Share

WARISAN YANG DIRAMPAS
WARISAN YANG DIRAMPAS
Author: Tetiimulyati

1. Wasiat

"Abang kasih waktu dua hari untuk mengosongkan rumah itu, sebab akan segera ada pembeli yang datang untuk melihat-lihat."

Suara Bang Usman di ujung telepon seperti menghentikan nafasku. Bagaimana tidak, baru saja 40 hari kepergian Ibu, kedua kakak laki-lakiku sudah bermaksud menjual rumah peninggalan orang tua kami yang sebenarnya menurut wasiat Bapak dan Ibu, rumah itu adalah bagianku. Aku tidak sekolah ke perguruan tinggi, sementara dua Abangku itu masing-masing lulus S2. Kata Bapak dulu, anak laki-laki harus punya pekerjaan yang layak untuk menafkahi anak istrinya, maka dari itu mereka harus sekolah tinggi. Bang Usman dan Bang Halim masing-masing menghabiskan beberapa bidang tanah dan sawah milik Bapak di kampung untuk menyelesaikan sekolah mereka.

Sementara anak perempuan, meskipun sekolah tinggi, akhirnya mereka akan diam di rumah, itu kata Bapak. Kedua orang tuaku memang memiliki pikiran yang kolot hingga aku tidak mendapat izin untuk mengenyam pendidikan di bangku perguruan tinggi. Meski aku juga tahu, alasan lainnya kenapa aku hanya tamat Sekolah Menengah Atas karena Bapak sudah tidak punya uang lagi untuk biaya sekolah. Semua tanah sudah dijual untuk biaya kuliah Bang Usman dan Bang Halim. Hanya tersisa rumah dan tanah yang kemarin Ibu tinggali bersamaku di pinggiran kota ini.

Sewaktu Ibu masih ada, aku yang mengurusnya di rumah ini. Maka Ibu memberikan rumah dan tanah ini padaku beserta usaha bengkel yang dulu menjadi mata pencaharian Bapak. Bang Usman dan Bang Halim tahu soal ini. Bahkan Ibu menulisnya di atas kertas, disaksikan Pak Ketua RT dan Pak Kadus. Tapi surat itu disimpan oleh Bang Usman dengan alasan dia anak tertua.

"Kamu denger nggak, Nur?!"

"Eh, iya, Bang. Aku mendengarnya kok, cuma lagi berpikir aja, kalau aku keluar dari rumah ini nanti aku akan tinggal di mana?"

"Kamu 'kan punya suami. Masalah kamu mau tinggal di mana, kamu mau makan apa, itu 'kan tanggung jawab suamimu, bukan tanggung jawab Abang!" Suara Bang Usman meninggi.

"Bang Usman lupa, apa yang diwasiatkan oleh Ibu kalau rumah ini ...."

"Halah, Ibu 'kan sudah tidak ada. Mau rumah ini untuk kamu atau dibagi tiga, Ibu tidak bakalan tahu. Abang lagi butuh banget uang itu untuk biaya pernikahan Rani."

Rani adalah anak sulung Bang Usman yang akan segera melangsungkan pernikahan.

"Tapi .... "

"Tapi apa?!"

"Tidak apa-apa, Bang. Nanti Nurma mau ngomong dulu sama Mas Fikri." Aku mau bilang kalau dia butuh uang, aku juga butuh tempat tinggal. Tapi Bang Usman keburu bertanya dengan nada tinggi. Membuat nyaliku ciut.

"Secepatnya, dan soal bengkel itu juga akan kita bagi tiga."

Apa? Jadi bengkel juga akan dibagi tiga. Bukankah itu juga warisan untukku? Ingin aku protes dan mengingatkan Bang Usman tentang wasiat almarhum Bapak, tapi rasanya itu percuma saja. Dari dulu, suaraku sebagai anak perempuan satu-satunya dan paling bungsu memang tidak pernah didengar. Aku hanya bisa mengusap dada, setelah panggilan berakhir.

Bang Usman dan Bang Halim bersikeras untuk menjual harta peninggalan Bapak dan Ibu yang sudah jelas menjadi bagianku.

Jika bengkel itu dijual, maka selain aku tidak punya tempat tinggal, maka Mas Fikri juga terancam tidak punya pekerjaan. Selama ini kami hidup dari bengkel itu, usaha peninggalan Bapak yang sudah ada sejak aku lahir. Kata Bapak, dia memulai usaha itu sejak belum menikah. Bapak merintis dari bawah dari sekedar tambal ban sampai bisa menjual sparepart motor seperti sekarang.

***

Dua hari kemudian aku sudah mengosongkan rumah itu, rumah yang penuh kenangan karena di sinilah kami lahir dan dibesarkan. Merasakan kehangatan keluarga, meski sebagai anak bungsu dan perempuan satu-satunya, aku merasa dibedakan. Tapi mau bagaimana, aku hanya bisa pasrah menerima keputusan kedua kakak laki-lakiku itu. Bukan tidak bisa melawan, tapi aku sudah tahu bagaimana karakter mereka.

Mas Fikri juga tidak bisa berbuat apa-apa, lantar posisi dia hanya menantu.

"Sudahlah, Dek. Rezeki kita sudah Allah atur. Mungkin Allah sedang mempersiapkan rezeki yang lebih besar dari ini. Sabar, ya."

Mas Fikri memang penyabar, aku beruntung memiliki suami seperti dia. Dulu Mas Fikri adalah pegawai Bapak di bengkel. Karena seringnya bertemu saat aku mengantarkan makanan untuk Bapak, lalu kami saling jatuh cinta. Tanpa pikir panjang, Bapak merestui dan kami pun menikah.

Kami mendapat tempat tinggal baru yang tak jauh dari tempat lama, hanya sekitar dua kilometer saja. Bangunan yang terdiri dari dua ruangan itu cukup menampung kamu beserta dua orang anak. Sayangnya, Mas Fikri tidak bisa membuka bengkel di sini lantaran yang punya tempat tidak mengizinkan. Katanya, kalau untuk usaha lain boleh saja, tapi untuk bengkel jangan. Nanti tempatnya jadi kotor.

"Lalu kita makan apa, Mas?" tanyaku khawatir.

"Ya, makan nasi, Dek," jawab Mas Fikri sambil tersenyum, meski kutahu senyum itu pun hambar.

"Uangnya dari mana? Nasi itu juga harus dibeli."

"Besok Mas akan mencari pekerjaan. Barangkali di pasar ada yang membutuhkan tenagaku. Tidak apa-apa kerja serabutan dulu, yang penting kita bisa makan."

Aku membuang nafas berat. Uang tabungan yang hanya sedikit sudah kami gunakan untuk uang muka kontrakan rumah ini. Sisanya untuk makan dua hari ke depan. Belum lagi uang jajan dan biaya sekolah kedua anakku.

"Jangan khawatir, Dek. Mas tidak akan membiarkan kalian kelaparan dan kekurangan," lanjut Mas Fikri membuatku yakin bahwa kami pasti bisa melaluinya bersama-sama, karena melihat kerja kerasnya selama ini.

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status