"Hari ini, kamu boleh pulang ke Jakarta," ucap Renata, pemilik perusahaan tempat Sofia bekerja.
Sofia Storia, wanita berusia tiga puluh tahun yang menjabat sebagai administrator di salah satu perusahaan distributor makanan ringan ternama di Jakarta, tak bisa menyembunyikan kegembiraannya. "Baik, Bu," jawabnya dengan senyum mengembang. Tentu saja Sofia merasa bahagia. Sudah tiga hari ia tak bertemu dengan Alvian, suami yang sangat dicintainya, karena kesibukan pria itu mengurus pembukaan cabang baru di Bandung. Sofia berniat memberikan kejutan. Dengan sengaja, ia tak memberi kabar bahwa dirinya akan kembali lebih cepat dari waktu yang telah ditentukan sebelumnya. "Bu, saya pamit," ucap Sofia pada Renata yang tengah sibuk dengan dokumen di meja kerjanya. "Hati-hati di jalan, Sofia!" jawab perempuan berusia empat puluh tahun itu. Sepanjang perjalanan, Sofia menikmati alunan lagu-lagu favoritnya. Wanita mandiri itu mengendarai mobilnya sambil bernyanyi riang, membayangkan ekspresi terkejut Alvian saat melihatnya pulang lebih awal. *** Sesampainya di apartemen, Sofia terpaku. Ruangan yang selalu rapi dan bersih itu kini tampak kotor dan berantakan. Beberapa bungkus makanan ringan berserakan di atas karpet. Asbak dipenuhi puntung rokok dengan abu yang bertebaran di sekitarnya. Di atas meja ruang televisi, dua botol minuman berdiri tegak. Sofia melangkah masuk, mendekati dua botol yang asing baginya. Didorong rasa penasaran, ia membuka tutup botol untuk mengetahui jenis minuman apa itu. Belum sempat mendekatkan hidungnya ke mulut botol, aroma menyengat sudah menusuk indra penciumannya. "Aneh. Siapa yang meminum minuman ini? Bukankah Mas Alvian tidak pernah mengonsumsi alkohol?" gumamnya sambil mengamati botol bertuliskan Martell. Matanya beralih pada puntung rokok yang berserakan. Terlihat noda merah pada pangkal beberapa batang rokok. Seperti bekas lipstik. Tapi, lipstik siapa? Belum hilang rasa herannya, tiba-tiba terdengar suara Alvian sedang berbincang dengan seorang wanita dari balik pintu. Menyadari kehadiran mereka, Sofia bergegas masuk ke kamar dan bersembunyi di balik lemari pakaian. "Sayang, aku benar-benar ketagihan dengan permainanmu semalam," suara bariton Alvian menggema memecah keheningan. Jantung Sofia berdegup kencang. "Tidak mungkin! Mas Alvian tidak mungkin melakukan itu!" batinnya menepis kecurigaan. Dengan gemetar, Sofia memberanikan diri mengintip dari celah lemari. Pemandangan di depannya menghancurkan dunianya seketika. Di atas ranjang yang selama ini menjadi tempat mereka berbagi kasih, Alvian dan seorang wanita tengah bercumbu mesra. Desahan wanita itu memenuhi ruangan. Dengan jelas, Sofia melihat suaminya yang selama ini terlihat setia sedang menindih tubuh wanita ramping dan seksi, menciumi leher jenjangnya dengan rakus. Tubuh Sofia membeku. Napasnya tercekat, darahnya mendidih. Tanpa pikir panjang, ia keluar dari persembunyiannya. "Ya Tuhan... apa yang kamu lakukan, Mas?" teriaknya dengan mata terbelalak dan napas memburu. Mendengar suara Sofia, Alvian tersentak dan menghentikan aksinya. Ia berdiri menghadap istrinya dengan wajah terkejut. PLAK! Sebuah tamparan keras mendarat di wajah Alvian. "Tega sekali kamu mengkhianatiku!" sentak Sofia dengan wajah merah padam. Pipi Alvian memerah membentuk bekas telapak tangan. Dengan wajah angkuh, ia menahan tangan Sofia ketika wanita itu hendak menamparnya untuk kedua kali. "Diam!" bentaknya kasar. "Seharusnya kamu berkaca, mengapa aku melakukan ini!" Ia menghempaskan tangan Sofia dengan kasar. "Apa kurangnya aku, Mas?" tanya Sofia dengan suara bergetar. Air mata menggenang di pelupuk matanya. Menyaksikan pertengkaran sengit pasangan suami istri itu, Clara—wanita yang berprofesi sebagai penyanyi karaoke—hanya tersenyum sinis. "Kamu masih bertanya apa kekuranganmu?" Alvian mendengus. "Lihatlah dirimu yang tidak terawat itu! Bagaimana aku bisa bernafsu jika tubuhmu seperti itu? Bertahun-tahun aku sabar menerimamu, bukannya memperbaiki diri, kamu malah semakin tidak menarik dan membosankan!" Bukannya meminta maaf, Alvian justru mencaci dan menghina tanpa peduli perasaan wanita yang telah menemaninya selama lima tahun. Mendengar hinaan itu, Sofia menangis pilu. Ia tak menyangka, hanya karena perubahannya secara fisik, Alvian tega mengkhianatinya hingga melakukan perbuatan hina di kamar mereka sendiri. "Aku akan adukan kelakuanmu pada ibumu!" Sofia mengancam sambil menyeka air mata. "Silakan! Aku tidak peduli!" jawab Alvian angkuh. Sofia mengalihkan pandangan pada wanita yang duduk di tepi ranjang. Ia melangkah mendekati Clara, namun Alvian dengan cepat mencekal tubuhnya. "Lepaskan aku!" Sofia meronta. "Dengar, wanita jalang!" teriaknya pada Clara dari balik tubuh Alvian. "Kau akan menyesal telah menghancurkan rumah tanggaku!" Clara hanya tersenyum sinis, sama sekali tak terpengaruh oleh ancaman tersebut. "Lepas! Aku tak sudi bersentuhan denganmu!" Sofia menepis tangan Alvian dan bergegas meninggalkan kamar yang kini telah ternoda oleh pengkhianatan. *** Dengan berlinang air mata, Sofia mengendarai mobil sedan warisan orangtuanya menuju rumah mertuanya yang berjarak dua kilometer dari apartemen. Ia berharap Ambar, ibu mertuanya, akan berpihak padanya. Namun, harapannya sirna. "Sofia... memang benar kata anakku. Kalau kamu tidak merawat diri seperti ini, mana mungkin Alvian berselera padamu. Jangankan menyentuh, melihat saja dia sudah malas," ucap Ambar, menatap Sofia dari ujung kaki hingga kepala dengan pandangan merendahkan. "Tapi Bu, aku seperti ini karena efek obat penyubur yang Ibu berikan agar aku cepat hamil," jawab Sofia terbata. "Kamu malah menyalahkan aku? Kalau kamu bisa cepat memberiku cucu, aku tidak perlu memberimu obat itu. Atau jangan-jangan, kamu memang mandul?" tukas wanita berusia lima puluh lima tahun itu tanpa belas kasihan. Hati Sofia semakin terluka. Mertuanya yang selama ini ia hormati seperti ibu kandung justru ikut menghakiminya. Ambar memang mertua yang sangat mengekang. Selalu ikut campur urusan rumah tangga anaknya dan menyalahkan Sofia yang belum juga hamil setelah lima tahun pernikahan. Di matanya, apapun yang Sofia lakukan selalu salah. *** Karena tak mendapat pembelaan, Sofia meninggalkan rumah mertuanya dan menuju rumah peninggalan almarhum orangtuanya yang kini ditempati paman dan bibinya. "Maaf. Anda mencari siapa?" tanya seorang wanita asing dari balik pintu. "Apakah Bibi Ella ada di dalam?" tanya Sofia keheranan. "Oh, Bu Ella sudah tidak tinggal di sini. Kami pemilik baru rumah ini. Seminggu lalu kami membelinya dari Bu Ella," jelas wanita itu ramah. Bagaikan tersambar petir di siang bolong, Sofia tak menyangka bahwa bibi dan pamannya—satu-satunya keluarga yang ia miliki—tega menjual rumah warisan orangtuanya tanpa sepengetahuannya. *** Di balik kemudi mobilnya, Sofia terisak pilu. Ia merasa tak ada seorang pun di dunia ini yang menyayanginya. Kini, ia sendirian dan bingung harus ke mana. Dengan perasaan hancur, Sofia mengarahkan mobilnya ke pemakaman kedua orangtuanya—satu-satunya tempat yang sering ia kunjungi ketika merasa terpuruk. Di hadapan pusara orangtuanya, ia mencurahkan semua kesedihannya. Tak kuasa menahan perih, Sofia menangis tersedu-sedu. "Ibu, mengapa kau tinggalkan aku sendiri? Semua orang begitu kejam padaku. Kini aku tak tahu harus ke mana. Rasanya aku ingin menyusulmu, Bu," ucapnya terbata dengan isakan pilu. Di tengah area pemakaman yang luas dan sunyi, Sofia duduk memeluk nisan ibunya. Air matanya jatuh membasahi rumput yang tumbuh di atas pusara. Rasa sakit yang ia rasakan begitu menghujam jantungnya—seperti mati namun masih bernapas. Angin sore berhembus dingin menerpa tubuhnya. Awan hitam berarak di langit dan suara gemuruh petir mulai terdengar samar-samar. Di tengah kesunyian itu, tiba-tiba terdengar suara bariton yang lembut dari belakangnya. "Menikahlah denganku.""Mbooook ...!" Teriak Ella memecah keheningan. Mbok Nah segera berlari menghampiri Ella. Ia kaget melihat cairan yang sudah tergenang di kaki Sofia. "Nona ... Anda akan melahirkan?!" "Segera hubungi Reyfaldi! Aku akan membawa Sofia kerumah sakit bersalin!" titah Ella panik. Dengan panik. Wanita itu segera memboyong Sofia masuk ke dalam mobil peninggalan orang tua Sofia yang terparkir di halaman rumah Reyfaldi. Kemudian, Ella menyalakan mesin mobil dan melajukan mobilnya menuju rumah sakit bersalin tempat Sofia memeriksakan kehamilannya. Untungnya, wanita yang sempat menjadi pengemis itu sudah ahli dalam mengemudikan mobil. Sehingga, tak membutuhkan waktu yang lama untuk Sofia bisa tiba di Rumah sakit. Ella berlari ke bagian administrasi. Untung saja saldo di rekeningnya terisi uang hasil penjualan beberapa hari kebelakang. Sekitar 10 juta Ella melakukan deposit di rumah sakit tersebut. Tim medis segera bertindak dengan cepat. Sofia ditangani dengan sangat baik di rumah sakit
Sofia keluar dari ruangan tak layak huni tersebut. Ia menyeka air mata di pipi kemudian berbicara dengan Reyfaldi sambil berbisik."Sayang ..., bisa tolong Paman Danu? Aku sangat tidak tega melihatnya," ucap Sofia seraya menitikan air mata. Reyfaldi kemudian menyeka air di pipi Sofia dengan lembut. "Tentu, Sayang. Saya akan segera memanggil ambulace." Sofia mengangguk dan tersenyum haru. "Terima kasih, Sayang." Tak lama berselang, sebuah mobil ambulance tiba di depan jalan. Tim medis segera membawa Danu ke rumah sakit untuk diperiksa. Ella masuk dan duduk di dalam ambulance. Sedangkan Sofia bersama Reyfaldi mengikuti dari belakang. Setibanya di rumah sakit, Reyfaldi segera memesan kamar kelas VVIP, yaitu kamar termahal yang tersedia di rumah sakit tersebut. Danu segera ditangani oleh tim medis. Beberapa pengecekan dilakukan oleh dokter. Beruntung, bukan penyakit berbahaya yang diderita oleh Danu. Melainkan hanya asam urat namun cukup akut. "Sofia ... ruangan ini pasti sangat mah
"Bibi Ella?" Wanita yang tengah hamil besar itu beringsut mundur kemudian berbalik badan dan pergi meninggalkan Ella di ruang tamu. Ia merasa sangat benci pada Bibinya itu. Namun, Reyfaldi langsung mencekalnya. "Ayolah, Sayang ... bukankah tadi kamu berniat akan memaafkannya," bujuk Reyfaldi. "Tuhan saja pemaaf, apagi kita yang hanya sebagai hamba," tambahnya lagi. Sofia termenung beberapa saat. "Baiklah ..., aku akan menemuinya!" Wanita bertubuh besar itu kemudian berbalik badan dan melangkah kembali ke ruang tamu. Ia menjatuhkan bokongnya dengan pelan di atas sofa. Sedangkan Reyfaldi memilih untuk menunggu di dalam kamar, tak ingin mencampuri urusan bibi dan keponakan itu. "Sofia ... akhirnya kamu mau menemuiku." Mata wanita itu berkaca-kaca. "Aku benar-benar minta maaf atas perbuatanku dan Paman Danu. Kami melakukannya karena sangat terdesak. Pada saat itu, kami selalu diancam oleh debt collector. Sehingga kami merasa stress dan gelap mata. Tidak ada cara lain bagi kami selai
Pria yang menjabat sebagai CEO itu membungkuk lalu mendaratkan kedua tangannya di lengan bagian atas Alvian. Kemudian, mengangkat tubuh itu ke atas. "Jangan lakukan itu. Kamu tidak perlu bersimpuh di hadapanku!" Lagi-lagi, Alvian berucap terima kasih pada Reyfaldi. Pun juga dengan wanita tua yang sedari tadi berdiri di sana. Ia meminta maaf dan mengucapkan banyak terima kasih pada Reyfaldi. "Mulai minggu depan. Kembalilah ke perusahaan. Jadilah kepala produksi yang tidak akan mengecewakan saya lagi!" tutur pria tampan itu. Kepala yang semula menunduk, langsung terangkat wajahnya. "Apa?! Apa aku tidak salah dengar, Rey?" Reyfaldi tersenyum sekilas. "Bekerjalah lebih giat, agar kehidupan anakmu terjamin!" Alvian menyatukan kedua telapak tangannya seolah berterima kasih pada Reyfaldi. "Aku akan berusaha jadi karyawan terbaik. Aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan yang kamu berikan, Rey!" Pria yang mengenakan kemeja hitam itu berpamitan. Ia berniat segera pulang karena mengingat
Alvian bergegas naik ke dalam mobil milik tetangganya yang menawarkan bantuan padanya. "Maaf, pak. Saya menjadi merepotkan," ucapnya pada Bapak pemilik mobil. "Tidak sama sekali, Pak." Ambar tidak mengetahui kejadian yang terjadi semalam pada anaknya itu. Ia mengira, selama Clara bekerja menjadi LC karaoke, rumah tangga Alvian baik-baik saja. Bagai tersambar petir, tiba-tiba saja wanita tua itu mendengar kabar jika menantu kesayangannya itu kecelakaan bersama pria lain secara mengenaskan. Dan yang paling membuatnya merasa tercengang adalah berita tentang perselingkuhannya bersama pria beristri. Tak banyak berkata. Di dalam perjalanan, mereka hanya terdiam. Ambar dan Alvian masih merasa sulit untuk memahami apa yang tengah terjadi. "Kamu harus menjelaskan banyak hal pada ibu, setelah ini!" cetus ambar. Setelah menempuh perjalanan selama dua jam. Akhirnya mereka sampai di rumah sakit yang dituju. Alvian dan Ambar melangkah dengan sedikit keraguan dan ketakutan. Mereka merasa tida
Keributan yang terjadi di kediaman Alvian membuat para tetangga penasaran. Beberapa warga mengintip dari balik jendela menyaksikan pertengkaran yang terjadi. Ketua RT dan beberapa warga di pemukiman itu langsung menghampiri rumah Alvian untuk mencari tau dan melihat keadaan Alvian. Namun, mereka dikagetkan oleh suara teriakan Alvian yang menyatakan bahwa dirinya ingin mati. Segera, mereka menerobos masuk ke dalam rumah Alvian tanpa permisi. Melihat Alvian yang telah siap menghujamkan pisau ke dadanya. Sontak, salah satu warga berteriak. "Hentikan!! Kamu tidak boleh melakukannya!" Alvian otomatis membuka matanya. Salah satu warga yang datang langsung menyambar pisau yang berada di dalam genggaman tangan Alvian. Kemudian, meyadarkan lelaki itu dari tindakan bodohnya. Alvian menangis tak terkendali. "Tenang ... tenangkan diri anda, Pak Alvian. Beberapa orang warga mengelus pelan punggung Alvian. Sementara, satu orang lainnya mengambil segelas air minum lalu meminumkannya pada Alvian
"Sofia?!" Ella menatap lekat Sofia. Penyesalan langsung menyeruak di hatinya. "Maafkan Bibi, Sofia ...."Tatapannya berpindah pada bagian perut Sofia yang sudah dalam keadaan hamil besar. "Kamu sudah hamil?! Akhirnya kamu hamil juga, Sofia!" tatapnya sayu. "Dimana Alvian?" Wanita berusia 47 tahun itu mengedarkan pandang. Ia melihat sosok pria tampan berperawakan atletis dan terlihat kaya berdiri di dekat Sofia. "Mengapa kamu tidak bersama Alvian?" tanya Ella. Sedari tadi Sofia tak mengeluarkan sepatah kata pun. Jantungnya berdegup kian kencang karena menahan emosi.Ella memegang tangan Sofia. Namun, Sofia menghempaskannya dengan kasar. "Jangan sentuh aku!" bentaknya. Reyfaldi mendekat. "Maaf, Anda siapa?" tanyanya pada Ella. "Saya Ella, Bibinya Sofia!" jawabnya dengan nada bergetar. "Kamu, siapa?" tanya Ella balik. "Sudah! Tidak usah pedulikan dia. Dia bukan Bibiku. Aku sama sekali tidak mengenalnya!" sergah Sofia seraya mendelik.Sofia kemudian menarik lengan Reyfaldi untuk ma
"Pagi, sayang ... hari ini jadi, kan?" tanya Sofia pada lelaki yang baru saja membuka matanya. "Iya, Sayang!" jawab Reyfaldi dengan suara khas bangun tidur. Hari ini, Sofia berniat berbelanja kebutuhan persiapan untuk kelahiran bayinya. Sebuah kamar khusus untuk bayi akan ia persiapkan. Yaitu, kamar bekas Sofia sewaktu pertama datang ke rumah tersebut. "Lihat, Sayang ... aku ingin seperti ini interiornya." Tunjuk Sofia pada layar ponselnya memperlihatkan gambar ruangan bayi yang bernuansa white soft blue.Perkiraan Dokter, bayi yang tengah di kandung oleh Sofia adalah berjenis kelamin laki-laki. Sesuai dengan harapan Reyfaldi yang sangat menginginkan anak laki-laki agar dapat melanjutkan perusahaannya. "Baiklah, Sayang. Saya akan segera menghubungi jasa interior agar bisa secepatnya selesai."Reyfaldi langsung meraih ponselnya dan menghubungi jasa interior. Ia meminta agar secepatnya dilakukan renovasi sesuai dengan permintaan Sofia. Mengingat waktunya sudah tidak banyak lagi. Se
Wanita pelakor itu terbelalak. Ia langsung berjalan mendekati Sofia. Namun, wanita yang tengah hamil besar itu langsung berbalik badan mencoba menghindar dari Clara. Tapi, wanita jalang itu malah mengejar Sofia. "Sofia ... aku mohon jangan katakan ini pada Alvian!" Jalang itu terus memohon dengan wajah memelas. "Tenang saja! Lagi pula, itu bukan urusanku!" ucap Sofia dengan raut dingin tak peduli. Clara menoleh pada Reyfaldi. Pria yang menundukan wajahnya itu hanya diam mematung. "Pak, Reyfaldi ... tolong jangan-," "Siapa ini?" pangkas pria yang bersama Clara. Mendengar suara bariton dari balik badannya, mata wanita perusak rumah tangga orang itu langsung membola dengan sempurna. Cepat, ia berbalik badan dan mengubah mimik wajahnya menjadi tersenyum manis. "O-ya, ini kenalkan temanku, namanya Sofia dan ini suaminya!" ujar wanita itu seraya mengarahkan tangannya pada Sofia dan Reyfaldi. Dengan senyum masam, keduanya mengulurkan tangan menyambut ajakan bersalaman pria tua yang be