Melati berdiri sambil mengelap sisa air mata di pipinya. "An, kamu keluar dulu temui Mas Akbar. Bilang kalau aku masih di belakang sebentar," perintah Melati dengan nada pelan.
"Iya." Ana bergegas ke depan. Sedangkan Melati melangkah ke belakang diikuti oleh budhenya.Dilepaskan jilbab, menaruhnya di sandaran kursi, dan membasuh wajahnya di wastafel.Budhe Tami mendekat. "Nduk, apapun keputusan yang kamu ambil nanti. Bicarakan dengan baik-baik. Ketika hubunganmu dulu di awali secara baik, biarlah berakhir dengan baik-baik juga. Menjadi janda tidaklah semenakutkan bayanganmu. Biar, biarkan orang di luar sana yang mendukung keluarga itu bicara apapun terhadapmu. Tapi asal kamu tahu, banyak warga desa yang bersimpati daripada menghujatmu. Keinginan Akbar yang di dukung oleh mamanya sudah diketahui mereka. Justru mereka menganggapmu bodoh jika masih terus bertahan di sana."Banyak yang mendukungmu, Nduk. Kamu jangan takut. Tapi jika kamu rasa bisa bertahan, budhe juga nggak bisa menghalangi. Asal jangan kamu lakukan dalam keterpaksaan. Usiamu baru dua puluh enam tahun. Masih panjang langkahmu ke depan. Cari kebahagiaanmu, jangan sampai kamu menderita sepanjang hidup. Kalau kamu butuh dana, budhe ada, Nduk." Wanita itu bicara lirih."Makasih, Budhe. Saya punya tabungan. Dari gaji saya dan nafkah yang diberikan oleh Mas Akbar.""Pokoknya ada apa-apa, kabari budhe."Melati mengangguk sambil tersenyum. Dengan cekatan dipakainya lagi jilbab agar Akbar tidak kelamaan menunggunya.Dua wanita itu keluar, menemui Akbar yang menunggu di teras. Akbar berdiri dan mencium tangan Budhe Tami."Apa kabar, Nak Akbar?" sapa budhe ramah. Membuat Akbar merasa serba salah, karena jarang sekali mampir ke rumah wanita itu.Enam tahun lalu ia meminta baik-baik Melati pada Budhe Tami sebagai wali dari orang tua Melati. Namun saat ini, dia telah melukai hati istrinya dan tidak bisa menepati janji untuk menjaga Melati dengan baik."Masuklah, Nak Akbar. Budhe bikinkan kopi.""Terima kasih banyak, Budhe. Nggak perlu repot-repot. Lagian sudah sore. Kami harus segera pulang." Begitu sopannya Akbar bicara. Membuat wanita setengah baya itu dulu tak percaya ketika baru tahu tentang perselingkuhannya. Akbar menghormatinya sebagai pengganti orang tua Melati.Budhe Tami mengangguk. Meski banyak yang hendak disampaikan, tapi ia tidak bisa ikut campur terlalu dalam. Walaupun rasanya ingin sekali marah pada suami keponakannya itu. Mereka berlindung dibalik topeng tanggungjawab yang masih ditunaikan terhadap Melati. Padahal di sisi lain, begitu tega melukai.Wanita itu memperhatikan mobil mewah Akbar yang meninggalkan halaman rumahnya.***LS***"Kamu habis nangis?" todong Akbar dalam perjalanan pulang.Menikah selama enam tahun, membuat Akbar hafal bagaimana kebiasaan Melati. Mata dan pipinya yang kemerahan tidak bisa berbohong."Ya," jawab Melati jujur tanpa menoleh ke arah suaminya.Akbar menepikan mobil di pinggir jalan. Di tengah ladang sayur yang sepi. Para petani sudah pulang menjelang sore begini. Sebenarnya dari rumah Budhe Tami tadi, Akbar bisa mengambil jalan lurus untuk bisa cepat sampai ke rumahnya. Namun saat melihat mata sembab Melati, dia memilih jalur memutar."Apa yang membuatmu sedih sekarang? Nara sudah tidak ada lagi di antara kita," kata Akbar datar.Melati tersenyum getir. Apa Akbar sedang berpura-pura tidak tahu kalau hubungan mereka tak lagi seperti dulu? Hati yang telah berbagi dan kepercayaan yang sudah terkoyak, bisakah utuh seperti sediakala."Aku butuh teman bicara. Maafkan aku. Aku bisa gila kalau hanya diam dan membiarkan ini terpendam dalam dadaku sendiri."Akbar menunduk. Ia sadar betul telah melukai hati istrinya begitu dalam. Namun egonya sendiri enggan untuk tumbang."Aku sudah mengabulkan permintaanmu, Mas. Tapi ketika kekasihmu memilih mundur, kalian semua menyalahkanku. Padahal Mas tahu sendiri, aku nggak pernah keluar dari rumah tanpamu. Setiap hari di kebun teh sampai sore. Aku juga nggak punya nomer ponsel wanita pujaanmu. Meski kalian tidak jadi menikah, meski kita tetap bersama, tapi semua tak lagi seperti dulu. Mas juga masih mencari-cari dia."Mereka saling berpandangan."Kalau itu bisa membuatmu bahagia, aku doakan kalian dipertemukan lagi. Tapi aku minta, tolong lepaskan aku, Mas." Suara Melati bergetar. Namun ia lega bisa mengungkapkan kalimat itu. Kata-kata yang setahun belakangan ini begitu menakutkan baginya. Bagai momok hidup yang mengerikan.Selama ini ia bingung, apa yang terjadi setelah bercerai. Keleleran menjadi janda yang tidak berharga. Tidak bisa bertemu lagi dengan Moana. Namun setelah dirasakan, cinta sang suami sudah banyak berkurang. Bahkan mungkin tidak ada lagi. Melati tak segan meminta perpisahan. Terlebih ada dukungan yang membuatnya yakin untuk melangkah.Akbar menarik napas dalam-dalam. Tidak menduga kalau sang istri akhirnya mengucapkan kata itu."Sudah mas bilang 'kan? Mas nggak akan menceraikan kamu. Mas mencintaimu, Mel.""Kalau cinta, nggak mungkin mendua, Mas. Setiap hubungan ada pasang surutnya. Setiap pasangan akan merasakan berada pada titik jenuh dan mengalami godaan. Namun kita tahu bagaimana bisa mengendalikan emosi dan keadaan. Mungkin aku banyak kekurangan dan Nara jauh lebih sempurna, sehingga ....""Nggak begitu, Mel," potong Akbar cepat."Aku gagal membendung perasaanku, tapi bukan berarti aku nggak mencintaimu lagi. Aku nggak mungkin melepaskanmu." Akbar berusaha meyakinkan.Melati tersenyum kecut. Mengalihkan pandangan pada hamparan kebun sayur yang berselimut kabut. Langit barat telah merona jingga. Gradasi warnanya sungguh indah di pandang mata. Senja selalu tahu, bagaimana berpisah dengan meninggalkan keindahan.Patutkah dia mengatakan bahwa lelaki yang masih menjadi suaminya ini adalah pria serakah?Perempuan mana yang sanggup di madu? Sekali pun ada satu di antara seribu, tapi bukan Melati orangnya. Ketika ia setuju untuk menandatangani surat izin menikah lagi, bukan karena ia bisa menerima. Tapi karena tidak ada pilihan lain selain menuruti kemauan mereka, suami dan mama mertuanya. Melati bisa apa di tengah segala tekanan. Akbar memang tidak memaksa dengan ancaman atau kemarahan, tapi dibalik sikapnya itu Melati tahu. Kalau ia di tuntut untuk setuju.Papa mertuanya melarang sang putra menikah lagi, tapi suaranya juga lenyap di telan bumi. Kesalahan masa lalu telah menjadi sekutu istri dan sang putra untuk mengabaikan pendapatnya.Saga. Pria yang selalu berpihak padanya, tidak juga bisa mencegah niat kakaknya. Dia tidak memiliki hak bersuara di rumah itu. Meski suatu waktu dulu, Saga pernah ingin menghajar sang kakak. Namun Melati memohon sambil menangis. "Jangan lakukan itu, Ga. Kamu bisa mati nanti.""Tak masalah. Aku tidak takut, Mel.""Jangan, aku mohon. Pengorbanamu akan sia-sia. Kakakmu akan tetap menikahi perempuan itu. Jangan biarkan nyawamu melayang sia-sia hanya karena aku. Biarkan aku menyelesaikan masalahku sendiri. Tolong!" Setelah Melati bersimpuh dan merangkul kakinya, Saga luluh. Lelaki itu berdiri tegak di kantor perkebunan dengan dada penuh amarah. Ia menatap iba perempuan yang tidak berdaya di hadapannya. Saat itu Akbar sedang gila-gilanya pada Nara."Mel," panggil Akbar. Membuyarkan lamunan Melati."Dulu kamu sudah berjanji akan menerima semua ini. Mas juga akan memberikan hak-hak kamu meski ada Nara di antara kita. Kenapa kamu berubah pikiran? Mas nggak mungkin nglepasin kamu."Melati diam. Memang layak ia mengatai suaminya serakah. Tapi bukankah poligami sah dalam agama? Terlebih mendapatkan persetujuan dari istri pertama, yaitu dirinya. Jika Melati murka? Apa bermakna ia menentang syariat yang ada dalam agama?Saga meletakkan ponsel di jok samping. Beberapa kali membunyikan klakson tapi juga percuma. Kemacetan sudah memanjang mulai dari depan. Macet total karena ada perbaikan jalan. Bisa jalan hanya bergerak maju sendikit, lantas berhenti lagi.Sabar sabar. Ini bukan di film India yang dia bisa meninggalkan mobilnya di sana dan lari secepat Cetah yang melompat dari mobil ke mobil lainnya, bahkan melangkahi bangunan tinggi. Adegan film yang rasanya sangat mustahil dan tidak masuk akal itu, ingin rasanya di tiru saat ini.Melihat ponselnya kembali berpendar, membuat Saga menyambar benda itu. "Halo, Sayang. Bagaimana?""Aku sudah sampai rumah sakit, Mas. Barusan di periksa dokter.""Lalu ....""Ternyata ini sudah bukaan lima. Dan aku bisa lahiran normal.""Loh, katanya beresiko kalau lahiran normal? Mana dokternya biar mas ngomong sama dia.""Dokternya sudah kembali ke kantor. Katanya nggak apa-apa aku lahiran normal. Barusan di cek semua baik-baik saja. Tensiku juga normal. Mas, jangan khawati
Waktu yang Hilang- Best MomentSaga membantu Melati menyiapkan segala perlengkapan untuk persalinan Minggu depan. Dokter kandungan sudah menyarankan supaya Melati melahirkan secara cesar saja untuk persalinan bayi kembarnya. Melati menolak, tapi Saga memintanya untuk menyetujui. Mengingat dua bulan terakhir ini Melati dua kali opname karena demam tinggi. Minggu depan genap 38 minggu usia kehamilannya. Dokter kandungan sudah menetapkan jadwal operasi untuknya.Kedua janinnya sehat. Masing-masing memiliki plasenta dan air ketuban. Jadi sudah siap dilahirkan di Minggu ke 38."Budhe Tami sampai sini sekitar jam setengah tiga sore, Mas. Tadi siang beliau ngabari," kata Melati sambil melipat baju yang hendak di masukkan ke dalam travel bag."Oke, besok mas akan pulang lebih awal dan langsung jemput budhe ke stasiun."Budhe Tami memang akan menemani Melati pada persalinan nanti. Rencananya wanita itu akan tinggal di Jogja sampai si kembar umur selapan."Mulai besok nggak usah lama-lama di
Melati tersenyum. Jagoan kecilnya sudah tebar pesona. Melihat Shaka, ia jadi teringat masa kecil suaminya. Begitulah Saga waktu kecil. Tapi Shaka memang lebih bersih dan terawat, karena jarang bermain di kebun. Kalau Saga dulu, keluyuran di kebun sampai kulitnya lecet-lecet. Berenang di kali bersama teman-teman, termasuk dirinya juga. Melati paling kecil di antara mereka."Kenapa senyum-senyum?" senggol Saga."Aku ingat masa kecilmu, Mas."Saga hendak menggoda sang istri, tapi mereka dikejutkan oleh suara salam dari pintu depan."Itu Gama datang!" Bu Ariana bangkit dari duduknya dan melangkah ke ruang tamu. Wanita itu tercekat sejenak saat melihat Gama datang bersama seorang wanita tinggi semampai. Memakai celana bahan warna krem dan blouse warna putih. Diakah pacar Saga? Gadis itu tersenyum ramah dan mencium tangan Bu Ariana. "Selamat malam, Tante.""Selamat malam.""Namanya Alita, Bulek." Gama memperkenalkan gadis itu pada sang bulek. Membuat Bu Ariana kaget, tapi tidak menunjukkan
Waktu yang Hilang- Gama dan Perempuan ItuAkbar melongok ke luar jendela. Meninggalkan sejenak laptopnya untuk melihat apa yang tengah dilakukan oleh Moana dan Shaka di luar sana.Tampak dua bocah itu sedang duduk di bawah pohon mangga. Bermain masak-masakan. Moana menuangkan sesuatu dari teko kecil ke dalam cangkir mainan. Shaka lantas pura-pura meminumnya. "Manis?"Shaka mengangguk-angguk. Moana kemudian memberikan piring kecil berisi biji-bijian. "Di makan, ya!"Bocah laki-laki itu mengikuti perintah sang kakak. Pura-pura memakan benda di piring kecil yang sama sekali memang tidak boleh di konsumsi.Pertama kali diajak bermain masak-masakan oleh Moana, Shaka sempat bingung. Dia tidak pernah bermain seperti itu, bahkan melihatnya pun belum pernah, karena mainannya di rumah hanya mobil-mobilan, robot, puzzle, dan buku mewarnai.Akbar tersenyum melihat tingkah mereka. Bahagia karena mereka sangat rukun. Shaka juga penurut. Dia juga kerasan tinggal di Malang. Tapi di Jogja sana, Saga
Sebenarnya Melati berharap kalau Moana yang akan tinggal di Jogja selama liburan. Ternyata Shaka yang justru ingin ikut ke Malang. Baik Saga maupun Melati hanya khawatir kalau anak itu tiba-tiba rewel dan minta pulang. Sebab selama ini jarang sekali berjauhan dari kedua orang tuanya. Paling seharian main ke rumah Bu Ariana dan sorenya sudah di antar pulang."Lasmi kamu suruh ikut?""Ya, Bulek. Mak Lasmi sendiri juga pengen ke Malang.""Uti bakalan kangen sama kamu." Bu Ariana mengusap kepala Shaka."Uti, mau ikut?" Ah, malah ditawari pula."Enggak. Uti nunggu Shaka di sini saja."Bu Ariana mengusap permukaan perut Melati. "Kemarin jadi pergi ke dokter?""Ya.""Cowok apa cewek?""Cowok lagi dua-duanya," jawab Melati sambil tersenyum."MasyaAllah. Moana bakalan cantik sendiri."Melati tersenyum. Akbar yang duduk tidak jauh dari mereka mendengar jelas percakapan itu. Dia juga tidak sabar ingin segera melihat bayi kembar Melati lahir ke dunia. Dalam hati turut juga merasakan kebahagiaan i
Waktu yang Hilang- Terbongkarnya Rahasia "Aku paham bagaimana perasaan Mbak Melati, Mas. Dulu saja dia sempat stres saat berpisah dengan Moana, setelah kalian resmi bercerai." Tini berusaha memberikan pengertian pada Akbar. Sebab dia tahu betul bagaimana sedihnya Melati kala itu."Kamu tahu?""Ya, aku tahu." Tini menarik diri dan duduk tegak menghadap sang suami. "Maafkan aku. Dulu aku diam-diam membalas pesan yang dikirimkan Mbak Melati. Hampir tiap saat aku mengirimkan foto kegiatan Moana."Akbar juga menegakkan duduknya. Serius mendengarkan istrinya bicara. Baru kali ini ia tahu kenyataan yang sudah lewat kurang lebih empat tahun yang lalu."Aku nggak sampe hati melihat Mbak Melati menangis setiap hari dan menderita, Mas. Tiap malam telepon aku dengan suaranya yang serak. Aku bisa merasakan bagaimana sakitnya berpisah dari anak. Aku saja yang hanya pengasuh Moana, selalu terbayang-bayang jika aku izin pulang. "Dia cerita mengalami hal tersulit setelah meninggalkan Wonosari. Data