Share

2. Lupa Janji

Satu minggu kemudian.

Anak keduaku malam ini badannya panas. Seharusnya tadi sore sudah dibawa ke dokter, tapi aku tak ada simpanan. Uang yang didapatkan Mas Fikri dari kerja serabutan di pasar hanya cukup untuk makan.

Mas Fikri menyarankan supaya aku menghubungi Bang Usman untuk meminjam uang, toh nanti aku bakalan punya uang bagian dari penjualan rumah dan bengkel.

"Nanti bayarnya memotong uang bagianku saja, Bang, dari hasil penjualan rumah dan bengkel," ucapku setelah berbasa-basi.

"Dua minggu lagi pesta pernikahan Rani akan digelar. Kamu pikir aja, uang mau dipakai, kok dipinjam. Bagianmu juga mau Abang pinjam dulu," jawab Bang Usman tanpa ada beban. Padahal di awal aku sudah mengatakan bahwa anakku tengah sakit.

"Tapi aku butuh banget, Bang. Seratus ribu aja, untuk berobat Nisa."

"Aku juga butuh untuk biaya pesta yang semakin dekat. Uang 100.000 itu kamu jual saja dulu yang ada!"

Setelah itu panggilan berakhir, aku mengusap dada dengan sedikit menekan-rekannya. Rasanya sesak sekali. Bang Usman lebih mementingkan pesta pernikahan Rani daripada menolong anakku yang perlu berobat. Lagi pula aku bukan meminta secara cuma-cuma, melainkan meminta hakku. Apalagi seharusnya rumah dan bengkel itu adalah hakku seutuhnya

"Coba telepon Bang Halim!" Mas Fikri mengusap pundakku. Pria yang selalu sabar itu juga menghela berat, sepertinya apa yang dia pikirkan juga tidak jauh dengan apa yang ada di kepalaku.

Sebenarnya aku tidak mau menghubungi Bang Halim, sebab jawaban yang akan kudapat sudah bisa aku duga. Bang Halim tidak akan jauh berbeda dengan Bang Usman, tapi karena aku butuh, akhirnya aku pun mencari kontak Bang Halim.

"Kamu terlambat Nur, Abang baru saja melunasi pembelian sebuah sepeda motor untuk Vicky."

Sudah kuduga, jawaban yang sama kudapatkan dari Bang Halim.

"Ya sudah Bang, kalau tidak ada, tidak apa-apa. Maaf sudah mengganggu."

Aku tidak mau berdebat untuk memohon sebab ujungnya sudah bisa kutebak.

"Ya sudah Dek, terpaksa kita menjual yang ada saja." Mas Fikri menunduk lesu.

"Mas mau menjual apa?"

"Apa aja lah yang bisa dijual. Lagi pula alat-alat bengkel itu 'kan sekarang nganggur tidak bisa digunakan."

"Tapi bagaimana kalau suatu saat kita menemukan tempat untuk buka bengkel lagi, Mas?"

"Nanti kita pikirkan lagi, yang penting sekarang anak kita sembuh."

Kulirik Nisa yang ada dalamnya gendonganku. Gadis berusia empat tahun itu tak mau lepas, pundakku sudah terasa pegal.

"Mulai saat ini, jangan lagi minta tolong sama Abang-abangmu. Mereka benar, kalian adalah tanggung jawabku sebagai kepala keluarga."

"Tapi itu warisan untukku, Mas."

"Besok Mas akan pulang kampung dulu. Mudah-mudahan Bapak dan Emak bisa bantu."

Aku terdiam, Mas Fikri adalah dua bersaudara, kakaknya tinggal di kampung, tidak jauh-jauh dari mertuaku. Orang tua Mas Fikri bekerja sebagai petani, di kampungnya memang punya tanah berupa sawah dan kebun. Semoga saja di sana dia mendapat solusi.

Dari hasil penjualan beberapa ban motor yang terpaksa dijual dengan harga murah, aku bisa membawa Nisa ke dokter. Alhamdulillah hari ini anak itu sudah kembali ceria. Aku Tak habis pikir dengan isi kepala dua saudara laki-lakiku. Setelah Bapak dan Ibu tiada seharusnya Bang Usman dan Bang Halim bisa menjadi kakak yang baik. Tapi aku kembali teringat pada ucapan Mas Fikri, meski pada aku akan tetap memperjuangkan harta yang menjadi hakku.

"Nisa sekarang sudah baikan. Tidak apa-apa 'kan kalau Mas tinggal ke kampung sehari saja?" Mas Fikri menatapku yang baru saja selesai menidurkan Nisa.

"Iya, Mas. Engga apa-apa. Tapi janji gak nginep, ya."

"Iya, nanti sore Mas pulang lagi, kok."

"Sampaikan salamku pada Bapak dan Emak. Kalau ada uang untuk ongkos, sebenarnya aku juga mau ikut." Kutundukkan kepala, rasa nyeri tiba-tiba hadir lagi di dalam sini.

"Maaf, ya, Dek. Kali ini kamu gak kuajak. Motor kita gak muat untuk membawa kalian." Mas Fikri menghampiriku lalu duduk merapat.

Tak ada suara yang mampu kuucapkan, hanya anggukkan sebagai jawaban yang kuberikan. Biasanya aku dan anak-anak naik angkutan umum untuk bisa ikut bersilaturahmi ke rumah orang tua Mas Fikri, sementara suamiku itu menggunakan motor kami satu-satunya. Tapi kali ini, jangankan uang untuk ongkos, untuk makan dan biaya ke dokter pun kami pas-pasan.

"Ya, sudah, Mas berangkat sekarang takut kemalaman pulangnya."

"Hati-hati ya, Mas."

"Kalau Mas kecapean, nginap saja barang satu malam. Aku enggak apa-apa kok, ditinggal satu malam." Kusarankan supaya Mas Fikri menginap saja, perjalanan dari sini ke kampung halaman Mas Fikri memakan waktu 3 jam dengan menggunakan sepeda motor. Tentu itu akan membuat dia cape kalau harus pulang pergi dalam satu hari.

"Gimana nanti saja, Dek. Kalau gak cape Mas pulang lagi hari ini. Kalau mah nginep nanti Mas beri kabar," lanjut Mas Fikri sambil merapatkan jaketnya. Kemudian ia pergi ke sudut ruangan untuk mengambil helm. Namun baru saja beberapa langkah, Mas Fikri berhenti lantaran ponselnya berdering.

Tanpa bertanya, aku memperhatikan suamiku yang sedang mengeluarkan ponsel lalu mengusap layarnya.

"Assalamualaikum, Mak."

Ternyata Emak yang menghubungi, sudah barang pasti menggunakan ponsel tetangganya. Sebab Emak dan Bapak tidak bisa menggunakan benda itu.

"Kebetulan, ini baru saja mau berangkat."

" .... "

"Baik, Mak."

Hanya beberapa kalimat saja percakapan Mas Fikri dengan orang yang menelepon, yang kuyakin adalah Emak.

"Emak?" Tak sabar menunggu Mas Fikri memberitahu, aku pun segera bertanya.

"Ia," jawab Mas Fikri singkat. Setelah meletakkan ponsel di atas meja kecil, pria satu-satunya yang mengisi hatiku itu membuka jaketnya. Membuat aku menautkan kedua alisku.

"Gak jadi berangkat?" Lagi-lagi, kuajukan pertanyaan padanya.

Sebelum menjawab, Mas Fikri berjalan lagi ke arahku.

"Emak meminta kita datang, katanya penting."

"Tapi mereka sehat 'kan?"

"Dari suaranya, Emak terdengar baik-baik saja. Emak bilang kangen pada anak-anak dan ada yang ingin dia sampaikan."

Untuk beberapa saat kami hanya saling berpandangan.

"Kita gak jadi berangkat sekarang. Mas mau ke pasar dulu. Siapa tahu ada kerjaan di sana, uangnya bisa digunakan untuk ongkos naik bis."

Aku mengiyakan, karena memang tidak ada jalan lain. Setelah Mas Fikri berganti pakaian, ia pun bergegas pergi. Semoga saja hari ini dia bisa mendapatkan uang banyak agar kami bisa segera pergi menemui mertuaku.

Lagi, di saat seperti ini, aku teringat kakak-kakakku. Usiaku dengan Abang-abangku itu memang terpaut jauh. Saat ini Bang Usman sudah hampir 50 tahun, sementara Bang Halim hanya terpaut lima tahun lebih muda darinya. Maka pantas jika mereka bersikap seenaknya seperti itu padaku yang belum juga genap 30 tahun. Mungkin juga karena mereka menganggapku aku anak kecil hingga mereka berani semena-mena.

Masih kuingat ketika secara tidak sengaja dulu aku menguping percakapan Bapak dengan Bang Halim. Saat itu aku seharusnya daftar kuliah, tapi Bang Halim membujuk bapak supaya membiayai S2 dia saja.

"Bapak hanya titip Nurma. Kalian sudah kusekolahkan tinggi yang otomatis mendapatkan pekerjaan yang bagus juga untuk bekal hidup. Nah, karena Nurma tidak punya pendidikan tinggi, maka bengkel itu aku berikan sebagai bekal untuk bisa tertahan." Saat itu kudengar Bang Halim mengiyakan, meksi sepertinya hari ini dia lupa pada janjinya itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status