Baru saja matahari menyambut, suara nyaring dari arah dapur sudah menyapa telinga Shama. Dia menyempatkan melirik jarum jam dan mendapati hari sudah pukul delapan pagi. Hendak kembali memejamkan mata, suara yang seperti gesekan benda berbahan stainless membuatnya tak tenang lagi untuk melanjutkan tidurnya. Shama segera bangun dan berjalan satu jurus ke arah dapur untuk melihat siapa agaknya yang sedang mengganggu tidurnya. "Kau masih bisa menunggu, kan? Aku akan selesai sebentar lagi." Suara bariton Risyad segera menghentikan langkahnya. Pria yang masih berstatus suaminya itu ternyata dalang di balik suara nyaring itu. Dia sedang sibuk memasak dan terlihat asyik bertukar dialog dengan orang yang dia ajak berbicara. Shama sedikit memiringkan kepalanya guna melihat siapa yang sedang berbicara dengan suaminya. Mendadak dengkusan kecil keluar dari bibirnya saat layar ponsel Risyad menampilkan gambar Andara yang rupanya tengah melakukan panggilan video. Tampak keduanya cukup bahagia te
Emosi, Shama pun melampiaskan amarahnya dengan mencampakkan ponsel sembarang arah. Tidak hanya Risyad, tapi laki-laki yang sempat stau ranjang dengannya kemarin pun ikut-ikutan membuatnya tersulut emosi yang kian membuncah. **Bagi Lukas, memiliki seorang penerus adalah hal yang sangat penting. Dan yang pastinya, seorang penerus itu harus lahir dari rahim yang memang mumpuni dalam hal apa pun juga tentunya dari latar belakang yang paling baik. Itulah kenapa Lukas memaksa Shama untuk tetap memberikannya seorang cucu, walau Lukas sekarang tahu kalau anaknya sudah mulai berpindah haluan. "Siapa gadis yang terus bersama Risyad? Ada hubungan apa mereka?" tanya Lukas pada salah satu ajudan yang baru dia panggil. "Sejauh ini kami hanya bisa memastikan kalau gadis itu hanya sebatas pelayan saja, Pak. Karena sejak kemarin, saya melihat kalau gadis itu di bawa ke mansion pribadi Tuan Lukas untuk dijadikan tukang bersih-bersih." "Kau yakin? Aku akan membekukan seluruh akses apa pun yang meny
Risyad pun mulai menjalani titah dari sang ayah. Bagaimana pun caranya, dia tidak boleh gagal dalam tugas ini. Risyad sudah sangat muak dengan kehidupannya yang kemarin. Itulah kenapa Risyad akan menempuh segala cara agar kesepakatan dengan ayahnya segera berakhir. Di sisi lain, Shama terus saja dibuat tidak tenang dengan segala perencanaan ayah mertuanya. Dia yakin pada kinerja Risyad, sangat tidak mungkin suaminya yang tidak dia inginkan itu kalah dalam pertarungan ini. Mengingat tentang latar belakang Risyad yang sudah tidak diragukan lagi kemampuannya, mana mungkin semudah itu kalah. Tak punya pilihan lain, Shama pun mencari jalan lain untuk menggagalkan rencana suaminya. Dia memang tidak menginginkan Risyad, akan tetapi lebih tidak menginginkan jika dirinya gagal menjadi pemegang saham utama di perusahaan yang sudah dia kelola. Shama pun segera menghubungi lawan dari perusahaan yang akan bersaing dengan Risyad. Setalah sepakat bertemu, Shama pun buru-buru pergi dan siap membua
Kabar kehamilan Shama sudah beredar luas bahkan sampai ke telinga sang suami. Risyad yang kala itu tengah berjuang sekuat tenaga, langsung saja dibuat gagal fokus karena tidak percaya atas kabar yang sudah beredar. Hendak berlari dari tempatnya, Risyad pun diberhentikan oleh kehadiran sang ayah yang sudah ada didepan mata. "Ayah, apa yang terjadi?""Mari sudahi kesepakatan yang kemarin. Kamu akan tetap menjadi pemenangnya, Risyad," ujar sang ayah. "Apa-apaan ini, Ayah? Aku tidak ingin berlalu curang. tolong jangan buat aku tidak mempercayai kalian lagi!" tekan Risyad."Apa yang kau maksud?" "Shama tidak hamil! Kalau pun dia hamil, yang jelas itu bukan anakku!" "Risyad!" "Apa, Ayah!" balas Risyad ikut berteriak. "Aku sudah sangat cukup sabar menghadapi kalian. Jangan coba-coba usik lagi kebahagiaanku, Ayah. Atau jika memang itu terjadi, maka aku akan meninggalkan mama keluarga ini!" Lukas terkekeh sumbang, tak percaya atas perkataan sang putra. "Apa katamu?" "Apa yang sudah Ayah
"Lima puluh... Bang, Mas, sini aja lima puluh udah sama kamar full servis!" "Sini aja, tiga ratus aja, tiga hari tiga malam!!" Melambai-lambai, berteriak, menghalangi pengendara di jalanan temaram, para wanita-wanita tersebut bak menawarkan dagangan pada si pembeli. Bukan dagangan biasa yang mereka gadaikan, melainkan tubuh mereka sendiri. Era saat ini memang sangat sulit hanya untuk bertahan hidup. Apalagi untuk rakyat biasa seperti gadis-gadis malang itu. Terlahir dari keluarga yang minim pendidikan juga sangat condong pada tradisi zaman kuno, membuahkan hasil yang sangat diluar prediksi. Anak-anak yang kehilangan edukasi dini, kini berpetualang di dalam gelapnya realita. Terbiasa, hingga tidak ada lagi keluhan pada dunia. Merasa bebas, bahkan tidak ada tangis jika banyak ucap yang terkadang menancap dada. Salah satu dari gadis malang itu adalah Andara. Gadis berambut panjang, berwajah bulat, dengan mata yang mengkilap. Tinggi tubuhnya umum orang Indonesia. Yang membuat Andara t
"Anjirlah, lu nggak tau apa seberapa kesal gue? Masa gue udah booking kamar sama pesan makanan, eh nggak taunya si cowok nggak tau diri itu malah kabur. Emang gilak tuh orang. Harusnya bilang dari awal kalo emang kere. Bayar kamar 150 aja mikirnya kejauhan. Dasar cowok nggak guna. Sialan!" Andara bersungut-sungut atas kejadian yang baru saja dia alami. Di temani sang sahabat yang memang sengaja datang hanya untuk mendengar celotehan Andara ini, benar-benar sukses membuat telinga temannya itu terasa bengkak. "Udah sih, ngapain marah-marah coba? Sesuai apa kata elu, kamar cuma 150, kan nggak rugi-rugi amat. Doa'in aja ntar malam dapat job lagi. Biasanya, kan malam Minggu gini banyak tuh yang nangkring di lampu merah. Nggak usah kesal, udah! Kayak nggak ada lakik lain aja," tanggap Missa, mencoba menenangkan. Andara seketika saja meringis mendengarkan kata-kata Missa tadi. Apa katanya? Berdoa? Andara bergidik lucu untuk yang itu. "Terus gimana sekarang? Lu ada job nggak? Karena uang
"Gue pikir lu orang miskin. Rupanya kaya," ucap Andara pada pria di depannya. Keduanya sedang duduk disalah satu meja di Kafe. Pria itu tidak menanggapi. Dia justru memberikan satu lembar kertas dibungkus map di atas meja pada Andara. "Baca kontraknya. Setelah itu, tandatangani. Lusa kita berangkat ke Dubai." Pria di sana menjelaskan secara singkat. Andara menurunkan pandangan dari wajah Risyad ke meja. Jemari lentiknya meraih kertas yang katanya berisikan kontrak. Andara mana paham tentang beginian. Dia hanya sedang berpura-pura elegan saja, agar nanti terlihat sepadan dengan apa yang akan ditawarkan oleh si pria. "Buset! Ini tulisan apa mantra? Mana ngerti gue astaga..." gumamnya dalam hati, begitu melihat bacaan dikertas."Duh maaf ya, gue cuma paham bahasa asing, Korea Selatan. Yang lainnya gue kurang ngerti," kata Andara sembarang sambil meletakkan kembali kertas ke posisi awal. "Nae jib-e meomulmyeonseo maeil bam naleul manjogsikyeo jusibsio." Andai saja Andara sedang ada
"Bagaimana kalau kita memperluas Mextech Grup dengan mengambil salah satu proyek yang sedang banyak ditawarkan? Mungkin saya rasa tidak akan merugikan kita dalam aspek mana pun.""Tapi bukankah ada pihak ketiga yang akan ikut ambil alih dalam pengambilan proyek ini? Saya banyak membaca laporan dari beberapa dewan direksi, bahwa dana yang mereka tawarkan itu juga cukup fantastis. Apa sebaiknya kita tidak perlu gegabah? Juga proyek ini tidak terlalu dibutuhkan oleh Mextech G, hanya akan membuang-buang waktu menurut saya pribadi." "Itu benar. Pihak ketiga itu berasal dari pasar-pasar yang sudah luas. Saya sedang tidak berniat menjangkau seberapa luas dan berpengaruhnya Mextech saat ini, hanya saja, grup-grup dari pihak ketiga itu bukan tanding untuk kita. Saya rasa, abaikan saja untuk yang ini. Bagaimana kalau kita fokus untuk membesarkan pasar dalam lokal saja? Seperti memperbanyak toko dan juga merekrut beberapa desainer terkenal untuk membentuk lagi brand-brand yang berkualitas." Sh