“Bagaimana kabarnya? Kamu tahu? Apakah dia sudah sadar? Bagai kakinya? Tidak jadi lumpuhkan? Sudah sejauh apa kemajuannya? Apakah Sekar merawatnya dengan baik?”Mike mengerutkan kening. Memasang wajah masam. “Pertanyaan yang beruntun. Mengapa tak berhenti penasaran dan memulai memantaskan diri hingga ia kembali?” sarannya.“Banyak yang telah berubah darimu, Laras, tetapi kuharap kamu tak pernah kehilangan jati diri. Kamu wanita yang baik dan tetaplah jadi baik. Jangan jadi munafik dan membohongi diri sendiri demi sebuah eksistensi. Ketika kamu merasa tak nyaman, memaksakan diri hanya akan membuatmu berselimut kepalsuan. Bisakah kamu bebaskan diri dari aneka beban perasaan?”Bagaimana dia tahu bahwa aku begitu terbebani dengan semua ini? Sekentara itukah?“Kamu adalah kamu. Mencintai diri sendiri tak perlu dengan meniru-niru orang lain.”Kress. Paper cup milikku yang isinya telah habis kuremas hingga gepeng.Bahkan sebagai peniru pun, aku adalah peniru yang buruk sehingga bisa ia baca
Baru saja hendak kujawab ketika adik tirinya datang dengan dua porsi besar roti bakar.“Yeay, kita punya dua roti bakar istimewa. Satu cheese dan satunya chocolate. Laras, kamu suka yang mana?”Mendongak, memandang padanya. Aku belum tahu namanya, bagaimana ia bisa tahu namaku? Bukankah kami belum berkenalan?“Aku tahu namamu dari Mikey, ia sering bercerita tentangmu,” ujarnya sambil menyenggol bahu sang kakak.“Awas, jangan keceplosan lagi! Aku stop uang jajanmu nanti!” ancam Mike pada adiknya. Si gadis pirang langsung membentuk isyarat siap mengunci mulut.Mata wanita itu berpindah ke paper cup-ku yang sudah tak berbentuk setelah kuremas.“Wah, kopimu sudah habis. Kamu harus pesan minuman lain agar bisa menelan semua roti ini tanpa tersedak. Do you want something?”“Lemon tea, ada?”Adiknya mengangguk dan kembali ke kedai dengan lincah. Kakinya sangat ringan dan ia terus saja berjalan dengan gerakan menari, membuat rambut ekor kudanya bergoyang-goyang. Keceriaan gadis itu mengingatk
Tertera nama nanny yang mengurus Hawa.Masih dengan dada berdebar menerima panggilannya. “Ya, Mbak. Ada apa?” Gugup, apa yang akan terjadi jika tak ada dering gawai malam ini?“Maaf, Bu, masih lama pulangnya?” suaranya terdengar takut. Tak biasanya ia meneleponku, kecuali benar-benar ada yang mendesak.Naluri keibuanku aktif kembali. “Hawa enggak papa ‘kan, Mbak?” cemasku. Mike ikut menyimak, melihatku cemas agaknya menularkan kecemasan yang sama di parasnya.“Dek Hawa enggak mau tidur dan minum susu. Katanya mau nenen sama mama.”Hawa minta nenen? Sudah lama ia minum ASI via botol, bahkan sering menolak jika aku menyusuinya. Kenapa malam ini tiba-tiba Hawa begitu? Nalurinyakah sebagai anak? Jadi ini pertanda Tuhan bahwa anakku tak rela ibunya bermain-main dengan pria lain?“Aku akan segera pulang, Mbak. Bentar lagi sampai.” Segera aku berdiri. Menyambar tasku, dengan gawai masih menempel di telinga. Lupa berpamitan pada Mike yang tentu saja, langsung mengejarku.“Tunggu, Laras!” cega
Ia juga menyuapiku ketika luka di perutku pascaoperasi belum mengering. “Hati-hati. Biar aku saja,” katanya begitu melihatku kesulitan menyuap makanan. Kukira, lambat laun kami akan jadi pasangan sejati.“Aku mungkin tak bisa memberikan hatiku untukmu, namun aku bisa memberimu nafkah lahir dan batin, sesuai kemampuanku. Maaf jika hanya ragaku yang kamu miliki, sebab kamu tahu di mana hatiku berada.”Sekalipun kata-kata itu ia berikan padaku sebagai cambuk peringatan, namun kami bisa menutupinya dari orang-orang. Hingga berita perselingkuhannya menyambar-nyambar, aku masih memilih menutup mata.Tidak, Mas Danu tak mungkin begitu. Tak mungkin ia menistakan diri dan wanita yang ia cintai dengan skandal kotor, sanggahku. Akan tetapi, semua terbukti. Bahkan, ia pun tak menutupinya lagi. Api di dalam sekam, akhirnya membakar hutan. Tak ada yang tersisa, selain rasaku yang masih sekuat baja.***Sambil menyusui, kupandangi layar gawai. Seribu pesan yang kukirim ke gawai Mas Danu tak terba
“Ternyata kamu sangat bijaksana. Namun, jika tamu itu membawa senjata dan hendak membunuhmu, bukankah seharusnya kamu lari? Minimal melawan.”“Jika melawan, aku pasti kalah. Jika berlari, rumahku akan kosong, dan aku terpaksa menggelandang di jalanan sebagai fakir miskin.”“Kamu takut miskin?” terdengar suaranya mengejek.“Miskinnya manusia adalah tak punya amalan apa-apa untuk membeli tiket surga. Bukan masalah harta. Karena bagi seorang muslim, harta sejati yang bisa ia bawa hanyalah amal.”Aku tahu Mike adalah seorang mualaf. Namun, sepanjang yang kulihat, Mike bukanlah mualaf yang rajin beribadah. Sehari-hari, ia lebih mirip non muslim karena saat hari Jumat pun, Mike tak ikut ke masjid bersama karyawan pria lainnya. Menurut kabar, Mike menjadi mualaf karena hendak menikahi muslimah tetapi gagal. Meski begitu, Mike tak kembali pada keyakinan lama karena berpendapat bahwa apa sudah diputuskan, tak boleh disesali.“Apa hubungannya dengan pernikahanmu, Laras?”“Mas Danu adalah tiket
Waktu terus berputar, tak menunggu satu detik pun untuk terjeda dalam keterpurukan.Pilihan hidup yang telah diputuskan, haruslah dipertanggung-jawabkan. Maaf, jika aku tak sesuai harapan kalian, tetapi inilah pilihan hidupku, menjadi setia meski kekasih hati mengkhianati.Nama Larasati terpampang di papan pengumuman sebagai salah satu karyawan yang terlibat proyek pembangunan hotel di luar kota. Sebelumnya, mana pernah aku dilibatkan dalam proyek besar semacam ini?Aku hanya dianggap karyawan titipan, yang statusnya tak lebih hebat dari karyawan magang. Tak banyak tanggung jawab yang kupegang, karena misi awal dikirim ke perusahaan ini hanya untuk belajar mengenal dunia luar. Namun, semua ujian rumah tangga yang terjadi, membuatku berambisi menggali potensi diri. Aku juga ingin dipandang berarti. Terutama oleh Mas Danu dan Sekar. Tak mau lagi diremehkan bagai remahan roti basi.Kini, aku bukan hanya karyawan titipan, tapi sudah bergerak menuju karyawan tetap. Ingin terus naik hingga
“Jadi kamu ditugaskan ke Cilacap? Meninjau lokasi proyek?” tanyanya di gawai.Mike punya kebiasaan baru tiap malam. Meneleponku. Anehnya, setelah tiga minggu aktivitas itu berlangsung, sehari saja dia tak menelepon, aku merasa ada yang hilang. Walau begitu, aku tidak pernah memulai untuk meneleponnya.“Siapa saja yang berangkat?” koreknya lagi. Mike peduli pada kegiatan yang kujalani. Bukan untuk menghalangi-halangi. Ibarat tukang kayu, ia membawa kapak untuk membabat semak belukar yang menghalangi langkahku. Memuluskan jalanku.Kusebutkan nama beberapa rekan yang diberangkatkan. Dari tujuh staf, termasuk manajer perencana, ada satu wanita lagi yang berangkat. Jadi aku tidak sendiri. Masih ada yang menemani.“Kamu sudah siap? Itu akan jadi perjalanan dinas kamu yang pertama.”“Hem ... harus siap. Untuk bisa menjangkau bintang, aku harus siap memanjat dan menaklukkan ketakutan.”“Apa yang kamu takutkan?”Aku mengedikkan bahu, padahal Mike tak bisa melihat itu. Ia meneleponku pukul 22.0
Aku terbangun ketika terdengar suara pintu dibuka. Amanda masuk dengan senyum mengembang. “Kamu udah baikan?” tanyanya ceria.Prediksiku, dia berhasil jalan-jalan sekalian barusan. Terlihat dari bungkusan belanja yang dibawa dengan wajah bercahaya.“Sudah.”Berapa lama aku tertidur? Rasanya baru sebentar. Mengapa mereka begitu cepat kembali?“Yuk, makan dulu di resto, ditunggu tim. Kamu kuat ‘kan? Atau masih mau tiduran?” Ia memegang keningku. “Suhumu normal.”“Iya, aku udah gapapa, kok. Maaf, ya, ga tahu kalau ternyata aku mabuk darat.”Perlahan bangkit dan membersihkan diri. Sebenarnya aku masih merasa tak enak badan. Namun, tak mungkin hanya berbaring di kamar ketika momen ini adalah pertaruhan awal bagiku sebagai karyawan di perusahaan besar.Amanda berdandan maksimal. Seolah akan menghadiri pesta makan malam di restoran mewah. Aku bercermin sebentar. Duh, aku tak menyiapkan baju spesial. Hanya baju formal dan baju lapangan. Bahkan baju tidur pun tidak.“Haruskah kita pakai gaun?”