Risyad keluar lebih dulu. Sepasang matanya langsung saja menangkap potret Shama tengah duduk sendiri di meja makan sambil mengaduk-aduk salad sayur di depannya. Laki-laki itu terus memperhatikan istrinya yang terlihat sedang memendam banyak masalah. Shama melamun. Dia hilang dari tempatnya saat ini.
"Kenapa tidak makan? Kamu sakit?" ujar Risyad sambil mendekat.Shama lantas menoleh malas. Tatapan sinis penuh kebencian itu terpampang jelas. Daripada besarnya kebencian Shama pada sang ayah mertua, sebenarnya Shama jauh lebih membenci Risyad mau sebaik apa pun sikap laki-laki itu."Puas? Ada lagi yang kau inginkan, Risyad?" Alih-alih menjawab, Shama lebih tertarik mengajak Risyad kembali berperang.Sosok jangkung yang mengenakan jas biru polos itu menunda duduk di kursi. Mendengar tanya Shama membuatnya mendadak ingat kejadian pagi ini. Risyad menghela napas, kini dilema. Harusnya bukan ini hasil yang diterima Risyad. Laki-laki itu tidak menyadari akan seburuk ini tanggapan Shama tentangnya."Berhenti membahas yang tidak penting." Risyad menepikan salad milik Shama dan menggantinya dengan roti tawar yang sudah dioles cokelat basah favorit perempuan itu. "Isi perut kamu. Tadi malam kamu tidak makan apa-apa," lanjutnya.Shama mendengus, menyeringai tipis. Sikap Risyad terlalu kentara akan kepalsuan baginya. Secara perlahan, dari roti tawar di atas meja, Shama memutar bola matanya menatap wajah Risyad yang masih berdiri."Sebenarnya apa maumu terhadapku, Risyad? Apa yang sebenarnya kau inginkan dariku?" tanya Shama. Nada suara serta sorot mata itu benar-benar terlihat muak.Sejenak Risyad diam menatap lamat pandangan benci Shama. Sebelum akhirnya dia menjawab,"Semuanya. Aku mau semua yang ada padamu. Aku mau memiliki kamu secara utuh, Shama.""Hentikan omong kosongmu itu, Risyad. Kau tidak jijik mendengarnya?""Harus dengan apa lagi aku menegaskan padamu, kalau aku benar-benar mencintaimu? Aku bahkan bisa memberikan seluruh harta dan hidupku hanya untukmu. Apa lagi yang kurang, Shama? Katakan?!" Risyad berangsur geram. Entah kapan Shama bisa memahami ketulusan hatinya.Shama yang ikut emosi, lantas berdiri kini menatap sejajar dengan sang suami. Dada Shama masih terasa terbakar. Suara desahan perempuan asing pagi itu mendadak muncul dalam bayangannya. Hal yang semakin membuat Shama mencaci Risyad lewat tatapannya."Benarkah? Kau rela memberikan hidupmu padaku?" tanya Shama yang segera dibalas anggukan oleh Risyad. "Kalau begitu, cepat bersimpuh!" titahnya kemudian."Apa?" Kerutan di dahi Risyad tercetak."Tunggu apa lagi? Kau bilang kau rela melakukan apa pun untukku? Kalau gitu cepat berlutut! Aku mau melihat sejauh apa kau mengharapkanku," jelas Shama.Menatap keyakinan dalam sorot mata Shama tentang perintahnya, membuat Risyad tidak berniat protes. Perlahan tangannya menarik pelan celananya mulai menekuk dua lutut hingga lantai dingin itu tembus pada kulitnya.Tak Risyad pikirkan hal negatif yang akan dilakukan Shama. Hingga saat sesuatu yang encer mendarat di kepalanya, membuat Risyad tersentak langsung mendongak.Tanpa hati dan ragu-ragu, Shama menuang salad sayur miliknya tadi ke atas kepala Risyad. Laki-laki itu mendongak, menatap senyum tipis serta wajah senang Shama saat melakukan aksinya itu. Shama tahu yang dia perbuat ini akan menimbulkan luka yang teramat sakit pada Risyad. Dan memang itulah tujuannya. Shama ingin membalas semua perbuatan ayah mertuanya melalu Risyad, suaminya."Woiii! Astaga!" pekik Andara begitu matanya melihat aksi tidak beretika Shama itu.Shama dan Risyad sama-sama menoleh dan melihat kedatang Andara yang berlari kencang menghampiri mereka."Woi, Mbak! Stres lu ya?" hardiknya begitu tiba didekat Risyad. "Lu juga, kenapa mau-maunya sih di giniin? Tolol banget!" Andara menyapu sayuran di atas kepala Risyad.Laki-laki itu masih tetap bergeming untuk menenangkan hatinya yang terasa disayat, sebelum akhirnya berucap,"Jangan ikut campur kamu. Cepat masuk! Saya bisa urus ini sendiri!"Andara tidak menanggapi. Dia justru resah sedikit kasihan pada Risyad. Tangannya dan atensinya fokus membersihkan tumpahan salad yang mengotori rambut serta bahu Risyad. Melihat aksi Andara yang terkesan peduli pada Risyad, entah kenapa semakin membuat hati Shama panas. Begitu lekat Shama memandangi wajah Andara hingga sesuatu terlontar dari lisannya,"Berapa yang dia berikan untuk melakukan itu? Akan kutambah dua kali lipat."Andara langsung menatap Shama yang tingginya sedikit di atasnya sebab high heels yang dia kenakan. Andara tidak bermain-main. Dia benar-benar ikut emosi melihat sikap Shama ini. Baginya ini terlalu keterlaluan untuk ukuran manusia."Apa harus sampai kayak gini ya lu perlakuin suami lu? Nggak sehat lu!" cibir Andara alih-alih menanggapi tanya Shama.Shama lantas tertawa kecil, lebih terdengar mendengus. "Wau... kau terlalu berani untuk ukuran wanita bayaran!" Shama mengeluarkan beberapa lembar uang dari dalam tasnya. "Bersihkan ini juga. Kubayar lebih!" Sambil menggoyangkan kakinya yang terkena saus salad, Shama juga melempar lembar uang itu pada Andara dan menitahnya.Andara benar-benar terasa dibakar hidup-hidup mendapati perlakuan buruk Shama ini. Seumur hidupnya dia tidak pernah ditindas sejauh ini apalagi semasa perempuan. Andara paling membenci perdebatan, tapi jika suatu kesalahan itu bukan berasal darinya, Andara siap berkelahi bahkan sampai mati sekali pun."Sebejat-bejatnya gue, gue masih bisa perlakukan manusia sebagaimana seharusnya. Lu punya banyak uang, tapi lu sama sekali nggak punya otak. Lu benar-benar binatang berwujud manusia!" caci Andara, marah."Andara!" pekik Risyad membuat dua perempuan itu terlonjak. "Stop! Kamu tidak punya hak untuk ikut campur masalah saya. Sadar batasan kamu!" lanjutnya usai berdiri. Risyad menjauhkan Andara dari hadapan Shama dengan menarik tangan perempuan itu."Sadar, woi! Dia bukan manusia. Dia itu binatang! Dia...." Ucapan Andara berhenti saat Risyad tiba-tiba saja mencengkeram rahangnya. Andara ikut kaget, begitu pula Shama yang baru pertama melihat kemarahan Risyad ini."Jangan mengatakan apa pun lagi tentangnya. Aku bisa membakarmu hidup-hidup hari ini!" ancam Risyad, murka. Matanya menyorot tajam mata Andara yang mulai basah.Begitu Andara diam, barulah Risyad melepas cengkeramannya. Melihat buliran air mata Andara yang jatuh, entah kenapa tiba-tiba membuat Risyad merasa bersalah. Ada suara dalam hati kecilnya yang mengatakan;harusnya tidak sampai melakukan itu.Tidak ada efek apa pun pada Shama walau sudah setangkas apa dia melihat ketulusan suaminya itu. Jangankan untuk melihat suatu fakta, untuk menatap Risyad sedikit saja Shama enggan. Dia pergi begitu saja walau drama besar itu masih menyisakan amarah. Shama benar-benar tidak punya perasaan.Di sisi lain, Andara mendadak merasakan sesak di dadanya. Kapan terakhir kali dia menangis? Dan kapan terakhir kali dia diam saat ditindas! Andara tidak tahu sejak kapan dia jadi lemah seperti ini apalagi di hadapan laki-laki macam Risyad.Dulu saat ada pria hidung belang yang mengasarinya Andara tidak akan menerima begitu saja. Dia akan membalas pukulan dengan pukulan, dan cacian dengan cacian. Lantas ada apa dengannya saat ini? Kenapa dia justru menangis alih-alih membalas perbuatan Risyad."Saya tidak mengharapkan ini dari kamu. Lain kali jangan ikut campur. Saya tidak bisa memastikan kalau saya tidak akan mengulangi hal yang sama," ucap Risyad, lalu melengos pergi.Buru-buru Andara menarik napas, sambil mengusap wajahnya yang basah. Dia geram, juga kesal. Bukan pada Shama juga bukan pada Risyad, melainkan pada dirinya sendiri. Harusnya bukan ini yang dia lakukan."Tolol banget sih lu, Dar. Harusnya lu balas perlakuan si cowok tengil itu! Bukannya malah nangis," gerutunya merutuk diri.Andara berjalan dengan perasaan jengkel yang masih tersimpan. Tangannya masih tersisa jejak saos salad yang sempat membersihkan kepala Risyad. Tak sengaja, keduanya orang itu kembali berpapasan dengan keadaan Risyad yang sudah kembali rapi dan bersih. Jas birunya berubah jadi kemeja hitam.Andara bergeming begitu menatap Risyad yang diam di depannya. Sementara Risyad melirik tangan Andara yang kotor. Melihat betapa berantakannya kini Andara, dengan kemeja yang kebesaran, rambut acak-acakan, dan kaki jenjang hingga pahanya tak tertutup apa-apa, membuat Risyad inisiatif memberikan kartu kreditnya. "Ajak sopir belanja. Kamu sudah seperti orang gila," titahnya sambil menyodorkan kartu kredit. Alis Andara langsung menyatu, dengan bibir yang sinis. Tatapannya masih sama pada Risyad. Jengkel. "Dih, lu nggak nyadar? Yang gila itu elu, buka gue!" cetus Andara membalas. "Jangan membantah. Di rumah tidak ada yang memasak juga. Kamu boleh beli apa pun dan makan apa pun di luar. Ini kesepakatan
Risyad benar-benar tidak menanggapi serius apa yang baru saja dikatakan Andara. Baginya, Andara itu tetap gadis 'gila' yang mengatakan suatu hal yang tak mendasar. Itu kenapa Risyad hanya menghela napas lalu melupakan peringatan Andara. Dia kembali pada rekannya yang menunggu. Begitu tiba di kursinya lagi, dari jarak yang berbeda Andara satu kali lagi memastikan kalau Risyad benar-benar tidak percaya padanya. Dan benar saja, laki-laki itu sudah kembali duduk dan siap meneguk wine miliknya. "Gilak ya tu orang!" sungut Andara dalam hati. Dia melihat dengan jelas bagaimana Risyad meneguk dengan santai minuman 'beracun' itu. Anggap saja hari ini Risyad sedang beruntung, atau Andara yang lagi baik-baiknya. Gadis itu siap di anggap tolol karena tetap diam mengawasi Risyad untuk memastikan laki-laki itu aman. Andara tahu dimenit keberapa obat itu akan bereaksi. Itu kenapa Andara memilih diam sejenak dan kembali duduk di tempat yang jaraknya lebih dekat, tanpa Risyad tahu. Risyad akhirnya
Kesadaran Risyad benar-benar sudah tidak terkendali lagi. Bahkan jauh lebih baik kalau laki-laki itu tidak sadarkan diri agar Andara lebih mudah membawanya masuk ke dalam rumah. Namun, nyatanya Risyad masih terjaga sampai saat ini. Bahkan setelah Andara membawanya masuk ke dalam rumah pun, laki-laki itu masih meraung-raung kecil, bergumam tidak jelas. "Dikit lagi, sabar dong!" gerutu Andara masih berusaha sekuat mungkin memapah Risyad. Andara mendadak berhenti di depan pintu kamar Risyad kala suatu rencana muncul di kepalanya. Dia menatap lagi Risyad yang sempoyongan lalu menatap pintu kamar Shama yang berjarak sekitar sepuluh langkah dari kamar Risyad. "Buset, gue pinter banget," ucapnya girang. "Kali ini lu bakal berterima kasih dua kali sama gue, Bro!" lanjutnya kemudian sambil berjalan melewati pintu kamar laki-laki itu.Andara berniat membiarkan Risyad yang mabuk berada di kamar Shama. Dengan begitu pasti suatu 'kecelakaan' akan terjadi. Mustahil rasanya jika kedua orang itu t
Andara perlahan terjaga. Mulutnya menganga, menguap. Gadis itu meregangkan otot dengan mengangkat kedua tangannya ke atas sambil merintih pelan melepas semua penat. Masih dalam tahap meregangkan ototnya, profil Risyad yang muncul dari balik pintu kamar mandi membuat Andara buru-buru menurunkan tangannya. Pria itu sudah rapi. Dia mengenakan kaos oblong hitam dengan celana bahan bernada sama. Bisep padat itu tercetak sempurna. Entah otot Risyad yang terlalu besar, atau ukuran bajunya yang terlalu kecil. Entahlah, yang pasti laki-laki itu benar-benar memikat dengan tampilan santai seperti saat ini. Risyad menyadari kalau Andara sudah terjaga. Sambil mengeringkan rambutnya dengan sehelai handuk, laki-laki itu ikut menatap diam Andara sebelum akhirnya Risyad menaikkan alisnya.Andara segara mengalihkan pandangan sambil mengerjap-erjap. Sial! Andara merasa pipisnya sedang panas. Juga dadanya, kenapa pula harus berdetak cepat? Sambil berjalan ke arah cermin Risyad bersuara, "Saya ngasih k
Setelah merapikan diri dengan busana yang lebih nyaman, Andara segera keluar dari kamar Risyad. Dia tidak lagi melihat keberadaan pria itu dalam jangkauan pandangannya saat ini. Saat kakinya usai menapaki seluruh anak tangga, suara gaduh dari arah dapur mengalihkan atensinya. Perlahan Andara berjalan, mengikis jarak. Pandangan binar kagum mendadak terpancar dari dua bola mata Andara kala mendapati potret Risyad sedang berpacu dengan alat masak. Pria dengan potongan rambut ala korea itu sedang fokus. Dia memasak. Kali ini Andara tak tahan diam saja. Dia berjalan mendekati, lalu diam di jarak lima langkah di depan Risyad. Meja panjang menjadi pembatas antara mereka. Kepala Risyad menoleh singkat menyadari kedatangan Andara. Gadis itu sudah rapi dengan dres selutut berwarna cream. Cantik. "Lu ngapain?" tanya Andara, heran. "Kamu buta?" singkat Risyad. Dia tak menatap wajah Andara yang pastinya sudah mengerutkan dahi. "Lu bisa masak? Yakin lu?" Sembari memasukkan makanan yang baru
Tiga hari tiga malam sudah Andara menetap di rumah mewah milik Risyad ini. Dan sejauh itu pula, dia tidak pernah tahu apa-apa tentang si empunya rumah atau bahkan seluk-beluk tentang orang yang diajaknya bekerja sama. Andara bahkan belum tahu siapa nama lengkap Risyad. Yang dia ingat, Shama kerap memanggilnya dengan nama Risyad saja tanpa embel-embel apa-apa lagi.Hendak mengekori Shama, Andara tiba-tiba menghentikan Risyad dengan menarik ujung baju pria itu. Sosok jangkung itu lantas menoleh lalu bertanya, "Ada apa?""Gue boleh ngomong bentar nggak? Kayaknya ada yang salah deh," jawabnya. "Saya tidak punya banyak waktu. Setelah saya kembali barulah kita bicara." Risyad menarik tangannya kini lepas dari Andara. Saat Risyad menjauh, Andara memutar badan melihat kepergian pria itu. Punggung lebar nan berisi itu begitu lamat di tatapnya. Seolah ada yang mengganjal di dalam hati Andara, tapi entah apa. "Sebenarnya lu nyewa gue buat apaan sih? Kadang gue bingung peran gue di sini tuh a
Ucapan Andara itu mengundang ketertarikan Lukas untuk menatap lebih dalam wajah Andara. Berangsur matanya menyorot lantang, marah. "Lu pikir gue takut sama lu? Gue nggak datang buat jadi pembantu atau pun pelayan kalian! Gue juga nggak pernah makan dari yang kalian. Ingat itu baik-baik!" hardik Andara lagi sambil berdiri. Mata Andara ikut menatap nyalang. Baru saja akan pergi menjauh, Andara tidak tahu kapan tepatnya Shama datang mendekat. Sebelum merasakan tamparan pada pipi kanannya, Andara merasakan lebih dulu bagaimana tangan Shama mencengkeram bahunya untuk memutar tubuhnya. Plak! "Lancang sekali kau ini!" bentak Shama. Sementara Andara terdiam sebentar saat rasa panas menyerang wajahnya. Sorot tajam dari mata Andara menangkap jelas wajah Shama yang baru saja memukulnya. "Lu bakal nyesel udah mulai perang sama gue. Gue ingetin lu! Cukup satu kali ini lu bisa lakuin kni. Lain kali, lu nggak akan selamat," desis Andara mengancam.Usai mengancam Shama, lagi-lagi Andara meringis
Begitu Shama berlalu tanpa kata, Andara seketika saja teringat pada Risyad. Gadis itu mencari-cari keberadaan laki-laki itu. Namun, sejauh apa pun Andara mencari Risyad, tetap saja tidak ada tanda-tanda kehadiran pria berbadan padat tersebut. "Beneran nggak ada? Ke mana perginya dia?" gumam Andara bertanya-tanya. Kakinya segera kembali lagi ke lantai dasar, kini berlari mencari si sopir yang dia perintahkan untuk istirahat. Andara melirik sana-sini berharap laki-laki berseragam ala sopir itu tidak pergi jauh. Seketika saja kaki Andara berlari cepat kala sepasang matanya kini mendapati keberadaan sosok yang dia cari. "Ah... Pak, saya boleh nanya nggak?" tanya Andara, sopan. Pria berbadan sedikit gempal di sana segera mengangguk, menerima. "Ke mana perginya Risyad? Kenapa istrinya ada tapi dia nggak?" "Saya tidak tahu pasti apa yang terjadi, Nona. Yang saya tahu, Pak Risyad sedang ada di acara upacara kematian. Dia pelaksana di sana, Nona." Andara dibuat berpikir keras, apa Risyad