Share

PENGGANTI YANG LEBIH BAIK

Melihat muka panik calon suaminya itu, Kemala justru terkikik. Apalagi setelahnya, Abimanyu segera memeriksa seluruh tubuhnya dengan membolak baliknya ke kanan dan kiri. Kemala makin tertawa geli melihat kelakuannya.

“Apaan sih, Mas?” tanyanya sambil tak bisa menahan tawa.

“Kamu kalau dibilangin, nggak mau nurut sih. Kalau mau kemana-mana tuh bawa mobil aja. Terus motor itu tuh, sudah berapa kali coba aku suruh jual aja? Lagian kan ada motor lain juga yang lebih bagus, kenapa masih suka pakai motor itu?” Lelaki itu mulai mengomel, membuat Kemala dan Mbok Narti langsung saling melempar senyum.

“Tuh, Bu. Saya bilang juga apa? Kan saya juga udah bilang jangan pakai motor itu. Motor itu kan memang cuma saya aja yang bisa pakai,” kata Mbok Narti, membela diri.

“Ah Simbok nih ada-ada aja. Lagian kan Mbok sendiri yang nggak mau motor itu diganti, ya kan? Tuh Mas, marahin tuh Si Mbok. Suruh siapa motornya nggak mau diganti hayoo? Dia yang ngeyel pengen tetap pakai motor itu. Marahin tuh, Mas!” Kemala pun tak mau kalah membela diri.

“Udah dong, udah! Mama nih ya sama Mbok Narti sukanya ngeyel kayak anak kecil.” Tiba-tiba, Bia bersuara sambil menunjukkan mimik bak seorang ibu yang sedang memarahi anak-anaknya. 

Melihat itu, ketiga orang dewasa itu langsung tertawa geli.

“Iya maaf, Mama Bia.” Mbok Narti dan Kemala pun kompak bersuara.

“Dah ah, Mama mau mandi dulu. Mbok, siapin Bia ya, takut telat nanti,” kata Kemala. 

Mbok Nar pun langsung menggandeng momongannya ke dalam. Sementara itu, Kemala mulai berjalan beriringan dengan Abimanyu menuju ke teras rumah.

“Mas Abi ngapain ke sini? Memangnya hari ini nggak ngantor?” tanyanya kemudian.

“Sabtu, Sayang. Kerajinan amat ngantor hari Sabtu?” sahut Abimanyu.

“Oh iya, ya … ini hari Sabtu, ya? Kok, bisa lupa sih aku? Padahal, dari tadi udah kepikiran loh mau ngantar Bia ke pentas seni.” Kemala pun kembali terkikik menyadari kekonyolannya. Melihat itu, Abimanyu tersenyum miring yang entah mengapa membuat pria itu terlihat semakin tampan. 

“Biasalah, orang tuh kalau udah tua memang penyakitnya suka lupa.” Ejekan Abimanyu sontak membuat Kemala langsung memukulkan tinju pelan di bahu lelaki itu.

“Ya udah kalau nggak ngantor, Mas Abi langsung ke apotek aja. Aku tadi udah pamitan juga kok sama anak-anak. Kalau nggak ditungguin, ntar mereka bingung lagi kalau ada sales Med-Ref yang dateng, Mas,” katanya.

“Iya deh nanti. Aku tungguin kamu sama Bia berangkat dulu, habis itu aku baru ke apotek,” kata Abimanyu. “Eh, tapi beneran kamu nggak apa-apa tadi, kan? Jatuh di mana sih memangnya?” Rupanya lelaki itu masih belum tenang setelah mendengar berita rusaknya motor Mbok Nar.

“Yang jatuh tuh siapa sih, Mas? Orang aku nggak jatuh kok.”

“Lha itu tadi, katanya pegangan motornya sampai bengkok?” Lelaki itu mulai mengerutkan dahi tak mengerti.

“Motornya aja yang jatuh, Mas. Akunya, sih enggak,” ujar Kemala, masih dengan tertawa.

“Kok bisa?” Dahi Abimanyu makin berkerut mendengar penjelasan itu.

“Tadi ada yang iseng nendang motor pas aku parkir di apotek. Orang kurang kerjaan.” Kemala menggeleng-gelengkan kepala mengingat kelakuan Irene yang sangat aneh itu.

“Siapa yang berani tendang motormu?” Tatapan Abimanyu terlihat tajam–seolah tak terima.

Tapi Kemala lagi-lagi terkekeh. “Biar aja, Mas …. Orang gila!” 

“Serius dong, Sayang. Kenapa? Apa yang terjadi sebenarnya?” tanya lelaki itu dengan mimik lebih serius. 

Melihat wajah Abimanyu yang tanpa senyum, Kemala pun akhirnya menghentikan tawanya. Abimanyu memang sosok yang enak diajak diskusi masalah apapun. Dia bisa santai dan bisa sangat santai. Tapi saat sedang serius, biasanya lelaki itu tak suka direspon dengan candaan.

“Jadi … tadi pas di apotek aku tuh ketemu sama orang, Mas.”

“Siapa?” tanya lelaki itu tegas.

“Hmmm.” Kemala menjadi sedikit ragu. Abimanyu memang sudah pernah mendengar kisah masa lalunya dengan Keenan–sang mantan suami–, tapi tentu saja tidak sedetail kejadian yang sebenarnya. Bagi Kemala, masa lalunya tak terlalu penting untuk diceritakan pada calon suaminya itu. Kisah buruknya bahkan tak ingin dijadikannya alat untuk membuat Abimanyu bersimpati padanya.

“Dia tuh istri baru papanya Bia, Mas. Tapi nggak ngerti juga sih, apa sekarang mereka masih suami istri atau tidak. Aku kan udah lama banget nggak ngerti kabar mereka.”

“Jadi maksudnya, wanita itu yang menendang motor?”

“Iya.”

“Kok bisa? Memangnya ada urusan apa dia nendang-nendang motor gitu?”

“Jadi … tadi tuh pas sampai di sana, dia nyerobot parkiran. Eh habis itu, dia malah marah-marah, padahal aku yang datang duluan. Katanya, takut motorku bikin lecet mobil barunya, gitu sih tadi bilangnya.”

“Cuma gara-gara itu sampai nendang motor?” Abimanyu pun kini ganti yang menggeleng-gelengkan kepala.

“Ya nggak sih. Jadi, dia kayaknya inget gitu sama aku. Bikinlah dia gara-gara, buat ribut sama aku.”

“Di apotek?”

“Iya, Tapi aku nggak ladenin sih. Malu lah Mas lagi banyak banget pelanggan di sana tadi. Aku diemin aja, tapi dia nekat. Kayaknya sih kesel, sampai ngikutin ke dalam. Mbak Denok aja saking nggak tahan sampai ikut ngomong loh.”

Abimanyu terlihat mengangguk. “Trus, gimana akhirnya kok dia jadi nendang motor?”

“Nah, Si Mbak Denok ngomong sama dia kalau aku ini pemilik apotek. Padahal, enggak, ya? Kan Mas Abi pemilik apoteknya.” Kali ini Kemala tak tahan untuk tak tertawa.

“Aku sih memang pemiliknya, tapi kan bakalan jadi milik kamu juga, Sayang.” Tatap Abimanyu dalam, membuat Kemala tak berkutik.

Dengan cepat, perempuan itu pun melanjutkan ceritanya, “Kayaknya, sih si Irene jadi marah gitu. Terus, dia pulang. Nah, tapi ditendang lah itu motorku yang di parkiran.”

“Gitu?”

“Iya gitu. Aneh kan, Mas?”

“Iya sih, aneh banget. Kenapa dia harus marah begitu ya? Apa mungkin … ada sesuatu yang belum selesai di antara kalian bertiga?”

Kemala terdiam sebentar, sepertinya sedang berpikir.

“Aku sih nggak tau ya, Mas. Kalau menurutku sih, semuanya udah selesai. Aku dan papanya Bia udah cerai dan yang aku tahu mereka berdua juga udah nikah. Aku nggak ngerti juga kenapa Si Irene bisa sebegitunya marah sama aku.”

“Hmmm, mungkin dia butuh ke psikolog kayaknya,” tebak Abimanyu.

“Mungkin juga.”

“Eh, by the way … tadi siapa namanya? Irene?”

“Iya Irene. Kenapa, Mas?” tanya Kemala–bingung.

“Nggak apa-apa sih. Tapi kok kayak nggak asing ya sama nama itu.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status