Debby terlonjak kaget saat ponselnya berdering. Namun, detik berikutnya, embusan napas lega langsung terlontar dari bibir mungilnya. “Ugh! Kukira Mami. Sialan! Gara-gara orang itu aku jadi waswas kapan Mami meledak. Hah! Kalau cuma aku sih nggak masalah, tapi kalau Koko sampai kena omel juga … huff!” gerundel Debby dalam hati.
“Halo, Fan,” sahut Debby setelah tombol hijau digeser. “Ada apa?”
“Kamu lagi apa, Say? Mau menginap di tempatku beberapa hari? Atau mau kutemani?” tanya Fanny tanpa basa-basi.
“Eh?” Debby langsung menoleh pada William dengan mata memicing. “Koko bilang sama Fanny?” tanya Debby tanpa suara. Tangannya yang bebas ikut bergerak, menunjuk dada William kemudian menunjuk ponsel yang masih menempel di telinga.
Melihat lelaki itu hanya menyengir, membuat Debby langsun
Beberapa hari berlalu begitu saja. Kemarahan maminya masih belum reda. Sekarang, sang mami bahkan tengah mendiamkan dirinya.Wanita itu hanya mengangkat bahu saat William bertanya bagaimana perasaannya saat ini. “Hah, biasa aja sih, Ko. Itu bukan hal baru buatku. Lagi nggak berantem aja nggak dekat, apalagi sekarang situasinya kayak gini.”Debby bahkan sampai menganggukkan kepala saat melihat sang kekasih melebarkan mata dan mengangkat alis. “Koko sendiri pernah bilang, ‘kan, kalau menurut penilaian Koko waktu itu aku dekat sama Papi tapi nggak dekat sama Mami? Yah, itu memang benar.”“Hmm,” gumam William terdengar ragu-ragu. Bola matanya yang beriris cokelat tua tampak bergerak-gerak menyelisik wajah Debby.“Koko mau tanya apa?”William meminta tangan Debby dan langsung menggenggamnya
Giliran Debby yang sekarang mengernyitkan kening. Hatinya langsung terasa sakit mendengar omongan William yang terakhir. Apa yang dituduhkan lelaki itu tidaklah benar. Ia benar-benar ingin bersama dengan lelaki itu. Apa yang sudah ia lakukan selama ini untuk lelaki itu pun tulus dari hati meski mungkin tidak seberapa nilainya. Namun, ia tidak mungkin mengungkapkan itu semua saat ini.Debby lagi-lagi mengeraskan hati. “Maaf, Ko. Aku tahu aku sudah menyakiti Koko duluan. Tapi karena sudah telanjur kayak gini, mungkin ini justru lebih baik. Koko jadi bisa menjauh dengan sendirinya,” batin Debby.“Terserah Koko mau bilang apa, tapi sekarang aku benar-benar pengin sendiri dulu. Maaf, Ko.”Namun, jauh di dalam lubuk hatinya, Debby tetap saja menyesal sudah menyakiti lelaki itu hingga sedemikian rupa, apalagi melihat ekspresi yang ditampilkan oleh sang kekasih. R
Debby memeluk erat sosok lelaki yang terhuyung mundur karena dorongannya itu.“Astaga! Hati-hati, Princess!” seru lelaki itu. Satu tangan langsung merengkuh tubuh Debby, sedangkan yang lain menggapai dinding terdekat.Debby yang terus tersedu-sedu merasakan sedikit dorongan pada bahunya. Ia langsung menggelengkan kepala dan mengetatkan pelukan pada pinggang lelaki itu.Helaan napas terlontar dari bibir pria itu bersamaan dengan elusan ringan di punggung Debby. “Ada apa, Princess? Kenapa menangis?”Debby masih belum bersedia menjawab. Wanita itu masih betah sesenggukan, mengeluarkan semua emosi yang tengah berkecamuk dalam hatinya. Ia senang dengan kehadiran sosok dalam pelukannya saat ini yang tak disangka-sangka. Namun, ia juga merasa sengsara saat mengingat respons sang kekasih. Di sisi lain, keberadaan sosok menger
Fanny langsung meringis mendengar pertanyaan Hendy yang dilontarkan dengan nada menggoda. “Bukan, Ko.” “Bukan?” beo Hendy. “Lantas?” Fanny memberikan lirikan secepat kilat pada Debby. Wanita itu hanya bisa mengerang dalam hati. “Ayo, duduk dulu, Fan! Kebetulan kamu datang di waktu yang tepat. Ko Hendy bawa oleh-oleh makanan nih!” timbrung Debby seraya menunjuk beberapa makanan di atas meja bar. “Ada apa dengan kalian?” Suara Hendy penuh tuntutan. “Kalian menyembunyikan sesuatu dari Koko?” Debby pura-pura tidak tahu kalau satu-satunya sosok berparas tampan di rumah itu tengah menatapnya lekat-lekat. Ia justru sibuk memindahkan sebagian popcorn dari kaleng ke mangkuk, lalu menyodorkannya ke hadapan Fanny. “Nih! Ayo dimakan, Fan! Eh, cuci tangan dulu tapi!” Fanny tampak menyengir ke arah Hendy sebelum akhirnya melangkah menuju tempat cuci piring. Sejurus kemudian, wanita berwajah persegi itu mendekati meja bar dan menarik kursi. “Makasih, Ko. Aku jadi ikut kecipratan oleh-oleh,” ujar
“Oh, Tuhan!” seru Fanny begitu Debby selesai menceritakan secara garis besar apa yang sudah dialaminya di masa lalu. Fanny bahkan menggeser duduknya dan merangkul Debby dari samping hingga sisi kepala mereka saling beradu. “Itu pasti hal yang sangat mengerikan di usiamu saat itu!” lontar Fanny kemudian. “Memang.” Debby menerima saja perlakuan sahabatnya. Sekarang, ia justru merasa lega setelah mengungkapkan rahasia masa lalunya. Setidaknya saat ini, ada seseorang yang bisa dijadikan tempat berbagi cerita. Dahulu, ada tante dan kakak sepupu yang bisa jadi tempat curahan hati kala memori lama itu mengusik hatinya. Namun, setelah kepergian sang tante dan keberadaan kakak sepupu yang paling mengerti dirinya mulai sering menghilang karena tuntutan pekerjaan, ia jadi tidak punya siapa-siapa lagi untuk berbagi cerita. “Untung aku masih bisa selamat saat itu, tapi itu semua sudah telanjur meninggalkan bekas yang sangat dalam, bahkan sampai sekarang. Kamu sudah lihat sendiri, ‘kan selama ki
“Ternyata benar kamu! Lagi apa di sini, Deb? Atau kamu tinggal di sini?” tanya lelaki berkaus polo itu setelah jarak mereka terkikis hingga tinggal sekitar satu meter saja. “Oh, saya nggak tinggal di sini kok, Ko,” bantah Debby. “Tadinya saya mau mengunjungi seseorang, tapi orangnya nggak ada. Ko Niel sendiri sedang apa di sini? Atau Ko Niel tinggal di sini?” “Enggak. Sama kayak kamu kalau gitu. Aku juga baru aja mengunjungi teman.” Lelaki itu menunjuk ke atas dengan jari tangannya. “Kamu sudah mau pulang?” “Iya, Ko.” “Kalau gitu, ayo, sambil jalan.” Keduanya berbasa-basi sejenak seraya melangkah ke area parkir. “Ini mobil saya, Ko. Saya duluan kalau gitu,” pamit Debby. “Err ... tunggu sebentar, Deb! Eh ....” “Ada apa, Ko?” Debby menghentikan
Kemunculan sosok dengan penampilan yang sebagian besar didominasi warna gelap—selain jaket dan logo pada helm—yang tiba-tiba dan tanpa suara itu membuat Debby terkejut setengah mati. Ia sampai memekik kaget dan mundur selangkah sementara jantungnya langsung berlompatan tak karuan di tempat. “Maaf, Anda cari siapa, ya?” tanya Debby kemudian setelah kekagetannya sirna. “Dengan Debby?” tanya sosok tersebut tanpa basa-basi. “Ada apa mencarinya?” sahut Debby tanpa mengiyakan maupun menyangkal pertanyaan si pengemudi ojek daring. “Ada paket untukmu.” “Untukku? Maaf, tapi aku bukan Debby. Tapi titipkan saja padaku nggak apa-apa. Nanti akan kuberikan padanya.” Debby pun menerima paket yang terulur di hadapannya. Bersamaan dengan paket yang berpindah tangan, indra pendengaran Debby sekilas seperti menangkap tawa
“Siapa sebenarnya yang kirim paket ini? Masa Ko Billy sepicik dan setega itu sampai mengirim barang-barang kayak gini?” Debby sekarang berada di kamarnya dengan membawa serta kotak paket beserta isinya. Hanya kertas pembungkusnya saja yang ia buang setelah memastikan tidak ada catatan apa-apa sama sekali. Ia tidak mau menakut-nakuti asisten rumah tangga dengan keberadaan paket aneh tersebut. “Huff! Untung tadi Bi Siti nggak sempat lihat,” desis Debby saat teringat reaksi wanita paruh baya itu yang kembali tergopoh-gopoh mendatanginya sewaktu ia memekik kaget. Untung Debby masih sempat memasukkan barang yang tadi tengah diangkatnya ke dalam kotak dan langsung menutupnya. Tak ingin ketahuan oleh Siti, Debby akhirnya memutuskan untuk memeriksa isi paket itu dengan lebih teliti di dalam kamar. Debby berusaha untuk mematikan semua perasaan dalam hatinya s