Share

Panik

Satu minggu telah berlalu. Keadaan Hasan perlahan membaik. Remaja itu telah melewati masa kritisnya, meski belum sadar sepenuhnya. Hampir setiap hari Farah menemani Nazeela di rumah sakit, lalu pulang  di sore hari setelah dijemput Fairuz. Wanita itu terlihat semakin kurus dan pucat. Namun, selalu menutupi bibirnya dengan lipstik berwarna terang. Akan tetapi, Farah tak bisa mengelabui mata Nazeela, meski tak sedarah, tetapi dia tahu ada yang tidak beres pada wanita tersebut.

"Kak, sebaiknya kakak istirahat. Ngga usah paksain ke sini, aku ngga papa."

Farah tersenyum dan menggeleng pelan. "Aku baik-baik aja, kamu ngga usah khawatir gitu."

Nazeela menganjur napas perlahan. "Kakak mungkin bisa bohongin orang lain, tapi aku ngga. Kapan terakhir Kakak kemo dan minum obat?"

Farah diam. Dia tidak tahu harus menjawab apa. Wanita itu melarikan pandangannya ke arah Hasan yang terbaring diam di atas brankar rumah sakit.

"Kapan dia akan bangun?" tanya Farah mencoba menghindari pertanyaan Nazeela.

Gadis itu meraih kedua tangan Farah dan menggenggam erat. "Jangan mengalihkan pembicaraan, Kak."

Farah menunduk menatap genggaman tangan mereka. "Aku udah pasrah. Kankerku sudah stadium akhir. Udah ngga ada harapan," lirihnya dengan suara bergetar.

"Jangan bertindak mendahului Tuhan, Kak," balas Nazeela, membuat Farah mengangkat pandangannya dengan senyum tipis di bibir.

"Aku bukan mendahului Tuhan. Tapi, sel kanker sudah menyebar ke seluruh tubuhku. Aku sudah pasrah jika Dia mengambil nyawaku. Namun, sebelum itu aku ingin memastikan Bang Fairuz mendapatkan penggantiku."

Mendengar itu, Nazeela melepaskan genggaman tangan mereka. Dia ingat telah menyetujui permintaan Fairuz. Pria itu tidak tahu ada hal yang lebih besar dari sekadar anak. Nyawa Farah sedang dipertaruhkan. Wanita itu seolah sedang menunggu giliran, kapan Tuhan akan menggugurkan daun yang bertuliskan namanya dari pohon kehidupan.

"Ada apa, Zee?" Farah menelengkan kepalanya untuk melihat lebih jelas ekspresi si gadis, "kamu tidak suka?"

Terdengar embusan napas berat dari hidung Nazeela, dia menunduk sambil memainkan jemarinya.

"Ngga adil buat Bang Fairuz kalau Kakak menyembunyikan hal sebesar ini. Setidaknya biarkan dia tahu dan memperjuangkan Kakak. Dia sangat mencintaimu."

"Aku tau, karena itu aku ngga mau melihat dia bersedih," balas Farah sendu.

"Lalu Kakak lebih suka dia menyalahkan dirinya kalau sampai ..." ucapan Nazeela tertahan saat ingat dia sudah kelewatan mencampuri urusan rumah tangga Farah.

"Teruskan, Zee. Sampai apa?"

Nazeela menggeleng pelan. Terlihat gundah dan prihatin di wajahnya melihat wajah kepasrahan Farah. "Andai Kakak ngga mampu bertahan, lalu Bang Fairuz baru mengetahui setelah Kakak drop, bayangkan perasaannya. Dia akan merasa tidak berguna sebagai suami karena tidak tau dengan kondisi istrinya sendiri. Apa Kakak mau Bang Fairuz begitu?"

Farah bergeming. Penuturan Nazeela menohok hatinya. Gadis itu benar. Akan tetapi, wanita itu sama sekali tak mau melihat raut kesedihan di wajah sang suami. Setidaknya sampai dia tak mampu bertahan.

💕

Nazeela baru saja melipat mukenanya ketika mendengar rintihan dari mulut Hasan. Gadis itu segera mendekati brankar sang adik. Dia terperangah melihat Hasan telah membuka mata dan berusaha menggerakkan tangannya. Dia meraih tangan remaja tersebut dan mencium punggung tangan itu perlahan. Perasaan bahagia dan lega padu dalam dadanya, menerbitkan air mata haru menetes di pipi.

Nazeela segera memencet tombol darurat yang menempel di dinding kamar. Tak lama seorang perawat datang  dan segera menangani sang adik. Perawat itu kemudian memanggil dokter jaga. Gadis itu mengambil jarak, membiarkan petugas kesehatan tersebut menangani Hasan. Puluhan kali hatinya mengucap rasa syukur atas rahmat Tuhan yang jatuh pada sang adik. Nazeela segera meraih ponselnya, bermaksud memberi tahu kabar bahagia itu pada Farah, tetapi ponsel wanita itu tidak.aktif, hingga dia memutuskan mengetik pesan saja melalui pesan singkat.

💕

Farah merasakan mual sejak tadi siang, seolah sesuatu mengaduk perutnya dari dalam. Wanita itu sadar tubuhnya mulai tak bisa mentolerir sel kanker yang terus menjalar di tubuhnya. Tertatih berjalan menuju lemari kaca yang melekat di dinding kamar, lalu membuka sebuah kotak yang dia sembunyikan di antara koleksi #parfum dan novelnya. Dari dalam kotak itu Farah mengambil dua botol yang berwarna gelap dan mengeluarkan isinya.

Namun, belum sempat obat itu masuk ke mulutnya, Farah merasakan kepalanya berputar disertai rasa sakit yang hebat menghantam perut bagian bawah. Sesaat pandangannya mengabur, pegangan pada benda kaca tersebut terlepas, seiring tubuhnya yang luruh ke lantai. Dia jatuh tak sadarkan diri di atas lantai tepat di sebelah botol obat tadi.

💕

"Sayang, lihat, aku bawa ...."

kalimat Fairuz menggantung di udara melihat tubuh sang istri tergeletak di atas lantai yang dilapisi karpet tepat di depan lemari. Serta-merta bingkai foto yang dibawa pria itu jatuh menghantam lantai, hingga kacanya pecah. Dia mengejar tubuh sang istri yang terlihat tidak sadarkan diri. Berkali-kali menepuk pipi Farah sambil memanggil namanya, tetapi tak ada reaksi dari wanita tersebut. Fairuz membopong tubuh sang istri, lalu gegas membawa ke dalam mobil. Dirasuki perasaan cemas dan takut, pria itu melarikan mobilnya seperti orang kesetanan. Sesekali dia melirik sang istri yang masih belum sadarkan diri.

"Tolong! Tolong istri saya!"

Fairuz berseru lantang sembari membopong tubuh Farah. Dua orang perawat dan seorang satpam segera mendorong brankar rumah sakit menyongsong pria tersebut. Dengan hati-hati dia meletakkan tubuh sang istri di atas tempat beroda itu. Sigap kedua perawat tadi mendorong brankar menuju ruang ICU untuk menangani Farah, diiringi Fairuz yang masih digelayuti perasaan cemas.

"Bapak tunggu di sini." Seorang perawat menahan tubuh Fairuz yang hendak masuk ke ruangan.

Pria itu hanya pasrah dan melihat pintu ruangan ICU yang perlahan tertutup. Dadanya berdebar sangat kencang mengingat apa yang menimpa sang istri, banyak tanya bergelayut di benaknya. Apa yang terjadi pada Farah? Apa wanita itu sedang sakit? Karena sekilas dia melihat ada botol obat di sebelah sang istri.

Tiga puluh menit Fairuz bergelut dengan cemas dan ketakutan. Ketika pintu ruangan ICU terbuka dan seorang dokter keluar dari sana, gegas dia menyongsong.

"Dok, bagaimana istri saya?"

"Sebaiknya kita bicara di ruangan saya."

💕

"K-kanker?!"

Tubuh Fairuz terasa lemah tak berdaya, seolah tiada tulang yang menopang tubuh tegap itu. Dia bersandar ke sandaran kursi, seraya menatap sang dokter dengan sorot tak percaya.

"Iya, Buk Farah adalah pasien saya. Dia pertama kali memeriksakan diri satu tahun yang lalu. Saya mendeteksi adanya sel kanker di rahimnya. Saat itu dia rajin melakukan kemoterasi dan rutin memeriksakan diri. Akan tetapi, enam bulan yang lalu saya mendapati sel kanker semakin menjalar hampir di seluruh tubuhnya. Sejak saat itu, Buk Farah tak pernah lagi datang berobat maupun berkonsultasi."

Dada Fairuz seperti dihantam godam besi mendengar penjelasan sang dokter. Kilasan keadaan Farah beberapa bulan ke belakang, melintas di benaknya seperti sebuah cuplikan filem. Bagaimana dia mengira hal yang biasa kala mendapati sang istri merintih menahan sakit di perut dan dengan lugunya Fairuz percaya begitu saja saat Farah mengatakan masuk angin, lalu memintanya membalurkan minyak kayu putih ke tubuh wanita itu.

Dia juga menyesali diri yang tak curiga dengan menstruasi Farah yang lebih dari dua minggu setiap bulan. Dia juga abai pada kondisi tubuh Farah yang semakin kurus. Fairuz mengusap wajahnya yang terlihat frustasi. Merutuki ketidakpekaannya.

"Apa masih bisa disembuhkan, Dok?" tanya Fairus dengan harapan sang dokter menjawab iya. Akan tetapi, harapan itu sirna seketika melihat gelengan lemah sang dokter.

"Kanker yang diderita Buk Farah sudah memasuki stadium akhir. saya tidak tau bagaimana sel kankernya bisa berkembang begitu cepat."

Wajah Fairuz menegang dengan kedua telapak tangan mengepal kuat di atas meja. "Jangan bilang kalau istri saya tak punya harapan."

Itu seperti sebuah pernyataan yang tak ingin didengar Fairuz. Pria itu tak bisa membayangkan harus kehilangan Farah. Tidak! Dia terlalu mencintai sang istri, bahkan melebihi dirinya sendiri. Bagaimana dia sanggup kehilangan wanita sebaik itu.

Fairuz semakin panik dan frustasi melihat raut penyesalan sang dokter. Wajah pria berkaca mata itu jelas menyiratkan jika Farah tidak lagi memiliki harapan. Detik itu juga Fairuz merasa Tuhan tak adil padanya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status