"Don't disturb my wife. I won't let you have mine to death." Mata Mas Danu menyala penuh amarah. Kali ini semua amarah itu ia tujukan pada si blasteran yang posturnya lebih tinggi.Mike tersenyum tenang. Sama sekali tak gentar menghadapi kemarahan anak atasannya. "That's the right Laras. I will only respect her request and not a cheater like you."Gusar mendengar jawaban Mike, tangan Mas Danu mengepal hendak meninju. Ada apa dengannya? Setahuku, Mas Danu bukanlah pria yang suka menggunakan kekerasan untuk menghadapi persoalan. Ia adalah pria yang terkenal ramah pada setiap orang.Mencegah dua pria itu kembali baku hantam—karena tak ada tanda-tanda bahwa Mike akan mundur—kugenggam erat jemari Mas Danu. Kubisikan padanya tentang orang-orang yang sibuk berlalu lalang, mencuri pandang dan berupaya mencuri berita untuk bahan gosip mereka. Mike terlihat tak suka kala bibirku kudekatkan ke telinga pria yang dibuatnya meradang. Kening Mike mengernyit dan matanya menyipit.Mas Danu mendadak me
29 "Apa yang kau inginkan?" tanyanya setelah gagal menetralisir hatinya yang kacau. Aku ingin memintamu jangan menemuinya. Namun, pinta itu hanya menggema di dada."Kau tahu 'kan, Laras, aku terlanjur menghamilinya. Dia sekarang hamil anakku dan aku harus menikahinya. Ia ingin pernikahan resmi. Demi masa depan anak kami."Permintaan itu, siapapun wanita yang berada di posisi Sekar pasti menginginkannya. Menggeser istri pertama. Menghancurkan satu keluarga demi membangun kebahagiaannya. Apa ia mengira bahwa semua wanita akan mundur dengan mudah? Aku Larasati, aku berbeda dengan wanita bersumbu pendek yang hanya memikirkan perceraian ketika terjadi retakan. Tidak! Aku akan menjadi semen yang merekatkan setiap retakan untuk menciptakan tembok yang lebih kokoh."Nikahilah dia. Anaknya tak berdosa. Jangan sampai ia lahir diiringi cibiran tetangga." Sudah lama aku memikirkannya. Jika wanita itu bisa ia miliki sepenuhnya, mungkin Mas Danu akan lebih menyayangiku karena bersedia dimadu.
30 Kami sekeluarga di sini, merayakan masa-masa kejayaan perusahaan yang dibangun dengan susah payah oleh bapak mertua. Adam dan Hawa, anak kami pun ikut serta. Bersama kedua babysister yang selalu mengawasi polah lucu mereka. Sementara Caca mendoktrinkanku agar berperilaku bak ratu."Anak-anak sudah ada yang mengurus, Mbak. Fokuslah pada dirimu sendiri. Hanya dua hari kita di sini. Nikmati!" bisik Caca berulangkali. Ia ingin aku berhenti jadi Upik Abu yang sibuk momong di belakang. Menghindarkan anak-anak dari keramaian, lalu berkutat di dapur sendirian. Ia ingin aku berada di depan, bersama ibu-ibu muda lainnya, yang sukses dengan karirnya, yang anggun dengan busananya, yang cemerlang dengan prestasinya. Membicarakan banyak hal visioner untuk kemajuan perusahaan. Pun Caca, datang bersama suami dan putranya. Keduanya bebas bermain di taman, di pantai dekat villa, menonton televisi, sementara Caca sibuk dengan acara demi acara yang dikhususkan bagi pegawai perusahaan. Di sela acara
31Kamu hanya perlu mendengar hatimu berbicara, karena tidak semua logika bisa masuk ke dalamnya.Debur ombak di pantai biru yang terhampar di bawah balkon Villa berlantai dua, cahaya senja yang temaram, kulit Mike yang kecokelatan, mata birunya yang terang, dadanya yang bidang, senyumnya yang menghanyutkan, tingginya yang menjulang, mana di antara itu semua yang menjadi celah untukku bisa melakukan penolakan? Pernikahanku yang berantakan, suami yang sering menghilang tanpa kabar, kehadiran istri siri yang menuntut dinikahi secara resmi, janin di perut wanita lain, atau malah debar jantung yang tak terkendali sehingga membuat hatiku lemah bagai istana pasir?Bila sudah kuminta padanya, jangan menggangguku, tetapi ia tetap saja menatap penuh harap, bukankah itu hanya seperti melihat cerminan diriku yang menanti di luar pintu hati untuk mengemis cinta yang terlanjur diberikan kepada orang lain?Mike sepertiku. Cerminan diriku. Berdiri tanpa ragu di luar pintu. Menunggu pemilik hati memb
32“Aku tidak pada posisi bisa memilih, Mister. Tolong jangan mendorongku terlalu jauh!” Sejujurnya, aku tidak sedang mengatakan hal-hal kiasan. Aku sedang mengatakan kebenaran. Kami berada di balkon lantai dua yang menghadap pantai. Jika dia terus maju, aku takut terdesak ke belakang dan akhirnya terjungkal. Bagaimana jika orang melihat kami berdua seperti ini? Tinggal beberapa jengkal dan kepalaku akan bersentuhan dengan dadanya yang lapang.Buru-buru aku menghindar, melangkah pergi. Menyudahi percakapan yang lebih banyak menguras emosi dan energi.“Laras!” Mike memanggil keras.Aku berhenti melangkah. Dengan dada berdebar-debar, tak berani menoleh walau hanya satu derajat saja. Aduh bagaimana ini? Sekalipun kemungkinan besar ini skenario mertuaku, tapi efeknya bukan setingan. Aku sungguh tergoda. Semua padanya teramat memesona. Bagaimana jika aku benar-benar menyukainya lalu berulang merindukannya? Bagaimana jika kehadirannya meruntuhkan pertahananku untuk setia pada ikatan suci y
Menjadi bahan pembicaraan orang, dicap bodoh, disebut budak cinta, dianggap tak tahu diri, dipandang kampungan, dan masih banyak lagi stigma buruk yang dilekatkan orang padaku, membuatku tak kaget jika kali ini kembali jadi bahan pembicaraan mereka. Namun, sinyal Caca berbeda. Ia seperti mencurigai sesuatu yang lain.“Mas Danu enggak akan sengaja mencium Mbak di depan Mister Mike, di tempat umum pula, jika Mbak murni tak ada apa-apa dengan pria itu.” Kali ini senyum Caca terlihat sinis. “Berapa durasi ciuman kalian? Tiga menit, 40 detik. Benar?” Aku terbeliak kaget. Caca menggeleng-gelengkan kepalanya sambil berdecak. “Jangan heran. Mbak berciuman di depan kantor. Banyak saksi mata. Dan semua saksi mata itu pegang hape lebih sering dibanding pegang Alquran. Tahu kan akibatnya? Semua orang bisa ikut merekam. Bahkan yang iseng malah ngasih backsound untuk adegan Mbak yang luar biasa. Judulnya pun bombastis, Cinderella diperebutkan dua pangeran bermobil mewah. Tak percaya, cek saja di a
Tidak! Aku bisa terseret pusara asmara jika begini. Sebaiknya, aku menghindari hiruk pikuk ini. Semua keceriaan dan kemewahan ini amat tak cocok bagiku.Menepi, duduk sendiri, jauh dari hiruk pikuk keramaian. Seseorang yang lancang, seperti punya radar untuk mengikuti ke mana pun aku pergi. Seseorang yang tampan dengan bajunya yang casual. Untuk gathering kali ini, perusahaan tak mewajibkan baju formal supaya semua kekakuan di perusahaan bisa sementara ditanggalkan. Pun aku demikian, hanya mengenakan gamis biasa dengan jilbab instan yang masih terlihat manis meski tanpa aksesoris.Ia mengangsurkan cake cokelat yang jadi sumber kemesraan Caca. Dari tangannya, aku langsung tahu bahwa dia sudah terlalu berani mengumbar peduli.Kenapa harus dia yang selalu datang menghampiri? Karena itu dia maka aku menahan diri untuk tidak mendongak menatap matanya. Teringat semua tuduhan Caca, membuatku lebih mawas diri. Bagaimana jika orang lain melihat
Kuingin menempatkan anak-anakku di dekat kakek dan keluarga besar Wicaksono.Ladang yang subur akan menghasilkan tanaman unggul. Tak mungkin aku mundur dan membiarkan tunas-tunasku tercabut atau berada jauh dari jangkauanku. Bertahan! Hanya itu hal terbaik yang bisa kulakukan untuk mereka. Pendidikan mereka, baju mereka, makanan mereka, tempat tinggal mereka, semua terjamin dan kualitas nomor satu selama mereka dekat dengan kakeknya. Untuk mendukung mereka, yang bisa kulakukan sebagai ibu hanya mendoakan.“Saya tahu, kalian mencari putraku untuk menyempurnakan pesta malam ini,” sambutan dari bapak mertua membuat ingatanku kembali melayang pada sosok yang membuatku mengenal arti cinta, rindu dan cemburu, “tetapi dia tidak ada.” Bapak mertua memandang ke arahku. Membuat orang-orang ikut mengalihkan pandangannya padaku. Tegang, segera kubenahi ekspresi wajah agar tidak tampak menyedihkan.“Bangunan yang tua pada akhirnya harus dirobohkan untuk diganti dengan bangunan baru yang lebih koko