Share

Wanita bernama Laila

Natalie tiba di sebuah rumah yang terbilang mewah. Tanpa segan Natalie langsung masuk, karena pagar yang tak terkunci. Sampai di depan pintu, Natalie mulai menekan bel. 

Tak ada tanda-tanda tuan rumah akan membuka pintu, hingga Natalie mengulang perbuatannya untuk yang keempat kalinya. 

Tak lama kemudian, pintu terbuka. Natalie menangkap wajah tak asing di balik pintu.

"Kau!" Wanita itu mengarahkan telunjuknya pada Natalie, dengan suara yang penuh tekanan emosi. 

Natalie hanya tersenyum menghadapi wanita itu.

"Jangan bertanya. Bukankan Rio sudah memberitahumu untuk bersiap-siap menyambutku, Celine?" Natalie memanas-manasi Celine.

"Ini tidak akan lama, Natalie. Aku pastikan Rio akan melihat wajah aslimu!" Celine mengancam.

"Oh ... aku akan menunggu dengan senang hati, Celine. Karena melihat musuh hancur tanpa perlawanan sangat tidak seru!" tantang Natalie, lalu dengan sombong menabrak tubuh Celine. 

"Awas kau, Natalie!" gumam Celine, penuh kebencian. 

"Hei, Celine! Bisa kau perlihatkan kamarku?" Natalie kembali memanggil Celine. 

"Cih!" Celine mencebik. Meski begitu, ia tetap memperlihatkan Natalie kamar untuknya. Dia takut Natalie akan mengadu yang tidak-tidak lagi pada Rio. 

***

     

     "Ugh ... aku lelah," keluh Natalie saat tiba di kamar.

"Aku harap perkerjaan ini tidak memakan waktu lama. Oh iya, sepertinya aku harus menelpon seseorang." Natalie lalu mengambil ponselnya, menekan kontak yang bertuliskan 'Nyonya Boss' di sana. 

"Hello ...." Telepon tersambung.

"Nyonya, sekarang aku sudah berhasil masuk ke dalam rumah Rio. Bisakah kau memberitahuku di mana Rio menyimpan berkas itu? Supaya aku bisa secepatnya meninggalkan rumah ini." Natalie coba meminta petunjuk.

"Dengar, Natalie. Jika aku tahu, aku juga tak akan repot-repot membayarmu untuk mendekati Rio," ujar suara di ujung sana.

"Ugh ... apa artinya aku masih harus mencari petunjuk di sini? Berapa lama lagi aku akan menderita di sini?" 

"Aku pikir setelah kau melihat rumah itu, kau akan berbalik mengejar Rio dan mengkhianatiku." Suara wanita itu terdengar meremehkan.

"Cih! Kau pikir aku buta, hingga harus mengejar pria seperti itu? Hanya wanita bodoh yang mau bersuamikan pria berengsek seperti itu." Kembali Natalie mencebik.

Hening. 

Tak terdengar lagi suara di ujung sana. Natalie mulai menyadari bahwa ucapannya agak keterlaluan. Ia lupa kalau wanita di telepon juga pernah memiliki hubungan spesial dengan lelaki yang ia sebut berengsek.

"Ugh ... maafkan aku, Nyonya. Maksudku bukan kau. Kau tentu saja lebih baik dari Celine. Setidaknya kau adalah istri pertama Rio. Bukan seperti wanita penggoda yang menaikkan derajatnya dengan merayu suami orang." Natalie berusaha menenangkan lawan bicaranya.

"Tidak. Kau benar, Natalie. Aku adalah salah satu dari wanita bodoh itu. Dulu aku sempat berpikir ingin merebut kembali apa yang harusnya menjadi milikku. Tadinya aku berpikir, Rio tak 'kan pergi jika Celine tak menggodanya. Tapi lihatlah, ia begitu mudah tergoda olehmu, bahkan berani menyakiti Celine." Wanita itu menumpahkan keluh kesahnya. 

"Sudahlah, Nyonya. Setidaknya sekarang kau telah melihat sosok asli dari mantan suamimu itu." Natalie coba menenangkan.

"Ya, terima kasih Natalie. Kau sudah menyadarkanku. Sekarang aku sudah tak menginginkan pria menjijikkan itu lagi. Tenang saja." 

"Hahaha ... aku tak sebaik itu, Nona. Aku hanya mengatakan itu karena kau membayarku. Kau mau kembali pun bukan urusanku," ujar Natalie lagi.

"Hah?! Kau ini… Memang pantas disebut wanita bayaran. Yang kau pikirkan hanya uang." Natalie hanya tertawa menanggapi ucapan wanita itu. 

Ada dua alasan kenapa Natalie mau melakukan hal seperti ini. Pertama, karena uang. Kedua, ia sangat membenci wanita penggoda. Karena masa kecilnya pernah dirampas oleh wanita seperti itu. 

***

Natalie hanyalah gadis biasa. Ibunya hanya seorang penjual kue. 

Selama ini sang ibu selalu berjuang membesarkan Natalie seorang diri, dalam trauma yang masih membekas. Natalie bukanlah gadis yang pintar, hingga bisa mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan studinya. Sejak SMP, ia berjuang mati-matian agar bisa tetap bersekolah. Yang artinya, ia tak memiliki waktu untuk sekedar bersenang-senang seperti remaja pada umumnya. 

Sepulang sekolah, sebisa mungkin ia membantu ibunya mengerjakan pekerjaan rumah. Karena selain berjualan kue, ibunya juga menawarkan jasa mencuci kepada beberapa orang. Malam harinya, Natalie menghabiskan waktu di cafe, menjadi seorang pelayan di sana, meski terkadang ia sering mendapat tuduhan tak mengenakkan dari berbagai pihak. Hal itu tak menjadi masalah bagi Natalie. Karena apa yang mereka lihat, bukanlah seperti yang mereka pikirkan.

Hingga suatu hari, Natalie bertemu dengan seorang wanita yang menawarkan ia pekerjaan dengan bayaran menggiurkan. Dengan polosnya, Natalie mengiyakan ajakan wanita tersebut. 

Tepat di malam itu, Natalie terjebak dalam sebuah ruangan bersama dengan seorang pria tua. Natalie berusaha melarikan diri. Ia terus memohon agar dilepaskan. Tapi pria tua itu hanya menertawakan Natalie dan coba melecehkan Natalie. 

Natalie terus menangis, mencegah tangan pria itu membuka bajunya. 

Pria tua yang sudah dikuasai nafsu itu tak menghiraukan tangisan gadis kecil di hadapannya.

Dengan penuh perjuangan, Natalie berusaha berontak. Tapi tangan mungilnya tak mampu menahan kekuatan pria itu. Sebagian tubuhnya kini terlihat, sementara kedua tangannya masih berusaha menutupi tubuhnya yang setengah telanjang. 

Dalam tangis, ia terus memohon, sembari mengatakan, "Apa salahku? Apa salahku? Apa salahku?" 

Hingga tiba saat ia hampir menyerah, seseorang muncul dan memukul kepala pria tua itu dengan vas bunga. 

"Argh ...!" Jeritan pria tua itu membuat Natalie semakin ketakutan. 

Sementara orang yang memukul sekali lagi menghantam pria tua itu tepat di area sensitifnya. 

"Argh ... sialan! Si-siapa kau?!" hardik pria tua itu, seraya menahan rasa sakit di bagian bawahnya. 

Bugh-bugh-bugh!

Wanita itu terus-terusan menghajar pria tua yang telah terkapar di lantai. Wanita itu terlihat benar-benar menyeramkan.

"Pria berengsek tak tahu malu! Beraninya kau menyakiti gadis kecil di hadapanku! Sialan! Padahal aku ke sini sebagai tamu tak diundang, tapi malah melihat adegan menjijikkan! Sialan!" Wanita yang menutupi wajahnya dengan hoodie dan masker itu terus mengeluarkan makian.

Setelah puas, wanita itu menatap gadis kecil yang sedari tadi nampak ketakutan.

"Kau tak apa, gadis kecil?" tanyanya pada Natalie.

Natalie tak menjawab, hanya terus menitikkan air mata.

"Tenanglah! Pria ini sudah aku lumat-lumatkan," ujar wanita itu, membanggakan diri.

"Oh, ya. Aku Laila, panggil saja aku Madam," sambung wanita itu lagi, seraya mengulurkan tangan.

Natalie menyambut uluran tangan itu, lalu segera berdiri. Ada rasa aman saat wanita yang bernama Laila itu menyambutnya. 

Semenjak hari itu, Natalie selalu membuntuti Laila.

"Hei, anak kecil! Bisakah kau berhenti mengikuti!" hardik Laila kala itu.

Natalie kecil hanya menunduk, seraya menggeleng. 

"Dengar, ya. Kau tak bisa membuntutiku seperti ini. Aku punya misi yang berbahaya. Aku hanya kebetulan menolongmu, karena saat itu aku telah lebih dulu menyelinap masuk ke hotel pria tua itu. Sekarang, pulanglah!" usir Laila. 

Natalie tak mendengarkan perkataan Laila. Ia hanya terus berjalan di belakang Laila.

"Argh ... kau mau apa, sih? Aku bukan ibumu! Kenapa kau selalu mengikutiku?!" geram Laila. 

"Hiks ... hiks ... hu hu hu..." Natalie menangis, membuat Laila iba.

"Baiklah gadis kecil, apa maumu sebenarnya? Kenapa kau mengikutiku?" tanya Laila, sembari membungkukkan tubuhnya di hadapan gadis kecil itu.

Laila seperti mengerti apa yang dirasakan gadis itu kini. 

Namun ia tak tahu membujuknya dengan cara apa. Tangisan yang gadis kecil itu keluarkan sama persis dengan dirinya dulu. Tangisan yang menggambarkan keputusasaan serta rasa dendam.

.

.

.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status