Share

3. Sumpah Serapah

Penulis: Tetiimulyati
last update Terakhir Diperbarui: 2023-05-31 16:39:30

Alhamdulillah kemarin Mas Fikri dapat uang lebih di pasar. Katanya ada Bos sayur yang karyawannya tidak masuk, jadi Mas Fikri menggantikannya. Meski kerjanya berat tapi bapak dari anak-anakku itu tidak pernah mengeluh.

"Kamu sudah izin ke sekolah Naya?" tanya Mas Fikri sambil membereskan pakaian ke dalam tas. Naya adalah anak pertama kami yang saat ini duduk di kelas dua sekolah dasar.

"Sudah, Mas. Untuk dua hari saja, 'kan?"

"Iya, kalau lama-lama di kampung, kasihan juga Naya, nanti ketinggalan pelajaran."

Karena khawatir Nisa rewel, akhirnya Mas Fikri memutuskan untuk ikut naik bus saja. Kedua anakku itu sebenarnya senang akan bertemu Nenek dan Kakeknya, lantaran sudah cukup lama kami tidak berkunjung ke sana. Bukan karena apa-apa, keuangan kami akhir-akhir ini memang sedang diuji.

"Ponselku sepertinya berbunyi, Mas." Aku memberikan isyarat pada Mas Fikri untuk membantu mengambilnya lantaran aku kesulitan. Belum ada satu jam perjalanan, Nisa sudah terlelap di pangkuanku.

"Siapa yang menelepon?"

"Mbak Ira," jawab Mas Fikri sambil mengulurkan tangannya yang memegang ponsel milikku.

"Mau apa dia menghubungiku?" tanyaku curiga.

"Angkat saja, Dek. Jangan suudzon dulu."

Mbak Ira adalah istrinya Bang Usman, selama ini dia menghubungiku kalau ada perlu saja. Perlu di sini dalam artian butuh tenagaku. Rumah mereka hanya berjarak lima kilometer saja dari rumahnya almarhumah Ibu, jadi Mbak Ira bisa seenaknya memintaku datang.

"Ya, Mbak. Assalamu'alaikum."

"Nur, besok kamu ke sini ya. Mbak mau beres-beres rumah, kamu kalau soal itu 'kan jagonya. Ada beberapa barang yang harus dipindahkan juga, sekalian ajak Fikri. Dia lagi nganggur 'kan?" Tanpa menjawab salamku, Mbak Ira langsung memberikan perintah. Tidak meleset dari dugaanku, kakak iparku itu memang sedang membutuhkan tenagaku.

"Maaf, Mbak. Sepertinya kami tidak bisa .... "

"Eh, kenapa? Kamu marah ya, karena rumah Ibu dijual? Jadi adik perempuan itu jangan baperan! Kalau ada apa-apa nanti juga pasti minta tolong pada kakak laki-laki!" Belum juga selesai aku berbicara, Mbak Ira sudah menyerocos tanpa koma. Langsung menuduh dan menyimpulkan apa yang ada dalam otaknya.

"Bukan begitu, Mbak .... "

"Lalu apa? Biasanya juga kamu tidak pernah menolak. Jadi orang miskin itu jangan sombong!"

Aku menghela panjang. Mulut Mbak Ira memang tidak pernah dijaga. Aku sudah biasa mendengar sumpah serapahnya yang ditujukan langsung padaku. Hanya saja, saat ini kami sedang berada di angkutan umum. Bagaimana kalau orang-orang mendengarnya. Yang malu bukan dia, tapi aku. Mas Fikri mengusap lenganku, lelakiku ini sudah tahu apa yang sedang kudengar dari kakak iparku ini.

"Kami sedang dalam perjalanan ke kampungnya Mas Fikri, Mbak."

"Oh, jadi kalian pergi diam-diam untuk menghindari pekerjaan?! Kamu tahu 'kan, di rumahku sebentar lagi bakal diadakan pesta besar dan sudah pasti akan banyak pekerjaan?"

"Maaf, Mbak. Ini juga mendadak, tadi pagi Emak menelepon supaya kamu berkunjung ke kampung." Aku sedikit berbohong untuk mengurangi kemarahan Mbak Ira.

"Alasan saja!"

Setelah itu sambungan telepon pun terputus tanpa basa-basi apalagi kata permisi.

"Ada apa?"

"Biasa, Mas. Kalau masalah beres-beres, bersih-bersih, pasti ingatnya sama kita." Aku mengedikkan bahu.

"Sabar, Dek. Walau begitu mereka itu kakak tertua, apalagi setelah orang tua tiada, mereka adalah gantinya."

Mas Fikri memang selalu bersabar. Tak pernah sekali pun dia menyuruhku untuk melawan sikap semena-mena kakak-kakakku dan keluarganya. Pria alim yang menikahiku sembilan tahun yang lalu itu memang membawa perubahan besar pada hidupku.

Aku yang besar di tengah keluarga yang kurang faham agama menjadi banyak belajar darinya. Selama pernikahan kami, Mas Fikri mengajariku mengaji, sholat, menutup aurat dan banyak hal lagi yang sebelumnya tak pernah aku dapatkan dari keluargaku. Hal inilah yang mungkin membuat aku berbeda dengan dua kakakku.

"Mas, aku jadi kepikiran, bagaimana kalau kita tinggal di kampung saja. Lagi pula Bapak dan Emak juga sudah tua. Meskipun ada Mas Fahmi yang mengurus mereka, tidak ada salahnya kita juga ada di sana." Tiba-tiba aku kepikiran untuk pulang ke kampung Mas Fikri.

"Nanti kita pikirkan lagi, Dek. Sebenarnya, Mas kurang berminat untuk bertani. Tapi jika terpaksa, ya mau bagaimana lagi."

Mas Fikri memang pernah berkata, bahwa sejak kecil dia sangat berminat pada mesin. Kalau ada uang, dia pun ingin mengenyam pendidikan yang lebih tinggi di bidang permesinan. Bapak sudah memintanya untuk melanjutkan menggarap tanah milik mereka, tapi setelah lulus SMK, Mas Fikri memilih untuk merantau hingga ia dipertemukan denganku di bengkel milik almarhum Bapakku.

***

Tepat tengah hari, kami sampai di rumah mertuaku. Rupanya mereka sudah menunggu kedatangan kami, katanya sudah kangen dengan cucu-cucunya.

"Maaf Mak, akhir-akhir ini kami jarang mengunjungi Bapak dan Emak. Selain sibuk mengurus tahlilan Ibu, kami juga .... "

"Tidak apa-apa, Nur. Emak ngerti keadaan kalian. Toh kalian tidak lupa mengabari kami meski lewat telepon."

Anak-anak langsung berhamburan menuju belakang rumah bersama Mas Fikri juga Bapak, di sana mereka asyik memperhatikan ikan di kolam. Mereka berteriak senang ketika mendengar Kakeknya akan menangkap ikan untuk lauk nanti. Sementara aku membantu Emak mempersiapkan makan siang.

"Maaf ya, Nur. Kami tidak bisa datang sewaktu Ibumu berpulang," ucap Emak sambil menyalakan tungku.

"Tidak apa-apa, Mak. Yang penting doanya. Dan mohon dimaafkan jika Ibu ada salah sama emak dan Bapak."

"Emak maafkan, mudah-mudahan almarhumah Husnul khatimah. Lagipula, Ibumu itu orang yang baik. Sepanjang kami besanan, beliau tidak pernah menyakiti hati Emak."

Obrolan kami berlanjut hingga nasi dan lauknya matang. Kami pun makan bersama di bale-bale belakang. Suasana asri pedesaan memang selalu membuatku betah berlama-lama di sini. Tapi Mas Fikri selalu berkata, kalau kelamaan di kampung, kita tidak punya uang. Benar juga, sebab ladang pencaharian Mas Fikri ada di kota.

"Maaf, Pak. Sebenarnya kami khawatir ketika Emak meminta kami datang ke sini. Pikiran pun sudah tidak enak saja, takut ada apa-apa dengan kalian," ucap Mas Fikri setelah kami selesai makan.

Bapak tersenyum, mengerti apa yang dirasakan oleh anaknya.

"Sebenarnya ada yang ingin Bapak sampaikan pada kalian." Bapak menjeda, untuk beberapa saat beliau menatap kami bergantian.

Kulirik Mas Fikri yang juga penuh tanya sepertiku.

"Ada apa, Pak? Katakan saja." Raut tak sabar jelas terlihat di wajah Mas Fikri.

"Bapak kehilangan sawah .... "

"Apa?!"

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • WARISAN YANG DIRAMPAS    82. Balasan dari Tuhan

    Usman pun harus bisa menerima kenyataan bahwa komunikasinya dengan Zara yang merupakan istri simpanannya, juga anak mereka tidak sebebas dan selancar dulu. Pasalnya sekarang ada anak-anak yang mengawasinya. Meski begitu sekali-kali dia masih bisa menghubungi Zara. Tapi beberapa hari ini wanita itu sangat sulit dihubungi. Usman pun pasrah jika Zara berpaling dan menemukan pria lain yang bisa melindunginya. Usman harus bisa menerima bahwa dirinya hanya seorang pria penyakitan yang tinggal menunggu ajalnya saja. Meskipun hatinya sakit, mau tidak mau Usman harus merelakan."Pegi agi .... ?" Tanya Usman pada Ira yang malam itu sudah rapi berpakaian. Ira sekarang terlihat lebih cantik dari dulu, alasannya karena tuntutan pekerjaan. Meskipun Usman curiga bukan semata-mata karena itu, tapi untuk menyenangkan pria lain. Lagi-lagi pria itu hanya bisa meringis di dalam hati. "Iya, Pa. Kebetulan malam ini Mama ada jamuan dari rekan bisnisnya bos."Usman membuang napas berat, meskipun alasan yan

  • WARISAN YANG DIRAMPAS    81. Warisan

    Pov authorSiang itu Nurma mendapat banyak informasi dari Hesti mengenai kondisi Nuning ketika mengandung dan melahirkan dia. Selama kehamilannya, Nuning sangat tertekan oleh teror yang terus dikirimkan anak-anaknya Rahman. Berkali-kali Nuning meminta Rahman untuk meninggalkannya dan kembali pada istri pertamanya lantaran Nuning sudah lelah dengan serangan anak sambungnya. Akan tetapi, Rahman menolak. Selain karena ia terlanjur menyayangi Nuning, dia juga tidak mau meninggalkan wanita itu dalam keadaan hamil tua."Apa seandainya aku sedang tidak hamil, Kang Rahman mau meninggalkan aku?" tanya Nuning sambil mengusap perutnya yang semakin membesar."Tolong jangan bahas soal itu. Aku mengakui ini kesalahanku, tapi anak itu harus lahir di tengah keluarganya yang utuh." "Anak ini seharusnya tidak ada, hingga aku tidak perlu terikat pada Kang Rahman."Saat itu keadaan Nuning bisa dikatakan depresi hingga ia melahirkan seorang bayi perempuan yang cantik dan setelah itu Nuning mengalami bab

  • WARISAN YANG DIRAMPAS    80. Kisah Ibu

    Pov NurmaSebelum subuh Ibu sudah bangun. Ketika aku turun, bahkan Ibu sudah berada di dapur. Sepertinya dia akan menyiapkan sarapan. Ada rasa tidak enak melihatnya harus sibuk pagi-pagi buta di rumah anaknya sendiri."Biar aku saja, Bu. Ibu duduk saja, ya. Sekarang 'kan sudah ada aku, Ibu tidak perlu bekerja lagi." Tak tega aku melihatnya harus mengerjakan pekerjaan rumah."Tidak apa-apa, Ibu sudah biasa mengerjakannya. Jadi kalau Ibu diam saja malah merasa tidak enak," jawabnya bersemangat."Ya sudah, tapi Ibu jangan mengerjakan yang berat-berat, ya."Aku tidak ingin mematahkan semangatnya, yang penting Ibu tidak merasa tertekan. Akhirnya kubiarkan dia mengerjakan sebagian pekerjaan, meskipun tetap saja aku yang dominan. Mungkin dengan cara itu Ibu bisa sedikit terhibur, menghabiskan waktu bersamaku yang selama tiga puluh tahun ini tidak pernah dia dapatkan."Siapa yang menyukai kerupuk?" tanya ibu ketika melihat satu toples besar kerupuk di meja makan."Kami semua suka, Bu. Dulu Ma

  • WARISAN YANG DIRAMPAS    79. Terpaksa Membayar

    Diah terus memaksa, meskipun aku sudah menolak. Bahkan mobilnya tidak bergeser satu senti pun. Karena tak enak, juga khawatir ia curiga, akhirnya aku masuk mobil."Mbak Ira sebenarnya mau ke mana, sih?" tanya Diah ketika aku sudah duduk di sampingnya dan mobil pun melaju."Mau ke depan," jawabku singkat."Iya orang jalan itu pasti ke depan, kalau ke belakang itu namanya mundur. Dari tadi ditanya, jawabnya ke depan mulu." Diah terdengar kesal. Aku menggaruk kepala yang sebenarnya tidak gatal, bingung juga apakah harus terus terang pada Diah bahwa aku akan melihat rumah kontrakan atau diam saja."Aku mau melihat rumah kontrakan." Akhirnya aku memilih untuk jujur."Jadi sudah dapat?" tanya Diah datar."Belum sih, semalam aku coba nyari-nyari di media sosial dan ada beberapa yang sepertinya sesuai dengan keinginan. Jadi rencananya hari ini mau lihat-lihat dulu.""Kalau begitu sekalian aku anterin saja, biar nanti kalau Mbak Ira pindah aku jadi tahu tempat tinggal kalian."Aku menoleh, me

  • WARISAN YANG DIRAMPAS    78. Sikap Diah

    Aku tidak berani menoleh hingga go-jek yang membawaku berhenti di depan rumah Halim. Kutahu mobil pria itu terus mengikutiku dan melesat setelah memastikan aku sampai pada tujuan.Mas Usman tengah tertidur ketika aku masuk ruangan. Letak ponselnya pun berubah, aku yakin mereka berkomunikasi lagi ketika aku pergi tadi. Sakit kembali kurasakan, tapi mereka juga pasti lebih tersiksa menahan rindu. Sambil menunggu Mas Usman bangun aku mulai mencari-cari rumah kontrakan yang murah dan dan bagus. Tak kalah penting juga lokasinya tidak jauh dari sini. Tak lupa aku juga mengecek saldo yang tadi ditransfer oleh Anjas. Ternyata jumlahnya lumayan besar. Dia bilang ini dua kali lipat dari harga mobil itu. Aku sendiri tidak paham berapa harga mobil tersebut. Kalau dibilang tidak enak, jujur saja aku tidak enak menerima uang sebanyak itu dari Anjas. Meskipun akadnya jual beli, tapi itu lebih banyak dari harga seharusnya. Saat ini memang aku sangat membutuhkan uang itu minimal Aku punya tempat tin

  • WARISAN YANG DIRAMPAS    77. Perhatian

    Aku kembali mengernyit, pasalnya aku tidak tahu di mana letak pabrik itu. Apakah dekat dengan tempat tinggalku atau jauh. Aku juga sedang berpikir kalau aku bolak-balik sayang uang untuk ongkosnya ditambah lagi waktu yang terbuang."Tempatnya masih dekat sini, kamu juga tidak akan kehilangan banyak waktu untuk bolak-balik." Anjas seperti yang mengerti apa yang sedang aku pikirkan. Tapi benar juga, untuk kedepannya Aku bingung dengan biaya hidup kami. Jika aku tidak menerima tawaran ini, maka aku harus mencari pekerjaan lain. Pada akhirnya sekarang memang aku yang harus mencari nafkah. Lagi pula, jika bekerja pada orang lain, belum tentu bisa mendapatkan keringanan seperti ini."Baiklah, aku terima tawaran kamu." Aku sudah memutuskan dan mengatakannya setelah selesai makan. Pertimbangannya adalah, Anjas itu temanku, dia sudah memberi keringanan dan aku bisa bernegosiasi sama dia. Baik itu masalah pekerjaan ataupun uang."Oke, kamu tidak perlu membicarakannya dulu dengan suamimu."Aku t

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status