Share

Bab 8

Author: Takasa
Setelah meninggalkan bangsal, Arya langsung mencari Adrian.

Dia langsung meninju wajah Adrian, tetapi Adrian sama sekali tidak menghindar.

"Kamu masih menyimpannya di sana? Adrian, apa kamu nggak merasa bersalah pada Mira? Dia itu pembunuh! Kamu masih punya perasaan padanya?" bentak Arya.

Mata Adrian tampak ragu. Dia terdiam lama sebelum akhirnya bertanya, "Gimana kondisinya?"

Arya menghela napas panjang, lalu mencibir dan berkata, "Dia baik-baik saja. Dia bilang kamu nggak perlu menampakkan wajahmu, cukup beri uang agar dia bisa hidup bebas saja."

Dalam sekejap, tatapan Adrian berubah muram.

Dia akhirnya berkata dengan datar, "Baiklah. Aku mengerti."

Setengah bulan kemudian, Charin menghabiskan waktu satu hari penuh untuk sampai ke pemakaman dengan kursi roda tua yang tidak layak dipakai.

Makam Mira berada di lereng bukit. Kursi roda Charin tidak bisa naik. Dia menjatuh tubuhnya ke tanah, lalu merangkak dengan kedua tangannya sedikit demi sedikit.

Sampai tangannya berlumuran darah, barulah dia tiba di makam Mira.

Mira tampak tersenyum cerah dalam foto di atas batu nisan. Sesuai yang Charin pikirkan, Mira selalu tampak bersih dan suci.

Charin terdiam lama sebelum kemudian berbisik pelan, "Kak Mira, aku datang menemuimu."

"Aku sudah menjaga rahasia dengan sangat baik. Apa kamu bahagia di sana?"

"Kalau saatnya tiba aku menyusulmu, semoga kamu nggak membenciku."

Charin dengan hati-hati meletakkan seikat daisy putih di depan makam Mira. Tetesan air matanya membasahi kelopak bunga itu.

Kak Mira adalah orang yang sangat baik pada Charin. Dia pernah memeluk Charin sambil berkata pada Adrian, "Aku menganggap Charin seperti adik kandungku. Kalau kamu berani menyakitinya, aku orang pertama yang nggak akan mengampunimu!"

Charin menyandarkan keningnya pada batu nisan yang dingin, lalu bergumam, "Kak, Adrian menyakitiku. Tolong hukum dia, ya?"

Namun, Charin tidak mendapat jawaban apa-apa. Suasana di sekitar sunyi.

Charin berpikir, mungkin Kak Mira juga tidak menyukainya lagi.

Saat turun kembali, Charin terjatuh dan terguling di tangga berbatu. Dia pingsan sejenak, kemudian kembali merangkak lagi dengan tubuh penuh luka setelah sadar.

Begitu Charin berhasil duduk di kursi roda, sebuah mobil berhenti di depannya.

Adrian yang sudah lama tidak jumpa, turun dari dalam. Dia menatap tubuh Charin yang berlumuran darah, lalu mengerutkan kening.

Charin buru-buru menyembunyikan tangan yang masih kejang di belakang tubuhnya, dan berkata, "Aku nggak sengaja jatuh dan kakiku patah."

Wajah Adrian langsung berubah dingin, dia berkata, "Siapa peduli? Kalau kamu cacat, aku malah akan bertepuk tangan."

Charin tidak bisa mengontrol ekspresinya, hatinya merasa seperti dirobek-robek.

Adrian berdecak dengan kesal, lalu memerintahkan sopir untuk mengangkat Charin ke mobil.

Sepanjang jalan, Adrian merokok tanpa henti. Asap tebal memenuhi ruang mobil. Dia melemparkan sapu tangan ke arah Charin, lalu berkata dengan dingin, "Bersihkan darah di wajahmu itu. Menjijikkan sekali."

Charin tidak bergerak karena tangannya mulai kejang, dia tidak mampu menggenggam benda.

Wajah Adrian menjadi muram, tetapi dia tidak berkata apa-apa.

Tak lama kemudian, mobil berhenti di sebuah lahan kosong di pinggiran kota. Mereka turun di sana.

Lahan kosong itu dipenuhi dengan tumpukan barang. Mata Charin menatap tumpukan barang itu, tiba-tiba tubuhnya menjadi tegang.

Dia mengenal semua benda di sana.

Di sana, ada gaun pemberian Adrian di ulang tahun ketujuh belasnya, yang kini telah robek. Ada juga undangan pertunangan mereka, surat-surat cinta yang mereka tulis saat SMA, tali simpul hati yang mereka buat bersama, dan banyak benda lain yang merupakan saksi perjalanan cinta mereka dari masa sekolah hingga menikah.

Adrian menyalakan korek api, lalu melemparkannya ke tumpukan benda itu.

Benda-benda yang telah dibasahi oleh minyak bakar, langsung terbakar dengan cepat. Saat itu, Charin hampir saja ingin berlari ke kobaran api untuk menyelamatkan semua benda itu.

Namun, dia malah berdiri terpaku di sana. Matanya terasa kering, air mata pun seperti sudah tidak tersisa.

Adrian berkata dengan dingin, "Aku benar-benar bodoh, untuk apa aku menyimpan semua ini? Charin, menyukaimu adalah penyesalan terbesar dalam hidupku. Sumsum tulangmu sudah menyelamatkan Celine, anggap saja kamu sudah melunasi separuh utang nyawanya."

"Mulai hari ini, menghilanglah dari hidupku. Kalau aku melihatmu lagi, aku akan membunuhmu."

Hati Charin pun ikut terbakar bersama semua benda itu. Adrian sudah mulai menatap masa depan, sementara dirinya seperti lumpur di sepatunya, yang sudah seharusnya dia singkirkan sejak lama.

Charin mengangguk, kemudian menjawab dengan suara serak, "Baik."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Waktu adalah Maut   Bab 25

    Saat video diputar, hal pertama yang dilihat Adrian adalah wajah Charin yang sudah tidak dapat dikenali.Air mata Adrian langsung mulai mengalir. Dia mengulurkan tangannya yang gemetar untuk menyentuh Charin, tetapi terhalang oleh layar.Tubuh Charin terbaring diam di dalam sebuah alat khusus. Kabut obat yang tidak dikenal menyembur ke sekujur tubuh Charin dan melelehkan tubuh wanita itu ....Daging dan darah Charin menguap tanpa jejak. Semacam ramuan ditaburkan dan tulang-belulang Charin mulai hancur sebelum perlahan-lahan berubah menjadi genangan air.Suhu yang tinggi menguapkan air itu dan tidak meninggalkan apa pun.Video pun berhenti dan layar menjadi hitam. Mata Adrian terlihat begitu merah."Dia benar-benar ... nggak meninggalkan apa pun untukku ...."Suara Adrian terdengar seperti tangisan sekaligus tawa, begitu gila dan panik. Sekretaris itu pun segera melangkah maju dan berkata, "Pak Adrian ....""Aku turut berduka cita," kata si pria berkacamata dengan lembut.Adrian mendong

  • Waktu adalah Maut   Bab 24

    Mulut Celine dan Charles disumpal, lalu mereka diikat di ranjang rumah sakit dengan alat pengekang. Sorot tatapan mereka tampak sangat takut dan marah, tetapi makin mereka melawan, makin erat ikatan itu.Sorot tatapan Adrian sama sekali tidak terlihat berbelas kasihan. Dia berjalan tertatih kembali ke kasurnya menggunakan kruknya, lalu berbaring dan berkata dengan dingin, "Setrum."Si sekretaris yang menyusul tampak ragu-ragu dan enggan."Jangan begini, Pak Adrian .... Pak Adrian juga masih terluka."Adrian hanya mengulang dengan dingin, "Setrum."Intimidasi dalam diam ini membuat si sekretaris bergidik ketakutan. Dia akhirnya menggertakkan gigi dan menyambungkan alat setrum.Saat tombol ditekan, ketiga orang yang berada di atas ranjang rumah sakit langsung mengejang dengan kompak.Rasa sakit yang luar biasa menjalar ke sekujur tubuh. Adrian menggertakkan giginya, tetapi tetap saja terdengar erangan kesakitannya.Sakit, sakit sekali ....Charin juga merasa kesakitan seperti ini waktu i

  • Waktu adalah Maut   Bab 23

    Bunyi alarm mesin pun berbunyi dengan kencang, para dokter dan perawat bergegas masuk."Kondisi pasien memburuk! Cepat berikan pertolongan pertama!""Cepatlah!"Sekretaris itu didorong keluar pintu dan hanya bisa menatap pintu kamar rawat dengan tidak berdaya.Tepat pada saat itu, Arya melangkah mendekat dan bertanya dengan tegas, "Ada apa ini?"Setelah mendengar laporan dari bawahannya, ekspresinya pun berubah menjadi dingin. "Apa-apaan wanita itu! Kok bisa orang seperti itu belum dapat karma!"Sekretaris itu berdiri di samping, lalu menarik napas dalam-dalam dan berbalik menatap Arya."Pak Arya, ada kisah lama yang berhasil kutemukan kebenarannya. Kuharap Pak Arya mau mendengarnya."Sekretaris itu kembali menceritakan apa sebenarnya terjadi waktu itu secara mendetail. Ekspresi berubah dari terkejut menjadi marah, lalu menjadi termangu ....Arya yang semula garang pun mendadak tampak seperti menua 12 tahun. Dia mulai membungkuk, matanya memerah."Mira .... Mira ...."Arya tiba-tiba me

  • Waktu adalah Maut   Bab 22

    "Pip … pip … pip …."Terdengar bunyi yang sangat kencang di telinga. Saat siuman kembali, sekujur tubuh Adrian terasa nyeri seolah-olah semua tulangnya patah.Ada bau darah dalam mulut Adrian, setiap tarikan napasnya disertai rasa sakit yang menusuk.Suara terputus-putus terdengar di telinganya."Apa tanda-tanda vital pasien hari ini normal?""Normal, tapi kenapa pasien belum bangun juga? Pasien sudah nggak sadar selama tiga hari tiga malam, dia sudah dibantu dengan segala peralatan terbaik.""Katanya pasien tertabrak mobil dan langsung dilarikan ke ICU. Dia beberapa kali kritis dan nyaris meninggal ....""Ya ampun, padahal pasien masih sangat muda. Kurasa kaki kirinya nggak bisa diselamatkan ...."Adrian membuka matanya dengan linglung dan refleks mengerang saat melihat cahaya putih menyilaukan di atas kepalanya.Perawat yang berbicara segera melangkah maju. "Pak Adrian! Pak Adrian sudah siuman!""Cepat panggil pihak keluarganya!"Pikiran Adrian yang kacau berangsur-angsur menjadi jer

  • Waktu adalah Maut   Bab 21

    Kepala Adrian mulai merasa berputar, tetapi gema di telinganya masih terdengar jelas."Rumah sakit itu adalah investasi pribadiku. Di dalam sana ada lebih banyak hal daripada yang dapat terbayangkan.""Awalnya, dia cukup patuh. Aku menyetrumnya, mencekik dan menyiksanya sedemikian rupa. Hihihi, bahkan orang paling tangguh sekalipun pada akhirnya berlutut dan memohon belas kasihan.""Dia ternyata diam-diam menyembunyikan ponselnya dan mencoba meminta bantuan, tapi aku memergokinya dan membuang ponselnya itu.""Lalu, aku mengikat wanita nakal itu ke atas kasur setiap hari. Aku menyetrumnya kalau dia membantah, mencekiknya kalau dia berbuat salah dan mencambuknya kalau aku lagi nggak suka melihatnya!""Kalau kamu menonton video saat dia berlutut di atas lantai dan menangis, kamu juga pasti akan merasa puas. Hahaha ....""Lalu, tebak deh. Aku memergokinya menato namamu di tubuhnya! Berani sekali jalang satu itu menginginimu! Coba lihat foto ini, keterlaluan sekali!"Ponsel dibuka dan sebua

  • Waktu adalah Maut   Bab 20

    Mata Adrian merah karena marah. Akan tetapi, saat ini dia tidak ingin memedulikan tubuh Celine yang sedang tergeletak di tanah.Adrian harus menemukan Charin! Dia harus menanyakan dengan jelas, sebenarnya apa yang sedang terjadi!Keyakinan yang sebelumnya tertanam kuat akhirnya menjadi goyah. Adrian sudah terlambat untuk menyadari semuanya.Charin yang dicintainya ternyata bukanlah wanita yang sekejam itu ....Tangan Adrian gemetar saat mengeluarkan ponselnya. Dia ingin mencari Charin, tetapi kemudian menyadari bahwa dia tidak bisa menghubungi wanita itu. Karena itu, Adrian segera menelepon sekretaris Charin."Pak Adrian? Ada yang bisa aku ....""Di mana Charin?"Mendengar Adrian hampir naik pitam, tubuh sekretaris itu langsung menegang. Kulit kepalanya terasa kesemutan. Kemudian dia menyahut dengan nada panik, "Aku juga nggak tahu!"Adrian menarik napas dalam-dalam, menyadari bahwa dirinya sudah terlalu cemas. Dia segera menjawab dengan suara berat, "Sekarang juga, kerahkan semua kone

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status