Yatri mulai menyeret sendiri koper-kopernya. Sesaat kakinya terhenti melangkah, membalik ke arah kamarnys kembali. Di kamar itulah ia pertama kali memadu kasih bersama Rexa, mendengar Rexa mengucap kata cinta.
'Ya Allah, aku harus kuat, aku hanya ingun takdir bermain sesuai yang di inginkannya,' ucap Yatri dalam hati.Bu Yat yang melihat itu sungguh tak tega, rasanya ingin menahan Yatri namun Bu Anne yang berdiri di depan pintu terlihat sangat menyeramkan."Bu Yat, aku pamit ya, terimakasih atas kebaikannya selama ini," ucap Yatri berkaca-kaca."Kenapa tidak tunggu Tuan Rexa, Bu. Jangan pergi tanpa di ketahui Tuan," sahut Bu Yat memberanikan diri."Bu Yat!" Bu Anne memekik dari jauh. Dia kesal atas kelancangan Bu Yat yang menahan Yatri pergi.Bu Yat menunduk, nyalinya ciut seketika. Suara dan tatapan Bu Anne memang sangat seram bila sudah marah. Yatrinhanya bisa membalas itu dengan menatap tajam balik ibu mertuanya.
Pagi telah tiba, sinar matahari menyusup di balik jendela kaca, mata Rexa mengerjap. Perlahan membangunkan diri, dia masih merasa pusing, dia melihat di sekelilingnya.'Ah, bukan kamarku, Yatri dimana ya,' ucapnya dalam hati.Rexa keluar dari kamar itu, Bu Anne dan Hani sedang menyiapkan sarapan pagi, sedikit terhenyak karena kehadiran Hani di rumahnya."Kamu udah bangun, Nak. Ayo sarapan dulu," ajak Bu Anne."Nanti saja, Mi. Aku mau ke atas menemui istri
Bu Anne tiba di rumah bersama Hani. Saat itu Rexa sudah ada di rumah untuk pulang sejenak mandi. Bu Anne ya g ingin memamerkan kecantikan Hani pada anaknya ingin agar Hani segera bertemu Rexa di atas kamar. "Bu Yat, tolong siapkan kopi untuk Rexa," pinta Bu Anne. Beberapa menit kemudian, Bu Yat datang membawa kopi sesuai selera Rexa. "Hani, kamu bawakan kopi ini ke atas untuk Rexa," kata Bu Anne. Hani terhenyak, dia masih kaku melakukan hal itu, belum pantas dan takut pada Rexa yang berwajah dingin. "Tapi, Bu. Jangan ah, nanti yang ada malah menganggu Kak Rexa," tolak Hani. "Ck, ini bentuk perhatian, Hani. Sudah kamu bawa, bilang ini dari Mami, sana ayo kamu ke atas," sergah Bu Anne memaksa. Hani mengambil nampan itu dari tangan Bu Anne. Dia ke atas membawa kopi itu dengan tubuh yang bergetar menahan gerogi. 'Hani, jangan sampai kamu buat dia marah,' lirih Hani dalam hati
Seminggu telah berlalu, suara kicauan burung terdengar syahdu di pedesaan itu. Dusun yang lumayan rapi, tapi belum memanfaatkan tangan pemerintah. Semua masih saja tradisional terlihat, warganya pun belum mengenal apa itu gadget atau sekedar teknologi modern lainnya. Randy berjalan bersama asisten pribadinya. Dua hari dia mendata warga yang harus mendapat sembako juga perbaikan rumah agar jadi hunian layak. "Sepertinya masih ada lagi di ujung sana, Ran."
Pemakaman pak Yahya usai, Reza masih tetap bertahan memegang nisan kakeknya. Sungguh dia kehilangan sosok menuntun jalan saat dia berada di kebimbangan. Pak Doni hanya bisa menjaga jarak dari anaknya yang ia yakini sedang sensitif. Bu Wanda dan Roy pamit pulang, mata Bu Wanda ia paksa menguras air mata kepalsuannya. Sementara dari hati kecil Roy, dia pun ikut merasa sedih, karena bagaimanapun telah berjasa membawanya hingga di titik sekarang ini. Tanpa pak Yahya, Roy tak dapat sekolah dan melanjutkan kuliah di luar negeri. "Ibu, kakek kenapa bisa tak sadarkan diri?" tanya Roy yang pada Bu Wanda, saat itu hanya mereka berdua di dalam mobil. Bu Wanda hanya tersenyum, bibirnya sesekali ia angkat sebelah, seakan mengingat suatu kejadian yang membuat ya puas dan bahagia. "Kamu tidak perlu tahu, cukup kamu jalankan apa yang sudah menjadi tugasmu, kuasai perusahaan sekarang, lalu hengkang semua pihak-pihak yang akan mengganggu ketentram
Rexa hidup kian tak beraturan, dia menjadi pria yang setiap malamnya bersahabat dengan alkohol. Bahkan, wanita silih berganti menemani hari-harinya. Bu Anne dan Hani sampa kualahan menangani sikap Rexa yang dingun namun begitu liar.Pria yang merasakan depresi berat karena di tinggal wanita yang di cintainya. Bahkan, perusahaanya pun mengalam kemorosotan, Gerald sekuat kemampuannya menjadi pengganti demi Rexa yang sudah ia anggap seperti kakak.Bu Anne menanti kepulangan Rexa yang seringkali pulang saat di waktu subuh. Bahkan, kadang membawa perempuan untuk menginap bersamanya. Buat Hani kian patah hati. Tak berharap banyak lagi pada Rexa.Deru mobil Rexa terdengar juga, para bodyguard membopong Tuannya keluar mobil. Rexa mabuk lagi, mulutnya hanya menyebut nama Yatri seorang."Rexa! Mau sampai kapan kamu begini, nak?" keluh Bu Wanda."Yatri.." lirih Rexa.Bu Wanda geram, sangat tidak
Pagi telah tiba, Rexa merasa menyentuh seseorang di sampingnya. Meraba lagi agar meyakinkan, betul, ada seseorang di sampingnya, Rexa membuka mata, sontak dia terperanjat dari tempat tidur, melihat Hani tertidur di sampingnya, tak mengenakan baju. Rexa meraba bagian bawahnya, alat vitalnya masih tetap bersih, pertanda dia tak melakukan itu pada Hani. Tetapi gadis itu sudah bertelanjang bulat bersamanya, benarkah tak terjadi lakon buruk itu? "Ahk!" Rexa kesal. Selama ini, dia tidak pernah bercinta dengan perempuan mana pun, semenjak kepergian Yatri, dia hanya menjadikan wanita malam teman minum disaat butuh. Tak pernah sekalipun memakainya untuk melampiaskan nafsu syahwatnya. "Aku tidak melakukan itu, aku yakin." Rexa melihat Hani yang masih tertidur lelap, dia mulai menyimpan kebencian pada gadis lugu yang sangat di sayangi ibunya itu. "Hani, bangun! Aku bilang bangun!" Rexa membentak.
Lima bulan kemudian, Yatri sedang membuat Roti panggang pesanan guru Difa. Toko kue Yatri lumayan di kenal, dan berjubel para pelanggan yang mengantri menanti pesanan mereka. Yatri pun telah mempekerjakan empat karyawan.Sementara sore itu Uwa Nawi membawa Trixa jalan-jalan berkeliling taman dengan memakai kereta bayi. Di taman itu ada banyak orang yang lalu-lalang. Tiba-tiba Uwa Nawi kebelet ingin buang air kecil, bergegas ia mencari toilet terdekat. Menitipkan sejenak Trixa ke penjaga toilet.Namun di taman itu pula ada sosok pria yang juga memasuki toilet, namun matanya malah menyorot bayi mungil di kereta bayi itu. Perlahan ia mendekati Trixa, senyum gadis mungil itu berbinar melihat sosok pria tampan yang menyapanya."Hei, anak cantik, kamu kayak boneka," ucap pria itu yang tak lain adalah Rexa.Trixa kegirangan, meracau dengan bahasa bayinya. Rexa mengusap kepala Trixa dengan lembut, teringat den
Rexa usai rapat, dia bergegas ingin ke taman lagi mencari Trixa, bayi mungil nan cantik yang buat dia jatuh hati. "Selanjutnya kita mau kemana, Bos?" tanya Gerald yang mengikuti langkah Reza keluar dari ruang rapat. "Aku mau ke taman, melihat bayi tadi," sahut Rexa mempercepat langkahnya. "Lah, emang dia siapa? itu anak orang loh, takutnya orang tuanya nanti salah paham dengan Bos," kata Gerald. "Gak ah, aku ingin ketemu." Rexa tetap ngotot, dia menyeberang jalan dengan berlari kecil. Gerald hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah aneh bosnya itu. Rex baru kali ini menyenangi anak, sebelumnya ia tak pernah tertarik pada anak kecil. Rexa langsung ke arah toilet umum di taman itu. Dia menemui penjaga toilet yang menemani anak bayi itu. "Bu, bayi tadi itu mana?" tanyanya. "Udah pulang, Pak." "Ha? tah