“Ko Niel?” celetuk Fanny ketika melihat siapa yang menghampiri meja mereka. Sedetik kemudian senyum lebar tersungging di bibirnya. “Sendirian aja, Ko?” tanya Fanny lebih lanjut. Debby hanya melirik sekilas dari samping. Merasa tidak mengenal sosok yang baru saja menghampiri mereka, Debby tak memedulikan lagi pria tersebut. Tak ingin mengganggu interaksi antara sahabatnya dengan pria itu, Debby memutuskan untuk membuka ponselnya. Ia sempat melirik sekilas pada sahabatnya yang masih tersenyum ceria. “Enggak. Tuh, sama mereka.” Indra pendengaran Debby menangkap suara berat pria itu yang menjawab pertanyaan Fanny. “Halo, Debby.” Tiba-tiba suara berat itu beralih padanya. “Kita ketemu lagi nih.” Debby yang tengah menunduk menekuri layar ponselnya, terperanjat. “Eh, iya,” sahut Debby tergagap. Dirinya tak menyangka akan disapa. ‘Dari mana dia tahu namaku? Apa kami pernah ketemu sebelumnya?’ Benak Debby diliputi keheranan. Melalui tatapan mata sipitnya, Debby bertanya pada Fanny, tetapi
“Aku kayaknya nggak asing sama salah satu dari mereka,” cetus Leon kemudian. “Pernah lihat di mana, ya? Oh iya, di lobi tadi, ya? Benar, ‘kan?” William hanya melirik sekilas ke arah sahabatnya tanpa menghiraukan reaksi maupun pertanyaan pria itu. Pandangannya kembali terarah pada si Wanita Es. William yang tak sempat memperhatikan wanita itu dengan saksama saat di lobi tadi, kali ini bisa memuaskan mata memandangi si Wanita Es. Sekarang ia bisa memperhatikan dari ujung kepala hingga ujung kaki meski bukan dari jarak yang sangat dekat. Tubuhnya tinggi semampai. Cara berjalannya tegap dan penuh percaya diri, bukan berlenggak-lenggok bak kucing berjalan. Langkah kakinya kecil dengan sedikit goyangan pada pinggul. Busana yang dikenakan pun tak seperti kulit kedua yang menempel ketat di tubuhnya. Namun, hal itu justru menambah daya tarik tersendiri bagi William. Ia jadi bisa berimajinasi dan menerka-nerka apa yang ada di balik busana itu. Bahkan hingga saat ini, William masih bisa mengin
“Siapa sih mereka sebetulnya? Kalian kenal di mana? Sudah berapa lama kalian saling kenal? Bukankah yang bernama Debby itu yang tadi ada di meja resepsionis? Yang membuatku terusir? Yang kamu pandangi terus tadi? Apa kamu tertarik padanya? Wah, wah, wah … ini benar-benar pemandangan langka. Aku belum pernah lihat kamu kayak gini sebelumnya. Ck, ck, ck ….” Rasa ingin tahu Leon yang menggunung berubah menjadi rasa geli ketika mengingat tingkah sahabatnya itu beberapa saat yang lalu. Senyum miring tercetak di bibir merah muda milik pria berwajah oriental itu. Kepalanya pun tak mau ketinggalan ikut menggeleng-geleng kecil, menegaskan kalau pernyataan terakhirnya tadi benar-benar di luar kebiasaan William. “Astaga, mulutmu itu!” Mata William membeliak. “Kamu ini laki-laki apa perempuan sih? Cerewetnya melebihi Mami,” keluh William tanpa menjawab satu pun pertanyaan dari Leon. Bukannya tersinggung, Leon justru tergelak mendengar keluhan William. “Aku ini kan sahabatmu, Will. Masa kamu ngg
Dari ekor matanya, Fanny melihat Niel membungkuk ke arah meja rendah di tengah ruang duduk. Ia hanya tertawa keras tanpa mengomentari. Perhatiannya sudah kembali beralih pada isi lemari pendingin di hadapannya. “Mau jus buah apa minuman soda, Ko?” “Jus buah aja.” “Oke,” sahut Fanny yang langsung mengeluarkan kotak karton berisi sari buah jeruk dari dalam lemari pendingin. Ia kemudian mengambil dua buah gelas tinggi dan menuang sebagian isi kotak ke dalam gelas. Selagi menuang cairan berwarna kuning tersebut, tiba-tiba Niel muncul di sampingnya. “Kamu masih punya ini, Fan?” tanya lelaki itu sembari menunjukkan bungkus kosong crackers asin ke hadapannya. Lengan kanannya yang terulur memperlihatkan tato harimau tengah berjalan dan mengaum di antara pergelangan tangan bagian dalam hingga beberapa sentimeter sebelum lipatan siku. Setelah melirik sekilas crackers yang dimaksud oleh Niel, Fanny yang tingginya terpaut lima belas sentimeter dengan lelaki itu harus mendongak saat menatap wa
Indra pendengaran Fanny tiba-tiba menangkap suara gelas kaca membentur meja kayu yang datangnya seperti dari kejauhan. Wanita itu hanya diam membeku menatap nanar ke arah Niel. Lelaki itu menoleh ke belakang dengan cepat, lalu memelesat ke arah Fanny. “Ya ampun, Fan! Kok bisa jatuh sih? Awas! Gelasnya menggelinding!” seru Niel. Fanny yang sesaat merasa bagai tersihir akhirnya gelagapan dan menunduk ke arah meja makan. “Eh, ini terlepas gitu aja dari tanganku. Gelasnya licin, Ko.” Dengan sigap, pria bermata sipit itu berhasil menangkap gelas kaca yang baru saja terjun bebas sebelum mencapai lantai. Namun, tumpahan sari buah jeruk di atas meja sudah mengucur dan menetes-netes ke permukaan granit di sekitar kaki Fanny. Niel pun meletakkan gelas itu kembali ke atas meja. Lelaki itu bahkan sempat berseru kepada Fanny untuk berhati-hati, tetapi terlambat. Fanny yang berputar dengan cepat dan hendak berlalu untuk mengambil tongkat pel justru hilang keseimbangan ketika salah satu kakinya
Begitu pintu menutup di belakangnya, Niel berbalik sebentar untuk menatap lurus-lurus ke arah pintu. Dengan menghela napas panjang, Niel mengacak-acak rambutnya sendiri dan berbalik dengan cepat menuju mobilnya terparkir. Sesampainya di dalam mobil SUV warna hitam, Niel tak kunjung menyalakan mesin, hanya duduk berdiam diri. Beberapa detik kemudian, keningnya diletakkan di atas kedua punggung tangan yang tengah memegang kemudi mobil di bagian atas. Sesekali, keningnya dibentur-benturkan dengan pelan ke punggung tangan yang berada di bawahnya. “Apa yang ada di dalam otakmu, Niel?” geramnya pada diri sendiri. “Fanny itu sudah kayak adikmu sendiri!” kecamnya lagi beberapa saat kemudian. Bayangan mereka berdua yang setengah berpelukan kembali muncul dalam kepalanya. Sejak tadi, bayangan tersebut tak mau menghilang dari isi kepalanya, selalu kembali setiap kali pikirannya kehilangan fokus. Selama ini, tak tebersit satu kali pun dalam otaknya kalau Fanny sekarang telah menjelma menjadi w
Sudah hampir tiga tahun ini, Debby menempati rumah modern minimalis berukuran sedang yang dibeli dari hasil keringatnya sendiri. Salah satu ruangan di dalam rumah yang didominasi warna putih dan cokelat itu telah ia sulap menjadi ruang kerja yang nyaman. Meskipun bekerja sebagai desainer grafis lepas, Debby tetap menerapkan aturan kerja yang jelas bagi dirinya sendiri. Hari Minggu atau hari libur menjadi me time bagi wanita yang memiliki tubuh dengan lekukan-lekukan yang pas di tempat-tempat yang tepat itu untuk melakukan hal-hal yang disukainya. Waktu libur selalu dimanfaatkan oleh Debby dengan sebaik-baiknya. Kadang kala, ia memanjakan diri sendiri dengan perawatan-perawatan tubuh dari ujung kepala hingga ujung kaki yang bisa dilakukan sendiri di rumah. Di lain waktu, ia akan menyalurkan hobinya membuat kue atau sekadar bersih-bersih rumah. Wanita berparas oriental itu selalu berusaha menjauhkan pekerjaan dari otaknya ketika ia sedang berlibur. Pada suatu Minggu sore, Debby sedang
Malam itu, Debby memutuskan untuk membawa Fanny pulang ke rumahnya. Fanny yang juga hidup sendiri pasti tidak bisa mengurus dirinya sendiri jika diantar pulang ke apartemennya. Setelah Fanny bangun keesokan paginya, Debby memberinya yoghurt yang ia campur dengan potongan buah segar dan kacang-kacangan untuk mengusir efek mabuk. Begitu isi mangkuk pindah ke dalam perut Fanny hingga tandas tak bersisa, Debby langsung mengomelinya panjang lebar. Ia mengingatkan bahaya yang mungkin saja bisa menimpa Fanny malam itu. Fanny yang sepertinya menyadari kekhawatiran Debby, berusaha meredakan emosinya. Kedua tangannya memeluk ringan pinggang Debby dari samping dengan manja. Kepalanya disandarkan di bahu kanan Debby. “Maafkan aku, Deb, sudah bikin kamu khawatir. Aku nggak menyangka kalau reaksimu bakal kayak gini. Kukira selama ini kamu cuma basa-basi,” ujar Fanny yang langsung mendapatkan sentilan keras di dahi. “Aww!” Satu tangan Fanny langsung mengusap-usap dahinya yang mulai memerah. “Sial