"Abang kasih waktu dua hari untuk mengosongkan rumah itu, sebab akan segera ada pembeli yang datang untuk melihat-lihat."
Suara Bang Usman di ujung telepon seperti menghentikan nafasku. Bagaimana tidak, baru saja 40 hari kepergian Ibu, kedua kakak laki-lakiku sudah bermaksud menjual rumah peninggalan orang tua kami yang sebenarnya menurut wasiat Bapak dan Ibu, rumah itu adalah bagianku. Aku tidak sekolah ke perguruan tinggi, sementara dua Abangku itu masing-masing lulus S2. Kata Bapak dulu, anak laki-laki harus punya pekerjaan yang layak untuk menafkahi anak istrinya, maka dari itu mereka harus sekolah tinggi. Bang Usman dan Bang Halim masing-masing menghabiskan beberapa bidang tanah dan sawah milik Bapak di kampung untuk menyelesaikan sekolah mereka.Sementara anak perempuan, meskipun sekolah tinggi, akhirnya mereka akan diam di rumah, itu kata Bapak. Kedua orang tuaku memang memiliki pikiran yang kolot hingga aku tidak mendapat izin untuk mengenyam pendidikan di bangku perguruan tinggi. Meski aku juga tahu, alasan lainnya kenapa aku hanya tamat Sekolah Menengah Atas karena Bapak sudah tidak punya uang lagi untuk biaya sekolah. Semua tanah sudah dijual untuk biaya kuliah Bang Usman dan Bang Halim. Hanya tersisa rumah dan tanah yang kemarin Ibu tinggali bersamaku di pinggiran kota ini.Sewaktu Ibu masih ada, aku yang mengurusnya di rumah ini. Maka Ibu memberikan rumah dan tanah ini padaku beserta usaha bengkel yang dulu menjadi mata pencaharian Bapak. Bang Usman dan Bang Halim tahu soal ini. Bahkan Ibu menulisnya di atas kertas, disaksikan Pak Ketua RT dan Pak Kadus. Tapi surat itu disimpan oleh Bang Usman dengan alasan dia anak tertua."Kamu denger nggak, Nur?!""Eh, iya, Bang. Aku mendengarnya kok, cuma lagi berpikir aja, kalau aku keluar dari rumah ini nanti aku akan tinggal di mana?""Kamu 'kan punya suami. Masalah kamu mau tinggal di mana, kamu mau makan apa, itu 'kan tanggung jawab suamimu, bukan tanggung jawab Abang!" Suara Bang Usman meninggi."Bang Usman lupa, apa yang diwasiatkan oleh Ibu kalau rumah ini ....""Halah, Ibu 'kan sudah tidak ada. Mau rumah ini untuk kamu atau dibagi tiga, Ibu tidak bakalan tahu. Abang lagi butuh banget uang itu untuk biaya pernikahan Rani."Rani adalah anak sulung Bang Usman yang akan segera melangsungkan pernikahan."Tapi .... ""Tapi apa?!""Tidak apa-apa, Bang. Nanti Nurma mau ngomong dulu sama Mas Fikri." Aku mau bilang kalau dia butuh uang, aku juga butuh tempat tinggal. Tapi Bang Usman keburu bertanya dengan nada tinggi. Membuat nyaliku ciut."Secepatnya, dan soal bengkel itu juga akan kita bagi tiga."Apa? Jadi bengkel juga akan dibagi tiga. Bukankah itu juga warisan untukku? Ingin aku protes dan mengingatkan Bang Usman tentang wasiat almarhum Bapak, tapi rasanya itu percuma saja. Dari dulu, suaraku sebagai anak perempuan satu-satunya dan paling bungsu memang tidak pernah didengar. Aku hanya bisa mengusap dada, setelah panggilan berakhir.Bang Usman dan Bang Halim bersikeras untuk menjual harta peninggalan Bapak dan Ibu yang sudah jelas menjadi bagianku.Jika bengkel itu dijual, maka selain aku tidak punya tempat tinggal, maka Mas Fikri juga terancam tidak punya pekerjaan. Selama ini kami hidup dari bengkel itu, usaha peninggalan Bapak yang sudah ada sejak aku lahir. Kata Bapak, dia memulai usaha itu sejak belum menikah. Bapak merintis dari bawah dari sekedar tambal ban sampai bisa menjual sparepart motor seperti sekarang.***Dua hari kemudian aku sudah mengosongkan rumah itu, rumah yang penuh kenangan karena di sinilah kami lahir dan dibesarkan. Merasakan kehangatan keluarga, meski sebagai anak bungsu dan perempuan satu-satunya, aku merasa dibedakan. Tapi mau bagaimana, aku hanya bisa pasrah menerima keputusan kedua kakak laki-lakiku itu. Bukan tidak bisa melawan, tapi aku sudah tahu bagaimana karakter mereka.Mas Fikri juga tidak bisa berbuat apa-apa, lantar posisi dia hanya menantu."Sudahlah, Dek. Rezeki kita sudah Allah atur. Mungkin Allah sedang mempersiapkan rezeki yang lebih besar dari ini. Sabar, ya."Mas Fikri memang penyabar, aku beruntung memiliki suami seperti dia. Dulu Mas Fikri adalah pegawai Bapak di bengkel. Karena seringnya bertemu saat aku mengantarkan makanan untuk Bapak, lalu kami saling jatuh cinta. Tanpa pikir panjang, Bapak merestui dan kami pun menikah.Kami mendapat tempat tinggal baru yang tak jauh dari tempat lama, hanya sekitar dua kilometer saja. Bangunan yang terdiri dari dua ruangan itu cukup menampung kamu beserta dua orang anak. Sayangnya, Mas Fikri tidak bisa membuka bengkel di sini lantaran yang punya tempat tidak mengizinkan. Katanya, kalau untuk usaha lain boleh saja, tapi untuk bengkel jangan. Nanti tempatnya jadi kotor."Lalu kita makan apa, Mas?" tanyaku khawatir."Ya, makan nasi, Dek," jawab Mas Fikri sambil tersenyum, meski kutahu senyum itu pun hambar."Uangnya dari mana? Nasi itu juga harus dibeli.""Besok Mas akan mencari pekerjaan. Barangkali di pasar ada yang membutuhkan tenagaku. Tidak apa-apa kerja serabutan dulu, yang penting kita bisa makan."Aku membuang nafas berat. Uang tabungan yang hanya sedikit sudah kami gunakan untuk uang muka kontrakan rumah ini. Sisanya untuk makan dua hari ke depan. Belum lagi uang jajan dan biaya sekolah kedua anakku."Jangan khawatir, Dek. Mas tidak akan membiarkan kalian kelaparan dan kekurangan," lanjut Mas Fikri membuatku yakin bahwa kami pasti bisa melaluinya bersama-sama, karena melihat kerja kerasnya selama ini.BersambungSatu minggu kemudian.Anak keduaku malam ini badannya panas. Seharusnya tadi sore sudah dibawa ke dokter, tapi aku tak ada simpanan. Uang yang didapatkan Mas Fikri dari kerja serabutan di pasar hanya cukup untuk makan.Mas Fikri menyarankan supaya aku menghubungi Bang Usman untuk meminjam uang, toh nanti aku bakalan punya uang bagian dari penjualan rumah dan bengkel."Nanti bayarnya memotong uang bagianku saja, Bang, dari hasil penjualan rumah dan bengkel," ucapku setelah berbasa-basi."Dua minggu lagi pesta pernikahan Rani akan digelar. Kamu pikir aja, uang mau dipakai, kok dipinjam. Bagianmu juga mau Abang pinjam dulu," jawab Bang Usman tanpa ada beban. Padahal di awal aku sudah mengatakan bahwa anakku tengah sakit."Tapi aku butuh banget, Bang. Seratus ribu aja, untuk berobat Nisa.""Aku juga butuh untuk biaya pesta yang semakin dekat. Uang 100.000 itu kamu jual saja dulu yang ada!"Setelah itu panggilan berakhir, aku mengusap dada dengan sedikit menekan-rekannya. Rasanya sesak sek
Alhamdulillah kemarin Mas Fikri dapat uang lebih di pasar. Katanya ada Bos sayur yang karyawannya tidak masuk, jadi Mas Fikri menggantikannya. Meski kerjanya berat tapi bapak dari anak-anakku itu tidak pernah mengeluh."Kamu sudah izin ke sekolah Naya?" tanya Mas Fikri sambil membereskan pakaian ke dalam tas. Naya adalah anak pertama kami yang saat ini duduk di kelas dua sekolah dasar."Sudah, Mas. Untuk dua hari saja, 'kan?""Iya, kalau lama-lama di kampung, kasihan juga Naya, nanti ketinggalan pelajaran."Karena khawatir Nisa rewel, akhirnya Mas Fikri memutuskan untuk ikut naik bus saja. Kedua anakku itu sebenarnya senang akan bertemu Nenek dan Kakeknya, lantaran sudah cukup lama kami tidak berkunjung ke sana. Bukan karena apa-apa, keuangan kami akhir-akhir ini memang sedang diuji."Ponselku sepertinya berbunyi, Mas." Aku memberikan isyarat pada Mas Fikri untuk membantu mengambilnya lantaran aku kesulitan. Belum ada satu jam perjalanan, Nisa sudah terlelap di pangkuanku."Siapa yang
"Bapak kehilangan sawah .... ""Apa?!"Aku dan Mas Fikri saling pandang."Bagaimana bisa sawah ada yang mencuri?" Mas Fikri menggaruk kepalanya."Maksud Bapak .... sawah kita kena gusur .... ""Ah, ya ampun! Kenapa Bapak tidak ngomong dari tadi. Malah bilang kehilangan, jadinya kita mikir yang tidak-tidak." Mas Fikri mengusap wajah sambil tersenyum. Sementara Bapak terkekeh sambil menggulung tembakau.Emak yang tidak terima karena Bapak telah membuat anak dan menantunya ini kaget pun sontak memukul pangkal lengan suaminya."Itu 'kan sawah kita satu-satunya, Pak?"Setahuku, bapak mertuaku ini memang hanya punya sawah satu tempat tapi lumayan luas."Iya, tapi mau bagaimana lagi, Fik." Bapak menyulut tembakau yang baru saja selesai dilinting. Menghisap kuat lalu membuang asapnya hingga mengepul di ruang kosong sekitar wajahnya."Memangnya ada pembangunan apa?""Katanya sih, untuk pembangunan jalan tol."Tak sadar kepalaku manggut-manggut. Kemudian terlintas di benakku, ada penggusuran te
Tiba waktunya pulang. Sebenarnya aku masih betah tinggal di kampung, namun kami harus segera kembali lantaran Naya tidak boleh terlalu lama bolos sekolah. Soal usulanku pada Mas Fikri untuk pulang kampung dan membantu Bapak bertani rupanya harus kami urungkan, pasalnya sawah yang akan digarap pun sudah tergusur oleh pembangunan jalan tol. "Masalah uang ini, kamu jangan bilang-bilang dulu sama Abang-abangmu, ya, Dek," ucap Mas Fikri ketika kami sudah berada di atas kendaraan umum."Iya Mas, bahkan aku berpikir supaya tidak perlu memberitahu mereka saja. Atau Bang Usman dan Bang Halim akan berebut untuk meminjam uang ini." Aku tersenyum miris mengingat kedua kakakku itu sepertinya sangat haus dengan yang namanya rupiah. Sebenarnya aku paham kenapa kedua Abangku sangat boros dengan uang. Itu salah mereka juga, anak-anaknya dibiasakan untuk hidup serba enak. Makan enak, pakaian bagus-bagus, semuanya serba dimanja. Itu yang membuat pengeluaran dua Abangku tidak terkontrol. Belum lagi gay
Pagi ini Mas Fikri berpamitan untuk mencari pekerjaan di pasar seperti biasa. Katanya mau sambil nanya-nanya pada orang pasar, mencari tempat tinggal untuk kami. Uang yang dari Bapak dan Emak kemarin, rencananya memang akan kami belikan rumah dulu. Juga untuk modal Mas Fikri memulai usahanya kembali. Jika ada sisa, kami ingin membeli kendaraan yang layak."Doakan Mas secepatnya bisa mendapatkan tempat tinggal, ya, Dek," ucap Mas Fikri ketika sedang bersiap pergi."Ya, Mas. Tidak apa-apa sederhana juga, yang penting milik kita sendiri dan bisa buat buka bengkel lagi.""Iya, Dek. Meskipun saat ini ada saja rezeki di pasar, namun rasanya kurang sreg aja. Karena itu belum bisa dibilang sebagai pekerjaan tetap."Setelah Mas Fikri pergi ke pasar sambil sekalian mengantar Naya ke sekolah, aku pun mulai mengerjakan pekerjaan rumah yang tersisa. Tapi semua itu urung aku lakukan ketika Mbak Ira menghubungiku.Aku malah teringat semalam ketika Mbak Ira marah-marah ditelepon lantaran sebagian ika
"Ini Pa, sekarang Nurma sudah mulai bertingkah. Dia pasang tarif dan seenaknya mau pulang." Mbak Ira langsung membela diri, ditambah lagi menyudutkanku."Tapi 'kan, Mbak. Perjanjiannya tadi sampai jam 12.00. Sekarang sudah melebihi, pekerjaanku masih banyak karena ditambah dan ditambah lagi. Jadi wajar kalau aku minta uang tambahan. Asal Abang tahu, aku pasang tarif karena aku juga butuh biaya hidup. Usaha Mas Fikri 'kan Abang hentikan. Sementara uang warisan itu pun Abang tahan. Jadi wajar kalau aku mata duitan, lagipula selama ini, bayaran yang aku terima tidak layak." Aku pun tak mau kalah untuk membela diri.Bang Usman tidak bisa menjawab ketika aku mengatakan itu, sepertinya dia merasa kalau sudah mempersendat jalan rezekiku."Sudah, Ma, kasih aja. Itung-itung sedekah sama orang miskin!"Deg! Ucapan Bang Usman berhasil membuat tekanan darahku naik. Terasa perih menusuk hatiku. Dia mengatakan adiknya sendiri orang miskin. Apa dia tidak merasa yang membuat aku miskin itu adalah kak
Hari pernikahan Rani pun tiba. Sebuah pesta yang mewah digelar di rumahnya Bang Usman. Dari tiga hari yang lalu aku sudah sibuk membantu persiapan acara. Tak satupun kerabatnya Mbak Ira yang membantu. Tapi hari ini aku tidak mau tahu lagi urusan belakang.Aku datang pagi-pagi sekali, bersama Mas Fikri dan dua putriku yang cantik-cantik dengan dress berwarna lilac yang sama denganku. Lima hari yang lalu Mas Fikri mengajak kami berbelanja baju couple untuk dipakai hari ini. "Pilih yang terbaik, Dek. Kalian harus tampil maksimal besok.""Tapi yang bagus itu mahal, Mas.""Ya, enggak apa-apa. Beli aja!" Akhirnya aku menurut, kupilih baju yang paling mahal yang kebetulan tersedia juga ukuran untuk dua putriku. Untuk Mas Fikri juga kupilihkan atasan batik dengan warna senada. Tak lupa juga sepatu dengan hak tinggi untuk menunjang penampilanku supaya lebih sempurna."Habis ini kita mampir ke toko perhiasan, Dek.""Untuk apa, Mas?""Ya, untuk beli perhiasan, Dek. Masa beli pecel lele," jawab
"Mas, kalau aku pikir-pikir, mungkin lebih baik kita beli mobil sekarang.""Kenapa kemarin Dek Nurma mengangguk ketika Mas bilang beli mobilnya nanti saja. Kok, sekarang berubah pikiran?" Mas Fikri menautkan alis ketika malam ini, sebelum kami tidur, aku mengutarakan keinginanku untuk cepat-cepat membeli mobil."Anak-anak sudah semakin besar, tadi saja waktu ke pestanya Bang Usman motor hampir nggak muat. Belum lagi kalau salah satu dari mereka tidur, makin berabe saja." Aku beralasan, padahal yang sebenarnya aku sudah tidak tahan dengan hinaan kakak-kakakku dan istri-istrinya."Jadi, yakin nih, sekarang pengen beli mobil?" Mas Fikri kembali bertanya sambil tertawa geli meledekku."Yakin, Mas.""Nanti kita malah dikira ngepet. Pakai baju bagus dan perhiasan saja, disangka minjem, melihat uang di dompet banyak, disangka pinjol," lanjut Mas Fikri karena sebelumnya aku sudah menceritakan reaksi Mbak Diah dan Mbak Ira ketika melihat penampilanku tadi siang."Ya, nggak apa-apa, Mas. Dikira