Share

Wanita Berhati Baja (Zoya)
Wanita Berhati Baja (Zoya)
Penulis: Maheera

Tamu yang Ingin Tinggal

"Tenang aja, kamu bisa tinggal di sini sampai semua beres."

"Apa istrimu setuju?"

"Pastilah dia setuju. Mana berani dia membantahku."

Tangan Zoya yang memegang nampan berisi dua cangkir teh hangat mengerat, ketika mendengar percakapan suaminya dengan seorang wanita di ruang tamu. Septian memperkenalkan si wanita sebagai rekan kerjanya. Dia pikir kedatangan wanita itu hanya untuk bertamu saja, siapa kira kalau lelaki tersebut mengajak wanita lain tinggal bersama mereka.

Sejak kandungan Zoya memasuki usia tiga bulan, sikap Septian berubah. Lelaki itu selalu pulang larut malam. Pesan-pesannya juga diabaikan, kadang hanya dibaca setelah beberapa jam. Septian bukan suami romantis, tetapi dia tidak pernah bersikap dingin kepada sang istri. Apalagi saat mengetahui rumah tangga mereka segera diramaikan dengan tangis bayi setelah dua tahun menunggu.

Pernah wanita berkulit sawo matang itu bertanya, justru bentakan yang dia terima. Septian mengamuk membuat nyali Zoya menciut. Malam itu sejak pernikahan mereka, untuk pertama kali lelaki tersebut menyemburkan kata-kata kasar yang terus mengendap di ceruk kepalanya.

"Harusnya kamu bersyukur aku kerja keras. Memangnya uang turun dari langit? Untuk makanmu, biaya melahirkan butuh uang banyak. Kamu tinggal ongkang-ongkang kaki aja banyak cincong!"

Lalu pintu kamar diempas Septian sangat keras. Lelaki itu tidak pulang selama empat hari membuat Zoya panik, hingga mencari ke kantor si lelaki. Alih-alih luluh melihat sang istri datang dengan perut buncit dan wajah pucat, Septian malah menarik wanita itu pulang dan mengancam agar tidak datang lagi ke kantornya. Dia bilang, Zoya membuat malu dengan penampilan lusuhnya.

"Zoya!" Panggilan Septian mengembalikan kesadaran si wanita. Dia mengerjap untuk menghalau kabut di matanya.

"Maaf, nunggu lama." Zoya meletakkan cangkir berisi teh yang dia bawa ke atas meja, "silakan diminum, Mbak."

Wanita itu tersenyum tipis, seraya memindai penampilan Zoya. "Enggak perlu repot-repot."

Zoya menggeleng pelan. "Enggak apa-apa, cuma teh aja."

Mata Zoya memperhatikan jemari lentik si wanita, yang kukunya dihiasi kutek berwarna merah bergerak meraih gagang cangkir. Tangannya semakin terlihat cantik karena dua cincin emas melingkar di jari manis dan tengah.

"Ini pakai gula, ya?" Si wanita langsung memuntahkan teh di mulutnya ke dalam cangkir, lalu meletakkan benda itu ke atas meja dengan kasar.

"Iya, Mbak, memangnya kenapa?" Dahi Zoya berkerut. Bukankah teh memang harus diberi gula?

"Apa kamu enggak kasih tahu istrimu aku biasa pakai gula diet?" Wanita itu mengabaikan pertanyaan Zoya. Dia justru menatap Septian dengan raut cemberut.

"Oh, maaf, aku lupa. Besok aku stock buat kamu, ya." Septian tersenyum sambil mengusap punggung tangan si wanita. Seolah-olah tidak menghargai keberadaan Zoya di sampingnya.

"Mas ...."

Septian menoleh. Dia melengos melihat tatapan protes dari sang istri.

"Ini Mira. Rumahnya sedang renovasi, jadi dia akan tinggal di rumah kita untuk sementara waktu."

Zoya mengernyit. Bisa-bisanya Septian mengizinkan Mira tinggal di rumah mereka tanpa membicarakan dengannya terlebih dahulu.

"Kalau istri kamu keberatan, enggak usah aja," ujar Mira dengan nada ketus.

"Ah, enggak, dia setuju, kok." Septian menoleh sekilas ke arah Zoya dengan tatapan tajam, "ayo kutunjukkan kamarmu."

Septian bangkit diikuti oleh Mira. Zoya melihat suaminya menunjukkan kamar tepat di sebelah kamar mereka untuk ditempati Mira. Dia ingin memprotes saat Septian ikut masuk ke dalam kamar, tetapi tubuhnya seakan terpancang di atas kursi. Zoya bergeming sembari meredam rasa cemburu yang seketika hadir ke hatinya.

Ngilu merayap pelan ke dada Zoya ketika mendengar gelak tawa dari dalam kamar. Logikanya menegur, mengingatkannya kalau apa yang dilakukan suaminya dan Mira tidak pantas. Namun, dia terlalu takut pada amukan si lelaki. Tubuhnya masih gemetar mengingat amarah Septian beberapa bulan yang lalu. Zoya hanya bisa meremas dasternya kuat-kuat dengan tatapan nanar ke arah kamar.

*

"Mas, sarapan dulu." Zoya meletakkan kopi yang baru dia seduh ke atas meja.

Alih-alih Septian menoleh ke arah pintu kamar yang ditempati Mira tepat ketika wanita itu juga keluar. Darah Zoya berdesir melihat keduanya saling melempar senyum. Firasatnya mengatakan ada sesuatu antara suaminya dengan Mira.

"Mir, sarapan dulu. Zoya udah masak buat kita."

Mira menengok makanan di atas meja. Dia berdecih sambil melihat jam di pergelangan tangan. "Sarapan dekat kantor aja, biar enggak telat. Lagian aku lagi pengen sarapan bubur ayam."

"Ya, udah. Kita berangkat." Septian mengiyakan permintaan Mira. Dia tidak hirau melihat raut kecewa di wajah Zoya.

"Mas, setidaknya minum kopi dulu." Zoya mengangsurkan gelas kepada Septian. Rasa kecewa cukup terobati karena lelaki itu meneguk kopi buatannya sampai tandas.

Zoya menatap kepergian kedua orang itu dengan pikiran berkecamuk. Cara Septian memperlakukan Mira sangat lembut. Lelaki itu juga lebih mendengarkan perkataan si wanita daripada ucapannya. Namun, Zoya mengusir prasangka buruk yang menghasut hati. Tidak mungkin Septian mengkhianatinya. Dia berkali-kali menyakinkan diri sendiri kalau suaminya benar-benar bekerja demi keluarga kecil mereka.

"Mbak, Zoya, wanita yang pergi bareng sama Septian itu siapa?" tanya salah seorang tetangga ketika Zoya mendekat untuk berbelanja di tukang sayur keliling yang berhenti di depan rumah, tepat ketika mobil Septian keluar pekarangan.

"Teman kantor Mas Tian, Buk," jawab Zoya sambil memilih-milih sayuran yang akan dimasak untuk makan malam.

"Yakin teman kerja? Hati-hati lho, Mbak. Banyak sekarang yang ngaku teman, ternyata malah pelakor."

"Saya percaya Mas Tian, kok, Buk. Selama ini dia enggak pernah aneh-aneh."

"Mbak Zoya polos banget. Mana ada laki-laki membawa teman wanitanya tidur di rumah kalau memang menghormati istrinya." Salah seorang tetangga ikut nimbrung. "Pokoknya Mbak Zoya enggak boleh lengah. Biasanya, istri lagi hamil suaminya suka berulah."

Zoya tertegun. Kata-kata tetangganya mau tidak mau menyusup ke dalam kepalanya. Akan tetapi, cepat dia halau prasangka tersebut. Dia percaya Septian tidak akan setega itu padanya.

*

Malam semakin larut, tetapi Septian belum juga pulang. Pesan dan telepon dari Zoya diabaikan begitu saja. Berkali-kali wanita itu mengintip ke luar jendela setiap mendengar suara kendaraan, berharap suaminya yang pulang. Namun, sampai pukul sebelas malam tak juga tampak batang hidung Septian.

Zoya berjalan mondar-mandir sambil mengelus perutnya. Dia tahu sebentar lagi bayinya segera lahir. Sejak sore gelombang kontraksi terus-menerus menghantamnya. Namun, dia menahan dengan menggigit kain kuat-kuat setiap rasa sakit itu datang. Dia masih berharap Septian menemaninya menyambut kelahiran anak mereka.

Namun, rasa sakit semakin sering menerjang. Setiap lima menit Zoya harus perpegangan pada kedua lutut untuk meredam nyeri di bagian bawah perut. Dia mencoba menelepon Septian lagi, tetapi nihil. Tidak ingin terjadi sesuatu pada calon bayinya, Zoya memutuskan memesan mobil dari aplikasi dengan tujuan rumah sakit. Air matanya berderai mengingat sang suami. Di mana lelaki itu sekarang? Lupakah dia waktu bersalinnya tinggal menunggu hari saja? Untuk kesekian kali Zoya merasa diabaikan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status