Share

BAB 3

Author: Pie
last update Last Updated: 2021-08-19 19:11:10

Winter, 2010.

Masih mengingat masa tujuh tahun lalu, tepatnya ketika musim dingin tahun 2010 di Seoul. Shin Hasung, lelaki bertubuh tinggi dengan suara lembut dan sikap yang hangat itu berasal dari Incheon.[1] Ia adalah Mahasiswa Manajemen Bisnis tahun ke dua di Universitas Hanyang, sama seperti Adelian. Hanya saja, Lian mengambil Keperawatan. Mereka saling mengenal sejak dua tahun sebelum itu, ketika Lian datang dan menyewa rumah kosong di samping rumah Hasung. Dua tahun saling mengenal, mereka sudah sangat akrab, lantaran Hasung yang mudah bergaul dan Lian juga merupakan tipe wanita yang tidak sulit didekati.

Sementara itu, Adelian adalah wanita kelahiran Jakarta[2], Indonesia. Ayahnya adalah orang Korea asli, sedangkan ibunya adalah orang Indonesia. Saat remaja, tepatnya memasuki SMA, Adelian datang ke Korea bersama kedua orang tuanya dan melanjutkan sekolah di Kapyeong.[3]

Keseharian Adelian tak jauh berbeda dengan Hasung, ia akan menyesuaikan jadwal kuliahnya setiap hari dengan jadwal kerja paruh waktunya di Guardian Cafe. Hasunglah yang memperkenalkan pekerjaan itu pada Lian karena sebelumnya Hasung sedikit kasihan melihat Lian bekerja di Sauna[4] yang letaknya cukup jauh dari rumah. Bukan hanya itu saja, Lian akan selalu siap menerima tawaran kerja paruh waktu mendadak, dua sampai tiga shif per hari di tempat berbeda. Waktu libur untuk Lian hanyalah saat malam. Terkadang, meskipun akhir pekan, ia akan tetap bekerja.

***

            Lian dan Hasung melangkah beriringan menaiki tangga, mereka sama-sama gontai kelelahan setelah bekerja seharian di kafe karena ada acara ulang tahun seorang pelanggan yang dirayakan di sana. Hasung dan Lian harus bekerja ekstra mempersiapkan pesta sebelum dimulai sampai membereskan semuanya ketika pesta selesai.

Hasung menyandarkan tubuhnya di tembok. Ia merasa sudah tak kuat lagi untuk melangkah, meskipun tinggal beberapa anak tangga lagi yang harus ia tempuh. “Aku pasti lelah sekali. Tidak biasanya keringatku keluar saat salju turun.” Hasung mengusap pelipisnya yang dibanjiri keringat dingin.

“Bagaimana bisa kau berkeringat saat cuaca sedingin ini?” celetuk Lian ketika sudah tiba di koridor dan menyaksikan Hasung yang masih sempat menopang tubuhnya di tembok tangga.

“Itulah maksudku,” timpal Hasung dengan suara tertahan. “Adelian, sepertinya aku sakit.” Ia merengek.

“Ayolah, jangan bercanda.” Lian ikut merengek karena sudah sangat letih. “Kemarilah!” Tangannya mengisyaratkan agar Hasung segera menaiki tangga dan  menyusulnya.

“Aku serius.”

Lian mendesah, lalu buru-buru menuruni tangga kembali untuk menghampiri Hasung. Ia menempelkan telapak tangannya di dahi Hasung yang sudah kebanjiran keringat dan membuat bola mata bulatnya langsung membesar, “Hei, kau demam!” serunya.

Hasung mengangguk seadanya, “Sepertinya aku akan mati.”

Lian mendesah sekali lagi seiring dengan kepalanya yang menggeleng akibat kalimat konyol yang memasuki lubang telinganya itu. “Aku yang akan mati lebih dulu karena membeku kedinginan di sini,” timpal Lian sembari menyambar lengan Hasung dan menariknya dengan sekuat tenaga.

Kini, Hasung sudah berbaring di atas tempat tidurnya, sedangkan Lian sibuk mengompres Hasung bersama celoteh yang terus meluncur dari mulutnya. Menyadari Hasung yang selalu jatuh sakit di setiap musim dingin membuat Lian heran. Padahal, Hasung adalah tipe lelaki yang menomor satukan kesehatan, tapi tetap saja Hasung akan jatuh sakit setiap musim dingin datang.

“Tunggu di sini, aku akan keluar mencarikanmu obat.” Lian mengangkat tubuhnya begitu mengatakan kalimat itu. Namun, saat baru hendak melangkah keluar, tiba-tiba saja wajah lesunya berbinar. Sepertinya ia menemukan solusi. “Kau pasti akan segera sembuh jika memakan sup kimchi[5] buatan ibumu, ‘kan!” seru Lian, tapi Hasung tak merespons. “Benar, ‘kan?” ulangnya sekali lagi, tapi Hasung tetap enggan untuk merespons.

Lian tak peduli Hasung mau menjawab atau tidak, ia lebih memilih untuk segera menghampiri kulkas dan memeriksa wadah plastik demi plastik yang ada di sana. “Ke mana sup kimchi buatan ibumu?” tanya Lian.

Hasung mengerang dan akhirnya ia terpaksa mengeluarkan suara dengan susah payah. “Sudah habis. Aku memakannya bersama teman-temanku. Kau juga mengambil sebagian dan memakannya bersama teman-temanmu,” jelanya lirih.

Lian membuka mulutnya, dan mengangguk paham, “Kalau begitu, akan aku buatkan untukmu,” pungkasnya sembari mengeluarkan seplastik kimchi dari dalam kulkas.

“Kau yakin?” tanya Hasung.

“Tentu saja!”

Meski Lian meyakinkannya dengan mantap, tetap saja Hasung mendesah ragu karena setahunya Lian tidak bisa memasak. Bahkan hanya untuk memasak ramen[6] saja, Hasung harus membantunya karena Lian sulit mengukur takaran air dengan benar.

Tangan Lian mulai mencincang kimchi sawi putih dengan bentuk tak beraturan. Wajahnya terlihat yakin, tapi tangannya bergerak ragu. Sesekali Lian memastikan Hasung yang masih terpejam di tempat tidur. Entah Hasung tertidur atau tidak, Lian tak tahu. Karena ia hanya bisa memastikannya dari kejauhan.

Setelah semua bahan, dan bumbu masuk ke dalam panci, Lian mencicipinya dengan hati-hati. Wajahnya sama sekali tak bereaksi, itu artinya masakannya terasa hambar. Lian menambahkan bumbu instan satu sendok, lalu mengaduknya dengan pelan. Kemudian, ia mencicipinya lagi begitu yakin bumbu sudah merata.

Namun, tubuh Lian tiba-tiba terperanjak seiring dengan matanya yang terpejam, lalu terbuka seketika. Ia tampak tak yakin dan memiringkan kepalanya untuk berpikir beberapa saat. Tangannya kembali meraih air putih dan menuangnya ke dalam sup. Entah apa yang ia rasakan kali ini, yang jelas rasa sup kimchi buatannya seratus persen berbeda dengan sup kimchi buatan ibu Hasung dan sup kimchi yang ia tahu pada umumnya.

“Supnya sudah jadi!” jelas Lian pada akhirnya. Ia menarik meja kecil dari bawah ranjang Hasung lalu meletakkan sepanci sup di sana. “Turunlah! Kau harus mencobanya. Aku yakin kau akan langsung sembuh setelah memakannya.” tutur Lian dengan penuh percaya diri. Tak ada yang bisa menebak apa yang ia lakukan pada sup kimchi itu sehingga ia tampak begitu antusias. “Ayolah!” Lian merengek sembari menarik turun Hasung dari atas tempat tidur.

“Bukankah seharusnya aku menyantapnya dengan tenang di atas tempat tidurku?” tanya Hasung sembari merangkak turun dengan malas.

“Eey!” Lian menggeleng. “Kau sudah bukan anak kecil lagi. Kau tidak boleh menyantap makanan di atas tempat tidur. Itu akan membuat selimutmu bau dan kau tidak akan menyukai selimutmu lagi.”

“Bahkan, meskipun sudah tua, orang sakit akan tetap makan di atas tempat tidurnya. Sekarang aku tidak yakin apa kau benar-benar belajar keperawatan dengan benar atau tidak,” gerutu Hasung.

“Berhentilah berceloteh dan coba ini.” Lian langsung menghidangkan satu mangkuk sup kimchi karyanya di hadapan Hasung.

Hasung mengangkat sendoknya ragu-ragu. Begitu matanya menyapu tampilan sup itu, ia langsung mendesah. Jika sup kimchi buatan ibunya ataupun sup kimchi yang biasa ia temukan di warung makan akan berwarna merah kecoklatan dengan aroma kimchi yang menyengat, maka lain halnya dengan sup kimchi di hadapannya ini. Tidak memiliki warna, dan terlihat bening seperti tanpa sentuhan bumbu, dan bahkan tidak ada aroma apapun yang bisa ia cium dari sup dengan kepulan asap panas itu, oke! Untuk yang satu ini Hasung bisa memakluminya karena saat ini hidungnya sedang tersumbat.

Akhirnya, dengan terpaksa Hasung menyendok sup sembari melirik Lian yang tampak penasaran sekilas. Satu detik kemudian, sesendok sup itu mendarat ke dalam tenggorokannya. Hasung terdiam tanpa ekspresi, sedangkan Lian sibuk menanti komentar darinya.

“Bagaimana?” tanya Lian dengan wajah semringah, tapi Hasung tak menjawab hingga ia kembali bertanya, “Tidak enak?”

Hasung mendesah sembari mengangkat wajahnya dan menemukan Adelian yang tengah menanti komentarnya sejak tadi. “Mulai sekarang, sebaiknya kau tak memasak apapun. Jika kau ingin makan sesuatu, aku bisa membuat apapun untukmu. Dan, aku hanya perlu minum obat saja untuk sembuh,” tutur Hasung pelan, takut Lian tersinggung karenanya.

Lian menghela napas tanpa mengatakan apapun.

Sebenarnya, Hasung merasa bersalah, mengingat Lian yang rela melupakan rasa lelahnya demi membuatkan sup kimchi untuknya. Untuk itu, Hasung segera menyantap dan menghabiskan semangkuk sup kimchi di hadapannya. “Kau sudah berusaha keras!” tukas Hasung sembari menatap Lian yang masih terdiam.

Semoga saja dengan ini Lian tidak akan merasa bahwa aku tak menghargainya, pikir Hasung.

“Bagaimana jika kau semakin sakit karena sup itu?” celetuk Lian tanpa ekspresi.

“Tentu saja kau harus bertanggung jawab.” timpal Hasung tanpa menyaksikan Lian yang mulai mengulum senyum.

Meskipun masakan pertamanya gagal dan Hasung dengan terpaksa menyantapnya,  Lian sama sekali tak kecewa. Ia tahu pada akhirnya Hasung akan selalu menghargainya lebih dari siapa pun.

“Ayo kita menonton drama,” tawar Lian yang mendadak antusias kembali.

“Di mana?”

“Di sini.” Lian meraih remote control dan langsung menyalakan TV.

Hasung melebarkan mata sipitnya, “Hei! Kau tidak berpikir untuk tidur di sini, ‘kan?”

Lian mengangguk. “Aku akan segera pulang saat episode ini berakhir,” ujarnya, kemudian sibuk mengambil posisi di depan TV, sedangkan Hasung langsung membuang tubuhnya ke ranjang dengan frustrasi.

Hasung membungkus tubuhnya dan menutup telinganya rapat-rapat. Ia benar-benar tak menyukai drama. Hasung yakin, besok pagi sakitnya akan semakin parah karena Lian menyiksa batinnya. Pertama, dengan sup hambar yang ia makan dengan terpaksa. Dan kedua, dengan suara celotehan drama yang mengacaukan kepalanya.

***

[1] Kota metropolitan dan pelabuhan utama di pesisir barat Korea Selatan.

[2] Ibu Kota sekaligus Kota terbesar di Negara Indonesia

[3] Sebuah Kabupaten di Provinsi Gyeonggi, Korea Selatan.

[4] Suatu ruangan kecil yang dirancang agar pengguna dapat menikmati mandi uap atau pemanasan tubuh, baik secara basah maupun kering.

[5] Makanan tradisional Korea yang berasal dari Tiongkok, salah satu jenis asinan sayur hasil fermentasi yang diberi bumbu.

[6] Semacam mie instan di Indonesia. Terkenal dengan nama ramen di berbagai Negara seperti Korea, Jepang, dan China.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Waltz 101   BAB 36

    “Karena sebuah takdir itu persis seperti melempar bumerang. Sejauh apa pun kau melemparnya, ia akan kembali kepada titik semula. Sejauh apa pun kau bersembunyi dan menutup diri dari kenyataan, niscaya kau akan kembali berjalan pada takdir yang seharusnya. Jika pada satu kisah kau tak bertemu dengannya lagi, itu berarti dia bukan takdirmu. Sebenarnya, cara Tuhan sesederhana itu. Hanya saja, kadang kau berusaha terlalu keras untuk menghindar dan berjalan pada jalan yang tidak seharusnya. Jikalau karena itu kau pun terluka, jangan salahkan Tuhan. Salahkan dirimu yang tak mau percaya pada takdir-Nya.”Itulah bunyi tulisan hangat dalam sebuah lukisan raksasa di sudut pekarangan vila. Semua orang dapat melihat tulisan yang dipersembahkan oleh Han Jinhee itu. Semua orang tersentuh sembari memandangi satu sama lain untuk melempar senyuman.Hampir dua tahun telah berlalu. Lian sudah kembali ke Korea setelah menyelesaikan tugasnya di Ja

  • Waltz 101   BAB 35

    Lian melangkah gontai keluar dari kamarnya. Ia ingin tidur, tapi tak bisa. Ia pun terpaksa ke luar. Lian tak ingin memikirkan apa pun. Namun, lelaki itu terus masuk ke kepalanya.“Astaga!” Mata Lian membesar. Tubuhnya terpental beberapa senti ke belakang, lalu langsung memaku bak patung.“Maaf, aku mengagetkanmu.” Suara itu keluar dari mulut Hasung yang sudah bersila di atas karpet di depan sofa dengan bungkusan makanan yang mengeluarkan aroma gochujang yang menyengat.“Apa yang membawamu ke sini?” tanya Lian. Ia belum berniat untuk mendekat.“Aku bawa Odeng dan Tteokpokki. Ayo makan bersama!” pinta Hasung. Wajahnya berseri, tidak seperti sebelumnya.Tentu saja Lian kebingungan. “Apa yang merasukimu?”Hasung tersenyum. Lama menunggu Lian yang masih tetap pada posisinya, Hasung langsung menarik tubuh Lian dan memintanya segera duduk. Lian tak memberontak, t

  • Waltz 101   BAB 34

    Sesi pembacaan naskah untuk naskah drama terbaru yang digarap Han Jinhee berjalan dengan sangat lancar. Semua pihak hadir tanpa terkecuali. Penulis novel yang digarap oleh Jinhee menjadi Naskah drama pun hadir ditemani Shin Hasung sebagai perwakilan dari pihak penerbitan Ahn Young. Di mana Ahn Young-lah penerbit yang membuat naskah novel ini menjadi best seller sampai beberapa kali cetakan hingga produser tertarik untuk menjadikannya sebuah drama. Hasung pulang. Kali ini tidak dengan Jinhee yang tadi pagi lebih dulu menawarkan diri untuk menjemputnya. Ia pulang sendiri dengan wajah yang tidak sesegar pagi tadi.Saat Hasung baru saja menapaki kakinya keluar dari lift, ia menemukan pintu rumah Lian yang baru saja tertutup. Sepertinya Lian baru pulang sama sepertinya. Hanya saja, jika Hasung bisa sedikit lebih cepat, mereka pasti akan bertemu dan Hasung mungkin tidak akan bisa me

  • Waltz 101   BAB 33

    Lian melangkah gontai menerobos dinginnya malam. Ia terpaksa pulang lebih dulu karena tak tahu harus berbuat apa. Di sepanjang jalan yang sepi, Lian terus terisak sembari menyembunyikan wajahnya dengan tekukan. Ia memeriksa sekeliling sebentar. Namun, semuanya tampak biasa dan bahkan Hasung pun tak muncul untuk mencegah kepergiannya seperti yang ia harapkan.Lian kembali terisak. Kali ini ia tak bisa menahan suaranya. Namun, ia tak berhenti melangkah. Meskipun kadang ada taksi yang berjalan pelan melintasinya Lian tak peduli.Sampai satu sedan merah berteriak dengan klaksonnya dan menghentikan langkah gontai Lian. Tanpa pikir panjang, Lian mendekat. Ada Jiwoo yang muncul dari balik kemudi. Sahabatnya itu tampak iba. Namun, tak bisa berbuat banyak. Untung saja Jiwoo tidak sedang sibuk sehingga tak lama dari saat Lian menghubunginya, ia sudah tiba.Satu loncatan kecil membuat Lian kini sudah berada di samping Jiwoo. Mata basah Lian menjelaskan semuanya, termasuk m

  • Waltz 101   BAB 32

    Hasung dan Lian sudah tiba di Lotte World[1]. Mereka tampak berjalan seperti biasa di tengah keramaian dengan setelan musim dingin yang juga terlihat biasa. Hanya saja, Lian sedikit terlihat berbeda karena menambah polesan make up di wajahnya yang terlihat tidak setipis biasanya.Lian menyadari sebagian besar pengunjung sudah memakai bando animasi yang didapatkannya di toko dekat pintu masuk. Lian pun mengajak Hasung untuk memakainya. Hasung menolak. Namun, Lian terus memaksanya hingga bando berbentuk kucing singgah di kepala Hasung dan Lian terlihat bahagia dengan bando kelinci yang sesuai dengan setelan white-peach nya.Saat berjalan-jalan memeriksa sudut taman bermain terbesar di Korea itu, Lian dan Hasung menikmati waktunya dengan menikmati latte hangat. Mereka persis terlihat seperti sepasang kekasih yang sedang berkencan. Mereka juga menemukan ada banyak orang yang terlihat melakukan hal yang sama, tapi dengan

  • Waltz 101   BAB 31

    “Hasunglah yang bertemu dengan Goo Nara dan memintanya untuk menjelaskan semuanya padamu.”Deg! Degupan keras menghantam jantung Lian. Tak ada alasan pasti, hanya saja mendengar pengakuan Jiwoo jantungnya hampir berhenti berdetak. “Bagaimana mungkin?” Lian tak habis pikir.“Apa yang kau pikirkan ketika dia masih peduli kejadian tujuh tahun silam?” Jiwoo menginterogasi.Lian menggeleng sembari berusaha menyeimbangkan napasnya. “Kenapa dia harus melakukannya?” Lian bertanya pada Jiwoo juga pada dirinya sendiri yang terheran. “Dia bisa saja tak peduli apa pun tentang saat itu, tapi kenapa dia melakukannya?” tanya Lian sekali lagi.“Mungkin dia juga masih mengharapkanmu.” Jiwoo tak sepenuhnya yakin dengan apa yang ia katakan. “Seperti yang kau katakan. Jika dia memang tak punya harapan, seharusnya dia melupakannya, bukan?”Lian menghela napas dalam-dala

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status