Share

Kejam

"Suaminya mana, Buk?" tanya seorang perawat ketika Zoya masuk ke ruang unit gawat darurat.

Zoya meringis sambil terus memegangi perut bagian bawah. Rasanya calon bayinya sudah mendesak hendak keluar. Dia mengusap bulir-bulir keringat dingin di pelipisnya dan berkata, "Sakit sekali, Suster. Tolong ...."

Perawat tadi sigap memapah Zoya naik ke atas brankar rumah sakit, juga memasang alat pemeriksa denyut jantung di jari si wanita. Matanya berkaca-kaca menatap langit-langit ruangan, mengingat tidak ada seorang pun yang menemani saat dia melahirkan.

"Buk, kita periksa dulu jalan lahirnya, ya."

Zoya mengangguk. Dia membiarkan perawat tadi memeriksa jalan lahir dengan memasukkan jari yang sudah memakai sarung tangan lateks. Dia pasrah apa pun yang dilakukan padanya asal calon bayinya baik-baik saja.

"Sudah bukaan delapan, Buk. Sebentar lagi, ya." Perawat tadi membuka sarung tangan lateksnya kemudian membuang ke tempat sampah medis. "Apa suaminya sudah dihubungi, Buk?" Lagi perawat itu bertanya.

Zoya menggeleng lemah. Kedua sudut matanya meneteskan air mata. Kepedihan menikam dadanya mengingat tidak satu pun pesan yang dia kirim ke ponsel Septian dibaca.

"Coba saya hubungi, ya."

"Makasih, Suster, ponsel saya di dalam saku tas bagian depan," balas Zoya lirih.

Perawat yang menggunakan hijab hitam itu mengambil ponsel Zoya, lalu menghubungi suami si wanita. Hampir lima menit mencoba, tetapi tetap saja tidak direspon.

"Ibuk pernah berobat di sini?" Sang perawat menyerah. Dia memasukkan kembali ponsel Zoya ke dalam tas.

"Pernah, Sus. Surat-suratnya di dalam tas."

Sang perawat segera mengambil semua dokumen yang dibawa Zoya. Di  dalam buku kontrol KIA, dia tahu nama dokter yang selalu menangani si wanita setiap kali ke rumah sakit. Perawat itu membawa semua dokumen Zoya untuk diserahkan kepada bagian administrasi sekaligus menghubungi dokter yang bersangkutan.

Sementara di ruang unit gawat darurat, Zoya berjuang menahan rasa sakit yang terus menghantam perut bagian bawahnya. Seluruh persendian wanita itu seakan lepas, badannya lemah. Bahkan, untuk memiringkan tubuh saja dia tidak berdaya. Berjuang sendiri tanpa ada siapa pun yang menguatkannya, membuat tangis wanita itu pecah. Dia terisak keras, rasa sakit semakin menjadi-jadi karena diabaikan oleh Septian.

"Buk, jangan bersuara, nanti tenaganya habis." Perawat tadi kembali mendekati Zoya. Hatinya tersentuh melihat wanita itu berjuang sendiri tanpa ada yang menemani. Dia mengerti rasanya karena dia juga seorang wanita.

"Sakit, Sus, sakit banget." Zoya merintih. Rasa-rasanya seluruh daya di tubuhnya tersedot habis.

"Sabar, Buk, sebentar lagi dokter datang. Kita akan segera mengeluarkan bayinya."

Perawat itu memiringkan tubuh Zoya ke kiri dan mengusap punggung wanita itu. Membantu persalinan seperti Zoya bukan pertama kali dia lakukan, tetapi tetap saja hatinya miris. Kenapa laki-laki yang harusnya melihat perjuangan seorang istri melahirkan nyawa baru ke dunia, malah mengabaikan. Harusnya mengerti keberadaan mereka di samping istri akan memberi suntikan semangat. Selain itu agar mereka lebih menghargai istrinya setelah melihat perjuangan yang tidak mudah. Seperti menyabung nyawa hidup atau mati.

Tidak lama seorang wanita memakai baju OK (operatie kamer) berwarna biru muda masuk. Dia bertanya status Zoya sambil memasang sarung tangan lateks. Sang perawat menjelaskan mulai dari denyut jantung, repetisi kontraksi, dan pembukaan jalan lahir.

Setelah mendapat penjelasan dari perawat tadi dan memeriksa jalan lahir Zoya, dokter itu memerintahkan membawa pasien ke dalam ruangan bersalin. Zoya pasrah apa pun yang akan dilakukan padanya. Dia bahkan hampir kehilangan separuh kesadaran jika sang perawat tidak menepuk-nepuk pipinya. Dia mengikuti instruksi dokter. Mengejan bila waktunya mengejan, diam bila tidak ada gelombang kontraksi. Tiga puluh menit perjuangan Zoya hingga lengking tangis bayi terdengar memekakkan telinga.

*

"Pasien banyak kehilangan darah, tapi untungnya dia sangat kuat. Jadi, tidak ada yang perlu dicemaskan."

"Makasih banyak, Dok."

Sayup-sayup suara Septian terdengar oleh Zoya. Wanita itu membuka kelopak matanya pelan-pelan. Pertama yang dilihatnya adalah plafon rumah sakit berwarna putih dan cahaya lampu yang membuat matanya silau. Zoya juga bisa merasakan masker oksigen melekat di wajahnya.

"Mas ...," lirih suara Zoya memanggil Septian ketika mendengar ketukan sepatu menjauh.

"Kamu udah sadar?" Septian menghampiri. Dia menggengam tangan Zoya, "Maaf, ya, aku enggak dengar telepon darimu, baru baca sampai di rumah tengah malam. Langsung ke sini karna takut terjadi sesuatu padamu dan anak kita."

Zoya tersenyum kecut. Alasan yang sama dikemukakan Septian. Ingin rasanya mencerca lelaki itu, tetapi kondisi tubuhnya masih sangat lemah. Dia cukup lega Septian ada di sampingnya sekarang. Begitu lemah hatinya, sedikit perhatian dari sang suami mampu menjinakkan rasa kecewa yang bergumpal di dada. 

"Di mana anak kita?" Justru pertanyaan itu yang keluar dari bibir Zoya.

"Dia di ruang NICU. Putri kita sangat cantik, persis Ibunya."

Zoya tersenyum mendengar pujian Septian. Dia bahagia doa-doa yang diuntai setiap malam menjadi kenyataan. Dia selalu meminta agar Tuhan mengembalikan suaminya yang dulu. Septian yang memiliki kasih dan kelembutan. Lelaki yang selalu membuatnya nyaman.

"Makasih, ya, Mas. Aku senang kamu di sini."

Septian mengusap pucuk kepala Zoya. "Aku yang harusnya berterima kasih kamu udah memberikanku bayi yang sangat cantik."

Seperti gurun pasir yang ditimpa hujan deras, hati Zoya basah karena bahagia. Berkah dari kesabarannya beberapa bulan ini terasa manis, Septian kembali seperti dulu kala mereka masih menjadi pengantin baru.

"Mas, aku ingin melihat anak kita," pinta Zoya. Dia tersenyum mendengar jawaban Septian.

"Sebentar lagi perawat akan membawanya ke sini."

Pandangan keduanya serempak menatap ke arah pintu ketika seorang perawat masuk membawa kereta bayi berbentuk kotak. Dia menyerahkan bayi merah yang dibungkus bedong kain bermotif bunga sakura.

"Ibu bisa menyusui?" tanya sang perawat.

Zoya mengangguk. Matanya tak lepas menatap bayinya yang tertidur pulas. Rambut hitam si bayi terlihat sangat legam. Pipi kemerahan, bibir dan hindung mungil membuat rasa haru menyusup ke dadanya. Begitu indah titipan Tuhan padanya. Air mata Zoya menetes begitu saja melihat kepala bayinya bergerak-gerak di dadanya.

*

Dua malam tiga hari Zoya di rumah sakit untuk pemulihan pasca melahirkan. Beruntung jalan lahirnya tidak perlu dijahit sehingga kondisinya bisa pulih lebih cepat. Selama di rumah sakit Septian selalu datang pada malam hari, padahal jam kantornya berakhir pukul lima sore. Ingin Zoya bertanya, tetapi urung karena tidak ingin membuat hubungan mereka kembali merenggang. Dia takut lelaki itu merasa dicurigai. Zoya mengusir semua hal ganjil yang dia rasakan beberapa bulan belakangan. Toh, sekarang Septian selalu di sampingnya meski hanya untuk tidur saja.

Setiap malam Zoya terjaga untuk menyusui bayinya. Dia menatap lekat wajah Septian yang terlihat lelah. Wajar jika dia selalu khawatir jika lelaki itu berpaling. Suaminya memiliki tulang hidung tinggi dan bibir kemerahan. Bila tersenyum terlihat manis sekali, ditambah alis tebal yang membingkai wajah tampannya. Apalagi jika berpakaian rapi, Zoya yakin para gadis pun akan terpesona menatapnya.

"Buk, nanti sore sudah boleh pulang. Apa Ibuk mau saya bantu bersiap-siap atau menunggu suami?" Suara perawat yang bertugas di ruangan Zoya meletuskan lamunan si wanita.

Zoya diam sejenak. Jika menunggu Septian pasti tengah malam sampai di rumah dan tidak baik untuk bayinya. Lagipula dia ingin memberi kejutan. Bukankah lelaki itu berkata, selalu pulang ke rumah terlebih dahulu sebelum menemaninya di rumah sakit?

"Sus, saya pulang sekarang saja. Bisa tolong kemas pakaian saya."

"Ibuk bisa pulang sendiri?" Sang perawat bertanya lagi.

Zoya mengangguk mantap. "Saya baik-baik aja. Lagian nanti tinggal pesan kendaraan lewat aplikasi aja."

Perawat tadi tersenyum. Dia segera membantu mengepak semua barang-barang Zoya. Setelah semua beres, dia juga memberikan surat-surat yang harus ditandatangi. Beruntung semua biaya persalinan ditanggung perusahaan tempat Septian bekerja, sehingga dia tidak perlu mengerluarkan sepeser pun.

"Jaga kesehatan Ibuk dan dedek bayi, ya. Jangan lupa kontrol dua minggu lagi." Sang perawat berpesan setelah Zoya dan bayinya duduk di dalam mobil. Dia menutup pintu perlahan setelah mendengar jawaban si wanita.

Sepanjang jalan pulang dada Zoya berdebar sangat kencang. Dia tidak tahu kenapa, rasanya ada sesuatu mengimpit dada. Untuk mengusir resah yang tiba-tiba hadir dia silih berganti memandang wajah putrinya yang tertidur di dalam selimut tebal, lalu ke jalan raya.

Mobil yang ditumpangi Zoya berhenti di depan rumahnya. Senja sudah membuat langit di bagian barat berwarna merah saga, sebentar lagi malam menjelang pertanda waktunya bulan beredar menjaga bumi. Dahi Zoya berkerut melihat mobil Septian sudah terparkir di pekarangan rumah. Setelah sopir meletakkan barang-barangnya di atas kursi di teras rumah, dia membuka pintu perlahan.

Langkah Zoya tertahan melihat ceceran baju di sepanjang ruang tamu menuju kamarnya. Detakan jantung wanita itu semakin menggila ketika sayup-sayup mendengar desahan bersahutan dari dalam kamar. Meski otaknya melarang, tetapi hatinya terus menyuruh maju. Pegangan Zoya pada bayinya semakin menguat. Bibirnya terkatup rapat ketika suara desahan itu terdengar semakin keras. Dia bisa merasakan tubuhnya bergetar hebat. Walau bisa menebak siapa yang ada di dalam kamar, tetapi tangannya tetap bergerak menekan gagang pintu kamar ke bawah.

Mata Zoya terbelalak melihat pemandangan di hadapan. Septian dan Mira asyik bergumul di atas ranjang miliknya. Raungan histeris Zoya baru menyadarkan keduanya.

"Keparat kalian!" Mata Zoya memerah menatap Septian dan Mira yang kelabakan menutupi tubuh polos mereka.

Belum sempat berpakaian, para tetangga ikut masuk menerobos dan menjadi saksi perzinaan keduanya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status