arahku.

"Emak meminta kita datang, katanya penting."

"Tapi mereka sehat 'kan?"

"Dari suaranya, Emak terdengar baik-baik saja. Emak bilang kangen pada anak-anak dan ada yang ingin dia sampaikan."

Untuk beberapa saat kami hanya saling berpandangan.

"Kita gak jadi berangkat sekarang. Mas mau ke pasar dulu. Siapa tahu ada kerjaan di sana, uangnya bisa digunakan untuk ongkos naik bis."

Aku mengiyakan, karena memang tidak ada jalan lain. Setelah Mas Fikri berganti pakaian, ia pun bergegas pergi. Semoga saja hari ini dia bisa mendapatkan uang banyak agar kami bisa segera pergi menemui mertuaku.

Lagi, di saat seperti ini, aku teringat kakak-kakakku. Usiaku dengan Abang-abangku itu memang terpaut jauh. Saat ini Bang Usman sudah hampir 50 tahun, sementara Bang Halim hanya terpaut lima tahun lebih muda darinya. Maka pantas jika mereka bersikap seenaknya seperti itu padaku yang belum juga genap 30 tahun. Mungkin juga karena mereka menganggapku aku anak kecil hingga mereka berani semena-mena.

Masih kuingat ketika secara tidak sengaja dulu aku menguping percakapan Bapak dengan Bang Halim. Saat itu aku seharusnya daftar kuliah, tapi Bang Halim membujuk bapak supaya membiayai S2 dia saja.

"Bapak hanya titip Nurma. Kalian sudah kusekolahkan tinggi yang otomatis mendapatkan pekerjaan yang bagus juga untuk bekal hidup. Nah, karena Nurma tidak punya pendidikan tinggi, maka bengkel itu aku berikan sebagai bekal untuk bisa tertahan." Saat itu kudengar Bang Halim mengiyakan, meksi sepertinya hari ini dia lupa pada janjinya itu.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • WARISAN YANG DIRAMPAS    82. Balasan dari Tuhan

    Usman pun harus bisa menerima kenyataan bahwa komunikasinya dengan Zara yang merupakan istri simpanannya, juga anak mereka tidak sebebas dan selancar dulu. Pasalnya sekarang ada anak-anak yang mengawasinya. Meski begitu sekali-kali dia masih bisa menghubungi Zara. Tapi beberapa hari ini wanita itu sangat sulit dihubungi. Usman pun pasrah jika Zara berpaling dan menemukan pria lain yang bisa melindunginya. Usman harus bisa menerima bahwa dirinya hanya seorang pria penyakitan yang tinggal menunggu ajalnya saja. Meskipun hatinya sakit, mau tidak mau Usman harus merelakan."Pegi agi .... ?" Tanya Usman pada Ira yang malam itu sudah rapi berpakaian. Ira sekarang terlihat lebih cantik dari dulu, alasannya karena tuntutan pekerjaan. Meskipun Usman curiga bukan semata-mata karena itu, tapi untuk menyenangkan pria lain. Lagi-lagi pria itu hanya bisa meringis di dalam hati. "Iya, Pa. Kebetulan malam ini Mama ada jamuan dari rekan bisnisnya bos."Usman membuang napas berat, meskipun alasan yan

  • WARISAN YANG DIRAMPAS    81. Warisan

    Pov authorSiang itu Nurma mendapat banyak informasi dari Hesti mengenai kondisi Nuning ketika mengandung dan melahirkan dia. Selama kehamilannya, Nuning sangat tertekan oleh teror yang terus dikirimkan anak-anaknya Rahman. Berkali-kali Nuning meminta Rahman untuk meninggalkannya dan kembali pada istri pertamanya lantaran Nuning sudah lelah dengan serangan anak sambungnya. Akan tetapi, Rahman menolak. Selain karena ia terlanjur menyayangi Nuning, dia juga tidak mau meninggalkan wanita itu dalam keadaan hamil tua."Apa seandainya aku sedang tidak hamil, Kang Rahman mau meninggalkan aku?" tanya Nuning sambil mengusap perutnya yang semakin membesar."Tolong jangan bahas soal itu. Aku mengakui ini kesalahanku, tapi anak itu harus lahir di tengah keluarganya yang utuh." "Anak ini seharusnya tidak ada, hingga aku tidak perlu terikat pada Kang Rahman."Saat itu keadaan Nuning bisa dikatakan depresi hingga ia melahirkan seorang bayi perempuan yang cantik dan setelah itu Nuning mengalami bab

  • WARISAN YANG DIRAMPAS    80. Kisah Ibu

    Pov NurmaSebelum subuh Ibu sudah bangun. Ketika aku turun, bahkan Ibu sudah berada di dapur. Sepertinya dia akan menyiapkan sarapan. Ada rasa tidak enak melihatnya harus sibuk pagi-pagi buta di rumah anaknya sendiri."Biar aku saja, Bu. Ibu duduk saja, ya. Sekarang 'kan sudah ada aku, Ibu tidak perlu bekerja lagi." Tak tega aku melihatnya harus mengerjakan pekerjaan rumah."Tidak apa-apa, Ibu sudah biasa mengerjakannya. Jadi kalau Ibu diam saja malah merasa tidak enak," jawabnya bersemangat."Ya sudah, tapi Ibu jangan mengerjakan yang berat-berat, ya."Aku tidak ingin mematahkan semangatnya, yang penting Ibu tidak merasa tertekan. Akhirnya kubiarkan dia mengerjakan sebagian pekerjaan, meskipun tetap saja aku yang dominan. Mungkin dengan cara itu Ibu bisa sedikit terhibur, menghabiskan waktu bersamaku yang selama tiga puluh tahun ini tidak pernah dia dapatkan."Siapa yang menyukai kerupuk?" tanya ibu ketika melihat satu toples besar kerupuk di meja makan."Kami semua suka, Bu. Dulu Ma

  • WARISAN YANG DIRAMPAS    79. Terpaksa Membayar

    Diah terus memaksa, meskipun aku sudah menolak. Bahkan mobilnya tidak bergeser satu senti pun. Karena tak enak, juga khawatir ia curiga, akhirnya aku masuk mobil."Mbak Ira sebenarnya mau ke mana, sih?" tanya Diah ketika aku sudah duduk di sampingnya dan mobil pun melaju."Mau ke depan," jawabku singkat."Iya orang jalan itu pasti ke depan, kalau ke belakang itu namanya mundur. Dari tadi ditanya, jawabnya ke depan mulu." Diah terdengar kesal. Aku menggaruk kepala yang sebenarnya tidak gatal, bingung juga apakah harus terus terang pada Diah bahwa aku akan melihat rumah kontrakan atau diam saja."Aku mau melihat rumah kontrakan." Akhirnya aku memilih untuk jujur."Jadi sudah dapat?" tanya Diah datar."Belum sih, semalam aku coba nyari-nyari di media sosial dan ada beberapa yang sepertinya sesuai dengan keinginan. Jadi rencananya hari ini mau lihat-lihat dulu.""Kalau begitu sekalian aku anterin saja, biar nanti kalau Mbak Ira pindah aku jadi tahu tempat tinggal kalian."Aku menoleh, me

  • WARISAN YANG DIRAMPAS    78. Sikap Diah

    Aku tidak berani menoleh hingga go-jek yang membawaku berhenti di depan rumah Halim. Kutahu mobil pria itu terus mengikutiku dan melesat setelah memastikan aku sampai pada tujuan.Mas Usman tengah tertidur ketika aku masuk ruangan. Letak ponselnya pun berubah, aku yakin mereka berkomunikasi lagi ketika aku pergi tadi. Sakit kembali kurasakan, tapi mereka juga pasti lebih tersiksa menahan rindu. Sambil menunggu Mas Usman bangun aku mulai mencari-cari rumah kontrakan yang murah dan dan bagus. Tak kalah penting juga lokasinya tidak jauh dari sini. Tak lupa aku juga mengecek saldo yang tadi ditransfer oleh Anjas. Ternyata jumlahnya lumayan besar. Dia bilang ini dua kali lipat dari harga mobil itu. Aku sendiri tidak paham berapa harga mobil tersebut. Kalau dibilang tidak enak, jujur saja aku tidak enak menerima uang sebanyak itu dari Anjas. Meskipun akadnya jual beli, tapi itu lebih banyak dari harga seharusnya. Saat ini memang aku sangat membutuhkan uang itu minimal Aku punya tempat tin

  • WARISAN YANG DIRAMPAS    77. Perhatian

    Aku kembali mengernyit, pasalnya aku tidak tahu di mana letak pabrik itu. Apakah dekat dengan tempat tinggalku atau jauh. Aku juga sedang berpikir kalau aku bolak-balik sayang uang untuk ongkosnya ditambah lagi waktu yang terbuang."Tempatnya masih dekat sini, kamu juga tidak akan kehilangan banyak waktu untuk bolak-balik." Anjas seperti yang mengerti apa yang sedang aku pikirkan. Tapi benar juga, untuk kedepannya Aku bingung dengan biaya hidup kami. Jika aku tidak menerima tawaran ini, maka aku harus mencari pekerjaan lain. Pada akhirnya sekarang memang aku yang harus mencari nafkah. Lagi pula, jika bekerja pada orang lain, belum tentu bisa mendapatkan keringanan seperti ini."Baiklah, aku terima tawaran kamu." Aku sudah memutuskan dan mengatakannya setelah selesai makan. Pertimbangannya adalah, Anjas itu temanku, dia sudah memberi keringanan dan aku bisa bernegosiasi sama dia. Baik itu masalah pekerjaan ataupun uang."Oke, kamu tidak perlu membicarakannya dulu dengan suamimu."Aku t

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status