Share

3. Sumpah Serapah

Alhamdulillah kemarin Mas Fikri dapat uang lebih di pasar. Katanya ada Bos sayur yang karyawannya tidak masuk, jadi Mas Fikri menggantikannya. Meski kerjanya berat tapi bapak dari anak-anakku itu tidak pernah mengeluh.

"Kamu sudah izin ke sekolah Naya?" tanya Mas Fikri sambil membereskan pakaian ke dalam tas. Naya adalah anak pertama kami yang saat ini duduk di kelas dua sekolah dasar.

"Sudah, Mas. Untuk dua hari saja, 'kan?"

"Iya, kalau lama-lama di kampung, kasihan juga Naya, nanti ketinggalan pelajaran."

Karena khawatir Nisa rewel, akhirnya Mas Fikri memutuskan untuk ikut naik bus saja. Kedua anakku itu sebenarnya senang akan bertemu Nenek dan Kakeknya, lantaran sudah cukup lama kami tidak berkunjung ke sana. Bukan karena apa-apa, keuangan kami akhir-akhir ini memang sedang diuji.

"Ponselku sepertinya berbunyi, Mas." Aku memberikan isyarat pada Mas Fikri untuk membantu mengambilnya lantaran aku kesulitan. Belum ada satu jam perjalanan, Nisa sudah terlelap di pangkuanku.

"Siapa yang menelepon?"

"Mbak Ira," jawab Mas Fikri sambil mengulurkan tangannya yang memegang ponsel milikku.

"Mau apa dia menghubungiku?" tanyaku curiga.

"Angkat saja, Dek. Jangan suudzon dulu."

Mbak Ira adalah istrinya Bang Usman, selama ini dia menghubungiku kalau ada perlu saja. Perlu di sini dalam artian butuh tenagaku. Rumah mereka hanya berjarak lima kilometer saja dari rumahnya almarhumah Ibu, jadi Mbak Ira bisa seenaknya memintaku datang.

"Ya, Mbak. Assalamu'alaikum."

"Nur, besok kamu ke sini ya. Mbak mau beres-beres rumah, kamu kalau soal itu 'kan jagonya. Ada beberapa barang yang harus dipindahkan juga, sekalian ajak Fikri. Dia lagi nganggur 'kan?" Tanpa menjawab salamku, Mbak Ira langsung memberikan perintah. Tidak meleset dari dugaanku, kakak iparku itu memang sedang membutuhkan tenagaku.

"Maaf, Mbak. Sepertinya kami tidak bisa .... "

"Eh, kenapa? Kamu marah ya, karena rumah Ibu dijual? Jadi adik perempuan itu jangan baperan! Kalau ada apa-apa nanti juga pasti minta tolong pada kakak laki-laki!" Belum juga selesai aku berbicara, Mbak Ira sudah menyerocos tanpa koma. Langsung menuduh dan menyimpulkan apa yang ada dalam otaknya.

"Bukan begitu, Mbak .... "

"Lalu apa? Biasanya juga kamu tidak pernah menolak. Jadi orang miskin itu jangan sombong!"

Aku menghela panjang. Mulut Mbak Ira memang tidak pernah dijaga. Aku sudah biasa mendengar sumpah serapahnya yang ditujukan langsung padaku. Hanya saja, saat ini kami sedang berada di angkutan umum. Bagaimana kalau orang-orang mendengarnya. Yang malu bukan dia, tapi aku. Mas Fikri mengusap lenganku, lelakiku ini sudah tahu apa yang sedang kudengar dari kakak iparku ini.

"Kami sedang dalam perjalanan ke kampungnya Mas Fikri, Mbak."

"Oh, jadi kalian pergi diam-diam untuk menghindari pekerjaan?! Kamu tahu 'kan, di rumahku sebentar lagi bakal diadakan pesta besar dan sudah pasti akan banyak pekerjaan?"

"Maaf, Mbak. Ini juga mendadak, tadi pagi Emak menelepon supaya kamu berkunjung ke kampung." Aku sedikit berbohong untuk mengurangi kemarahan Mbak Ira.

"Alasan saja!"

Setelah itu sambungan telepon pun terputus tanpa basa-basi apalagi kata permisi.

"Ada apa?"

"Biasa, Mas. Kalau masalah beres-beres, bersih-bersih, pasti ingatnya sama kita." Aku mengedikkan bahu.

"Sabar, Dek. Walau begitu mereka itu kakak tertua, apalagi setelah orang tua tiada, mereka adalah gantinya."

Mas Fikri memang selalu bersabar. Tak pernah sekali pun dia menyuruhku untuk melawan sikap semena-mena kakak-kakakku dan keluarganya. Pria alim yang menikahiku sembilan tahun yang lalu itu memang membawa perubahan besar pada hidupku.

Aku yang besar di tengah keluarga yang kurang faham agama menjadi banyak belajar darinya. Selama pernikahan kami, Mas Fikri mengajariku mengaji, sholat, menutup aurat dan banyak hal lagi yang sebelumnya tak pernah aku dapatkan dari keluargaku. Hal inilah yang mungkin membuat aku berbeda dengan dua kakakku.

"Mas, aku jadi kepikiran, bagaimana kalau kita tinggal di kampung saja. Lagi pula Bapak dan Emak juga sudah tua. Meskipun ada Mas Fahmi yang mengurus mereka, tidak ada salahnya kita juga ada di sana." Tiba-tiba aku kepikiran untuk pulang ke kampung Mas Fikri.

"Nanti kita pikirkan lagi, Dek. Sebenarnya, Mas kurang berminat untuk bertani. Tapi jika terpaksa, ya mau bagaimana lagi."

Mas Fikri memang pernah berkata, bahwa sejak kecil dia sangat berminat pada mesin. Kalau ada uang, dia pun ingin mengenyam pendidikan yang lebih tinggi di bidang permesinan. Bapak sudah memintanya untuk melanjutkan menggarap tanah milik mereka, tapi setelah lulus SMK, Mas Fikri memilih untuk merantau hingga ia dipertemukan denganku di bengkel milik almarhum Bapakku.

***

Tepat tengah hari, kami sampai di rumah mertuaku. Rupanya mereka sudah menunggu kedatangan kami, katanya sudah kangen dengan cucu-cucunya.

"Maaf Mak, akhir-akhir ini kami jarang mengunjungi Bapak dan Emak. Selain sibuk mengurus tahlilan Ibu, kami juga .... "

"Tidak apa-apa, Nur. Emak ngerti keadaan kalian. Toh kalian tidak lupa mengabari kami meski lewat telepon."

Anak-anak langsung berhamburan menuju belakang rumah bersama Mas Fikri juga Bapak, di sana mereka asyik memperhatikan ikan di kolam. Mereka berteriak senang ketika mendengar Kakeknya akan menangkap ikan untuk lauk nanti. Sementara aku membantu Emak mempersiapkan makan siang.

"Maaf ya, Nur. Kami tidak bisa datang sewaktu Ibumu berpulang," ucap Emak sambil menyalakan tungku.

"Tidak apa-apa, Mak. Yang penting doanya. Dan mohon dimaafkan jika Ibu ada salah sama emak dan Bapak."

"Emak maafkan, mudah-mudahan almarhumah Husnul khatimah. Lagipula, Ibumu itu orang yang baik. Sepanjang kami besanan, beliau tidak pernah menyakiti hati Emak."

Obrolan kami berlanjut hingga nasi dan lauknya matang. Kami pun makan bersama di bale-bale belakang. Suasana asri pedesaan memang selalu membuatku betah berlama-lama di sini. Tapi Mas Fikri selalu berkata, kalau kelamaan di kampung, kita tidak punya uang. Benar juga, sebab ladang pencaharian Mas Fikri ada di kota.

"Maaf, Pak. Sebenarnya kami khawatir ketika Emak meminta kami datang ke sini. Pikiran pun sudah tidak enak saja, takut ada apa-apa dengan kalian," ucap Mas Fikri setelah kami selesai makan.

Bapak tersenyum, mengerti apa yang dirasakan oleh anaknya.

"Sebenarnya ada yang ingin Bapak sampaikan pada kalian." Bapak menjeda, untuk beberapa saat beliau menatap kami bergantian.

Kulirik Mas Fikri yang juga penuh tanya sepertiku.

"Ada apa, Pak? Katakan saja." Raut tak sabar jelas terlihat di wajah Mas Fikri.

"Bapak kehilangan sawah .... "

"Apa?!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status