Share

NOTE 2 LAGU YANG MENJADI ALASAN KEMATIAN

Eesha yang telah selesai bermain dengan Kiran segera pulang. Begitu sampai di rumahnya, Eesha segera berteriak memanggil Ibunya. 

“Ibu, aku pulang. .” kata Eesha dengan melempar sepatu yang digunakannya. “Kakak mana?” 

“Eesha sayang. . . jangan melemparkan sepatu yang kamu gunakan, letakkan dengan rapi di lemari sepatu di dekat pintu. . .” 

“Maaf, Bu. . .” jawab Eesha dengan merapikan sepatunya yang baru saja dilemparkannya. “Kakak mana, Bu?” tanya Eesha untuk kedua kalinya. 

“Kakakmu pulang malam karena ada pekerjaan di kota dan sepertinya Kakakmu akan sering pulang mulai hari ini.” 

Eesha segera menekuk wajahnya dan menunduk kesal, “Padahal kakak bilang mau membantuku mengerjakan tugas. .“

“Kalau begitu. . . bagaimana jika Ibu yang membantumu mengerjakan tugas, putri kecilku?” 

“Sepertinya aku tidak punya pilihan lain selain menerima bantuan Ibu. . .” 

“Jawaban apa itu. . .?” tanya Eila heran, “apakah Eesha kecewa karena Ibu yang membantumu mengerjakan tugas?” 

“Tidak, Bu. . .” jawab Eesha dengan cepat. “Hanya saja. . . kakak berjanji akan memberiku permen coklat, Padahal, aku sudah menantikan permen coklat itu seharian. Tapi, kakak pulang terlambat dan aku tidak akan sempat mencicipi permen coklat itu hari ini. Aku ingin membaginya dengan Kiran jika coklat pemberian kakak enak.” 

Eila tersenyum mendengar jawaban polos dari putri kecilnya itu, “Sepertinya, putri kecil Ibu ini sangat senang bisa berteman dengan Kiran.” 

Eesha tersenyum lebar mendengar Ibunya menyebut nama Kiran, “Tentu saja. . . Kiran bahkan. . .” 

Eesha belum menyelesaikan kalimatnya ketika bel rumahnya berbunyi dan membuat Ibu Eesha segera berlari dan membuka pintu. Eesha mendengus sebal karena ibunya belum mendengar kalimat yang ingin diucapkannya. 

“Ah, Bibi Rania. . . selamat sore. . .” sapa Eila ketika melihat tamu yang tiba – tiba berkunjung ke rumahnya. 

Mendengar nama Rania (65), Eesha segera mendekat ke arah ibunya dan tersenyum menatap ke arah Rania. 

“Selamat sore, Nenek Rania. . .” sapa Eesha.

“Selamat sore Eila, Eesha. . .” balas Rania. “Kebetulan, cucuku datang kemari dan membawa banyak makanan. Aku teringat Eesha ketika melihat banyak coklat, jadi aku datang kemari untuk memberi Eesha coklat sekaligus mengenalkan cucuku, Amartya padamu, Eila dan Eesha sayang.” 

Rania memberikan tas kecil berisi penuh coklat ke arah Eesha. Dengan senyuman lebar, Eesha menerima tas kecil itu. 

“Terima kasih banyak, Nenek Rania,” kata Eesha dengan tersenyuma senang. Eesha melihat anak laki – laki berdiri di belakang Nenek Rania dan menatapnya dengan tatapan sengit. “Apakah anak laki – laki ini adalah cucu Nenek?” 

Rania tersenyum ke arah Eesha, “Ya, Eesha sayang. Ini adalah cucu Nenek namanya Amartya tapi Nenek biasa memanggilnya dengan Amar. Karena Nenek yang sudah tua ini sedikit kesulitan memanggil nama cucuku yang sedikit panjang.” 

Rania tertawa kecil melirik ke arah cucunya, Amartya. Sementara itu, Amartya hanya bisa merengut mendengar ucapan Neneknya. 

Tanpa diberi perintah Eesha segera mengulurkan tangannya untuk berkenalan dengan Amartya, “Salam kenal, aku Eesha. Kelas 2. Umur 7 tahun.” 

Amartya menatap sinis tangan Eesha dan kemudian menatap mata Eesha. Tanpa membalas uluran tangan Eesha, Amartya merengek ke arah neneknya. 

“Aku tidak mau tinggal di sini, Nek. Aku ingin pulang ke rumah.” 

Rania merasa sedikit malu dengan kelakuan cucunya yang sedikit manja. “Maafkan cucuku, dia terbiasa dimanja oleh putraku dan menjadi sedikit nakal seperti ini.” 

Eila tersenyum melihat kelakuan Amartya, “Tidak apa – apa, Bibi. Anak – anak memang tidak mudah untuk beradaptasi di tempat yang asing.” 

“Ayo cepat berkenalan dengan Eesha, Amar. Kasihan tangan Eesha menggantung lama karena kamu tidak membalas salamannya. . .” kata Rania sedikit kesal ke arah cucunya, Amartya. 

“Aku tidak mau, Nek. Aku mau pulang ke rumah. . .” Amartya terus merengek di depan Nenek, Eila dan Eesha. 

Melihat tangannya yang tidak kunjung mendapat sambutan dari Amartya, Eesha melangkah maju dan menarik tangan Amartya dan memaksanya untuk membalas salamannya. 

“Salam kenal, Amartya. . .” kata Eesha dengan senyum polosnya. “Ah. . . seperti yang Nenek bilang namamu memang sulit sekali untuk diucapkan. Bagaimana jika aku memberimu nama panggilan khusus?”

Eesha berpikir sejenak dan berusaha mencari nama yang pas untuk panggilan Amartya, namun tidak ada satu ide pun muncul di dalam kepalanya. Eesha mengalihkan pandangannya ke arah Nenek Amartya. 

“Nek. . . apa arti nama dari Amartya?” tanya Eesha dengan wajah polosnya. 

“Sang penguasa abadi, sayang. . .” 

“Ehm. . . .” kata Eesha masih dengan berpikir, “terlalu sulit. Bagaimana jika aku memanggilmu dengan Rama yang merupakan kebalikan dari Amar?” 

Mendengar ucapan Eesha, Amartya semakin kesal. “Aku ingin pulang, Nek. . .” 

Amartya merajuk ke arah neneknya. 

Melihat reaksi Amartya dan merasa tidak enak, Eila segera memberitahu putrinya, “Eesha. . . jangan mengganti nama orang tanpa ijin begitu.” 

Nenek Amartya hanya bisa tersenyum mendengar ucapan Eesha, “Tidak apa – apa, Eila. Aku pun juga kesulitan menyebut nama cucuku. Jika dengan memberi nama panggilan, Amar bisa dekat dengan Eesha, itu bukan masalah besar.” 

Nenek Amartya memberikan jawaban yang bijak kepada Eila yang merasa tidak enak. 

“Tapi, Bi. . .” 

“Tidak apa – apa, Eila. . .” Nenek Amartya kemudian mengalihkan pandangannya dan tersenyum ke arah Eesha, “Eesha sayang. . . Nenek harap kamu mau berteman dengan Amar.” 

Eesha menganggukkan kepalanya, “Tentu saja, Nek. Jika nenek memberiku coklat yang banyak, aku pasti akan berteman dengan Rama. . .” 

Dengan polos, Eesha tersenyum menatap ke arah Nenek Amartya dan Amartya. 

“Eesha. . . kamu ini. . .” kata Eila yang merasa sedikit malu dengan jawaban putrinya. “Maafkan putri kecilku ini, Bi.” 

“Tentu saja. . . Nenek akan memberimu coklat lagi. . .” jawab Nenek Amartya dengan tersenyum ke arah Eesha dan Eila. 

Eesha melepaskan tangan Amartya dan bertanya, “Berapa umurmu, Rama?” 

Amartya tidak menjawab pertanyaan Eesha dan mengabaikannya lagi untuk kesekian kalinya. Amartya kembali merajuk ke arah neneknya. 

“Nenek. . . aku tidak mau berteman dengan gadis desa. Nanti aku tertular dengan mereka.” 

“Hush. . .” kata Rania dengan cepat, “kamu tidak boleh begitu, Amar. Desa atau kota, tengah kota atau pinggiran kota, yang membedakan hanya tempat tinggalnya saja. Orang – orang yang tinggal di pinggiran kota juga manusia yang sama dengan orang – orang yang tinggal di tengah kota.” 

Rania yang merasa sikap cucunya sangat buruk segera meminta maaf kepada Eesha mewakili cucunya, “Maafkan Amar ya Eesha sayang . . Amar begini karena terlalu dimanjakan oleh ayah dan ibunya. Amar baru berumur lima tahun. . .” 

Eesha yang sama sekali tidak merasa sakit hati segera berbicara dengan senyuman, “Kalau begitu, rama lebih muda dariku. Mulai sekarang, aku bisa punya adik laki – laki yang tampan seperti Rama. . . meski tidak setampan Kiran.” 

Eesha menatap Amartya dengan penuh ketertarikan sementara Amartya hanya bisa memandang sinis ke arah Eesha. Amartya merasa kesal kepada Eesha karena neneknya lebih menuruti ucapan Eesha dari pada ucapannya. 

# # #

Menjelang sore tiba, Rhea sudah berada di kota dan saat ini sedang duduk menatap dirinya di cermin besar di sebuah salon di kota. Rhea menatap dirinya dan sedikit mengagumi kecantikan yang dimilikinya. Seminggu ini, pendapatannya sebagai penyanyi di café sedikit lebih banyak sehingga membuat dirinya berani datang ke salon dengan niat mempercantik dan sedikit memanjakan dirinya. 

Pendapatannya yang meningkat, semua berkat adik kecilnya, Eesha yang memberikan ide untuk Rhea. Tanpa seijin adik kecilnya, Rhea mulai menyanyikan lagu yang selalu dinyanyikan adik kecilnya itu. Meski sedikit merasa bersalah pada Eesha, Rhea tidak ambil pusing karena uang yang didapatnya juga akan digunakan untuk Eesha juga. 

“Selamat datang, ada yang bisa saya bantu, Nona?” tanya salah satu pegawai salon kepada Rhea. 

“Aku ingin memotong rambuku sekitar sebahu . . bisa?” tanya Rhea dengan sedikit memainkan rambutnya. 

Pegawai salon tersenyum kepada Rhea dengan ramah, “Tentu saja bisa. Mohon tunggu sebentar, saya akan menyiapkan peralatan yang dibutuhkan. . .” 

Dengan penampilan yang baru, Rhea mulai bernyanyi di café tempanya biasa bernyanyi. Pengunjung yang sudah hafal dengan Rhea segera bertepuk tangan ketika Rhea mulai duduk di atas panggung kecil. Begitu Rhea mulai bernyanyi, semua pengunjung café langsung hening seketika dan mulai hanyut dalam nyanyian Rhea. 

[Aku hanya bisa melihatmu dari jauh dan menghabiskan hari – hariku dalam ketakutan dan ketidakpastian. 

Sendirian menghabiskan musim dingin di akhir tahun. 

Hanya mendesah cepatnya waktu berlalu. 

Jika akhirnya hancur, sayang sekali tak dapat menyelesaikan kata di dalam hati. ]

Semua pengunjung café hanyut dalam nyanyian Rhea dan hanya bisa terpana memandang Rhea yang duduk di panggung. 

[Tidak berani berharap bisa bersamamu. 

Hanya bisa menyembunyikan cintaku darimu. 

Bahkan jika air mata jatuh menjadi hujan. 

Bahkan jika kata – kata sedingin es. 

Jika kekasih tidak bisa bersama, kita akan saling merindukan di dalam hati.]

Seorang pria dengan pakaian serba hitam mendengar nyanyian Rhea dan masuk ke dalam café di mana Rhea sedang bernyanyi. Pria asing itu memanggil salah satu pelayan café dan bertanya kepadanya. 

“Maafkan saya, siapakah gadis cantik yang sedang bernyanyi di atas panggung itu?” tanya pria asing itu sembari menunjuk ke arah Rhea. 

“Sepertinya Tuan baru pertama kali berkunjung ke tempat kami. . .” kata pelayan menebak pria asing di depannya. 

Pria asing itu menganggukkan kepalanya dan tersenyum kecil, “Ya, aku baru pertama kali datang kemari. Lagu itu menarik perhatianku dan membuatku berjalan masuk ke dalam café ini.” 

Pelayan café tersenyum senang mendengar pujian yang diucapkan oleh pelanggan barunya itu, “Penyanyi itu bernama Rhea, awalnya Nona Rhea hanya menyanyikan lagu sesuai dengan permintaan para pengunjung di café ini. Namun, sejak menyanyikan lagu yang sekarang sedang dinyanyikan, nama Nona Rhea mulai dikenal. Lagu itu sangat disukai oleh para pengunjung café sama seperti Tuan.” 

“Apakah gadis itu yang menulis lagu itu?” tanya pria asing penasaran. 

Pelayan café menggelengkan kepalanya sedikit ragu – ragu, “Kurasa bukan, Tuan. Nona Rhea mengatakan bahwa dia mendengar lagu itu di suatu tempat. . .” 

“Terima kasih. . . “ jawab pria asing dengan tersenyum, “Lagu itu benar – benar lagu yang bagus dan menyentuh.” 

“Sama – sama, Tuan. Jika ada sesuatu yang Tuan inginkan silakan panggil saya, Tuan.” 

Pria asing itu tersenyum ke arah pelayan itu sebelum akhirnya pelayan itu pergi karena panggilan oleh pengunjung yang lain. 

Pria itu mengalihkan pandangannya lagi ke arah Rhea yang hampir menyelesaikan nyanyiannya. Mata pria itu bertemu dengan mata Rhea yang kemudian dibalas dengan senyuman manis oleh Rhea. 

[Lebih baik melihatmu dari jauh, tidak berani berharap bisa bersamamu.

Dengan hati – hati, kusembunyikan kasih sayang di dalam hati. 

Bahkan jika air mata jatuh menjadi hujan. 

Bahkan jika kata – katamu sedingin es. 

Jika kekasih tidak bisa bersama, lebih baik merimdukanmu di dalam hati.]

Rhea menyelesaikan nyanyiannya dan disambut oleh tepuk tangan meriah oleh para pengunjung café. Teriakan pengunjung terdengar oleh pria asing itu. 

“Nyanyian yang indah, Rhea. . .” teriak pengunjung yang duduk tidak jauh dari pria asing itu. 

“Suaramu benar – benar merdu sekali, Nona Rhea. . .” teriak pengunjung yang lain yang duduk di depan dekat dengan panggung tempat Rhea bernyanyi.

“Nyanyikan lagi, Rhea. . .” teriak pengunjung yang lain yang duduk di sudut café. 

Pria asing itu menatap tajam ke arah Rhea yang tersenyum senang mendengar pujian para pengujung yang ditujukan kepadanya. 

“Beraninya kamu menyanyikan lagu itu di depan banyak orang,” pikir pria asing itu di dalam pikirannya dengan penuh amarah. 

“Pelayan. . .” teriak pria asing itu dengan mengangkat tangan kirinya memanggil pelayan. 

Pelayan yang tadi sempat berbincang dengannya datang menghampiri pria asing itu, “Ya, Tuan. Ada yang bisa saya bantu?” 

Pria itu mengeluarkan sebuah kertas kecil dan memberikannya kepada pelayan, 

 “Tolong berikan pesan ini kepada Nona yang duduk di panggung itu. . .” 

Setelah mengucapkan itu, pria itu menyelipkan uang ke dalam saku pelayan itu. 

Menyadari uang yang diselipkan ke dalam saku pakaiannya, pelayan itu langsung tersenyum senang dan segera menuruti permintaan pria asing itu tanpa perasaan curiga, “Baik, Tuan.” 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status