Share

Pria Misterius

Natalie kecil masih diam, hanya terus memperhatikan Laila yang mengeluarkan minuman dari tasnya, lalu mulai meneguk air mineral itu.

"Aku ingin melakukan pekerjaan sepertimu." Natalie memberanikan diri mengungkapkan keinginannya.

Byur.

Air menyembur keluar dari mulut Laila.

"Uhuk-uhuk-uhuk ...." Karena terkejut, Laila sampai terbatuk-batuk.

"Apa katamu?" Laila memastikan pendengarannya.

"Aku ingin sepertimu. Kau keren, ketika menghajar om gendut itu," ucap Natalie polos. 

"Hahaha ... keren katamu? Kau bahkan tak tahu perjuangan seperti apa yang kulakukan hingga bisa seperti ini." Laila tertawa menanggapi ucapan gadis kecil di hadapannya.

Natalie diam. Ia memang tak mengerti apa-apa saat ini. Tapi yang ia pikirkan hanyalah bagaimana cara melindungi diri. Sesaat Laila menatap ke arah gadis kecil di hadapannya. Ada rasa iba mengingat masa kecilnya hampir mirip dengan yang dialami gadis ini. 

Dia menghela napas panjang, lalu berkata, "Nak, kau masih belum mengerti dunia ini. Mungkin kau melihatku sebagai pahlawan, tapi beberapa orang justru memandang rendah terhadapku. Karena pekerjaanku tak seindah yang kau khayalkan," nasihat Laila. 

"Apakah kau menjual dirimu?" tanya Natalie dengan wajah polosnya.

"What?! Hei, dengar, Nak! Meski aku berpenampilan seperti ini, kau tidak bisa menilaiku sembarangan. Begini-begini aku masih perawan!" Laila membanggakan diri.

"Lalu ... mengapa aku tak boleh? Selama ini kau masih bisa menjaga keperawananmu, bukankah artinya pekerjaanmu itu baik? Biarkan saja orang berkata apa, selama kita tidak melakukannya. Lagipula selama ini orang-orang selalu membicarakanku di belakang. Aku sudah tidak peduli lagi. Satu hal yang pasti, jika aku ikut denganmu, aku yakin bisa menjaga diri, melihat kau bisa mengalahkan om gendut tadi dengan kekuatanmu sendiri." Ucapan Natalie mampu membuat Laila trenyuh. 

"Uh ... anak kecil. Tak kusangka kau sangat pandai bicara. Apa ayahmu yang mengajarkanmu?" 

"Tidak. Aku tak mengenal ayahku, karena ia telah pergi meninggalkan ibu bersama wanita lain." Natalie menunduk, mengingat hal buruk tentang ayahnya.

"Sial! Kenapa semua lelaki harus seberengsek itu?!" keluh Laila, seraya memukul dinding.

"Hah ... baiklah-baiklah! Kau boleh ikut denganku." Laila pun mengiyakan permintaan Natalie.

"Benarkah?" Terlihat binar di wajah Natalie.

"Iya-iya. Sekarang, ayo! Aku akan mengantarmu pulang." Laila pun menarik tangan gadis kecil itu, serta menanyakan alamat rumahnya.

Sejak saat itu, Laila memperlakukan Natalie seperti keponakannya. Setiap hari Laila menjemput Natalie di cafe tempat Natalie kerja. Tak hanya sampai di situ, Laila juga mengajarkan ilmu bela diri kepada Natalie, sebagai syarat utama agar ia bisa bekerja bersama Laila.

Hubungan Laila dan ibu Natalie pun semakin akrab, karena Natalie tak memiliki anggota keluarga lain. Mungkin karena ibu Natalie miskin, hingga tak ada satu pun kerabat yang sudi mengakuinya.

Butuh dua tahun lamanya hingga Natalie siap memulai misi pertamanya. Hingga kini, di usia Natalie yang menginjak 23 tahun, ia selalu mengambil misi yang berkaitan dengan wanita simpanan dan sejenisnya. Sekedar melampiaskan dendam, sekaligus menghukum para lelaki buaya. 

***

     Sudah sebulan sejak kedatangan Natalie di rumah Rio, tapi ia tak juga menemukan petunjuk apapun mengenai berkas yang dimaksud kliennya. Ia mulai muak, karena setiap hari harus berpapasan dengan Rio yang selalu diam-diam menyelinap ke kamarnya tengah malam. Untungnya Natalie selalu sudah memperkirakan hal tersebut. Hingga ketika Rio tiba di kamarnya, Natalie akan lebih dulu menjamunya dengan minuman serta buah-buahan. Belum lagi Celine yang setiap hari selalu mencari perkara dengannya.

"Aku lelah. Baiknya aku keluar, menghibur diri," gumam Natalie, lalu bangkit mengambil tasnya. 

"Mau ke mana kau?" Celine mencegah Natalie yang berniat pergi.

"Cih! Untuk apa kau menghalangiku? Bukankah kau senang setiap kali aku pergi?" Natalie mencebik.

"Kau keterlaluan, Natalie! Setiap hari hanya tahu bersenang-senang. Apa kau lupa, siapa nyonya di rumah ini?" 

"Ya-ya-ya. Kita berdua tahu, siapa nyonya yang sesungguhnya. Yang jelas bukan kau. Ckck ...," gumam Natalie pelan.

"Apa katamu?" 

"Bukan apa-apa. Ayolah, Celine. Kita akhiri saja perselisihan ini, oke. Biar bagaimana pun, aku hanya simpanan. Apa kau tidak malu berdebat setiap hari dengan seorang simpanan sepertiku?" Natalie coba berunding.

"Kau-kau!" Celine yang emosi tak mampu mengeluarkan kata-kata.

"Sudahlah! Nikmati peranmu sebagai nyonya rumah ini, oke. Mana tahu suatu saat, gelar nyonya ini akan berpindah ke orang lain." Natalie memegang pundak Celine sambil tersenyum licik.

"Oh iya, aku lupa memberitahumu. Hari ini aku akan pergi ke bar, mencari pria gigolo lainnya. Sampaikan salamku pada suamimu, ya. Muah... Bye, Celine ...." Natalie pun berlalu, meninggalkan Celine yang hanya menatap kosong.

"Argh ... awas kau, Natalie!" Celine melampiaskan emosinya dengan menghancurkan perabotan antik miliknya.

Sementara Natalie tertawa bahagia mendengar Celine yang mulai frustrasi.

***

     Di sebuah cafe ....

"Ugh ... aku rindu masa-masa bersama Tante Laila. Apa yang ia lakukan ya sekarang? Ia pasti sibuk dengan bulan madunya bersama pria bule itu," Natalie bergumam, seraya menopang dagu.

Sudah lama sekali Natalie tak bercengkerama langsung dengan Laila. Dulu, jika ada waktu senggang, Laila akan menemani Natalie untuk sekedar menghabiskan waktu bersama, sekaligus menjadi pengawal bagi Natalie. Mengingat kemampuan bela diri Natalie belum sebaik sekarang. 

Kadang Laila berdebat dengan Natalie, hanya karena panggilan ‘Tante’ yang disematkan Natalie. 

"Hei, anak kecil, aku bahkan tidak mengenal pamanmu, kenapa kau selalu memanggilku Tante?" protes Laila kala itu. 

"Ibuku bilang, kita harus memanggil Tante kepada orang yang lebih tua,"ujar Natalie polos.

"Ugh ... bisakah kau tidak membawa-bawa ajaran ibumu?" Laila mulai meremas tangan dengan geram.

"Aku bahkan belum menikah, tapi kau sudah memanggilku Tante. Adikku saja seusia dirimu, harusnya kau panggil saja aku Kakak," Laila melanjutkan ucapannya. 

"Apa kau punya adik?" 

Sesaat hening. 

Laila tak mampu menjawab pertanyaan sederhana itu. 

"Apa aku menanyakan pertanyaan yang tak seharusnya?" Natalie kecil memecah keheningan.

"Ada. Tapi kini ia telah bahagia di suatu tempat, di dunia lain." Mata Laila berkaca-kaca mengingat kejadian itu. Natalie diam, tak lagi coba bertanya. 

Hingga kini, Natalie tak pernah tahu apa yang terjadi pada adik Laila, hingga ia terlihat sesedih itu.

Ponsel berdering, memecah lamunan Natalie. Terlihat nama si pemanggil di layar.

"Sial! Untuk apa Rio menelpon? Bukankah harusnya ia masih ada di luar kota?" umpat Natalie kesal. 

"Hello, Beib…," Natalie berusaha menjawab panggilan setenang mungkin.

"Sayang ... kau di mana? Celine mencarimu. Katanya kau tidak ada di kamar. Ke mana kau malam-malam begini?" Suara Rio terdengar khawatir.

Natalie lalu memijat keningnya, tahu apa yang terjadi.

'Sialan kau, Celine!' Natalie mengumpat dalam hati.

"Aku sedang ada urusan, Sayang. Kau tahu, kan, ibuku ... dia ...." Natalie menjeda ucapannya.

"Apa yang terjadi pada ibumu? Dia baik-baik saja?" Suara Rio meninggi.

"Dia baik-baik saja. Dia hanya sedikit kelelahan, hingga harus dirawat," Natalie menjelaskan.

"Kapan kau akan pulang? Jika kau butuh sesuatu, aku akan meminta Celine menyiapkannya." 

"Tak perlu, Rio. Aku bisa sendiri. Kau tenang saja! Aku yakin, kau pasti lelah. Pikirkan kesehatanmu sendiri, oke." Suara Natalie terdengar manja, seperti biasa.

"Baiklah, Sayang. Kau memang selalu menjadi yang terbaik. Bersabarlah sebentar lagi, maka kau akan resmi menjadi istriku." 

Mendengar itu, Natalie serasa ingin memuntahkan isi perutnya. Bisa-bisanya Rio menggombal dengan kalimat buruk seperti itu.

"Baiklah, Sayang. Aku masih harus membereskan beberapa tugas. Secepatnya aku akan pulang, oke. Bye ... love you," ujar Rio lagi, seraya menutup panggilan.

"Oek ...." Natalie menekan perutnya, usai panggilan dimatikan.

"Cih! Pede sekali pria ini. Melihat wajahnya saja bisa mengurangi selera makanku. Aku harap sebelum dia pulang, aku sudah menemukan berkas yang dimaksud Nyonya Bos," sambung Natalie lagi, lalu mulai menenggak minumannya.

"Yah ... setidaknya aku tidak sepenuhnya berbohong soal ibu, dia memang sedikit perlu perawatan." Natalie mulai memikirkan ibunya yang kini tinggal di luar negeri bersama Laila. Ia tak ingin ibunya tinggal bersamanya, lalu menjadi incaran beberapa orang untuk membalas dendam. Lagipula Natalie merasa ibunya akan lebih aman bersama Laila, yang telah berhenti dari pekerjaannya begitu ia dilamar.

Sementara di ujung sana, terlihat seorang pria memperhatikan gerak-gerik Natalie. Kadang ia tersenyum licik, sembari menikmati minuman di atas meja. Cara bicara gadis itu mengundang perhatiannya. 

.

.

.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status