Home / Romansa / Wanita Hina Bernama Nania / Pria Dengan Banyak Uang

Share

Wanita Hina Bernama Nania
Wanita Hina Bernama Nania
Author: Fazruli Rifkyana Ulfah

Pria Dengan Banyak Uang

last update Last Updated: 2022-11-23 02:24:46

Plak!

"Kamu sudah gila, ya Nania? Yang kamu pukul dengan kursi itu boss preman wilayah sini. Bisa dibunuh kamu kalau nekad melawan dia."

"Tapi, Mas ... " Nania tak berani menatap mata suaminya dan hanya bisa berharap tak terluka malam ini.

"Apa? Tapi apa? Sudah tahu salah, kamu masih mau membela diri?" Dono, suami Nania yang tersulit emosi atas perbuatan istrinya hanya bisa memandang Nania dengan mata berapi-api. "Memang apa susahnya kamu melayani dia? Kamu itu sudah lama melacur. Jangan sok kecantikan, kamu Nania."

Nania lagi-lagi hanya bisa menunduk. Suaminya mungkin bicara tentang fakta. Dia mungkin sudah tak lagi menganggap Nania manusia sejak menjualnya ke seluruh hidung belang yang menjadi rekannya, tapi Nania bukan batu yang dingin dan tak terusik, dia berhak merasa takut pada seseorang yang menyewanya tak hanya karena bernafsu tapi juga berani menyakitinya seperti binatang jalang.

Plak!

Satu lagi tamparan.

"Apa kamu takut terluka? Apa kamu takut badanmu itu lebam? Sekarang lihat, kalau bukan preman itu, aku yang bakal buat kamu lebam!"

"Ampun, Mas! Ampun!" Nania menjerit. Dia sudah terlihat begitu rendah, bahkan di hadapan teman-teman tuna susilanya yang lain.

"Bisa mati, tuh Don! Gila lu ya mukulin binilu sendiri!"

"Eh! Diem! Mau gua banting juga, terserah gua!" Dono semakin tersulut dan Nania pasrah jika malam ini dia mati di tangan suaminya sendiri.

"Ampun, Mas! Ampun!"

Percuma. Bahkan walau bibir Nania sobek, Dono tetap tak lagi punya belas kasih.

Harusnya Nania tahu kalau Tuhan sayang pada mahluk-mahluknya. Di saat Nania tak lagi bisa melawan, tamparan terakhir Dono terhenti akibat satu tangan yang menahannya.

"Ape, lu? Mau ngajak berantem?" Dono yang emosinya sudah seperti setan menelusuri sosok rapih yang menghalanginya. Seorang pria muda berbau harum yang bagi Dono tidak pantas ada di tempat itu. "Ma, mau apa?"

Pria itu menengok ke arah pria lain di sisinya yang dengan cepat mengulurkan segepok rupiah yang membuat Dono lupa dengan kemarahannya.

"Saya sewa perempuan itu untuk satu malam. Jangan banyak tanya, dan cepat-cepat menjauh dari sini."

Dono bingung dan terlihat melirik ke arah Nania. "Maksudnya dia?" tanya Dono dengan telunjuk terarah. Lalu pria bertabiat buruk itu tersenyum. "Bawa aja, Pak. Saya juga udah gak suka ngelihat dia."

Asisten sang pria misterius berjalan mendekati Nania. Dia membantu Nania berdiri dan membawa wanita yang sudah pasrah itu ke dalam mobil.

Mobil itu sendiri berjalan dengan suara dari dunia luar yang tersaring sempurna. Mata Nania berusaha mencuri pandang pada sosok pria misterius yang lebih tertarik pada pemandangan di luar mobilnya dari pada diri Nania sendiri.

"Sakit?" Pria misterius itu akhirnya memandang Nania dan meneliti lebam-lebam yang mulai muncul di tubuh wanita itu.

"Sedikit," jawab Nania.

"Bud, mampir apotek dulu, ya. Beli obat anti memar."

"Eh, gak usah ... " Nania gugup dan tanpa sadar menyentuh tangan pria yang justru terlihat keberatan ketika lengan jasnya menempel di kulit Nania. "Maksud saya, saya gak apa-apa."

"Memar di badanmu mungkin tak akan menghilang dengan mudah. Kamu turuti saja mau saya, atau kamu saya tinggal di jalan."

Nania meneguk ludah. Dia menyesal dan mengutuk dirinya. Dia merasa sudah menyentuh benda terdingin yang seharusnya tak ia ganggu.

"Maaf." Hanya kata itu yang bisa Nania ucapkan.

Waktu berjalan dengan cepat. Setelah persinggahan di sebuah apotek, Nania di bawa ke sebuah hotel yang ada di dekat apotek itu. Supir yang dipanggil dengan nama Budi oleh si pria misterius membantu Nania mengoleskan salep ke beberapa memarnya. Dia memiliki mata yang sama dinginnya dengan bossnya dan semakin membuat Nania bingung dan khawatir.

"Sudah, Pak." Budi mundur dan menunggu perintah yang lain.

Sang boss kemudian mendekati Nania. Dia mengeluarkan uang yang sama banyaknya dengan yang diberikan pada Dono dan juga sebuah kartu dengan nama dan alamat yang didesain elegan.

"Besok, datang ke alamat di kartu itu. Cari nama saya dan temui saya di sana." Dia menunjuk setiap kata di kartu itu sebelum memerintahkan supirnya membawa Nania pergi.

Tak sampai setengah jam, Nania sudah kembali lagi ke jalanan tempat dia diambil.

"Loh, udahan?" Dono mendekati Nania yang keluar dari dalam mobil. "Ada masalah?"

Nania menggeleng dan hanya bisa menatap amplop di tangannya. Suaminya yang punya antena sinyal pelacak kekayaan segera merebut amplop itu dan menghitung isinya.

"Dia bilang, aku disuruh datang ke tempat ini." Nania menunjukkan kartu tanda pengenal dengan nama Brata Sudibyo di atasnya. Membuat Dono yakin jika pria yang menyewa jasa Nania bukanlah pria biasa.

"Bagus! Besok kita pergi ke tempat itu. Aku bisa cium bau uang yang mendekati kamu, Nania." Dono menciumi Nania da mengajaknya pulang. Tampaknya, malam itu Nania bisa istirahat lebih cepat, walau rasanya tak mungkin bisa istirahat sembari membayangkan pria loyal yang hanya menatapnya selama ada di kamar hotel.

***

"Apa boss kenal wanita itu?" Budi melirik bossnya yang menatap ke luar jendela tanpa ekspresi.

"Mungkin."

Budi khawatir akan apa yang bossnya lakukan malam itu. Dia tiba-tiba saja menggunakan seluruh cash yang akan dipakai untuk membayar gaji pegawai di rumahnya demi membayar seorang pelacur yang bahkan tak menarik minat Budi.

"Aku tahu kalau boss aneh, tapi kali ini, dia lebih aneh dari segala yang dia lakukan dulu," gumam hati Budi.

***

"Kamu yakin ini tempatnya?" Dono menghidupkan rokok yang membuat tubuhnya bau. Dia menghitung jumlah jendela gedung pencakar langit di depannya dan mulai membayangkan jumlah uang yang bisa ia dapat hari ini.

"Nona?" Budi si supir berkepribadian dingin berjalan mendekati Nania. Dia melirik sekilas ke arah Dono dan tampak risih dengan kemunculan pria itu. "Pak Brata sudah menunggu. Ayo segera masuk."

"Ya, udah. Ayo, Nia!"

"Tunggu!" Budi mencegah Dono yang dengan agrasif menyeret tangan Nania. "Cuma Nona ini yang boleh masuk."

"Loh, kenapa?"

"Itu perintah boss saya."

"Tapi, kan ... " Nada suara Dono menggantung di udara sampai dia sadar kalau kekuasaannya di tempat itu tak berguna. "Ya sudah, Nia. Pergilah!"

Nania menatap canggung dan takut-takut. Dadanya sesak karena rasa tak nyaman, namun Dono terus meyakinkan kalau dia harus segera menemui sosok si boss misterius.

Nania merasa langkahnya sangat berat. Dia merasakan jarak yang sangat jauh menuju lantai dimana si pria misterius bernama Brata berada tak terbantu oleh lift yang ia tumpangi. Selain itu, interior gedung yang bernuansa modern minimalis juga seperti alergi di tubuhnya. Nania merasa tak pantas dan ingin lari saja.

Tapi terlambat. Nania sudah berdiri di ruangan itu sekarang. Ruangan dengan seorang pria bermata dingin yang memberi kode pada asistennya kalau dia ingin hanya ada Nania dan dirinya di ruangan itu.

Nania diam dan merasa seperti diselubungi es. Lagi-lagi boss muda itu hanya menatapnya seperti menilai diri Nania. Dia merasa seperti dihakimi dan Nania tak suka.

"Namamu?"

"Na, Nania." Tenggorokan Nania kering hingga suaranya selip.

"Apa kau siap?"

Nania tak bisa menjawab karena bingung.

"Aku tanya sekali lagi, apa kau siap?"

Mulut Nania bergetar dan ia berkata, "Siap untuk apa, Pak?"

"Untuk membuka bajumu."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Wanita Hina Bernama Nania   Aroma Kasmaran

    "Rasa lapar bukanlah hal terpenting bagi manusia seperti saya, Tuan." Nania menerawang entah kepada apa. Matanya yang hitam kecoklatan itu seperti membayangkan masa lalunya yang tak pernah diliputi bahagia."Yang terpenting bagi saya adalah, apakah orang-orang di sekitar saya bisa tidur nyenyak. Apakah mereka bisa bangun keesokan harinya tanpa banyak mengeluh."Mata itu kemudian menatap pada sosok Brata. Seorang pria yang entah bagaimana bisa terlarut dengan semua cerita Nania.Brata yang mengerti apa yang Nania rasa, kemudian bangkit. Dia mendekati Nania, memeluknya dan mengecup keningnya."Entah apa saja yang sudah kamu lalui selama ini. Yang jelas, aku tak mau kamu kembali menjadi Nania yang dulu."Nania menarik napas. Entah kenapa dia begitu tenang saat ada di peluk pria itu. Entah kenapa dia tak ingin lepas walau tahu bahwa dirinya tak pantas ada di naungan seorang Brata.***Nania membuka laptopnya dengan susah payah. Dia kehilangan fokus pada beberapa kolom dokumen yang sengaja

  • Wanita Hina Bernama Nania   Makan

    "Ga, Gado-gado?" Suara Budi seperti seekor tikus yang terkena jebakan. Dia tak mengira jika seluruh effort yang dia keluarkan adalah untuk mengabulkan keinginan Nyonyanya berjualan gado-gado. "Nyonya mau buka usaha gado-gado?" ulang Budi."Ya, Pak Budi. Ada yang salah?Sebenarnya tak ada yang salah. Semua bebas menentukan keinginannnya dalam menjalani hidup. Bahkan burung unta juga tak harus bisa terbang untuk mendapatkan predikat burung.Hanya saja, berjualan gado-gado tampaknya terlalu aneh. Biasanya, para wanita kaya akan memikirkan usaha elegan seperti sebuah rumah makan bergaya klasik yang lampu-lampunya dibiarkan temaram, atau sebuah coffee shop dengan biji kopi yang dimasukkan dalam toples demi sebuah kesan bahwa coffee shop itu hanya menggunakan biji kopi asli di menu mereka.Dan gado-gado tampaknya tak sesuai denga ciri khas mahal keluarga Sudibyo. Budi bisa membayangkan betapa murkanya Nyonya Martha jika tahu menantu yang tak dia inginkan justru mendirikan sebuah rumah makan

  • Wanita Hina Bernama Nania   Harga yang Pantas

    "Loh? Pak Budi udah kerja?" Nania terkejut saat Budi siap di depan mobil yang akan dia gunakan hari itu. "Pak! Bapak istirahat aja. Nanti saya hubungi suami saya, ya?""Tidak usah, Nyonya." Budi tersenyum santun dan meletakkan lap yang dia gunakan untuk menghapus bekas tetes air d mobil tuannya. "Saya sengaja bekerja hari ini karena bosan di kamar setiap hari.""Jangan khawtir pada Budi, Nyonya. Dia dan Tuan Brata sama-sama keras kepala dan tak bisa diam saja menunggu sembuh. Saya rasa tubuh mereka dibuat dari semacam lempengan besi.""Bi, jangan keterlaluan." Budi berusaha menahan kecepatan suara Bi Hanna yang entah kenapa semakin mudah berkomentar ketika ada di dekat Nania. "Nyonya tak perlu khawatir. Aku dan Tuan terlalu kuat untuk ditumbangkan."Sebenarnya Nania merasa kesal. Baru saja tadi pagi dia mendapati Brata yang hampir jatuh saat kesusahan berdiri. Dia ingin baik Brata mau pun Budi duduk tenang dan sembuh seperti sedia kala tanpa harus memaksakan diri bekerja.Apa yang seb

  • Wanita Hina Bernama Nania   Munculnya Setan Perayu

    Nania melihat punggung Evani menghilang. Dia hanya bisa menggeleng pasrah atas kelakuan tak sopan yang dia terima hari ini. Mungkin dia pantas atau mungkin hal semacam ini adalah hal wajar yang biasa diterima kalangan yang disebut Evani sebagai kalangan kelas bawah.Lalu mata Nania menatap Tuan Agustinus yang masih tak berdaya dengan segala alat bantu kehidupan. Dia menggenggam tangan itu, berdoa sejenak ke pada Tuhannya dan menyerahkan keajaiban yang bahkan tak bisa dilakukan manusia oleh tubuh sang pria kaya."Tuan, anda harus tetap kuat." Nania mencoba mengirim pesan positif walau mungkin Tuan Agustinus tak akan bisa mendengar. "Anda adalah orang yang luar biasa bagi keluarga anda. Nyonya Evani sangat beruntung bisa memiliki anda sebagai ayahnya." Nania mencoba memberikan segala dorongan yang bisa ia telurkan."Nyonya Evani pasti menunggu anda di rumah. Dia akan sangat bahagia jika anda kembali seperti sedia kala."Nania menarik napas dan mengalihkan pandangannya pada jendela rumah

  • Wanita Hina Bernama Nania   Hidup

    Agustinus tidak sekuat apa yang dia coba tunjukkan. Tepat saat penyiksaannya selesai, dia mulai menunjukkan wajah pucat dan juga napas yang berembus kasar.Pria itu mencoba duduk di salah satu bangku dan berusaha tetap sadar. Dia masih memikirkan putrinya dan tak mau jatuh tak sadarkan diri begitu saja.Tapi Agustinus hanya pria tua dengan berbagai masalah kesehatan. Dia mungkin berpikir jika duduk diam sembari mengatur napas akan membuat kesadarannya kembali. Tapi masalah kesehatan tidak sesederhana itu.Saat denyut jantungnya mulai menyakiti, Agustinus mulai tak lagi bisa menahan fokusnya. Dia mulai jatuh tergeletak dengan mengerang dan sekarat.Beranjak pada sisi lain di sebuah ruangan rumah sakit, berbeda dari Ayahnya yang sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit yang sama, Evani justru sudah membuka mata dan mendapati tubuhnya mulai berbau seperti obat.Dia mencoba bangkit dan duduk, tapi ada rasa linu dan juga pusing yang menyadarkannya bahwa kepalanya juga terluka dan kini di

  • Wanita Hina Bernama Nania   Kemarahan Sang Orang Tua Tunggal

    "Kemungkinan fraktur! Semoga dia tetap tak sadar sampai rumah sakit."Kericuhan terjadi saat ambulan membawa Brata."Sayang! Jangan mati! Tolong jangan mati!"Evani yang ikut masuk ke dalam ambulance, histeris seperti jika nyawanya ikut melayang.Evakuasi Evani dari para penjahat sudah berhasil dilakukan. Bahkan pemimpinnya telah diamankan setelah ditemukan tak jauh dari tempat kejadian.Yang justru bernasib naas adalah sosok Budi dan Brata. Mereka melompat dari atas gedung dan harus mengalami beberapa luka walau tubuh mereka mendarat pada tumpukan sampah tak jauh dari gedung lama itu."Brata! Demi Tuhan, jangan tinggalkan aku!"Brata mengedip. Dengan tangan gemetar, dia meraih wajah Evani yang basah dan penuh lebam."Kau tetap cantik," ujar Brata yang bicara tanpa sadar."Jangan bicara omong kosong!"Brata tersenyum samar dengan oksigen di mulutnya."Kenapa aku harus membiarkan diriku jatuh cinta padamu?"Evani terenyuh. Tangan kekar itu seperti terbenam dalam wajahnya yang banjir ai

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status