Share

Aku Benci Anak Itu

"DIAM!" Zoya menutup telinga dengan bantal berharap tangisan bayinya tidak lagi terdengar. Namun, suara bayi yang baru berumur empat hari itu semakin melengking.

"DIAM. DIAM! Bisa diam enggak?!"

Wanita itu mulai kehilangan akal sehatnya. Sejak pertengkaran hebat dengan Septian, emosinya semakin labil. Dia selalu menangis tanpa sebab dan mengabaikan putri kecilnya. Baru setelah tenang Zoya kembali memeluk bayi tidak berdosa itu. Sembari menyusui, air matanya  terus menetes. Dia bersenandung untuk menghibur diri sendiri. Alih-alih merasa lega, jusru tangisannya semakin keras. Sementara Septian menghilang entah ke mana. Bibir Zoya tidak berhenti mengucapkan sumpah serapah. Bahkan, dia mendoakan sesuatu yang mengerikan menimpa lelaki tersebut.

Tak kunjung diam, Zoya turun dari tempat tidur. Dia meraih selimut yang awalnya menutupi tubuhnya, bermaksud membekap bayinya. Akal sehat dan nurani wanita itu telah mati. Pikirannya dipenuhi kebencian dan amarah.

"Ya, Allah ... Zoya!" Seorang wanita berpakaian gamis dan hijab lebar menerobos masuk ke dalam kamar. Dia merebut selimut tebal tadi dari tangan si wanita, lalu menggendong Putri Zoya yang berada di dalam boks bayi. "Jangan gila kamu!"

Bibir Zoya bergetar melihat anaknya berada dalam pelukan temannya. "A ... aku enggak tahan dengar tangisannya, Yan. Kepalaku rasanya mau pecah," ucapnya lirih.

Anakmu haus, ayo susui dia," balas Yani sambil berusaha menenangkan si bayi

Zoya menggeleng. Dia surut ke tempat tidur ketika Yani menyerahkan putrinya.

"Aku enggak mau. Biar aja dia mati agar enggak menderita kayak aku ...," ucap Zoya sembari terisak.

"Astagfirullah, Zoya. Istigfar! Ini anakmu, darah dagingmu."

"Justru karena dia anakku, aku enggak mau dia menderita. Dunia ini kejam, Yan ... kejam sekali. Tuhan senang sekali membuatku menderita!"

Tangis Zoya kembali pecah. Dia terus meracau dengan kata-kata menggugat keadilan Tuhan. Wanita bernama Yani tadi memilih keluar. Percuma menasehati seseorang yang hatinya masih dikuasai amarah, semua kata-kata baik akan mental seketika. Dia ke dapur untuk membuat susu formula agar Putri Zoya berhenti menangis.

Yani tersenyum miris melihat bayi tidak berdosa itu lahap menghisap susu melalui dot. Kurang lima menit cairan putih manis itu tandas masuk ke dalam perut si bayi. Yani meletakkan bayi yang tali pusarnya masih melekat ke dalam boks.

"Zoya, minum dulu."

Zoya bergeming. Meski tangisnya tidak terdengar lagi, tetapi wajahnya masih saja basah sebab dia tak menemukan alasan untuk berhenti menderaikan air mata.

Yani menghela napas panjang dan dalam. Andai tadi dia tidak datang tepat waktu, mungkin saat ini bayi merah itu tidak bernapas lagi. Bukan hanya berhadapan dengan hukum, Zoya akan dicaci-maki sebagai ibu laknat yang tega menghabisi nyawa anaknya. Orang-orang di luar sana hanya bisa menghujat tanpa mencari tahu akar permasalahan. Jari-jari mereka sangat ringan mengetikkan kalimat-kalimat kejam seolah-olah manusia paling suci. Hati mereka tumpul, bahkan yang berkomentar jahat adalah kaum wanita yang seharusnya memiliki empati kepada sesamanya.

Miris sekali. Beberapa bulan tidak bertukar kabar karena Yani pindah ke kota lain mengikuti suaminya, dia seolah-olah tidak mengenal Zoya. Ketika mendengar kabar sahabatnya baru saja melahirkan, dia bergegas datang sebab secara kebetulan keluarga mereka hendak membuat pesta pernikahan untuk keponakan. Dia tidak sabar bercanda dan mendengarkan tawa lepas dari bibir Zoya. Namun, kenyataan di depan mata sangat mengenaskan.

Sejak menikah, Zoya memilih resign dari tempat mereka mengajar. Wanita itu beralasan, suaminya menginginkan dia menjadi ibu rumah tangga seutuhnya, merawat suami dan keluarga. Awalnya Yani menentang keras keinginan sahabatnya. Menurutnya, merawat keluarga tidak harus berhenti bekerja. Apalagi pekerjaan itu sudah dilakoni Zoya bertahun lamanya. Meski hanya menjadi pengajar di sekolah swasta, setidaknya memiliki pendapatan sendiri.

"Yan, kamu sering nasehatin agar aku jadi istri yang taat bil ma'aruf pada suami. Ya, ini, Mas Tian ngelarang aku kerja karna enggak mau aku capek. Dia bilang cukup dia aja yang kerja, aku jadi ratu aja di rumah. So sweet banget, kan?"

Yani masih ingat alasan yang dikemukakan Zoya dua tahun yang lalu, tepat dua bulan pernikahannya dengan Septian. Tidak mungkin dia lupa wajah cantik Zoya berseri-seri saat memuji sang suami.

"Iya, mencari nafkah memang tanggung jawab suami, tapi dia, kan, tahu kamu udah terbiasa kerja dari dulu. Dan kamu bilang dia enggak keberatan, kan?"

"Iya, tapi sekarang situasinya berbeda. Aku takut suami aku enggak ridho sama aku."

"Ya Allah, Zoya. Taat sih, taat, tapi enggak membabi buta gitu. Lagian, ya, kalian belum punya anak. Emang kamu enggak bosen seharian di rumah? Jam kerja kamu itu enggak lama, cuma sampai pukul dua sore. Saat itu Septian belum pulang pulang, kan?"

Zoya bergeming.

"Zoya, sebaiknya pikirkan lagi dengan tenang. Bicarakan baik-baik dengan Septian. Zaman sekarang kalau wanita enggak punya penghasilan sendiri, susah. Iya kalau suaminya enggak neko-neko."

"Maksudnya?" Dahi Zoya berkerut menatap Yani bingung.

"Zoya, cinta ya cinta, tapi yakin cinta bisa buat hidup? Maksud aku kamu mesti punya penghasilan sendiri. Jadi, kalau ada apa-apa suamimu berpikir dua kali mau berbuat jahat sama kamu."

Wajah Zoya berubah merah padam. Dia bangkit dengan sorot marah ke arah Yani. "Aku enggak ngira kamu gini. Harusnya doakan rumah tanggaku baik-baik aja. Ini malah ngehasut aku."

"Bukan gitu aku ...."

"Udahlah!" Zoya memotong ucapan Yani dengan nada ketus, "aku tahu apa yang aku lakukan. Kamu enggak usah ikut campur."

Setelah hari itu hubungan mereka merenggang. Zoya tetap dengan keputusannya keluar dari yayasan. Yani masih mencoba menjalin komunikasi dengan Zoya meski tidak seintens dulu. Namun, lama kelamaan komunikasi mereka terputus hingga hilang kontak sama sekali.

"Yan, maafin aku ...."

Kata-kata yang disertai isakan dari bibir Zoya menyadarkan Yani kalau dia berada di kamar si wanita.

"Maaf untuk?"

Zoya mengusap pipi tirus yang basah karena air mata. "Andai dulu aku dengerin kata-kata kamu, pasti enggak bakal begini."

Embusan napas berat keluar dari bibir Yani. Dia beringsut memeluk tubuh kurus Zoya. Perih menusuk ke dadanya saat merasakan tubuh wanita itu menyusut jauh dari dua tahun yang lalu. Dulu, Zoya memiliki badan padat berisi. Wanita yang memiliki tinggi 165 cm dan berat badan 60 kilogram, kini terlihat kurus kering. Wajahnya pun tampak dekil dengan bekas jerawat di pipi dan dahi.

"Enggak perlu disesali. Anggap masa lalu pelajaran hidup yang sangat berharga."

Zoya melerai pelukan Yani. Air matanya kembali berderai. "Aku udah hancur, Yan. Mas Tian, dia ...."

Yani menunggu. Dia juga penasaran apa yang sebenarnya terjadi pada rumah tangga Zoya. Seharusnya lelaki itu berada di rumah membantu sang istri merawat bayi mereka, setidaknya sampai pusar si bayi lepas atau membayar seseorang untuk menemani Zoya. Dia pikir Septian cukup mampu melihat jabatan si lelaki sebagai staff keuangan di perusahaan besar dan bonafid.

"Zoya, Tian kenapa?" tanya Yani tidak sabar melihat Zoya masih diam.

"Aku enggak kenapa-kenapa? Ngapain kamu di sini?!"

Alih-alih suara Septian terdengar lantang menjawab. Yani menatap si lelaki dengan sorot bingung, sementara Zoya masih bersama amarah di dadanya.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status