"Kurang aj*r! Bener-bener kur*ng ajar!"
Irene membanting tasnya ke sofa dan hampir mengenai tubuh suaminya yang sedang duduk bersantai di depan TV.
"Kenapa sih, Ren? Pulang marah-marah gitu bukannya salam dulu?"
Keenan yang kaget karena nyaris terhantam tas branded Irene yang lumayan besar itu menatap istrinya penuh tanya sambil menahan kesal.
"Mantan istri kamu tuh, belagunya minta ampun," gerutu wanita berambut sebahu itu jengkel, lalu mendudukkan diri di samping suaminya dengan wajah cemberut.
Mendengar kata mantan istri disebut, Keenan langsung membalikkan tubuhnya ke arah Irene.
"Mantan istri? Siapa? Kemala maksud kamu?"
"Siapa lagi? Emang masih ada lagi mantan istri kamu yang lainnya?" Irene mengedikkan bahu, bertambah kesal karena suaminya Kemalah seperti antusias menyebut nama Kemala.
"Kamu habis ketemu Kemala?"
"Iyaa, si gembel itu. Miskin aja belagu." Lagi-lagi, wanita itu menggerutu kesal.
"Kemala? gembel? Maksud kamu apa sih, Ren? Kok aku nggak ngerti."
"Jadi tadi tuh ya habis dari dokter, aku mau nebus resep. Beberapa apotek yang biasanya kita datengin tuh ternyata kosong obatnya, Mas. Makanya aku sampai bela-belain nyari apotek lain. Eh, nggak taunya Kemalah ketemu mantan istri kamu tuh di sana. Ngeselin tau nggak sih?"
"Kemala ke apotek juga buat nebus obat, gitu maksud kamu?" Keenan masih tak begitu mengerti dengan apa yang diceritakan oleh istrinya.
"Enggak tahu ah. Enggak deh kayaknya."
"Trus ngapain dia ke apotek?"
"Masa' ya, katanya dia yang punya itu apotek itu. Bohong banget, kan?"
Irene seperti sedang mencari dukungan atas penolakannya. Namun, Keenan Kemalah terdiam. Sepertinya, lelaki itu sedang berpikir keras.
"Ya bisa jadi sih kalau Kemala sekarang punya apotek, Ren."
"Bisa jadi gimana?! Orang dia gembel gitu. Coba bayangin, dia tuh dateng ke situ ya, naik motor butut, Mas. Butut banget motornya. Mana pake daster jelek bangeeeeet. Ih gembel deh pokoknya. Aku yakin, dia itu pasti kongkalikong tuh sama pegawai apoteknya buat ngibulin aku kalau itu apoteknya dia. Palingan dia juga cuma kerja di apotek itu, jadi cleaning service mungkin. Ya kan? Emangnya gampang apa ngibulin aku?"
Irene sebenarnya bukannya tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh para pegawai di apotek tadi. Dia hanya ingin menyangkal semua yang telah dia dengar hari itu. Tapi, saat dia berharap sesampainya di rumah mendapat dukungan dari sang suami, justru Keenan Kemalah seperti mengiyakan kabar tentang Kemala. Hal itu tentu membuat Irene kesal.
"Loh bukan gitu, Ren. Bukannya aku mau mengada-ada. Tapi, bisa jadi loh itu bener. Kemala itu dulu kuliah di farmasi. Trus kalau nggak salah ingat, waktu itu pernah melanjutkan juga pendidikan profesi apoteker. Dari dulu sih memang dia bercita-cita punya apotek setahuku. Cuma setelah kami menikah waktu itu dan terlanjur sibuk ngurus anak, dia nggak sempat lagi mikirin kerja."
Mata Irene seketika melotot. "Masalahnya bukan itu, Mas. Tapi penampilannya itu lho, nggak banget. Mana mungkin sih pemilik apotek lumayan gede dateng dateng kayak gembel? Mana pake mempermalukanku di depan banyak orang. Lagipula nih ya, dia punya uang dari mana coba bisa bangun apotek? Emang bikin apotek modalnya cuma pake dengkul?"
Lagi-lagi Keenan terdiam. Sepertinya dia sekarang jadi ikut memikirkan ucapan Irene. Memang sudah beberapa tahun lamanya dia tak lagi berhubungan dengan mantan istrinya itu, meskipun mereka tinggal di kota yang sama. Keenan bahkan tak pernah sekalipun ingin tahu kabar tentang putri semata wayang mereka, Abiya.
"Apa kabar Bia sekarang?" tanyanya dalam hati.
Keenan kembali teringat saat akhirnya dia dan Kemala resmi bercerai dan menikahi Irene. Istri barunya itu benar-benar telah memutus tali silaturahminya dengan Kemala. Irene jugalah yang menghapus nomor kontak Kemala dari ponselnya dan meng-unfriend pertemanannya dengan sang mantan istri di semua akun sosmed miliknya. Irene bahkan juga tak mengijinkannya bertemu dengan Bia. Jangankan bertemu, saat awal Keenan masih sering mengingat Bia saja, Irene langsung ngambek tak karuan.
Apakah semua ini karma atau hukuman untuknya? Keenan tak tahu. Yang jelas, lima tahun setelah itu, dia dan Irene ternyata belum juga dikaruniai momongan. Segala cara sudah mereka lakukan untuk segera memiliki keturunan. Pindah dari dokter kandungan satu ke yang lain untuk mengikuti berbagai program kehamilan, namun hasilnya nihil. Dan hari itu memang jadwal Irene berkunjung ke dokter kandungan.
Karena sudah terlalu sering menemani Irene ke sana ke mari mengikuti program kehamilan, entah kenapa hari itu Keenan memutuskan untuk tidak ikut menemani. Dia lebih memilih menghabiskan waktu di rumah menonton film, padahal dia sedang libur dari kerjaannya. Keenan sudah mulai lelah. Lelah dengan biaya, juga lelah mengantarkan sang istri yang super bawel itu ke mana-mana.
"Heh, Mas! Kok malah ngelamun? Mikirin apa sih?" Irene menepuk keras bahu suaminya, membuat Keenan kaget.
"Eng-nggak kok, enggak. Jadi tadi ke dokternya?"
"Ya jadilah, kan aku udah bilang kalau habis dari apotek. Gimana sih diajakin ngomong dari tadi nggak nyambung deh," gerutu Irene bertambah kesal menyadari bahwa suaminya ternyata tak terlalu menggubris ucapannya sedari tadi.
"Mak–sud—ku, terus itu obatnya udah dapet belum, Ren?" tanya Keenan dengan sedikit terbata. Tidak enak hatinya terlihat begitu linglung di depan sang istri.
"Ya, belumlah. Tadi, aku udah keburu bete tau, nggak? Gara-gara ketemu mantan istri gembel kamu itu. Dahlah, ntar sore anterin aku nyari apotek lain aja. Nggak lagi-lagi deh aku ke apotek yang satu itu. Ogah banget. Sebel!" Irene bangkit dengan muka masih cemberut.
Lalu, wanita itu pun meninggalkan suaminya, menuju ke dalam kamar dengan langkah menghentak. Sementara Keenan yang memperhatikan tingkah sang istri, hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala. Lima tahun menikah dengan Irene, dia semakin tahu seperti apa sifat asli istrinya itu dan rasa-rasanya ada sebuah penyesalan yang tiba-tiba menyeruak ke dalam hatinya. Sifat Kemala jelas sangat berbeda dengan Irene.
“Kenapa tiba-tiba aku jadi sangat merindukan Kemala dan Bia? Sedang apa mereka sekarang? Apakah setelah bertemu dengan Irene tadi, Kemala juga tengah memikirkan dirinya juga?” ucap lelaki itu dalam hati.
Dalam ingatan Keenan, Kemala wanita penyabar dan selalu lemah lembut saat berbicara dengannya, sementara Irene yang cenderung kasar, kini sering membuatnya tak nyaman. Dulu, Kemala bahkan tak pernah meninggikan suara saat sedang berbicara dengannya. Namun sekarang, teriakan-teriakan, umpatan-umpatan, dan kata-kata kotor seolah telah menjadi santapan sehari-harinya Keenan dari istri barunya itu.
“Andai waktu itu, aku tak dibutakan oleh cinta dan nafsu sesaat. Mungkin, aku masih bersama dengan Kemala dan putri mereka,” batin Keenan menyesal.
Tapi, apa mau dikata? Nasi telah menjadi bubur. Tentu saja, Keenan tak akan bisa memutar kembali waktu dan memperbaiki tindakannya di masa lalu. Hanya saja, dia ingin sekali kembali memperbaiki hubungannya dengan Kemala dan anak semata wayang mereka saat ini? Masih mungkinkah? Keenan menarik nafas berat.
Malam itu usai mengantar sang istri menebus resep di apotek lain, Keenan langsung menuju ke ruang kerjanya saat dilihatnya Irene sudah bersiap untuk tidur. Diam-diam ada sesuatu yang sangat ingin dilakukannya tanpa sepengetahuan sang istri. Di depan komputer, Keenan sejenak termenung. Dia sudah membuka akun sosmed-nya dari beberapa menit yang lalu, tapi dia masih saja ragu untuk mengetikkan sebuah nama di bagian kolom pencarian. Beberapa kali jari-jari tangannya hanya berputar-putar saja di atas keyboard tanpa tahu harus memencet tombol yang mana. Keenan sungguh galau. [ Kemala Andara ]Akhirnya lelaki itu pun menuliskan juga nama mantan istrinya di layar meski gemetar. Tak lama, muncullah sebuah akun dengan foto profil seorang wanita sedang bersama dengan seorang gadis kecil yang berdandan ala princess. Mata Keenan langsung membulat takjub. “Secantik inikah mantan istri dan putri yang dulu kutinggalkan?” gumam Keenan sambil mengerjapkan mata tak percaya. Kembali, ia men-scroll ak
Mendengar jawaban itu, Irene tak begitu saja percaya. Ditatapnya sang suami dalam. "Jujur sama aku, Mas. Kamu ngapain stalking-in f******k mantan istrimu?!" Nyali Keenan menciut melihat wajah murka sang istri yang tengah berdiri di depannya."Eng-gak kok, siapa yang stalking-in Mala sih?" Ingin membela diri, Keenan pun berucap dengan nada yang tinggi. Mungkin dia berharap Irene akan melembutkan sikap melihatnya juga nampak marah karena tersinggung."Mataku belum buta, Mas. Aku lihat dengan jelas tadi. Kamu mau mengelak apa lagi, heh?"Keenan nampak mengucek rambutnya frustasi. Raut wajahnya terlihat penuh sesal. "Mau ngeles apa kamu, Mas?!" Irene makin garang menuduh. "Aku cuma rindu Bia, Sayang. Makanya, aku cari dia di akun Mala," ucapnya dengan nada sudah lebih rendah dan wajah yang memelas. Keenan berharap istrinya akan percaya omongannya kali ini."Alaaa bohong! Anak kamu jadikan alasan saja kan, Mas? Kamu aslinya ingin tahu kabar ibunya, kan?" ketus Irene. Hatinya mencelos. T
Di sisi lain, Abimanyu Haninditya kini melangkah ringan ke dalam rumah usai memarkirkan mobil dengan sempurna di garasi. "Assalamualaikum …""Wa'alaikumsalam. Baru pulang kamu, Bi?" Seorang wanita paruh baya dengan kacamata baca sedang sibuk dengan buku tebalnya di sebuah kursi santai di ruang tengah. Ibundanya memang akan selalu menunggu, selarut apapun anak lelakinya itu pulang. "Iya, Ma. Belum tidur?" Perbincangan yang sama berulang-ulang, tapi sepertinya tak pernah bosan diucapkan oleh sepasang ibu dan anak itu. Kejadian selanjutnya pun sudah bisa ditebak, yaitu adegan cium tangan Abimanyu pada sang ibu. "Sabtu bukannya kamu nggak ke kantor? Memangnya pergi kemana sih, Bi?" tanya wanita itu lagi setelah membiarkan putranya duduk di sebelahnya untuk melepas sepatu. "Biasa Ma, ngurusin apotek," jawab si anak bungsu. "Kamu tuh kalau lagi libur, nggak usah kebanyakan ke luar kenapa sih? Nggak kasihan mama kesepian di rumah?" keluh wanita itu, yang memang sudah menjadi makanan se
Malam itu, Kemala sedang berada di kamar putrinya untuk membacakan dongeng seperti biasa. "Gimana kalau sekarang gantian Bia yang bacain cerita buat mama? Mama ngantuk nih, pengen tidur sambil didongengin," kata wanita itu manja, usai menyelesaikan sebuah kisah lumayan panjang untuk Abiya. "Enggak ah. Mama aja yang bacain cerita. Bia kan nggak bisa," ucap gadis kecil itu dengan muka cemberut. "Loh kok gitu? Masa' dari Bia kecil, mama terus yang bacain cerita. Sekali-kali dong ganti Bia yang dongengin mama," kata wanita yang tengah mengenakan setelan piyama panjang berbahan satin itu. Dia makin melebarkan senyum melihat anak semata wayangnya makin cemberut. “Telpon papa Abi aja yuk, Ma?” kata Abiya tiba-tiba dengan raut muka sudah kembali ceria. Padahal sebenarnya gadis kecil itu hanya ingin mengalihkan perhatian ibunya saja padanya. Kemala melirik sebentar arloji di tangannya, lalu berkata. “Ini sudah malam, Sayang. Nanti gangguin papa Abi.”“Cuma sebentar aja kok. Bia mau tanya
“Ke rumah sama Bia?” Abimanyu kaget bukan kepalang. Tapi demi tak membuat Kemala tersinggung, dia berusaha menanggapi hal itu dengan santai. “Iya, Mas. Kenapa? Mas masih belum siap aku ketemu sama mamamu?” Kemala sambil menahan nafas saat menanyakan itu. Sebenarnya bukan hanya Abimanyu saja yang mungkin belum siap mempertemukan kembali dirinya dengan keluarganya, dia pun sama. Tapi demi melihat keseriusan Abimanyu dan mengetahui kepastian hubungan mereka ke depan, Kemala dengan terpaksa mengajukan permintaan itu. “Jika tidak dimulai dari sekarang mendekati calon ibu mertuanya, kapan lagi?” pikirnya. Sedangkan hubungannya dengan lelaki itu pun sudah sangat jauh. Fitnah kemungkinan besar akan segera terjadi jika hubungan keduanya tak segera diresmikan. Dia tak bisa menunggu dalam ketidakpastian lebih lama lagi. Apalagi, Bia makin tumbuh dewasa. “Bukan gitu. A-ku sih nggak masalah kamu sama Bia mau ke sini. Aku justru senang kamu bilang kayak gitu, Sayang. Tapi kan kamu tahu mama itu
Pagi itu suasana hening di meja makan rumah Bu Rosmala. Hanya ada suara dentingan sendok dan garpu di piring, nyaris tanpa celotehan wanita itu seperti biasa. Di seberangnya, putranya sesekali menatap sang ibu dengan bimbang. Ingin mengajaknya bicara, tapi masih takut jika ibundanya itu belum berkenan mengobrol dengannya. “Pak Abi mau nambah nasi gorengnya?” Suara Lastri dari samping tempatnya duduk, membuyarkan lamunan Abimanyu. “Eh, enggak. Makasih,” jawabnya singkat. “Mama barangkali mau nambah?” tanyanya kemudian pada wanita yang masih khusyu’ dengan piring di depannya. Bu Rosmala rupanya juga sedang larut dalam pikirannya sendiri hingga sedikit kaget saat anak lelakinya itu mengajaknya bicara. “Apa?” tanyanya, membuat Abimanyu sedikit lega karena ternyata ibundanya sudah mau berbicara padanya. “Mau nambah nasi goreng lagi, Ma?” ulang Abimanyu. Tapi Bu Rosmala malah memandang Lastri yang kini telah berdiri di sebelah sang nyonya rumah dengan siaga..“Oh, enggak Las, makasih. A
Dugaan Abi ternyata tidak salah. Kekeras-kepalaan ibunya berujung pada disodorkannya lagi perempuan lain untuk dijodohkannya padanya. Namun yang lebih membuat lelaki itu kaget adalah, kenapa harus Tabitha?“Tabitha?! Anaknya Tante Fenny yang baru lulus tahun ini?” tanyanya dengan bibir menahan tawa. “Iya, kenapa memangnya?” “Ya ampun, Mam. Come on, dia itu masih anak-anak.”“Justru itu, kamu tidak akan kesulitan untuk mendidik dia menjadi istri yang baik nantinya, Bi.” Bu Rosmala masih tetap ingin meyakinkan putranya. Abi justru makin terkekeh. Tabitha adalah anak dari salah seorang sahabat Bu Rosmala yang tinggal di luar kota. Abimanyu mengenalnya karena Bu Rosmala cukup sering menceritakan perihal sahabatnya yang paling dekat itu dalam perbincangan mereka selama ini. Dan lucunya, baru satu bulan yang lalu Abimanyu mengantarkan sang ibunda menghadiri perayaan syukuran kelulusan sarjana strata satu anak gadis itu. Apakah mamanya sudah kehilangan stock perempuan hingga harus menyodor
Keenan–mantan suami Kemala–yang sangat jengkel dengan kelakuan Irene hari sebelumnya, ternyata memilih untuk tidak pulang ke rumah. Sepulangnya dari kantor, dia rupanya langsung pergi ke rumah orangtuanya untuk menghindari pertengkaran dengan istrinya itu. Dia yakin, kejengkelannya pada Irene yang telah membuatnya mendapatkan surat peringatan dari kantor justru akan membuatnya tak bisa menahan diri untuk tak bertengkar dengan wanita itu jika mereka sampai bertemu. Sang ibu, rupanya bukan cuma satu dua kali ini saja mendapati anak lelaki satu-satunya itu pulang ke rumah tanpa membawa Irene. Dia pun sudah bisa menebak apa yang terjadi pada anaknya itu kala malam harinya melihat Keenan datang dengan taksi online ke rumahnya. Tapi demi tak membuat sang putra gundah, Bu Ratih memilih menunggu pagi untuk mengajaknya bicara. “Bertengkar lagi dengan istrimu?” tanyanya pagi itu, saat melihat Keenan dengan muka bangun tidur langsung menyusulnya ke meja makan. Dengan malas-malasan Keenan pun