Ucapan Andara itu mengundang ketertarikan Lukas untuk menatap lebih dalam wajah Andara. Berangsur matanya menyorot lantang, marah. "Lu pikir gue takut sama lu? Gue nggak datang buat jadi pembantu atau pun pelayan kalian! Gue juga nggak pernah makan dari yang kalian. Ingat itu baik-baik!" hardik Andara lagi sambil berdiri. Mata Andara ikut menatap nyalang. Baru saja akan pergi menjauh, Andara tidak tahu kapan tepatnya Shama datang mendekat. Sebelum merasakan tamparan pada pipi kanannya, Andara merasakan lebih dulu bagaimana tangan Shama mencengkeram bahunya untuk memutar tubuhnya. Plak! "Lancang sekali kau ini!" bentak Shama. Sementara Andara terdiam sebentar saat rasa panas menyerang wajahnya. Sorot tajam dari mata Andara menangkap jelas wajah Shama yang baru saja memukulnya. "Lu bakal nyesel udah mulai perang sama gue. Gue ingetin lu! Cukup satu kali ini lu bisa lakuin kni. Lain kali, lu nggak akan selamat," desis Andara mengancam.Usai mengancam Shama, lagi-lagi Andara meringis
Begitu Shama berlalu tanpa kata, Andara seketika saja teringat pada Risyad. Gadis itu mencari-cari keberadaan laki-laki itu. Namun, sejauh apa pun Andara mencari Risyad, tetap saja tidak ada tanda-tanda kehadiran pria berbadan padat tersebut. "Beneran nggak ada? Ke mana perginya dia?" gumam Andara bertanya-tanya. Kakinya segera kembali lagi ke lantai dasar, kini berlari mencari si sopir yang dia perintahkan untuk istirahat. Andara melirik sana-sini berharap laki-laki berseragam ala sopir itu tidak pergi jauh. Seketika saja kaki Andara berlari cepat kala sepasang matanya kini mendapati keberadaan sosok yang dia cari. "Ah... Pak, saya boleh nanya nggak?" tanya Andara, sopan. Pria berbadan sedikit gempal di sana segera mengangguk, menerima. "Ke mana perginya Risyad? Kenapa istrinya ada tapi dia nggak?" "Saya tidak tahu pasti apa yang terjadi, Nona. Yang saya tahu, Pak Risyad sedang ada di acara upacara kematian. Dia pelaksana di sana, Nona." Andara dibuat berpikir keras, apa Risyad
"A-apa? Maksud lu apaan?" Seketika saja bahu Andara menegang. Ada rasa tidak setuju yang muncul kala Risyad melontarkan kata-katanya. "Awalnya saya pikir rencana ini akan berhasil. Tapi ternyata saya salah. Saya justru hanya memperkeruh suasana hati istri saya. Lebih baik kita akhiri di sini. Saya akan bertanggung jawab atas keselamatan kamu sampai Indonesia." Tidak! No no no! Apakah Andara boleh berteriak mengatakan tidak saat ini? Dadanya hampir meledak begitu mendengar kalau dia akan menyudahi kontrak dengan Risyad. Katakan saja kalau saat ini Andara memang sudah gila, tapi kenyataannya memang dia tidak bisa menerima putusan Risyad untuk mengakhiri kerjasama mereka. "K-kok udah? Tapi kenapa?" Andara mencoba protes. "Saran teman saya itu sama sekali tidak membantu. Harusnya saya paham, bahwa satu-satunya orang yang bisa mengatasi masalah saya itu adalah saya sendiri. Bukannya justru mendatangkan orang lain dengan ekpektasi bisa mengatasi," kata Risyad benar-benar serius. "Sara
Memerlukan waktu sekitar satu jam menempuh perjalan menuju tempat yang dipinta Risyad. Hujan yang terlalu lebat sedikit mengambat perjalanan. Untung saja kesabaran Andara seluas jalanan. Jika tidak, mungkin sudah lebih dulu Andara mengumpat habis-habisan ditengah guyuran air hujan. Sesekali Andara melirik keadaan Risyad yang kini terkapar. Matanya sesekali terbuka dan tertutup. Di luar hujan, tapi Risyad justru ikut basah oleh keringatnya sendiri. Melihat laki-laki itu tak berdaya seperti saat ini, entah kenapa membuat Andara mendadak kesal tiba-tiba. Ada perasaan tidak tega muncul. Andara berpikir itu adalah efek naluriah seorang manusia. Hanya Shama saja yang tidak bisa berempati pada manusia lain bahkan tega memperlakukan mereka persis binatang. Andara tentu tidak tega berbuat seperti itu. "Ini tempatnya?" tanya Andara saat peta di navigasi mobil sudah berhenti. Dia melirik ke luar jendela, dan menemukan rumah minimalis berwana cokelat kering. Suara klik pintu mobil menginterupsi
Andara hanya bisa membisu. Dia menatap kosong isi cangkir yang menipis, larut akan kisah Risyad yang saat ini sedang diulas oleh Sasa. "Risyad itu tipe laki-laki yang ambisius. Dia tidak pernah mundur jika sudah menginginkan suatu hal. Ada fase di mana dia lebih memilih berontak saat ketidakadilan sedang dia terima. Dan ada fase di mana dia tidak segan-segan meminta maaf saat dia berbuat salah. Begitulah Risyad dulu." Mata Andara berpindah kini menatap Sasa. "Dulu?" "Eum... Dulu. Itu sifatnya sebelum ibunya meninggal dan ayahnya gila kekuasaan." "Terus, gimana ceritanya Risyad sama Shama bisa menikah? Sejauh yang gue liat, Shama sama sekali nggak tertarik sama Risyad. Tapi kenapa tetap mau mempertahankan pernikahannya? Kan Shama nggak cinta.""Shama itu anak dari keluarga ternama yang sempat bergandengan dengan nama keluarga Risyad Al Maktoum. Ayahnya sudah mengincar Shama jauh sebelum kebangkrutan perusahaan orangtua Shama terjadi. Seolah melempar satu mangga tapi yang jatuh justr
Mimpi tadi malam akhirnya menguap. Kesadaran mulai didapati Risyad. Matanya perlahan terjaga, berhasil memindai langit-langit kamar yang serasa tidak asing. Perlahan pandangannya mulai menyeluruh. Dan sadar, kalau kini dia berada di dalam kamar yang biasa dia singgahi jika penyakitnya kambuh.Sembari mengingat lagi saat-saat dia bisa datang ke rumah Sasa ini, Risyad membangunkan tubuhnya kini duduk dengan kedua kakinya menyentuh lantai. Laki-laki berbusana ala pasien Rumah sakit itu memijat pelipisnya, tidak bisa lupa akan kebaikan Andara yang sudah berulang kali membantunya. Tadinya Andara ada dalam bayangan Risyad, tapi hitungan detik pria itu kini bisa melihat sosok jelita itu yang baru saja masuk tanpa mengetuk pintu. Kebiasaan Andara yang itu cukup buruk! "Oi, udah sadar lu? Kirain lu masih mimpi," seru Andara begitu masuk. Risyad hanya bergeming memandangi pahatan wajah Andara yang baginya terlalu santai. Seperti Andara itu tidak punya masalah yang harus membuat mimik wajahnya
Dia menatap Risyad yang masih terkapar dengan wajah yang memerah padam, sepertinya marah. Sementara Risyad, dia hanya bisa menahan napas dengan emosi yang bergejolak hebat. "Kalau begitu cepat bangun. Kenapa masih memeluk saya!" Kontan tubuh itu menegak, bangun. Andara kembali duduk. Disusul Risyad yang membangunkan diri dengan gaya sit up. Begitu ringan cara Risyad mengangkat tubuh yang kenyataannya isi tubuhnya sepadat itu. "Puas kamu? Ada apa denganmu? Kenapa suka sekali rasanya kamu menggoda saya? Kamu tertarik sama saya?" serang Risyad kini tak peduli bagaimana tanggapan Andara. "Wah... Mulai nggak enak tuh bibir kalau ngomong." "Tidak perlu basa-basi! Katakan yang sejujurnya. Kamu menyukai saya?" Risyad tak mau mengalah kali ini. Matanya menatap kukuh, serius. Sial! Tatapan Risyad begitu tajam. Setelah suara bariton itu, juga tatapan Risyad menjadi hal yang membuat Andara mendadak kicep. Dia diam seribu bahasa, tak punya keberanian. "Kan gue udah bila–”Tanpa sadar Andara
"Aku sudah membiarkan kalian menginap tapi seperti ini balasan kalian!?"Sasa menggertak kedua orang di depannya yang sudah duduk di tepi ranjang menghadap padanya. Sasa sendiri duduk di kursi dengan wajah garang menatap tajam. "Jangan salahkan aku. Dia yang melakukan semua ini," sanggah Risyad, membela diri. Andara segera menoleh cepat, tidak terima. "Pinter banget lu ngeles!""Kamu yang narik tangan saya tadi!""Ya salah lu sendiri, kenapa lemah banget jadi lakik. Nggak guna banget!" sungut Andara. "Diam!" Begitu Sasa memekik, keduanya kompak terkejut langsung menatap si empunya suara. Diam seribu bahasa lebih berguna saat ini bagi dia orang itu. Benar apa kata Sasa, dia sudah memberikan tempat namun kamarnya di rusak begitu saja. "Aku tidak akan membiarkan kalian pergi sebelum kalian membersihkan tempat ini seperti semula!" Sasa melanjutkan. "Sasa jangan berlebihan. Aku akan panggil orang—”"Dengan tangan sendiri! Aku tidak mengizinkan orang asing masuk ke dalam rumahku! Kuin