Share

Bab 7. Cinta itu Pembodohan

Risyad keluar lebih dulu. Sepasang matanya langsung saja menangkap potret Shama tengah duduk sendiri di meja makan sambil mengaduk-aduk salad sayur di depannya. Laki-laki itu terus memperhatikan istrinya yang terlihat sedang memendam banyak masalah. Shama melamun. Dia hilang dari tempatnya saat ini.

"Kenapa tidak makan? Kamu sakit?" ujar Risyad sambil mendekat.

Shama lantas menoleh malas. Tatapan sinis penuh kebencian itu terpampang jelas. Daripada besarnya kebencian Shama pada sang ayah mertua, sebenarnya Shama jauh lebih membenci Risyad mau sebaik apa pun sikap laki-laki itu.

"Puas? Ada lagi yang kau inginkan, Risyad?" Alih-alih menjawab, Shama lebih tertarik mengajak Risyad kembali berperang.

Sosok jangkung yang mengenakan jas biru polos itu menunda duduk di kursi. Mendengar tanya Shama membuatnya mendadak ingat kejadian pagi ini. Risyad menghela napas, kini dilema. Harusnya bukan ini hasil yang diterima Risyad. Laki-laki itu tidak menyadari akan seburuk ini tanggapan Shama tentangnya.

"Berhenti membahas yang tidak penting." Risyad menepikan salad milik Shama dan menggantinya dengan roti tawar yang sudah dioles cokelat basah favorit perempuan itu. "Isi perut kamu. Tadi malam kamu tidak makan apa-apa," lanjutnya.

Shama mendengus, menyeringai tipis. Sikap Risyad terlalu kentara akan kepalsuan baginya. Secara perlahan, dari roti tawar di atas meja, Shama memutar bola matanya menatap wajah Risyad yang masih berdiri.

"Sebenarnya apa maumu terhadapku, Risyad? Apa yang sebenarnya kau inginkan dariku?" tanya Shama. Nada suara serta sorot mata itu benar-benar terlihat muak.

Sejenak Risyad diam menatap lamat pandangan benci Shama. Sebelum akhirnya dia menjawab,

"Semuanya. Aku mau semua yang ada padamu. Aku mau memiliki kamu secara utuh, Shama."

"Hentikan omong kosongmu itu, Risyad. Kau tidak jijik mendengarnya?"

"Harus dengan apa lagi aku menegaskan padamu, kalau aku benar-benar mencintaimu? Aku bahkan bisa memberikan seluruh harta dan hidupku hanya untukmu. Apa lagi yang kurang, Shama? Katakan?!" Risyad berangsur geram. Entah kapan Shama bisa memahami ketulusan hatinya.

Shama yang ikut emosi, lantas berdiri kini menatap sejajar dengan sang suami. Dada Shama masih terasa terbakar. Suara desahan perempuan asing pagi itu mendadak muncul dalam bayangannya. Hal yang semakin membuat Shama mencaci Risyad lewat tatapannya.

"Benarkah? Kau rela memberikan hidupmu padaku?" tanya Shama yang segera dibalas anggukan oleh Risyad. "Kalau begitu, cepat bersimpuh!" titahnya kemudian.

"Apa?" Kerutan di dahi Risyad tercetak.

"Tunggu apa lagi? Kau bilang kau rela melakukan apa pun untukku? Kalau gitu cepat berlutut! Aku mau melihat sejauh apa kau mengharapkanku," jelas Shama.

Menatap keyakinan dalam sorot mata Shama tentang perintahnya, membuat Risyad tidak berniat protes. Perlahan tangannya menarik pelan celananya mulai menekuk dua lutut hingga lantai dingin itu tembus pada kulitnya.

Tak Risyad pikirkan hal negatif yang akan dilakukan Shama. Hingga saat sesuatu yang encer mendarat di kepalanya, membuat Risyad tersentak langsung mendongak.

Tanpa hati dan ragu-ragu, Shama menuang salad sayur miliknya tadi ke atas kepala Risyad. Laki-laki itu mendongak, menatap senyum tipis serta wajah senang Shama saat melakukan aksinya itu. Shama tahu yang dia perbuat ini akan menimbulkan luka yang teramat sakit pada Risyad. Dan memang itulah tujuannya. Shama ingin membalas semua perbuatan ayah mertuanya melalu Risyad, suaminya.

"Woiii! Astaga!" pekik Andara begitu matanya melihat aksi tidak beretika Shama itu.

Shama dan Risyad sama-sama menoleh dan melihat kedatang Andara yang berlari kencang menghampiri mereka.

"Woi, Mbak! Stres lu ya?" hardiknya begitu tiba didekat Risyad. "Lu juga, kenapa mau-maunya sih di giniin? Tolol banget!" Andara menyapu sayuran di atas kepala Risyad.

Laki-laki itu masih tetap bergeming untuk menenangkan hatinya yang terasa disayat, sebelum akhirnya berucap,

"Jangan ikut campur kamu. Cepat masuk! Saya bisa urus ini sendiri!"

Andara tidak menanggapi. Dia justru resah sedikit kasihan pada Risyad. Tangannya dan atensinya fokus membersihkan tumpahan salad yang mengotori rambut serta bahu Risyad. Melihat aksi Andara yang terkesan peduli pada Risyad, entah kenapa semakin membuat hati Shama panas. Begitu lekat Shama memandangi wajah Andara hingga sesuatu terlontar dari lisannya,

"Berapa yang dia berikan untuk melakukan itu? Akan kutambah dua kali lipat."

Andara langsung menatap Shama yang tingginya sedikit di atasnya sebab high heels yang dia kenakan. Andara tidak bermain-main. Dia benar-benar ikut emosi melihat sikap Shama ini. Baginya ini terlalu keterlaluan untuk ukuran manusia.

"Apa harus sampai kayak gini ya lu perlakuin suami lu? Nggak sehat lu!" cibir Andara alih-alih menanggapi tanya Shama.

Shama lantas tertawa kecil, lebih terdengar mendengus. "Wau... kau terlalu berani untuk ukuran wanita bayaran!" Shama mengeluarkan beberapa lembar uang dari dalam tasnya. "Bersihkan ini juga. Kubayar lebih!" Sambil menggoyangkan kakinya yang terkena saus salad, Shama juga melempar lembar uang itu pada Andara dan menitahnya.

Andara benar-benar terasa dibakar hidup-hidup mendapati perlakuan buruk Shama ini. Seumur hidupnya dia tidak pernah ditindas sejauh ini apalagi semasa perempuan. Andara paling membenci perdebatan, tapi jika suatu kesalahan itu bukan berasal darinya, Andara siap berkelahi bahkan sampai mati sekali pun.

"Sebejat-bejatnya gue, gue masih bisa perlakukan manusia sebagaimana seharusnya. Lu punya banyak uang, tapi lu sama sekali nggak punya otak. Lu benar-benar binatang berwujud manusia!" caci Andara, marah.

"Andara!" pekik Risyad membuat dua perempuan itu terlonjak. "Stop! Kamu tidak punya hak untuk ikut campur masalah saya. Sadar batasan kamu!" lanjutnya usai berdiri. Risyad menjauhkan Andara dari hadapan Shama dengan menarik tangan perempuan itu.

"Sadar, woi! Dia bukan manusia. Dia itu binatang! Dia...." Ucapan Andara berhenti saat Risyad tiba-tiba saja mencengkeram rahangnya. Andara ikut kaget, begitu pula Shama yang baru pertama melihat kemarahan Risyad ini.

"Jangan mengatakan apa pun lagi tentangnya. Aku bisa membakarmu hidup-hidup hari ini!" ancam Risyad, murka. Matanya menyorot tajam mata Andara yang mulai basah.

Begitu Andara diam, barulah Risyad melepas cengkeramannya. Melihat buliran air mata Andara yang jatuh, entah kenapa tiba-tiba membuat Risyad merasa bersalah. Ada suara dalam hati kecilnya yang mengatakan;harusnya tidak sampai melakukan itu.

Tidak ada efek apa pun pada Shama walau sudah setangkas apa dia melihat ketulusan suaminya itu. Jangankan untuk melihat suatu fakta, untuk menatap Risyad sedikit saja Shama enggan. Dia pergi begitu saja walau drama besar itu masih menyisakan amarah. Shama benar-benar tidak punya perasaan.

Di sisi lain, Andara mendadak merasakan sesak di dadanya. Kapan terakhir kali dia menangis? Dan kapan terakhir kali dia diam saat ditindas! Andara tidak tahu sejak kapan dia jadi lemah seperti ini apalagi di hadapan laki-laki macam Risyad.

Dulu saat ada pria hidung belang yang mengasarinya Andara tidak akan menerima begitu saja. Dia akan membalas pukulan dengan pukulan, dan cacian dengan cacian. Lantas ada apa dengannya saat ini? Kenapa dia justru menangis alih-alih membalas perbuatan Risyad.

"Saya tidak mengharapkan ini dari kamu. Lain kali jangan ikut campur. Saya tidak bisa memastikan kalau saya tidak akan mengulangi hal yang sama," ucap Risyad, lalu melengos pergi.

Buru-buru Andara menarik napas, sambil mengusap wajahnya yang basah. Dia geram, juga kesal. Bukan pada Shama juga bukan pada Risyad, melainkan pada dirinya sendiri. Harusnya bukan ini yang dia lakukan.

"Tolol banget sih lu, Dar. Harusnya lu balas perlakuan si cowok tengil itu! Bukannya malah nangis," gerutunya merutuk diri.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status