Share

Belajar Patah Hati

Pagiku terbangun karena suara Agus yang cukup keras, dia sedang ditelephone oleh orang tuanya karena disuruh pulang.

“Agus belum bisa pulang bu,” ucap Agus ditelephone.

“Aku keterima kerja di Malang bulan ini bu,” alasan Agus ke ibunya.

Aku terbangun dan langsung beranjak ke kamar mandi dan tidak mendengarkan lagi apa yang Agus bicarakan, melakukan aktivitas yang sama dipagi hari, yaitu bangun, mandi, makan dan rebahan sampai tiba sore hari waktunya bekerja. 

“Kenapa Gus kok ibumu telephone pagi-pagi?” tanyaku sambil mengusap rambut setelah mandi.

“Iya Man aku disuruh pulang,” jawab Agus dengan bingung.

“Yaa pulang Gus, udah lebih dari 1 bulan kamu gak pulang, kamu juga izinya dulu cuma 3 hari,” jawabku dengan santai.

“Haduh.. gimana ya man, udah betah di sini,” jawab Agus cengengesan.

Agus ke Kota Malang hanya bermodal 3 pasang baju & celana karena niat dia yang tidak lama, tapi karena nyatanya sampai 1 bulan lebih ya akhirnya Agus pakai bajuku juga, semua terjadi karena Agus kenal Devi.

Aku menceritakan pengalaman semalam ke Agus.

“Gus semalam aku ketemu Sari loh,” ucapku ke Agus.

“Hah.. yang bener Man?” tanya Agus antusias.

“Iya Gus sama cowok ganteng pakai mobil bagus,” ucapku menceritakan pengalamanku.

“Waduh.. Man jangan-jangan itu pacarnya,” jawab Agus dengan antusiasnya.

“Iya sepertinya Gus,” ucapku singkat.

Agus menceritakan tentang keluarga Sari yang memang cukup terpandang di kampungnya karena orang tuanya yang berpendidikan tinggi. Tidak heran memang kalau nantinya Sari menikah dengan orang yang pendidikannya tinggi juga. Mungkin karena standar yang diberikan oleh orang tuanya kepada Sari. Mendengar cerita Agus membuat dadaku sesak, ntah karena kurang oksigen atau kurang percaya diri.

“Ayo Gus ngopi…!!!” ucapku menghentikan cerita Agus.

“Siang siang gini males Man,” jawab Agus sambil rebahan.

“Aku mau ngajak Devi, ada yang pengen aku obrolin,” ucapku sambil siap-siap.

“Yaudah deh aku ikut juga Man dari pada gak ngapa-ngapain di kos,” jawab Agus yang langsung bangun dari kasur.

Sesampainya di warung kopi, aku melihat Devi sudah bersama 1 temannya.

“Sudah lama Dev?” tanyaku ke Devi.

“Hallo Dev,” sahut Agus di belakangku.

“Enggak kok, baru aja datang, oh iya ini kenalin temenku Man,” ucap Devi sambil mengenalkan temannya.

“Iya hallo aku Wagiman,” sahutku sambil menjabat tangan.

“Aku Cindy,” jawab Cindy sembari membalas jabat tanganku.

“Kalau Agus sudah kenal sama Cindy,” sahut Devi.

“Heheheh.. iya dong kan pernah ke toko buku bareng,” jawab Agus.

“Beneran namanya Wagiman?” tanya Cindy berbisik ke Devi.

Devi meyakinkan ke Cindy bahwa namaku memang benar Wagiman, tidak sekali ini saat berkenalan dengan orang di Malang menanyakan kebenaran namaku yang hanya terdiri satu kata dan terkesan nama yang unik dan lucu. Yaa.. aku paham bahwa namaku ini mungkin tidak cocok untuk anak usia 19 tahun di era modern ini. Tidak seperti anak-anak muda seusiaku yang memiliki nama lebih modern seperti Michel, Lucas atau mungkin Zafran. Tapi di kampungku nama-nama itu semua wajar, bahkan ada yang Poniman, Prapto, Kasimin, Wati dan nama lainnya yang terdiri hanya 1 kata. Kita di sana ngobrol panjang lebar tentang banyak hal. Aku melihat Devi dan Agus, mereka sangat nyambung obrolannya. Aku merasa mereka sudah serasi dalam berkomunikasi. Tidak terasa hari sudah sore, Devi menyuruhku mengantar pulang Cindy, karena dia ada kuliah sore katanya.

“Man anterin Cindy balik ke kos dong,” ucap Devi menyuruhku.

“Oh.. Iyaa, ayok cin,” jawabku mengiyakan karena memang aku juga harus siap-siap berjualan nasi goreng.

Di sepanjang jalan aku dan Cindy ngobrol santai agar akrab saja, dari obrolan itu akhirnya aku tahu kalau Cindy asli Kota Surabaya dan kuliah di fakultas yang sama dengan Devi. Itu yang membuat mereka bisa kenal dan berteman. Aku mencoba bertanya tentang Devi ke Cindy.

“Cin Devi itu sudah punya pacar?” tanyaku ke Cindy.

“Hmmm... dulu dia pernah cerita sih kalau dia punya pacar yang kuliah di Surabaya,” jawab Cindy.

“Sampai sekarang?” tanyaku lagi.

"Kurang tahu ya Man, dia gak pernah cerita itu. Hanya saja dia sering telephonan lama gitu kalau pas kita nongkrong, tapi gak tahu sama siapa”, jawab Cindy menjelaskan.

“Owalah.. gitu”, jawabku singkat.

“Hayyyo kamu suka sama Devi Man?” tanya Cindy balik.

“Enggak kok Cin,” jawabku singkat.

“Banyak dikampus yang suka dia itu Man.” ucap Cindy dengan bangganya.

“Oh.. iya.. ya.. emang Devi kan baik banget,” jawabku seadanya.

Aku menanyakan itu untuk Agus sebenarnya, karena aku tahu kalau Agus suka dengan Devi. Agus menganggap sikap Devi yang baik itu karena Devi suka dengan Agus, tapi kenyataannya memang itulah sifat asli Devi yang baik ke semua teman-temannya. Dilihat dari setiap cara Agus memperhatikan Devi bicara, aku bisa memastikan bahwa Agus sangat suka dengan Devi. Setiap diajak keluar ke manapun pasti Agus mau. Pernah dia hujan-hujanan tengah malam hanya untuk menjeput Devi di kampus yang lupa tidak membawa mantel, akhirnya mantel yang harusnya dia pakai malah diberikan ke Devi dan dia pulang dengan basah kuyub. Bahkan alasan terbesar dia mau di sini menemaniku juga adalah karena dia kenal Devi, aku yakin itu.

Sepulang dari jualan nasi goreng, aku melihat Agus masih belum tidur. Dia sedang asyik nonton TV sendiri di ruang tengah.

“Nonton apa Gus?” tanyaku sambil memberikan sebungkus nasi goreng dari Pak Sholeh.

“Ini Man FTV,” ucap Agus sambil fokus nonton.

“Makan dulu Gus mumpung hangat,” suruhku ke Agus.

“Man gimana Cindy?” tanya Agus tiba-tiba.

“Gimana apanya?” tanyaku balik.

“Cantik gak?” ucap dia dengan muka mesum.

“Ya biasa aja,” jawabku sambil masuk kamar.

“Deketin Man, jomblo dia,” teriak Agus dengan semangat.

Untuk Cindy menurutku dia cantik dengan kulit kuning langsat dan rambut panjangnya, ditambah cara berpakain yang modis membuat terlihat lebih anggun. Tapi aku juga harus tahu diri, aku saja di sini makan sehari 2 kali dan membayar kos saja masih patungan, masak iya aku harus membiayai anak orang juga.

Dalam lamunanku membayangkan Cindy, tiba-tiba Agus masuk kamar.

“Man.. Devi ulang tahun minggu depan,” ucap Agus.

“Terus…?” tanyaku yang menganggap itu bukan sesuatu yang penting.

“Kado apa ya enaknya?” tanya Agus sambil menunjukkan muka yang seolah dia bisa berfikir.

“Cicin emas gus…!!!” jawabku sembari bercanda.

“Mahal Man…!!!” ucap Agus.

“Gak usah ngasi kado Gus, nanti kita traktir makan aja Devi,” jawabku memberi solusi yang lebih murah.

Sebenarnya aku mau menceritakan ke Agus kalau Devi sudah punya pasangan, tapi aku masih ragu. Aku takut kalau ternyata Agus beneran suka. Dia pasti akan sakit hati dan mungkin memutuskan untuk pulang. Sedangkan aku ingin Agus tetep ada di sini, bukan hanya sekedar untuk menemaniku saja, tapi supaya Agus bisa melanjutkan kuliah. Karena yang merubah pola pikir Agus agar semangat untuk kuliah adalah Devi. Tidak mungkin aku menghancurkan semangat Agus.

Agus merebahkan badannya di sampingku.

“Gus kamu suka sama Devi?” tanyaku serius.

“Gimana ya Man,” jawab dia dengan keraguan.

“Yang bener jawabmu Gus, masak sama aku kamu masih main rahasia,” ucapku mencoba mencari tahu.

“Hehehe.. Iya Man,” jawab Agus singkat.

“Serius? Suka banget kamu?” tanyaku memastikan.

“Iyaa Man, kalau dia mau aku nikahin, aku nikahin sekarang Man…!!!” ucap Agus dengan antusias.

“Emang Devi suka sama kamu?” tanyaku lagi ke Agus.

“Sepertinya gitu, dia ke mana-mana minta anter aku terus, dia juga perhatian ke aku,” jawab Agus dengan percaya diri.

“Kamu suka ke Devi Man?” tiba-tiba Agus berbalik bertanya.

“Ya enggak Gus, kan kamu tahu seleraku. Hehehe..,” jawabku singkat.

“Kalau Cindy?” tanya Agus lagi.

“Enggak Gus, Cindy itu anaknya orang kaya,” jawabku sambil mulai tidur.

Aku sering bertanya tentang keseriusan Agus ke Devi, tapi tidak pernah mendapatkan jawaban yang pasti dan serius dari Agus, hal itu yang membuat aku ragu untuk membantu Agus mendekat ke Devi. Tapi setelah tahu bahwa Devi sudah mempunyai pasangan aku malah berfikir untuk menjauhkan Agus dengan Devi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status