Astagfirullahaladzim. Melati beristighfar dalam hati. Apa suaminya benar-benar sudah memahami apa itu poligami? Yang tidak hanya membahas hubungan biologis saja, tapi banyak lagi hal-hal yang akan dimintai pertanggungjawabannya kelak di alam akhirat.
Melati menengadah. Menatap bayang-bayang malam di penghujung senja ini. Ternyata sudah cukup lama mereka berada di tengah kebun sayur itu."Mel, jika kamu mengatakan hal ini dikala Nara pergi. Apakah ini semacam ancaman agar mas nggak lagi mencarinya?"Senyum paling getir menghiasi bibir pucat Melati. "Ancama apa? Kenapa aku harus mengancammu, Mas? Hati itu milikmu, bagaimana aku bisa mengendalikan apa yang kamu inginkan dan rasakan di dalam sana." Melati menunjuk dada Akbar dengan gerakan dagunya."Sedangkan mas sendiri bilang nggak bisa mengawalnya lagi. Apalagi aku ...." Nada suara Melati mengambang."Mungkin kemarin aku sanggup menyetujui keinginanmu. Namun setelah Nara pergi dan Mas sekalut ini, berarti rasamu hanya milik dia sekarang. Dia nggak ada di depan mata saja membuat mas kebingungan seperti ini, mengabaikanku seolah aku bukan siapa-siapa. Apalagi kalau Nara ada. Kamu akan menganggapku apa, Mas?"Aku bukan malaikat. Aku manusia biasa. Tolong pahami ini. Aku akan menunggu sampai kamu menemukan gadis itu lagi. Setelah itu lepaskan aku. Biarlah aku mencari kebahagiaanku sendiri. Maafkan jika aku akhirnya menyerah dan nggak bisa mendampingimu lagi. Aku hanya titip Moa. Sayangi dia meski pada akhirnya kelakmas akan memiliki anak dari Nara. Mungkin denganku dia nggak akan sebahagia bersama kalian. Aku nggak punya apa-apa. Tapi aku minta, tetap izinkan aku bertemu dengannya sekali waktu." Melati menunduk. Bicara tentang anak, membuat hatinya tersayat parah. Ibu mana yang sanggup berpisah dengan buah hatinya? Moana sekarang juga sedang lucu-lucunya.Akbar menatap lekat istrinya. Begitu tenang Melati bicara kali ini, bahkan tak ada lagi air mata yang kerap membasahi netra beningnya dalam beberapa bulan ini. Apa hatinya sudah setawar itu?"Mel, tidakkah kita bisa berdamai dalam keadaan ini? Mas tak bisa kehilangan kamu?"Melati tersenyum meski melihat lelaki itu berubah sendu. Lelaki yang masih mengaku mencintainya tapi menyimpan perempuan lain di hatinya."Sudah berbulan-bulan aku membujuk hati, Mas. Aku bisa bertahan menemanimu. Tapi aku akhirnya sadar ketika Nara pergi dan Mas sangat patah hati. Dari sini aku mengerti, apa artinya diriku di hadapanmu sekarang ini.""Apapun anggapanmu, mas nggak bisa kehilangan kamu."Apa ini ketulusan atau omong kosong? Melati tersenyum kecil di sudut bibir."Kita pulang, Mas. Sudah mau Maghrib ini."Akbar diam beberapa saat, kemudian menekan pedal gas dan meninggalkan tempat itu.Setelah percakapan sore itu, masihkah adakah keinginan Akbar untuk mencari Nara lagi. Atau jik Nara kembali, apa mereka akan tetap melanjutkan pernikahannya?***LS***Melati termangu di dekat kulkas dapur. Dia sedang merebus air untuk mengisi termos. Sebab kalau malam, Moana sering terbangun minta dibuatkan susu."Biar saya saja yang nungguin airnya, Mbak," kata Tini sopan."Nggak apa-apa, Tin. Biar aku yang nungguin. Nanti kuantar ke kamar."Tini mengangguk. Ketika hendak berbalik, Melati mencegahnya. "Mas Saga belum pulang?" Sejak dirinya pulang menjelang Maghrib tadi, Melati tidak melihat Saga. Apa dia jadi pergi atau masih belum pulang dari perkebunan. Sebab biasanya Saga juga sering tidur di sana."Jam empat tadi pulang, Mbak. Sempat ngajak Mbak Moa bermain sebentar. Tapi setelah mandi pamitan sama Bapak, katanya mau pergi.""Oke."Tini pergi, Melati duduk di kursi. Saga benar-benar tidak takut setelah beberapa kali nyawanya terancam. Sepasrah itukah hidupnya?Terbuat dari apa hatinya. Setelah diperlakukan dan dihajar habis-habisan oleh penghakiman dari kesalahan yang tidak pernah ia lakukan, Saga masih bisa tertawa. Tersenyum lebar untuk menghiburnya.Siapa yang salah dan siapa yang dihakimi sepanjang hidup? Saga mana tahu akan dilahirkan di tengah keluarga seperti apa? Ibunya istri nomer berapa? Pelakor apa bukan?Melati mendesah pelan. Mengusap wajah dengan kedua telapak tangannya. Jujur saja ia khawatir jika terjadi sesuatu dengan adik iparnya. Mungkin dialah satu-satunya orang di rumah itu yang peduli pada Saga. Bagaimana dengan papanya?Kodisi kesehatan Pak Norman yang tak stabil, membuat ruang geraknya terbatas. Tidak segesit dua tahun yang lalu. Namun Melati tahu, betapa papa mertuanya sangat menyayangi Saga.Netra tuanya menunjukan segenap rasa yang ada dibenaknya. Walaupun tidak bisa mengungkapkan.Melati membawa termos masuk ke kamar. Kemudian bercanda dengan Moana. Mengajari bocah itu menyanyi lagu Bintang Kecil, Balonku, dan beberapa lagu anak-anak lainnya. Membacakan cerita tentang si Kancil yang cerdik. Entah cerdik entah licik. Hingga mereka sama-sama tertidur di kasur lantai, tempat biasa Moana bermain.Tini tidak berani membangunkan. Hingga Akbar mengetuk pintu kamar."Mbak Melati ketiduran, Pak. Saya nggak berani membangunkan," ucapnya sopan pada bos yang berdiri di depan pintu.Akbar masuk, duduk di sebelah Melati yang meringkuk memeluk kaki Moana. Wajahnya terlihat lelah.Kemudian ia bangkit untuk memindahkan Moana ke tempat tidurnya, ketika hendak mengendong sang istri untuk pindah kamar. Ponsel di genggaman berdenting* * *Saga meletakkan ponsel di jok samping. Beberapa kali membunyikan klakson tapi juga percuma. Kemacetan sudah memanjang mulai dari depan. Macet total karena ada perbaikan jalan. Bisa jalan hanya bergerak maju sendikit, lantas berhenti lagi.Sabar sabar. Ini bukan di film India yang dia bisa meninggalkan mobilnya di sana dan lari secepat Cetah yang melompat dari mobil ke mobil lainnya, bahkan melangkahi bangunan tinggi. Adegan film yang rasanya sangat mustahil dan tidak masuk akal itu, ingin rasanya di tiru saat ini.Melihat ponselnya kembali berpendar, membuat Saga menyambar benda itu. "Halo, Sayang. Bagaimana?""Aku sudah sampai rumah sakit, Mas. Barusan di periksa dokter.""Lalu ....""Ternyata ini sudah bukaan lima. Dan aku bisa lahiran normal.""Loh, katanya beresiko kalau lahiran normal? Mana dokternya biar mas ngomong sama dia.""Dokternya sudah kembali ke kantor. Katanya nggak apa-apa aku lahiran normal. Barusan di cek semua baik-baik saja. Tensiku juga normal. Mas, jangan khawati
Waktu yang Hilang- Best MomentSaga membantu Melati menyiapkan segala perlengkapan untuk persalinan Minggu depan. Dokter kandungan sudah menyarankan supaya Melati melahirkan secara cesar saja untuk persalinan bayi kembarnya. Melati menolak, tapi Saga memintanya untuk menyetujui. Mengingat dua bulan terakhir ini Melati dua kali opname karena demam tinggi. Minggu depan genap 38 minggu usia kehamilannya. Dokter kandungan sudah menetapkan jadwal operasi untuknya.Kedua janinnya sehat. Masing-masing memiliki plasenta dan air ketuban. Jadi sudah siap dilahirkan di Minggu ke 38."Budhe Tami sampai sini sekitar jam setengah tiga sore, Mas. Tadi siang beliau ngabari," kata Melati sambil melipat baju yang hendak di masukkan ke dalam travel bag."Oke, besok mas akan pulang lebih awal dan langsung jemput budhe ke stasiun."Budhe Tami memang akan menemani Melati pada persalinan nanti. Rencananya wanita itu akan tinggal di Jogja sampai si kembar umur selapan."Mulai besok nggak usah lama-lama di
Melati tersenyum. Jagoan kecilnya sudah tebar pesona. Melihat Shaka, ia jadi teringat masa kecil suaminya. Begitulah Saga waktu kecil. Tapi Shaka memang lebih bersih dan terawat, karena jarang bermain di kebun. Kalau Saga dulu, keluyuran di kebun sampai kulitnya lecet-lecet. Berenang di kali bersama teman-teman, termasuk dirinya juga. Melati paling kecil di antara mereka."Kenapa senyum-senyum?" senggol Saga."Aku ingat masa kecilmu, Mas."Saga hendak menggoda sang istri, tapi mereka dikejutkan oleh suara salam dari pintu depan."Itu Gama datang!" Bu Ariana bangkit dari duduknya dan melangkah ke ruang tamu. Wanita itu tercekat sejenak saat melihat Gama datang bersama seorang wanita tinggi semampai. Memakai celana bahan warna krem dan blouse warna putih. Diakah pacar Saga? Gadis itu tersenyum ramah dan mencium tangan Bu Ariana. "Selamat malam, Tante.""Selamat malam.""Namanya Alita, Bulek." Gama memperkenalkan gadis itu pada sang bulek. Membuat Bu Ariana kaget, tapi tidak menunjukkan
Waktu yang Hilang- Gama dan Perempuan ItuAkbar melongok ke luar jendela. Meninggalkan sejenak laptopnya untuk melihat apa yang tengah dilakukan oleh Moana dan Shaka di luar sana.Tampak dua bocah itu sedang duduk di bawah pohon mangga. Bermain masak-masakan. Moana menuangkan sesuatu dari teko kecil ke dalam cangkir mainan. Shaka lantas pura-pura meminumnya. "Manis?"Shaka mengangguk-angguk. Moana kemudian memberikan piring kecil berisi biji-bijian. "Di makan, ya!"Bocah laki-laki itu mengikuti perintah sang kakak. Pura-pura memakan benda di piring kecil yang sama sekali memang tidak boleh di konsumsi.Pertama kali diajak bermain masak-masakan oleh Moana, Shaka sempat bingung. Dia tidak pernah bermain seperti itu, bahkan melihatnya pun belum pernah, karena mainannya di rumah hanya mobil-mobilan, robot, puzzle, dan buku mewarnai.Akbar tersenyum melihat tingkah mereka. Bahagia karena mereka sangat rukun. Shaka juga penurut. Dia juga kerasan tinggal di Malang. Tapi di Jogja sana, Saga
Sebenarnya Melati berharap kalau Moana yang akan tinggal di Jogja selama liburan. Ternyata Shaka yang justru ingin ikut ke Malang. Baik Saga maupun Melati hanya khawatir kalau anak itu tiba-tiba rewel dan minta pulang. Sebab selama ini jarang sekali berjauhan dari kedua orang tuanya. Paling seharian main ke rumah Bu Ariana dan sorenya sudah di antar pulang."Lasmi kamu suruh ikut?""Ya, Bulek. Mak Lasmi sendiri juga pengen ke Malang.""Uti bakalan kangen sama kamu." Bu Ariana mengusap kepala Shaka."Uti, mau ikut?" Ah, malah ditawari pula."Enggak. Uti nunggu Shaka di sini saja."Bu Ariana mengusap permukaan perut Melati. "Kemarin jadi pergi ke dokter?""Ya.""Cowok apa cewek?""Cowok lagi dua-duanya," jawab Melati sambil tersenyum."MasyaAllah. Moana bakalan cantik sendiri."Melati tersenyum. Akbar yang duduk tidak jauh dari mereka mendengar jelas percakapan itu. Dia juga tidak sabar ingin segera melihat bayi kembar Melati lahir ke dunia. Dalam hati turut juga merasakan kebahagiaan i
Waktu yang Hilang- Terbongkarnya Rahasia "Aku paham bagaimana perasaan Mbak Melati, Mas. Dulu saja dia sempat stres saat berpisah dengan Moana, setelah kalian resmi bercerai." Tini berusaha memberikan pengertian pada Akbar. Sebab dia tahu betul bagaimana sedihnya Melati kala itu."Kamu tahu?""Ya, aku tahu." Tini menarik diri dan duduk tegak menghadap sang suami. "Maafkan aku. Dulu aku diam-diam membalas pesan yang dikirimkan Mbak Melati. Hampir tiap saat aku mengirimkan foto kegiatan Moana."Akbar juga menegakkan duduknya. Serius mendengarkan istrinya bicara. Baru kali ini ia tahu kenyataan yang sudah lewat kurang lebih empat tahun yang lalu."Aku nggak sampe hati melihat Mbak Melati menangis setiap hari dan menderita, Mas. Tiap malam telepon aku dengan suaranya yang serak. Aku bisa merasakan bagaimana sakitnya berpisah dari anak. Aku saja yang hanya pengasuh Moana, selalu terbayang-bayang jika aku izin pulang. "Dia cerita mengalami hal tersulit setelah meninggalkan Wonosari. Data