Share

8

"Emh jadi bagaimana Mas? Dasinya aku yang ambil atau dek Zahwa saja?" pertanyaan yang meluncur dari mbak Raya membuat Bang Tama menjauh sedikit dariku. Tak mengapa, aku sudah cukup puas untuk saat ini.

"Ah itu, biar saya yang ambil. Tadi adek sudah jelaskan dimana letaknya. Ya sudah saya ambil dasi dulu ke kamar," pamit Bang Tama.

Sekilas kulihat raut tak suka di wajah mbak Raya. Apa peduliku? Biarkan saja dia. Kembali sibuk dengan menu sarapan pagi ini, lagi lagi aku dikejutkan dengan perkataan kakak maduku itu.

"Dia juga suamiku kan dek, lantas kenapa hanya kamu yang mendapatkan kecupan itu?"

"Lah mana aku tahu mbak! Harusnya tadi mbak Raya bilang juga kalau mau dicium! Kalau aku sih, ya mau gimana ya mbak ... itu sudah jadi kebiasaan kami. Rasanya itu ada yang kurang kalau gak kecup keningku. Ah mbak nanti bakal tau kok kebiasaan kami jika berada di rumah. Aku harap mbak tidak kaget sih," sahutku tak peduli jika itu semakin membuatnya sakit hati.

Tak lama kemudian, Bang Tama kembali bergabung dengan kami di ruang makan. Kali ini dasinya telah terpasang rapi, ah tapi gak ada salahnya kan sedikit lagi membakar hati seseorang?

Kuarahkan langkah kaki mendekati suamiku itu, dengan sengaja aku menabrak bahunya.

"Ets kebiasaan ya kamu ya ..." ujar Bang Tama setelah aku menabrak bahunya. Tanpa ampun tubuh ini dipeluknya dengan erat. Wajahku menjadi sasaran kecupan yang bertubi-tubi darinya. "Suka banget nabrak bahu Abang. Istri cantik ini mau apa dari Abang?" tanyanya setelah tawa kami mereda.

"Tak ada. Eh kalau boleh adek mau kumpul bareng temen-temen," ijinku.

"Dimana?"

"Tempat biasa dong Bang!" sahutku kalem.

"Oke! Berangkat bareng Mang Jamal ya, nanti kalau mau pulang kabari Abang biar Abang jemput!"

"Abang ... adek bisa pulang bareng Nazril lho!"

"Enak aja! Abang gak suka ya istri Abang ini dekat dengan lelaki lain."

"Halah ... Abang punya istri lain adek aja terima kok!" sahutku lantas aku beranjak menuju dapur untuk mengambil sarapan kami.

Aku tahu ini salah, tapi sedikit memberi rasa tidak nyaman buatnya tak apalah ya? Sedikit saja kok.

Dengan semangkuk nasi goreng seafood kesukaannya aku kembali ke ruang makan. Sayangnya di bangku tempat biasa aku duduk telah ditempati oleh istri pertama suamiku itu. Oke baiklah, akan ku tunjukan siapa pemilik tempat itu sebenarnya.

"Ini Abang, silahkan makan," ujarku mempersilahkannya untuk makan. Lalu aku pun beranjak dari sana.

"Lho sayang, kok pergi? Mau kemana kamu? Tidak sarapan bersama Abang?"

"Disini tak ada tempat untuk adek!" sahutku ketus.

"Maksudnya?"

"Tempat yang biasanya menjadi milik adek kini sudah beralih menjadi milik orang lain. Lalu untuk apa bertahan jika tak ada lagi tempat untuk adek Bang," ucapku sendu.

"Raya, tolong kamu pindah. Itu tempat Zahwa," titah Bang Tama pada mbak Raya.

"Tapi mas, aku duluan yang duduk di sini! Lagian lebay banget sih! Perkara tempat duduk aja dijadikan masala," sungut mbak Raya yang masih bisa kudengar.

"Raya tolonglah!"

"Enggak Mas! Kalau dia gak mau duduk ya sudah jangan duduk!" kali ini Mbak Raya meninggikan nada suaranya.

"Zahwa kemari!" perintah Bang Tama, ah jika sudah memanggilku dengan nama itu artinya bukan lagi pertanda baik. Maka jalan satu-satunya ya harus nurut.

Kudekati Bang Tama yang kini tengah menatap garang diriku. Haduh apa aku salah langkah sih ya?

"Eh Abang!" pekikku tertahan sebab tanpa aba-aba Bang Tama menarikku untuk duduk di pangkuannya.

"Sudah adek duduk disini saja. Kita makan!"

Ah lihatlah mbak Raya suami kita ternyata lebih memilih direpotkan daripada makan tanpa diriku. Bahagia sekali rasanya melihat wajah kesal dari mbak Raya.

"Mas, bisa kan kalian sedikit saja menghargai aku di sini? Kalian pikir hatiku terbuat dari batu iya? Kamu pikir aku tidak cemburu Mas? Kamu itu bukan hanya memiliki Zahwa sebagai istri, tapi ada aku juga. Jadi tolonglah kalau mau bermesraan tidak dihadapanku seperti ini!" akhirnya mbak Raya marah juga. Bukannya takut aku justru bahagia. Itu artinya apa yang aku lakukan sedari tadi berhasil membuatnya kesal dan cemburu.

"Ah maaf Raya ..." ujarku pura-pura menyesal. "Maaf tidak seharusnya kami begini. Aku rasa hanya perlu waktu untuk terbiasa dengan keadaan kita saat ini. Kami masih sering menganggap jika di rumah ini hanya ada aku dan suamiku saja ah suami kita maksudnya mbak!" lanjutku sengaja untuk lebih membuatnya kesal.

"Saya yang bersalah. Maafkan saya Raya!"

"Tapi mbak, bukankah bermesraan dengan suami tidak perlu ijin dari orang lain ya?" tanyaku padanya sehingga ia terlihat semakin kesal saja.

"Masalahnya disini aku bukan orang lain dek! Aku ini istrinya juga, istri pertama yang sedang mengandung penerusnya. Seharusnya akulah yang dimanja dan diperlakukan layaknya ratu!"

"Ah iya, aku lupa. Maaf ... seharusnya aku sadar jika aku ini hanya istri kedua dan tidak bisa memberikan penerus untuk suamiku itu" sahutku sembari menahan air mata.

"Sayang bukan begitu ..."

"Mbak Raya benar Bang. Aku seharusnya tahu jika aku ini hanyalah wanita kedua. Harusnya semua perhatianmu kamu tujukan untuk istri pertama bukan untukku. Walaupun aku tahu jika cintamu hanya untukku, tapi seharusnya perhatianmu lebih besar untuknya. Aku berdoa agar anak yang mbak Raya kandung menjadi anak yang membanggakan. Aku berharap untuk segera hamil dan memberikan penerus untuk suamiku tapi apa daya hingga saat ini aku belum hamil juga!" potongku cepat.

"Barangkali kamu perlu cek ke dokter. Ya siapa tahu kamu bermasalah," celetukan tak terduga keluar dari mulut maduku itu.

"Raya apa-apaan kamu hah!" bentak Bang Tama pada istri pertamanya itu.Baiklah akan ku manfaatkan kondisi ini.

"Kamu benar mbak! Kalau Bang Tama tidak mungkin bermasalah sebab sudah terbukti dengan kehamilanmu. Ah atau aku ini mandul Bang? Bang ... sekian lama kita bersama sampai saat ini aku belum juga hamil kan? Bisa jadi ... bisa jadi aku ..." ucapku sesedih mungkin.

"Tidak sayang tidak! Kamu tidak begitu, kamu pasti sehat sayang. Hanya saja Allah belum percaya pada kita," sahut Bang Tama.

"Apa aku ini bukan wanita baik sehingga untuk menjadikanku ibu saja Allah belum percaya?" lirihku disertai tangisan pilu. Kita lihat mbak apa yang akan suami kita lakukan saat aku menangis begini.

"Sayang jangan begini," lalu tubuh mungilku sudah berada dalam dekapannya.

"Tapi mbak Raya benar ... apa yang dia katakan ..."

"Tidak sayang tidak! Semua perkataan Raya hanya omong kosong! Abang yakin kita akan memiliki anak. Abang yakin itu! Sudah ya sayang jangan menangis" bujuknya padaku. Kurasakan kecupan dipelipisku. Waw ... mbak Raya aku yakin kamu akan merasa cemburu.

Kueratkan pelukan kami, sembari menatap maduku yang berdiri mematung. Kamu lihat mbak betapa mudahnya membuat suami kita merasa bersalah padaku.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status