End of Spring, 2017.
Lian tersenyum senang sekaligus gugup di tempatnya, mendengar intrumen Waltz 101 yang mengiringi dansa setiap pasangan di sekitarnya membuat ia mengingat dansa pertamanya bersama Hasung, beberapa tahun silam. Tak peduli seberapa kuat Lian mengendalikan dirinya, ia tetap saja merasa gugup. Semakin ia berharap, semakin hatinya tak terkendali. Ditambah lagi dengan masa lalunya bersama Hasung yang terus berputar dalam kepalanya, membuat Lian semakin tak yakin. Akankah harga dirinya masih mampu berdiri tenang di hadapan Hasung jika malam ini mereka benar-benar ditakdirkan untuk bertemu?
***
Winter, 2010.
Subway[1] siang itu tak seramai biasanya, hanya beberapa pekerja berjas yang terlihat sedang menyantap sandwich.
Hasung dan Lian mendadak menjadi pelayan teman-temannya. Hasung membawa tujuh gelas minuman ringan di atas nampan, sedangkan Lian mendapat bagian untuk membawa tujuh bungkus sandwich.
Tak perlu pikir panjang, mereka segera menyantap sandwich masing-masing. Namun, tingkah manis Hasung dan Lian lagi-lagi mencuri perhatian. Hasung sengaja membuka bungkusan sandwich untuk Lian dan memberikannya terlebih dahulu sebelum membuka dan menyantap sandwich miliknya sendiri. Padahal sudah jelas, Lian bisa membukanya sendiri dengan mudah. Ditambah lagi saat Lian menyantap sandwich-nya dalam ukuran besar sehingga terlihat sedikit kesusahan ketika mengunyah, dengan sigap Hasung menyodorkan minuman.
“Makan dengan pelan,” kata Hasung.
Semua orang melongo dibuatnya. Memang bukan pertama kali, tapi kelihatannya semakin lama semakin aneh. Padahal, tidak semua lelaki mau melakukan hal itu pada kekasihnya. Dan bahkan, Lian dan Hasung juga bukan sepasang kekasih.
“Apakah kalian tahu bahwa hubungan tak berstatus kalian terlihat sangat manis melebihi macaroon[2]?” celetuk si gadis Seoul; Jiwoo, sembari menggeleng tak mengerti. Sebenarnya, ia tak berniat menyanjung kedekatan Lian dan Hasung. Hanya saja, ia merasa sedikit iri menyaksikan mereka bertingkah lebih dari sepasang kekasih.
“Tak berstatus bagaimana maksudmu?” Lian dengan susah payah mengeluarkan suara akibat potongan sandwich yang masih menumpuk di dalam mulutnya.
“Kalian tidak pacaran, ‘kan?” Jiyul si gadis Busan ikut berceletuk dengan dialek Busan-nya yang kental.
Lian mengangguk cepat. “Kami memang tidak pacaran.”
“Lalu?” Kali ini Jiwoo yang ingin memperjelas.
Lian terdiam sebentar, “Kami ….” ucapnya sembari melirik Hasung.
“Bersahabat,” tukas Hasung dan Lian serempak.
“Wow, kompak!” Lian terlihat antusias dan Hasung hanya tertawa puas.
Jiwoo, Jiyul, Giseok, Youngmin, dan Jaehan hanya bisa menggeleng. Siapa pun yang melihat Lian dan Hasung seperti itu, tak akan ada yang mengira bahwa mereka hanya sekadar sahabat. Karena selain kejadian manis seperti hari itu, ada seribu cerita manis antara Hasung dan Lian yang tak bisa dijelaskan. Yang pasti, hal-hal kecil bisa terlihat sangat mencolok ketika mereka yang melakukannya. Contohnya, Hasung dengan sukarela memasakkan ramen untuk Adelian, merapikan rambut Lian yang berantakan, merelakan mantel dan hotpack untuk Adelian ketika salju turun, dan masih banyak lagi.
Atau, di saat Hasung tetap memberikan perhatian ekstra pada Lian meskipun tak ada orang yang menyaksikannya seperti malam itu, malam bersalju yang sangat dingin sampai dunia serasa beku dibuatnya.
Hasung memeluk tubuhnya erat-erat. Setengah wajahnya sudah tenggelam ke dalam syal yang bertengger di leher, sementara sepatu kets-nya terus memainkan salju yang menumpuk di tanah. Sesekali ia celingukan ke arah jalan yang juga dipenuhi tumpukan-tumpukan salju. Sesaat kemudian, ia mulai mendesah dan membuat asap hangat mengepul dari mulutnya.
Ia lalu mengangkat wajahnya dan memasukkan kedua tangannya ke dalam saku mantel sederhana yang ia kenakan seraya menunggu. Hasung merasa sangat cemas karena udara semakin dingin, salju turun semakin tebal, sementara Lian belum juga pulang.
Selang beberapa lama, akhirnya Hasung langsung bisa bernapas lega ketika menemukan satu tanda kehidupan yang muncul dari kegelapan malam. Menemukan tubuh mungil yang tampak tertatih menerobos salju tebal ke arahnya.
“Kenapa pulang larut sekali? Kenapa juga kau berpakaian seperti ini? Apakah kau tak merasa dingin?” celoteh Hasung sembari melangkah cepat menyambut Lian yang baru muncul dengan wajah ditekuk kedinginan.
“Tentu saja dingin,” jawab Lian. Asap hangat terus keluar dari mulutnya begitu ia menghela napas berat karena merasa letih dan kedinginan. Melihat itu, Hasung langsung memasangkan syal yang tadi ia kenakan ke leher Lian.
“Gomawo[3],” ucap Lian, menarik lilitan syal yang hampir sempurna menutup mulutnya. “Tapi, kenapa kau ada di luar? Kau menungguku?”
Hasung mengangguk.
“Kenapa?”
“Tadi ibuku datang membawa makanan. Jadi, aku mengingatmu yang masih belum pulang kerja. Kau pasti belum makan malam, ‘kan?” Hasung menduga-duga karena Lian memang terbiasa seperti itu.
Lian pun tersenyum senang. Meski kulit kepalanya sudah basah dan tubuhnya sudah sangat kedinginan, ia masih bisa menemukan segenap kehangatan hanya karena menemukan Hasung yang tetap setia menunggunya.
Mungkin, beberapa cerita manis antara Lian dan Hasung terlihat sederhana. Tetapi, semakin sederhana cerita yang mereka tunjukkan, maka semakin istimewa pula cerita yang mereka rahasiakan. Jika cerita sederhana yang mereka tunjukkan saja sudah semanis macaroon, apakah masih bisa dibayangkan betapa manisnya cerita yang mereka rahasiakan?
***
[1] Restorant berantai dan waralaba makanan internasional asal Amerika Serikat yang menghidangkan roti lapis atau sandwich, salad dll, serta menghidangkan minuman ringan serta hidangan-hidangan lokal yang disesuaikan dengan tempat restorant itu berada.
[2] Biskuit kecil yang terbuat dari kacang almond, dan kacang-kacangan lainnya, atau kelapa, kentang dengan gula, pewarna makanan, glace ceri, selai dan atau dengan lapisan coklat dan susu kental manis.
[3] Terimakasih (Informal)
“Karena sebuah takdir itu persis seperti melempar bumerang. Sejauh apa pun kau melemparnya, ia akan kembali kepada titik semula. Sejauh apa pun kau bersembunyi dan menutup diri dari kenyataan, niscaya kau akan kembali berjalan pada takdir yang seharusnya. Jika pada satu kisah kau tak bertemu dengannya lagi, itu berarti dia bukan takdirmu. Sebenarnya, cara Tuhan sesederhana itu. Hanya saja, kadang kau berusaha terlalu keras untuk menghindar dan berjalan pada jalan yang tidak seharusnya. Jikalau karena itu kau pun terluka, jangan salahkan Tuhan. Salahkan dirimu yang tak mau percaya pada takdir-Nya.”Itulah bunyi tulisan hangat dalam sebuah lukisan raksasa di sudut pekarangan vila. Semua orang dapat melihat tulisan yang dipersembahkan oleh Han Jinhee itu. Semua orang tersentuh sembari memandangi satu sama lain untuk melempar senyuman.Hampir dua tahun telah berlalu. Lian sudah kembali ke Korea setelah menyelesaikan tugasnya di Ja
Lian melangkah gontai keluar dari kamarnya. Ia ingin tidur, tapi tak bisa. Ia pun terpaksa ke luar. Lian tak ingin memikirkan apa pun. Namun, lelaki itu terus masuk ke kepalanya.“Astaga!” Mata Lian membesar. Tubuhnya terpental beberapa senti ke belakang, lalu langsung memaku bak patung.“Maaf, aku mengagetkanmu.” Suara itu keluar dari mulut Hasung yang sudah bersila di atas karpet di depan sofa dengan bungkusan makanan yang mengeluarkan aroma gochujang yang menyengat.“Apa yang membawamu ke sini?” tanya Lian. Ia belum berniat untuk mendekat.“Aku bawa Odeng dan Tteokpokki. Ayo makan bersama!” pinta Hasung. Wajahnya berseri, tidak seperti sebelumnya.Tentu saja Lian kebingungan. “Apa yang merasukimu?”Hasung tersenyum. Lama menunggu Lian yang masih tetap pada posisinya, Hasung langsung menarik tubuh Lian dan memintanya segera duduk. Lian tak memberontak, t
Sesi pembacaan naskah untuk naskah drama terbaru yang digarap Han Jinhee berjalan dengan sangat lancar. Semua pihak hadir tanpa terkecuali. Penulis novel yang digarap oleh Jinhee menjadi Naskah drama pun hadir ditemani Shin Hasung sebagai perwakilan dari pihak penerbitan Ahn Young. Di mana Ahn Young-lah penerbit yang membuat naskah novel ini menjadi best seller sampai beberapa kali cetakan hingga produser tertarik untuk menjadikannya sebuah drama. Hasung pulang. Kali ini tidak dengan Jinhee yang tadi pagi lebih dulu menawarkan diri untuk menjemputnya. Ia pulang sendiri dengan wajah yang tidak sesegar pagi tadi.Saat Hasung baru saja menapaki kakinya keluar dari lift, ia menemukan pintu rumah Lian yang baru saja tertutup. Sepertinya Lian baru pulang sama sepertinya. Hanya saja, jika Hasung bisa sedikit lebih cepat, mereka pasti akan bertemu dan Hasung mungkin tidak akan bisa me
Lian melangkah gontai menerobos dinginnya malam. Ia terpaksa pulang lebih dulu karena tak tahu harus berbuat apa. Di sepanjang jalan yang sepi, Lian terus terisak sembari menyembunyikan wajahnya dengan tekukan. Ia memeriksa sekeliling sebentar. Namun, semuanya tampak biasa dan bahkan Hasung pun tak muncul untuk mencegah kepergiannya seperti yang ia harapkan.Lian kembali terisak. Kali ini ia tak bisa menahan suaranya. Namun, ia tak berhenti melangkah. Meskipun kadang ada taksi yang berjalan pelan melintasinya Lian tak peduli.Sampai satu sedan merah berteriak dengan klaksonnya dan menghentikan langkah gontai Lian. Tanpa pikir panjang, Lian mendekat. Ada Jiwoo yang muncul dari balik kemudi. Sahabatnya itu tampak iba. Namun, tak bisa berbuat banyak. Untung saja Jiwoo tidak sedang sibuk sehingga tak lama dari saat Lian menghubunginya, ia sudah tiba.Satu loncatan kecil membuat Lian kini sudah berada di samping Jiwoo. Mata basah Lian menjelaskan semuanya, termasuk m
Hasung dan Lian sudah tiba di Lotte World[1]. Mereka tampak berjalan seperti biasa di tengah keramaian dengan setelan musim dingin yang juga terlihat biasa. Hanya saja, Lian sedikit terlihat berbeda karena menambah polesan make up di wajahnya yang terlihat tidak setipis biasanya.Lian menyadari sebagian besar pengunjung sudah memakai bando animasi yang didapatkannya di toko dekat pintu masuk. Lian pun mengajak Hasung untuk memakainya. Hasung menolak. Namun, Lian terus memaksanya hingga bando berbentuk kucing singgah di kepala Hasung dan Lian terlihat bahagia dengan bando kelinci yang sesuai dengan setelan white-peach nya.Saat berjalan-jalan memeriksa sudut taman bermain terbesar di Korea itu, Lian dan Hasung menikmati waktunya dengan menikmati latte hangat. Mereka persis terlihat seperti sepasang kekasih yang sedang berkencan. Mereka juga menemukan ada banyak orang yang terlihat melakukan hal yang sama, tapi dengan
“Hasunglah yang bertemu dengan Goo Nara dan memintanya untuk menjelaskan semuanya padamu.”Deg! Degupan keras menghantam jantung Lian. Tak ada alasan pasti, hanya saja mendengar pengakuan Jiwoo jantungnya hampir berhenti berdetak. “Bagaimana mungkin?” Lian tak habis pikir.“Apa yang kau pikirkan ketika dia masih peduli kejadian tujuh tahun silam?” Jiwoo menginterogasi.Lian menggeleng sembari berusaha menyeimbangkan napasnya. “Kenapa dia harus melakukannya?” Lian bertanya pada Jiwoo juga pada dirinya sendiri yang terheran. “Dia bisa saja tak peduli apa pun tentang saat itu, tapi kenapa dia melakukannya?” tanya Lian sekali lagi.“Mungkin dia juga masih mengharapkanmu.” Jiwoo tak sepenuhnya yakin dengan apa yang ia katakan. “Seperti yang kau katakan. Jika dia memang tak punya harapan, seharusnya dia melupakannya, bukan?”Lian menghela napas dalam-dala