Home / Romansa / Wanita Hina Bernama Nania / Cara Berpikir Seorang Brata

Share

Cara Berpikir Seorang Brata

last update Last Updated: 2022-11-23 09:42:22

"Kenapa diam? Apa kau lupa cara membuka pakaianmu?" Brata memandang Nania dengan mata dingin yang merobek hati wanita itu.

"Saya tak bisa," jawab Nania dengan suara lirih. Sungguh, Nania hanya berharap Brata tak seperti pria yang kebanyakan membutuhkan tubuhnya.

"Kenapa? Aku hanya memintamu membuka baju."

Nania meneteskan air mata. Dia merasakan dadanya sakit tanpa tahu apa obatnya.

"Saya pikir anda berbeda."

"Apa?" Brata mencoba mencerna ucapan Nania.

"Saya menilai seseorang seperti anda terlalu cepat. Saya pikir, anda adalah orang baik yang bahkan tak menginginkan tubuh saya. Tapi saya salah." Nania berusaha tegar dan menunjukkan senyumnya, membuat Brata merasa tak nyaman di dalam dirinya.

Brata Sudibyo sebenarnya tipikal pria yang cara pikirnya membuat semua manusia bingung. Sifatnya sendiri terlalu dingin ketika berhadapan dengan orang-orang yang seharusnya diperlakukan dengan cara yang lebih hangat.

Hubungannya dengan wanita-wanita cantik tak bisa dihitung hanya dengan satu tangan. Dia penakluk yang akan membuat seluruh wanita di dunia tunduk padanya. Sekali lagi, wanita-wanita itu hanya alat baginya. Alat untuknya mendapatkan apa yang dia mau.

Jangankan wanita seperti Nania yang jelas-jelas menjual diri, Brata bahkan bisa membuat seorang istri crazy rich menaruh hati padanya tanpa perlu bersusah payah.

"Sa, saya bisa melakukan apa pun kecuali hal ini. Saya bisa jadi pembantu anda, atau mungkin anda butuh seseorang yang menyetrika pakaian anda setiap hari."

Ucapan Nania membuat Brata terkesima. Ada beberapa jeda waktu sampai Brata tertawa keras dan membuat Nania tak nyaman.

"Apa kau pikir aku tak punya orang-orang yang bisa mengerjakan semua itu?"

Nania terdiam dan sedikit menyesal. "Ma, maaf."

"Bagi saya, kamu tak lebih dari wanita penjual diri. Hanya sebatas itu nilaimu."

Brata menarik nafas. Dia berjalan menuju meja dimana tumpukan uang sudah ia siapkan untuk situasi ini. Tumpukan itu yang kemudian Brata sebar ke tubuh Nania seperti hujan yang membuat Nania semakin kecut.

"Kalau hanya uang yang bisa membuatmu membuka pakaian untukku, ambil uang ini."

Pundak Nania bergoncang. Brata terlalu kejam untuk Nania yang bermental lemah.

Seharusnya Nania lebih kuat. Seharusnya Nania melakukan saja permintaan pria dingin itu demi lembar-lembar rupiah yang masih berbau baru. Tapi tidak. Nania hanya mengucap kata undur diri dan melangkah menuju ke pintu ruangan Brata Sudibyo.

"Mau ke mana?" Pertanyaan Brata membuat langkah Nania berhenti. "Kenapa kamu justru menolak apa yang kau mau? Apa harga dirimu tersenggol? Apa aku menyakitimu?" Nania tak menjawab. Dia sendiri kebingungan dengan dirinya yang sudah meletakkan harga diri semacam itu semenjak dia memutuskan melacur. "Padahal kau hanya harus membuka pakaian. Sesulit itu, kah?"

Nania mencoba tak menggubris Brata. Dia terus melanjutkan niatan untuk membuka pintu dan pergi dari iblis yang ia salah artikan sebagai malaikat.

Budi datang ke ruangan bossnya tepat setelah Nania pergi. Dia memperhatikan uang-uang yang berserak dan membaca raut majikannya yang tak berubah sedikit pun.

"Bud," Brata mengurut dagunya dan memandang lembar-lembar rupiah di lantai kantornya. "Apakah tunasusila punya harga diri?" Budi tak menjawab. Brata terlalu susah dibaca dan dia tak mau salah mengambil langkah. "Kenapa pelacur itu harus menangis saat aku memperlakukannya dengan cara yang dia mau?"

***

Nania tergesa menuju tempat dimana suaminya berada. Dia masih tak bisa menerima kenyataan yang dia lihat dengan mata kepalanya.

"Gimana?" Dono menggosok tangannya yang gatal. "Apa yang orang kaya itu mau?" Dono mendekati Nania. Binar di matanya mencari ke seluruh tubuh Nania jika saja ada lembar uang yang menempel padanya. "Dia tak memberimu uang?"

Nania menggeleng dan mencoba untuk tak menangis. Dono tak suka jika Nania memperlihatkan air matanya. Bisa-bisa pria itu menamparnya dan meninggalkannya begitu saja di tempat yang di mata Nania tampak seperti neraka.

"Ayo pulang, Mas." Nania menarik Dono tapi pria itu justru menahan langkahnya. "Kamu tak membuatnya marah, kan?" Dono justru mencurigai Nania. "Dengar, aku tahu kamu mulai tak bisa membedakan mana yang benar dan salah. Harus kuberitahu berapa kali, Nan? Pelacur itu melakukan segala hal dengan tubuhnya." Pekik Dono membuat Nania gentar. Suaminya itu bahkan tak mau repot-repot merendahkan suaranya untuk Nania. "Sekarang kamu balik ke gedung itu, lakukan apa yang pria itu mau asal kamu bisa dapat uang darinya."

"Tapi, Mas ... "

"Tak ada alasan, Nan. Sekarang, balik ke dalam sana! Bawakan aku uang yang aku mau."

Nania kecut, tapi juga tak bisa membantah. Dono sudah sejak lama mengatur hidupnya dan dia tahu jika Nania tak akan membantah ucapannya.

Langkah Nania terasa berat saat dia menyeretnya. Wanita itu bahkan mengutuk otaknya yang masih mengingat rute menuju kantor si pria dingin. Kantor yang bagi Nania tampak seperti papan permainan dengan Nania sebagai bidaknya.

Di depan ruangan Brata, Budi menatap Nania seperti tahu jika wanita itu akan datang kembali. Dia membukakan pintu ruangan Brata dan memperlihatkan Brata yang duduk sembari menunggu Nania mendekatinya.

Nania tak banyak bicara. Dia hanya menatap Brata denga mata bergetar sementara jari-jemarinya melepas pakaiannya satu persatu.

Brata banyak melihat tubuh wanita di sepanjang hidupnya. Dia hapal dengan lekuk tubuh yang bahkan lebih sempurna dari Nania. Tapi entah kenapa wanita di depannya itu berbeda. Dia tak cantik dan punya banyak luka memar. Dan dengan sosok rapuhnya membuat batin Brata berdesir hingga dia sendiri merasa sangat salah dengan apa yang ia rasa.

Nania diam dalam kepolosan. Dia tak berani menatap Brata yang kini bangkit dan mendekatinya. Tangan pria itu merunut garis-garis tubuh Nania yang berwarna tak sempurna sebelum akhirnya berbalik kembali ke kursinya.

"Sudah, kau bisa pakai lagi pakaianmu dan pergi dari tempat ini."

"Apa?" Nania bingung denga reaksi Brata yang tak sesuai pikirannya. "Tapi saya belum ... "

"Belum apa?" Brata melipat tangannya dan kembali menatap Nania. "Saya sudah melihat apa yang mau saya lihat. Sekarang, pungut uang-uang di lantai itu dan cepat pergi dari sini."

Nania butuh waktu untuk memproses hal-hal di luar perkiraannya. Dia bingung tapi juga merasa senang. Uang-uang itu bisa membuatnya lepas dari amukan Dono dan tak ada yang lebih sempurna dari itu.

Cepat Nania membereskan dirinya dan mengisi jaket yang ia pakai dengan uang. Dia sudah lupa dengan rasa sakit hatinya dan mengucapkan terimakasih pada Brata sebelum pergi.

"Tunggu!" Ucapan Brata membuat langkah Nania membeku. "Boleh aku tanya?"

Nania menebak permainan apa lagi yang Brata ingin perlihatkan.

"Silahkan," jawab Nania, lirih.

"Nania ... "Suara Brata memberat. "Apa kau hidup dengan bahagia?"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Wanita Hina Bernama Nania   Aroma Kasmaran

    "Rasa lapar bukanlah hal terpenting bagi manusia seperti saya, Tuan." Nania menerawang entah kepada apa. Matanya yang hitam kecoklatan itu seperti membayangkan masa lalunya yang tak pernah diliputi bahagia."Yang terpenting bagi saya adalah, apakah orang-orang di sekitar saya bisa tidur nyenyak. Apakah mereka bisa bangun keesokan harinya tanpa banyak mengeluh."Mata itu kemudian menatap pada sosok Brata. Seorang pria yang entah bagaimana bisa terlarut dengan semua cerita Nania.Brata yang mengerti apa yang Nania rasa, kemudian bangkit. Dia mendekati Nania, memeluknya dan mengecup keningnya."Entah apa saja yang sudah kamu lalui selama ini. Yang jelas, aku tak mau kamu kembali menjadi Nania yang dulu."Nania menarik napas. Entah kenapa dia begitu tenang saat ada di peluk pria itu. Entah kenapa dia tak ingin lepas walau tahu bahwa dirinya tak pantas ada di naungan seorang Brata.***Nania membuka laptopnya dengan susah payah. Dia kehilangan fokus pada beberapa kolom dokumen yang sengaja

  • Wanita Hina Bernama Nania   Makan

    "Ga, Gado-gado?" Suara Budi seperti seekor tikus yang terkena jebakan. Dia tak mengira jika seluruh effort yang dia keluarkan adalah untuk mengabulkan keinginan Nyonyanya berjualan gado-gado. "Nyonya mau buka usaha gado-gado?" ulang Budi."Ya, Pak Budi. Ada yang salah?Sebenarnya tak ada yang salah. Semua bebas menentukan keinginannnya dalam menjalani hidup. Bahkan burung unta juga tak harus bisa terbang untuk mendapatkan predikat burung.Hanya saja, berjualan gado-gado tampaknya terlalu aneh. Biasanya, para wanita kaya akan memikirkan usaha elegan seperti sebuah rumah makan bergaya klasik yang lampu-lampunya dibiarkan temaram, atau sebuah coffee shop dengan biji kopi yang dimasukkan dalam toples demi sebuah kesan bahwa coffee shop itu hanya menggunakan biji kopi asli di menu mereka.Dan gado-gado tampaknya tak sesuai denga ciri khas mahal keluarga Sudibyo. Budi bisa membayangkan betapa murkanya Nyonya Martha jika tahu menantu yang tak dia inginkan justru mendirikan sebuah rumah makan

  • Wanita Hina Bernama Nania   Harga yang Pantas

    "Loh? Pak Budi udah kerja?" Nania terkejut saat Budi siap di depan mobil yang akan dia gunakan hari itu. "Pak! Bapak istirahat aja. Nanti saya hubungi suami saya, ya?""Tidak usah, Nyonya." Budi tersenyum santun dan meletakkan lap yang dia gunakan untuk menghapus bekas tetes air d mobil tuannya. "Saya sengaja bekerja hari ini karena bosan di kamar setiap hari.""Jangan khawtir pada Budi, Nyonya. Dia dan Tuan Brata sama-sama keras kepala dan tak bisa diam saja menunggu sembuh. Saya rasa tubuh mereka dibuat dari semacam lempengan besi.""Bi, jangan keterlaluan." Budi berusaha menahan kecepatan suara Bi Hanna yang entah kenapa semakin mudah berkomentar ketika ada di dekat Nania. "Nyonya tak perlu khawatir. Aku dan Tuan terlalu kuat untuk ditumbangkan."Sebenarnya Nania merasa kesal. Baru saja tadi pagi dia mendapati Brata yang hampir jatuh saat kesusahan berdiri. Dia ingin baik Brata mau pun Budi duduk tenang dan sembuh seperti sedia kala tanpa harus memaksakan diri bekerja.Apa yang seb

  • Wanita Hina Bernama Nania   Munculnya Setan Perayu

    Nania melihat punggung Evani menghilang. Dia hanya bisa menggeleng pasrah atas kelakuan tak sopan yang dia terima hari ini. Mungkin dia pantas atau mungkin hal semacam ini adalah hal wajar yang biasa diterima kalangan yang disebut Evani sebagai kalangan kelas bawah.Lalu mata Nania menatap Tuan Agustinus yang masih tak berdaya dengan segala alat bantu kehidupan. Dia menggenggam tangan itu, berdoa sejenak ke pada Tuhannya dan menyerahkan keajaiban yang bahkan tak bisa dilakukan manusia oleh tubuh sang pria kaya."Tuan, anda harus tetap kuat." Nania mencoba mengirim pesan positif walau mungkin Tuan Agustinus tak akan bisa mendengar. "Anda adalah orang yang luar biasa bagi keluarga anda. Nyonya Evani sangat beruntung bisa memiliki anda sebagai ayahnya." Nania mencoba memberikan segala dorongan yang bisa ia telurkan."Nyonya Evani pasti menunggu anda di rumah. Dia akan sangat bahagia jika anda kembali seperti sedia kala."Nania menarik napas dan mengalihkan pandangannya pada jendela rumah

  • Wanita Hina Bernama Nania   Hidup

    Agustinus tidak sekuat apa yang dia coba tunjukkan. Tepat saat penyiksaannya selesai, dia mulai menunjukkan wajah pucat dan juga napas yang berembus kasar.Pria itu mencoba duduk di salah satu bangku dan berusaha tetap sadar. Dia masih memikirkan putrinya dan tak mau jatuh tak sadarkan diri begitu saja.Tapi Agustinus hanya pria tua dengan berbagai masalah kesehatan. Dia mungkin berpikir jika duduk diam sembari mengatur napas akan membuat kesadarannya kembali. Tapi masalah kesehatan tidak sesederhana itu.Saat denyut jantungnya mulai menyakiti, Agustinus mulai tak lagi bisa menahan fokusnya. Dia mulai jatuh tergeletak dengan mengerang dan sekarat.Beranjak pada sisi lain di sebuah ruangan rumah sakit, berbeda dari Ayahnya yang sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit yang sama, Evani justru sudah membuka mata dan mendapati tubuhnya mulai berbau seperti obat.Dia mencoba bangkit dan duduk, tapi ada rasa linu dan juga pusing yang menyadarkannya bahwa kepalanya juga terluka dan kini di

  • Wanita Hina Bernama Nania   Kemarahan Sang Orang Tua Tunggal

    "Kemungkinan fraktur! Semoga dia tetap tak sadar sampai rumah sakit."Kericuhan terjadi saat ambulan membawa Brata."Sayang! Jangan mati! Tolong jangan mati!"Evani yang ikut masuk ke dalam ambulance, histeris seperti jika nyawanya ikut melayang.Evakuasi Evani dari para penjahat sudah berhasil dilakukan. Bahkan pemimpinnya telah diamankan setelah ditemukan tak jauh dari tempat kejadian.Yang justru bernasib naas adalah sosok Budi dan Brata. Mereka melompat dari atas gedung dan harus mengalami beberapa luka walau tubuh mereka mendarat pada tumpukan sampah tak jauh dari gedung lama itu."Brata! Demi Tuhan, jangan tinggalkan aku!"Brata mengedip. Dengan tangan gemetar, dia meraih wajah Evani yang basah dan penuh lebam."Kau tetap cantik," ujar Brata yang bicara tanpa sadar."Jangan bicara omong kosong!"Brata tersenyum samar dengan oksigen di mulutnya."Kenapa aku harus membiarkan diriku jatuh cinta padamu?"Evani terenyuh. Tangan kekar itu seperti terbenam dalam wajahnya yang banjir ai

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status