Share

WHEN TEARS FALL INTO RAIN
WHEN TEARS FALL INTO RAIN
Penulis: mahesvara

NOTE 1 LAGU PENGHUBUNG EESHA DAN KIRAN

Oktober 2020 

Eesha sedang berdiri di tengah kerumunan pengunjung mall yang tidak begitu padat dan memandang ke arah papan billboard yang ada di dalam mall yang sedang memutar sebuah video trailer film yang akan ditayangkan minggu depan. Trailer film itu memutar potongan – potongan bagian dalam film dan lagu latar yang akan menjadi andalan dalam film itu. 

Dengan bibirnya dan dengan lirih, Eesha ikut menyanyikan lagu latar dalam video trailer dengan durasi satu menit dua puluh detik itu. 

[Lebih baik melihatmu dari jauh, tidak berani berharap bisa bersamamu

Dengan hati – hati, kusembunyikan kasih sayang ini di dalam hati 

Bahkan jika air mata jatuh menjadi hujan 

Bahkan jika kata – katamu sedingin es 

Jika kekasih tidak bisa bersama, lebih baik merindukanmu di dalam hati]

Eesha menghentikan gerakan bibirnya ketika ponselnya bergetar. Masih dengan menatap billboard, Eesha meraih ponsel dari dalam saku mantelnya dan menerima panggilan masuk itu. 

Eesha tersenyum ketika melihat nama sahabatnya, Trika muncul di layar ponselnya sebagai orang yang menghubunginya. 

“Halo. . . Trika.” 

“Kamu sudah melihatnya?” 

Eesha tersenyum ketika mendengar suara sahabatnya yang terdengar begitu senang, “Ya, aku sedang melihatnya sekarang.” Eesha menatap lagi ke arah billboard dengan senyuman puas. 

“Bagaimana menurutmu, Eesha? Trailer film yang kita tulis berdua benar – benar bagus bukan?” 

“Lagu yang indah seperti biasanya. . .” jawab Eesha masih dengan tersenyum dan mengagumi lagu yang masih didengarnya. “Kuharap aku bisa menemukan Kiran dengan cara ini.” Eesha menatap penuh harap ke arah billboard. Tatapan penuh harapan sekaligus tatapan yang nyaris putus asa. 

“Kuharap begitu,” jawab Trika merasakan perasaan yang sedang dirasakan oleh Eesha. “Film akan ditayangkan seminggu lagi, kuharap pemutaran film nantinya berjalan lancar. Kamu yakin tidak akan datang sebagai penulis scenario dan tetap bersembunyi sebagai ghost writer?”

“Ya, aku ingin tetap seperti ini. Tapi. . . kurasa aku akan datang ke acara itu sebagai penonton dan bukan sebagai penulis. Aku akan melihatmu dari bangku penonton dan dengan cara itu pula aku bisa melihat dan memeriksa jika Kiran nantinya muncul di acara itu.” 

“Baiklah kalau begitu. . . aku akan menyiapkan tiket untukmu. . . Eesha.” 

“Terima kasih banyak, Trika. Aku selalu merepotkanmu.” 

Eesha menutup panggilannnya dan pandangannya masih tidak bisa lepas dari billboard yang memutar ulang video trailer dengan lagu latarnya. 

Eesha menatap dalam sembari menyanyikan lagu latar itu lagi, sementara di dalam hatinya berbicara. 

 Maafkan aku, Kiran. Aku terpaksa merealese lagu itu dengan namamu dan membuat semua orang mendengarnya. Hanya itu satu – satunya cara agar aku bisa menemukanmu. Cara agar kamu mendatangiku. 

Eesha menghela napas panjang sembari mengingat semua kenangan pahit masa lalunya. 

Dua puluh tahun lamanya, aku menunggumu, Kiran. Aku nyaris putus asa menunggumu. Perlahan semua kenangan tentang dirimu tergerus waktu dan tertumpuk oleh kenangan – kenangan baru. Semua jalan telah kutempuh untuk bisa menemukanmu dan mengingat semua tentang dirimu. Hanya ini jalan terakhir yang tersisa agar aku bisa menemukanmu dan kamu mendatangiku. 

Lagu ini, lagu yang dulu selalu kamu nyayikan untukku, kuharap kamu bisa mendengarnya dan menuntunmu untuk kembali padaku. 

# # #

OKTOBER 2000

Dua puluh tahun yang lalu.

Di pagi hari yang damai, di pinggiran kota yang jauh dari keramaian, Ibu Eesha yang bernama Eila (45) sedang sibuk berperang dengan peralatan masak di dapurnya yang sederhana. Eila sibuk menggoreng beberapa ikan untuk sarapan dan di sela waktunya menunggu ikannya matang, Eila sibik bermain dengan pisaunya memotong beberapa sayuran untuk membuat sup. 

Eila melirik jam dan kemudian berteriak memanggil putri kecilnya, “Eesha. . . ayo bangun. Kamu harus berangkat ke sekolah. . .” 

Teriakan Eila tidak terdengar oleh putri kecilnya Eesha karena suara radio yang selalu diputar oleh Eila untuk menemaninya berperang di pagi hari dengan peralatan masaknya. 

Pagi ini, penyiar radio menyempatkan menyairkan berita dan peringatan penting yang tidak didengar oleh Eila yang sibuk bermain dengan alat masaknya. 

[Diharapkan kepada setiap wanita yang memiliki ciri – ciri rambut hitam dengan panjang di atas bahu, mata hitam, bibir merah dan berusia sekitar 30 tahunan untuk berhati – hati. Wanita dengan ciri – ciri ini diyakini menjadi korban pembunuhan oleh pembunuh berantai yang dikenal dengan nama Hujan Merah. 

Telah ditemukan setidaknya tujuh korban kekejaman Hujan Merah hingga hari ini. polisi masih terus mengusut dan menyelidiki kasus ini. Polisi berusaha keras untuk mengungkap identitas pelaku pembunuhan dengan nama Hujan Merah. Namun, karena sedikitnya petunjuk yang ditemukan, hingga hari pihak polisi mengalami kesulitan dalam mengungkap identitas Hujan Merah. 

Saya himbau kepada wanita yang memiliki ciri – ciri yang saya sebutkan sebelumnya untuk berhati – hati. Hindari jalanan sepi. Hindari pulang malam dan jika memang terpaksa untuk pulang malam, harap meminta seseorang untuk menemani. 

Terima kasih.]

Eila berteriak lagi dan kali ini memanggil putri pertamanya, Rhea. 

“Rhea. . . bangunkan adikmu itu. Dia harus berangkat ke sekolah.” 

Mendengar namanya dipanggil oleh Ibunya, Rhea (19) hanya bisa menggerutu kesal karena mengganggu tidurnya yang tenang di pagi hari. Dengan rambut berantakan, Rhea bangkit dari tempat tidurnya dan berjalan keluar dari kamarnya. 

“Bu. . . ini hari Minggu. Apa Ibu sudah melupakan hari dengan cepatnya hingga menyuruh Eesha berangkat ke sekolah di hari libur?” 

Sejenak Eila menghentikan tangannya yang sibuk bermain dengan pisau dapur miliknya dan tersenyum melihat putrinya dengan wajah tidak percaya dan sedikit salah tingkah. 

“Ah, benarkah?? Ibu tidak melihat kalender. Ibu pikir sekarang masih hari Sabtu dan tidak menyadari bahwa hari ini adalah hari Minggu.” 

Dengan cepat, Eila berbalik dan melanjutkan pekerjaan paginya. 

Mendengar keributan yang dibuat oleh Ibu dan kakaknya, Eesha (7) keluar dari kamarnya dengan berpakaian rapi layaknya anak yang akan berangkat ke sekolah. Bedanya Eesha hanya tidak mengenakan seragam sekolahnya. 

Eila terkejut melihat putri kecilnya yang sudah berpakaian rapi dan merasa bersalah karena telah membuat kesalahan.

“Ah. . . Eesha, maafkan Ibu. Ibu lupa jika hari ini adalah hari Minggu. Karena Ibu, kamu sudah berpakaian rapi begini,” kata Eila merasa bersalah. Eila seketika merasa heran ketika melihat putri kecilnya tidak mengenakan seragam sekolah. “Tapi tunggu. . . kamu tidak mengenakan seragam sekolah? Kamu mau ke mana, Eesha?” 

“Kenapa aku harus mengenakan seragam sekolah di hari Minggu?” tanya Eesha dengan wajah polosnya, “setelah sarapan, aku akan pergi bermain dengan Kiran, Bu.” 

“Kiran?? Sejak kapan kamu menjadi dekat dengan Kiran?” tanya Eila heran. 

“Sejak Eesha tahu Kiran sebenarnya adalah orang yang menyenangkan apalagi ketika Kiran sedang bernyanyi, suaranya benar – benar indah, Bu. Lagu yang selalu Kiran nyanyikan adalah lagu terbaik yang pernah Eesha dengar.” 

“Ah. . .” kata Rhea yang ikut mendengarkan penjelasan Eesha, “lagu itu, bisa kamu nyanyikan lagu itu, adikku tersayang?” Rhea merayu adiknya, Eesha untuk bernyanyi untuknya. 

“Kenapa, Kak? Apakah suaraku bagus saat menyanyikan lagu milik Kiran?” 

Dengan tersenyum untuk menutupi kebohongannya, Rhea menjawab, “Ya, suara Eesha bagus sekali.” 

Begitu mendapat pujian, Eesha seketika menyanyikan lagu yang selalu didengarnya ketika bermain bersama dengan Kiran. 

Melihat putri kecilnya menyanyi dengan percaya diri, Eila kemudian memberikan tepuk tangan untuk memuji keberanian putri kecilnya. 

“Putri kecil Ibu rupanya punya bakat menyanyi. . .” kata Eila sembari tersenyum senang. Begitu Eesha selesai menyanyikan lagunya, Eila menyadari sesuatu yang penting. “Tapi, Rhea. . . tidakkah lagu itu terkesan sedikit menyedihkan? Dan lagi, lagu itu Ibu rasa tidak cocok untuk dinyanyikan oleh anak seumuran Eesha. Bagaimana menurutmu, Rhea?” 

Rhea mengangkat kedua bahunya menanggapi pertanyaan yang diajukan oleh Ibunya, “Kurasa memang begitu, Bu. Tapi. . . lagu itu benar – benar lagu yang indah, Bu. Seakan sebagai surat cinta yang menyampaikan isi hati penulisnya kepada seseorang.” 

Mendengar Ibu dan kakaknya yang sedang membahas lagu yang dinyanyikannya, Eesha kemudian ikut berbicara. 

“Ibu, Kakak. . .” panggil Eesha. Seketika Eila dan Rhea mengalihkan pandangannya ke arah Eesha. “Tolong rahasiakan lagu ini. Kiran bilang lagu ini adalah pemberian seseorang untuk ibunya di masa lalu. Ibu Kiran hanya menyanyikan lagu ini untuk Kiran sebagai lagu pengantar tidur.” 

“Kenapa harus merahasiakannya, putri kecilku?” 

Dengan polos, Eesha menjawab pertanyaan ibunya, “Kiran bilang, jika aku memberitahukan lagu ini pada orang lain maka aku tidak akan mendengar Kiran menyanyikan lagu itu untukku lagi. Suara Kiran benar – benar indah saat menyanyikan lagu ini. Jadi, jangan bilang siapa – siapa tentang lagu ini, yah Kak? Ibu?” 

Eila menganggukkan kepalanya, “Ibu mengerti, sayang.” 

Eila kemudian meletakkan sarapan yang telah dimasakanya di meja makan dan mulai sarapan bersama dengan kedua putrinya. 

Rhea menatap adik kecilnya dan tersenyum sembari berkata dalam hatinya.

Lagu seindah itu. . . kenapa pula harus merahasiakannya? Dengan menyanyikan lagu itu, aku bisa mendapatkan banyak uang dari pekerjaan sampinganku sebagai penyanyi café. Maafkan kakakmu ini, adik kecilku. 

Lagi pula, tidak ada gunanya lagu itu jika hanya disimpan sendiri. 

# # #

Setelah selesai sarapan, Eesha segera pergi ke kebun dekat sekolahnya. Senyuman langsung tersenyum lebar ketika melihat Kiran sedang duduk bermain dengan kelinci kecil miliknya. 

“Kiraaaannnnnn. . .” 

Eesha berlari dan berteriak memanggil nama Kiran. 

“Berhentilah berteriak memanggil namaku. Aku sudah melihat kedatanganmu. . .” jawab Kiran dingin. 

Eesha berusaha tersenyum dengan napas – napas yang terputus – putus, “Kamu membawa kelici kecilmu lagi?” 

“Ini. . .” Kiran mengulurkan botol minum yang dibawanya kepada Eesha sembari mengomel, “minumlah. Siapa yang menyuruhmu berlari dari rumah hingga kemari?’ 

Eesha langsung mengambil botol yang ditawarkan oleh Kiran dan segera meminumnya. Setelah meminumnya beberapa teguk, Eesha langsung menjawab pertanyaan Kiran. 

“Terima kasih, Kiran. . .” jawab Eesha tersenyum manis dan mengembalikan botol minum milik Kiran. “Kamu memang teman terbaik. Aku berlari kemari karena keinginanku sendiri. Aku takut kamu terlalu lama menungguku di sini.” 

“Kenapa kamu selalu mengajakku bermain?” 

“Aku suka mendengarmu menyanyikan lagu yang selalu kamu nyanyikan itu, “ jawab Eesha sembari bermain – main dengan kelinci kecil milik Kiran. “Suaramu merdu sekali tidak seperti suaraku.” 

“Kamu tahu arti dari lagu yang selalu aku nyanyikan?” tanya Kiran. 

Eesha menggelengkan kepalanya, “Tidak. Aku tidak tahu arti dari lagu yang kamu nyanyikan. Aku hanya suka mendengarmu menyanyikannya. Aku mencoba menyanyikannya berulang kali tapi tidak seindah ketika kamu yang menyanyikannya. Itu sebabnya, aku selalu mengajakmu bermain agar aku bisa mendengarmu ketika kamu menyanyikan lagu itu.” 

Senyuman kecil terukir di wajah Kiran ketika mendengar jawaban yang diberikan oleh Eesha. 

Eesha yang merasa heran dengan pertanyaan Kiran berbalik bertanya pada Kiran, “Kenapa kamu bertanya, Kiran?” 

Kiran mengalihkan wajahnya dan mengalihkan percakapan. “Ayo kita beri makan Eesha dulu.” 

Eesha semakin bingung dengan ucapan Kiran, “Tapi. . . aku sudah sarapan, Kiran. Aku tadi makan banyak sekali karena ibuku memasak makanan kesukaanku. Jadi, aku tidak sanggup jika harus makan lagi.” 

Eesha menjawab dengan wajah polos sembari mengelus perutnya yang kekenyangan. 

“Bukan kamu, tapi kelinci ini. . .” jawab Kiran sembari melirik kelinci kecil miliknya. 

“Kelinci kecil ini namanya Eesha?” 

Eesha memandang bingung ke arah Kiran. 

Kiran menganggukkan kepalanya, “Ya. . . kamu tidak suka?” 

“Kenapa menamai kelinci ini sama dengan namaku?” tanya Eesha penasaran.

“Karena dia makan banyak sama denganmu. Lihatlah pipinya sama dengan pipi milikmu. Bukankah pipinya sama seperti bakpao yang dijual bibi di kantin sekolah?” 

Kiran menjawab dengan sebuah senyuman kecil di sudut bibirnya.

Eesha bertanya lagi tidak percaya, “Benarkah kelinci ini terlihat sama denganku?” 

Kiran menganggukkan kepalanya lagi untuk kedua kalinya, “Ya.” 

Mendengar jawaban Kiran, seketika Eesha tersenyum lebar. 

“Aku tidak menyangka jika pipiku sama menggemaskannya dengan pipi kelinci ini. . .” 

Kiran mengerutkan alisnya mendengar ucapan Eesha, “Aku tidak bilang jika pipimu sama menggemaskannya dengan pipi kelinciku.” 

“Aku yang bilang pipi kelinci ini sangat menggemaskan. Karena Kiran bilang pipiku sama dengan pipi kelinci ini, itu artinya pipiku sama menggemaskannya dengan pipi kelinci kecil ini,” jelas Eesha dengan bangga. 

Kiran menghela napas panjang mendengar penjelasan Eesha, “Sudah . . ayo kita beri makan Eesha lebih dulu.” 

SORE HARI. . .

Setelah seharian bermain dengan Eesha, Kiran pulang ke rumahnya di mana Bnndanya sudah menunggunya dengan sedikit cemas. 

“Bunda, aku pulang. . .” kata Kiran setelah meletakkan kelinci kecilnya di kendang di depan rumahnya. 

“Kamu dari mana, sayang?” kata Ibu Kiran, Ishya dengan sedikit cemas. “Beberapa kali kamu selalu pulang hingga sore. . .” 

“Bermain dengan Eesha, Bun. . .” 

“Eesha? Teman baru?” tanya Ishya. “Kenapa Bunda tidak pernah tahu nama ini sebelumnya?” 

“Tidak, bukan teman baru, Bunda. Hanya saja, aku baru mengenalnya setelah naik kelas, Bunda. Sebulan ini, dia terus menempel denganku hanya karena suka mendengarku bernyanyi,” jawab Kiran dengan santai. 

Senyuman terlihat sekilas tersungging di bibir Kiran. 

“Kamu bernyanyi? Mungkinkah lagu yang selalu Bunda nyanyikan ketika kamu mau tidur?” tanya Ishya. 

Kiran menganggukkan kepalanya masih dengan tersenyum tipis, “Ya, Bun. Eesha suka sekali mendengarku menyanyikan lagu itu. Lagu itu. . . siapa sebenarnya yang membuat lagu itu, Bunda?” 

“Teman lama Bunda, bukankah sebelumnya Bunda pernah mengatakan hal ini padamu.” 

“Ya, hanya saja Bunda tidak pernah mengatakan nama pembuat lagu itu. Apa Ayah mengenalnya, Bun?” tanya Kiran penasaran. 

“Tidak. . . ayahmu tidak mengenalnya. Bunda mengenalnya jauh sebelum mengenal ayahmu, Kiran,” jawab Ishya. “Kenapa tiba – tiba kamu menanyakan hal ini, Kiran?” 

“Kiran hanya penasaran saja, Bunda. Jika pembuat lagu itu adalah teman Bunda, kenapa dia tidak datang di hari kematian Ayah?” 

“Bunda membuat kesalahan besar padanya dan mungkin karena kesalahan Bunda, teman Bunda itu belum memaafkan Bunda. . .” jelas Ishya.

“Apa kesalahan yang Bunda buat padanya? Biar Kiran yang mewakili Bunda untuk meminta maaf padanya.”

Kiran mengucapkan kalimat itu dengan wajah polosnya. 

Ishya (30), bunda Kiran menatap putranya dengan tatapan sedih, “Jika bisa bertemu dengannya lagi, Bunda ingin sekali meminta maaf atas kesalahan yang Bunda buat padanya di masa lalu dan juga mengucapkan terima kasih untuk lagu yang dia buat khusus untuk Bunda.”

Ishya memeluk putranya, Kiran dengan erat. 

“Sayangnya. . . setelah Bunda menikah dengan ayahmu, teman Bunda itu menghilang entah ke mana dan tidak ada yang tahu tentang keberadaannya hingga saat ini.” 

Kiran merasakan perasaan sedih Bunda melalui kata – kata Ishya, Kiran membalas pelukan Bundanya dan memeluk Bundanya dengan erat. 

“Nanti jika Kiran yang bertemu dengannya, Kiran akan mewakili Bunda untuk meminta maaf padanya. Siapa nama pemilik lagu itu, Bunda?” tanya Kiran penasaran. 

“Varron Arvind.” 

“Akan kuingat nama itu, Bunda.” 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status