Share

Ada Apa Sama Darah?

"KENAPA LO JUAL SAHAM GUE KE MUSUH GUE! BRENGSEK!" Reza yang sudah membabi buta.

Axell meludahkan darahnya dan menatap sengit Reza. "KARNA SIFAT SOMBONG LO! ANGKUHNYA LO! DAN LO SELALU MEMANFAATKAN GUE SEMENA-MENA! ITU YANG BUAT GUE MUAK!" hardik Axell.

BUGH!

BUGH!

BUGH!

Reza langsung menendang kuat perut Axell. Axell mulai tak berdaya dan sulit untuk bernapas, bagi Reza orang sudah munafik akan selamanya menjadi munafik.

Kemeja putih Reza sudah berlumuran darah. "Siksa si kotoran ini dalam 2 jam! Siapkan air panas perasan lemon!" perintahnya lalu berjalan mundur untuk duduk manis seraya menyaksikan pertunjukan yang akan segera dimulai.

"Ka, jangan lupa di rumah ada ka Nara," Reyhan yang mulai memperingati Reza, Reyhan juga melupakan adanya Nara di rumah.

"Hmm."

"AAAARRRGGGHHHH! SAKITTTTT!" teriak Axell yang kesekian kalinya.

"RREEEZAAA LO GABAKALAN BAHAGIA! AAHRKKK!" pekik Axell.

“Gue peduli gitu?” Reza menampilkan wajah songongnya.

Rahang Reza mengeras lalu berdiri dari kursinya.

"BERHENTI! SIRAM KOTORAN INI DENGAN AIR LEMON DAN BUANG KOTORAN!"

Empat anak buah Reza masuk ke dalam ruangan lalu mengguyur seluruh badan Axell. Axell ga bisa berkutik lagi tubuhnya terlalu lemas untuk melawan, untuk yang terakhir kalinya Axell yang merintih kesakitan.

"AAAARRGGGHHHH!!"

Reza yang menyaksikan pertunjukkan di depannya tersenyum menyeringai sedangkan Reyhan hanya menatap nanar korbannya. Walaupun ia ga menyiksa langsung korbannya namun, Reyhanlah yang mencari semua data sikorban dan terperangkap dalam kandang buas.

Reza langsung meninggal tempat itu yang diikuti Reyhan dari belakang, ia membalikan badannya menghadap Reyhan.

"Kerja bagus! Lo boleh pulang ke rumah," titahnya yang diangguki Reyhan.

Reza mengendarai mobilnya dengan kecepatan penuh, ia sudah sangat lelah dengan hari ini.

Di lain tempat, aku masih mencoba untuk memejamkan mataku tapi nihil padahal tadi itu terasa sangat ngantuk berat.

"Ko ga bisa bobo ya," monologku sambil mengusap mata.

"Turun ke bawah deh," batinku.

Aku perlahan membuka pintu kamar lalu berjalan menuruni anak tangga. Rumah ini sangat gelap dan sangat minim pencahayaan. Saat di tangga terakhir aku tersentak kaget melihat sesuatu di depan.

"Astaga!"ucapku sambil menyentuh dada dan terjatuh dari tangga.

"Untung aja ini tangga terakhir!" gerutuku.

Aku kembali memfokuskan pendanganku ke pemuda itu, kalau dari postur tubuh sepertinya aku. Aku berjalan ragu mengahampirinya dengan keberanian dan rasa takut yang mulai mendominasi.

"R-Reza, i-itu kamu?” ucapku yang terbata-bata seraya tangan kiriku meraih wajah Reza.

Grep

Reza memelukku dengan sangat erat dan membenamkan kepalanya di ceruk leherku, seketika tubuhku menjadi tegang.

Aku cuman bisa diam dan menahan nafas.

"Nafas, Nara jangan mati konyol," suara beratnya yang membuat detak jantungku ga normal.

"Ka-kamu ke-kenapa?" Reza tidak menggubris pertanyaanku.

Aku memberanikan diri untuk membalas pelukannya. Reza tersentak kaget sekaligus merasa nyaman.

"Reza?" bisikku pelan sambil mengelus punggung besarnya.

Aku melapaskan pelukannya tapi hasilnya Reza malah semakin mempererat pelukannya, itu membuatku ga nyaman dan susah untuk bernafas tapi kok aku bisa merasakan ya? Kalau detak jantung Reza kenceng banget.

Apa Reza punya riyawat penyakit jantung?

“Reza? Kamu punya penyakit jantung,ya?”

“Mana ada anak CEO penyakitan, Nara,” cibirnya.

“Tapi tuh kamu ngerasain ga? Kenceng banget.”

Ah sial!

“Kamu lagi ga boong, kan?” cecarku, eh kenapa aku jadi panik?

“Ga ada, jangan sok tau,” cetusnya, Reza menghela nafas besat dan menghembuskannya di leher Nara.

Indra penciumanku terganggu aku seperti mencium bau amis, otakku berpikir keras ini bau apa? Apa bau ikan? Atau

“DARAH!” aku berteriak histeris saat melihat ke pundak kanan Reza yang penuh dengan darah.

Reza spontan menutup telinga dan melepaskna pelukannya, aku masih mengatur nafas. Nafasku seperti orang yang abis lari, lututku lemas.

Aku melihat beberapa kejadian muncul di pikiranku, kejadian yang sudah merubah hidupku jadi seperti ini. Kejadian itu yang berhasil membuatku trauma berat, aku pernah mencoba mengakhiri hidupku tapi tidak jadi karna aku juga masih punya mama yang harus aku jaga.

Raut wajah Reza yang berubah menjadi panik dan segera membawa Nara ke dalam pelukannya, ia juga menggendong Nara ala bridal style dan mendudukannya di sofa ruang tengah. Reza menggenggam tanganku berusaha untuk membuatku tenang. Tangan kekarnya mengelus pelan punggungku dan menyingkarkan beberapa helaian rambut.

“Tarik nafas terus buang.”

“Darah itu darah,” aku menjahui tubuhku darinya seraya menutup ke dua mataku.

“Darah hikss…darah…banyak.”

“Nar, ada aku, kamu ga perlu takut,ya,” Reza masih setia meraih tanganku.

“Engga,” tolakku. Traumaku kembali.

Reza mengerutkan dahinya, kenapa gadisnya begitu histeris?

Apa Reza masih belum mengerti dengan ketakutan Nara? Atau Reza sudah lupa dengan kejadian itu?

Reza menggaruk tengkuknya yang tak gatal lalu menghembuskan nafas lelahnya. “Kamu  kenapa?”

Aku menatapnya dengan tatapan sendu. “Kenapa ada darah?” tanyaku balik padanya.

Reza yang terdiam, ia tidak mau menceritakannya pada Nara.

“Kamu takut?”

“I-iya.”

“Kok belum bobo? Kan, tadi aku suruh bobo,” aku menoleh ke arahnya.

“Belum bisa bobo, belum minum susu,” Reza terkekeh mendengarnya tangan kekarnya mengelus puncuk kepala gadisnya.

“Harus minum susu, ya?”

“Iya, kalau ga minum susu ga bisa bobo.”

“Kamu mau bikinin aku susu. Mau, ya?” rengekku. Reza semakin gemas melihat tingkah laku gadisnya, ia bangkit dari duduknya dan melangkah ke arah dapur.

Aku menahan tangan kekarnya, Reza dapat merasakan kehangatan saat tangannya disentuh. “Susu coklat jangan vanila, ya.”

Reza menggangguk, saat di dapur ia memeganggi dadanya yang tidak dapat diajak kerja sama. “Ah! Sialan,” gumamnya.

“Reza! Aku ke atas dulu mau nyiapin peralatan mandi kamu dulu.”

“Kayak punya istri aja,” monolognya lalu terkekeh pelan.

Reza sempat berpikir sejenak. “Kenapa dia lihat darah jadi histeris gitu? Punya masa lalu yang berhubungan sama darah?”

Reza naik ke atas tak lupa ia juga membawa pesanan gadisnya. “Nara...”

Aku membalikan badan mendapati Reza yang bediri tegak dihadapanku, pandangan Reza seolah-olah terkunci dengan wajah polos yang dimiliki Nara. Reza masih setia mengamati bentuk wajahku.

“Cantik,” pujinya.

Aku memalingkah wajah meronaku seraya menahan senyumanku. “E-eh…ini susu kamu, awas loh ini masih panas. Aku mandi dulu,” pamitnya lalu berjalan cepat masuk ke kamar mandi.

“REZA HANDUK KAMU KETINGGALAN.”

“Eh iya,” ucapnya yang cengengesan.

Aku tertawa lepas melihat tingkah konyolnya barusan, aku masih tau batasanku dengannya jadi aku memutuskan untuk keluar kamar seraya menungggu Reza yang mandi. Hampir sekitar satu jam lamanya aku menonton tv di ruang tengah.

“DORRR!”

“IH KAGET!” aku refleks mencubit pinggangnya.

“Hehehe maaf.”

“Hmm.”

Aku tersentak kaget saat Reza menenggelamkan kepalanya di pundakku tanganku seolah-olah refleks begitu aja mengelus rambut lebatnya. “Nara…”

“Apa?”aku terfokuskan pada drakor.

“Ada yang luka,” suaranya yang terdengar seperti lagi mengadu.

“Oh.”

“Ih, Nara!”

Ahrk aku sudah sangat gemas dengan tingkahnya, aku menoleh padanya dan mendapati raut wajah Reza yang mengulum bibirnya ke bawah.

“Apa? Tuan muda.”

“Sakit nih di jidat, benjol ga, Nar?” ujarnya seraya menyibak rambutnya.

“Makin ganteng,” batinku.

“Luka aja si, mau aku obatin?”

“EH KOK INI TANGAN KAMU BERDARAH!”

“Nar…ga usah teriak-teriak ah udah malam.”

Aku hanya memberinya senyuman manis.

“Anjrit pake senyum,” batin Reza.

“Ga usah senyum kek orang gila, Nar,” cetusnya dan membuat rauh wajahku kesal padanya.

“Obatin sakit.”

“Nar…”

“Ih marah, ya?”

Reza masih setia membujukku yang aku terheran adalah, apa benar kalau pria matang yang di hadapanku saat ini adalah seorang CEO?

Aku tertawa melihat ekspresi wajahnya yang menjadi panik. “Hahaha iya, iya ayok,” aku bangkit lalu berjalan mendahuluinya. Aku sama sekali tidak merasa bersalah padanya.

“Ih ninggalian lagi, dasar lucu.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status