Fairuz menutup pintu mobil pelan. Langkah pria tersebut gontai masuk ke rumahnya. Semalaman dia menenangkan diri ke tepi pantai, menatap kerlap-kerlip lampu dari perahu para nelayan. Cahaya di tengah laut itu seperti barisan kunang-kunang yang menari di kanvas langit malam. Begitu larut dengan pikirannya, hingga dia tertidur semalaman di sana, sepoi angin laut semakin melenakan Fairuz ke alam mimpi. Melupakan sejenak kenyataan yang terpampang di depan mata dan berharap esok pagi bangun di atas tempat tidur sambil memeluk istri tercinta.Namun, pria itu harus kembali merasakan denyut ngilu di dada, ketika harapan itu hanyalah pepesan kosong. Nyatanya, dia terbangun karena teriknya sinar mentari yang menebus kaca mobil yang dilapisi filter."Dari mana kamu?"Fairus menghentikan langkahnya ketika mendengar teguran dari seorang wanita, yang sangat dia hafal suaranya. Pria itu berhenti, sejenak guna menganjur napas perlahan sebelum berbalik. Dia yakin akan terjadi perdebatan seperti biasa
Fairuz mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Sesekali membunyikan klakson untuk meminta jalan pada kendaraan yang ada di depan. Jika memungkinkan dia menyalip kendaraan tersebut, membuat Kinaya harus berpegangan erat pada jok mobil. Wanita itu memutuskan ikut dengan Fairuz. Dia penasaran kabar apa yang tadi disampaikan oleh Nazeela.Tadi, Fairuz memutuskan sambungan telepon begitu saja tanpa mendengar penjelasan dari Nazeela. Kinaya yang merupakan sahabat pria tersebut berinisiatif mendampinginya. Bukan apa-apa, dia takut Fairuz kehilangan kendali dan melakukan sesuatu yang merugikan, tidak hanya diri sendiri, tetapi juga orang lain."Ke mana lagi?" tanya Ratmi yang melihat Fairuz berlari menuruni tangga menuju pintu keluar, membuat pria itu menghentikan langkahnya dan menatap wanita yang rambutnya telah ditumbuhi #uban."Aku ke rumah sakit dulu. Terjadi sesuatu, Ibu ikut?" Alih-alih menjawab. Ratmi malah meneruskan bacaannya sebagai isyarat menolak ajakan Fairuz."Fai, jang
Nazeela menatap sepasang ibu dan anak di hadapan. Kedua orang itu terlihat saling menyayangi. Anak perempuan--yang sepantaran dengannya--begitu telaten menyuapi sang ibu yang duduk di atas kursi roda. Sesekali dia membersihkan sudut bibir ibunya dengan saputangan. Senyum merekah di bibir keduanya. Sorot teduh sang ibu mengingatkan Nazeela pada sosok ibunya.Makam sang ibu masih merah, tetapi cobaan tak jemu bertandang mempermainkan takdirnya. Sejak kepergian wanita itu, air mata seolah betah jatuh di pipinya. Andai saja gadis itu tidak memiliki iman yang kuat, mungkin saja saat ini dia sudah masuk dalam deretan gadis frustasi. Namun, dia selalu menegarkan diri, berpegang teguh pada keyakinan jika Tuhan tidak akan pernah memberikan cobaan di luar batas kemampuan hamba-Nya."Jangan ngelamun, ngga baik." Suara Dru membuyarkan lamunan Nazeela tentang sang ibu. Gadis itu memalingkan wajah hendak menyembunyikan air yang tergenang di kelopak matanya."Aku boleh duduk di sini?" Nazeela meng
"Kapan aku bisa pulang, Kak?" tanya Hasan yang mulai membaik. Remaja itu sudah sepenuhnya bisa bicara satu minggu pasca operasi, dia tengah bersandar ke tumpukan bantal yang disusun di kepala brankar.Nazeela menghentikan gerakan tangannya yang sedang mengupas apel. "Tungguin perintah dokter dulu. Kakak takut kalau ada apa-apa nanti."Hasan menggangguk pelan. "Kak, aku minta maaf udah nyusahin. Pasti biayanya gede buat operasi aku."Nazeela menganjur napas perlahan, tangannya kembali lincah mengupas kulit apel merah. "Udah, jangan mikir yang berat-berat. Itu urusan Kakak.""Tapi, Kak. Ibu pasti marah banget sama aku. Sampai sekarang ngga mau jenguk aku di sini," keluh Hasan dengan suara bergetar."Aduh!"Mendengar ucapan Hasan, membuat konsentrasi Nazeela pecah, hingga pisau yang seharusnya membelah buah malah mengiris tangannya. Mata gadis itu seketika memanas, perih segera menjalari dinding hati, sesuatu tak kasat mata seolah menikam jantungnya. "Kakak, ngga papa?" tanya Hasan deng
Fairuz baru saja menempelkan ponsel ke telinga ketika mendengar langkah mendekat. Dia menoleh dan melihat Nazeela berdiri tiga langkah di belakangnya. Gadis itu mengenakan pakaian steril khusus untuk ruang ICU. Sejak Farah anfal dua hari yang lalu, keduanya belum bertemu. Nazeela yang terlalu sibuk mengurusi Hasan dan Fairuz menemani Farah.Fairuz memalingkan wajah kembali menatap Farah yang masih terbaring diam di atas brankar. "Aku baru ingin menelponmu." Suaranya terdengar dingin."A-ada apa, Bang?" Nazeela berjalan lebih dekat ke arah brankar Farah, menggulung sedikit jarak yang terbentang antara mereka."Tolong temani Farah. Aku pulang sebentar," jawab Fairuz dengan raut datar, tanpa melihat lawan bicaranya. Nazeela menganjur napas pelan. Sepertinya pria itu masih kesal padanya. Gadis itu paham dan tak berkecil hati. Fairuz mungkin tak bermaksud kasar, dia hanya ketakutan jika terjadi sesuatu pada orang yang dia cintai."Iya, Abang pulang saja. Istirahat. Biar aku yang jagain K
Maaf, aku menyusahkanmu ...."Lirih suara Farah mengucapkan kalimat pendek itu. Nazeela hanya mengangguk, lidah gadis itu kelu. Bahagia membuncah di dadanya. Dia tidak mengira bisa mendengar suara wanita berlesung pipit itu lagi, meski masih terlihat lemah, setidaknya dokter meyakinkan jika Farah mampu bertahan. Siang ini wanita tersebut telah dipindahkan ke kamar VVIP sesuai permintaan Fairuz via telpon. Setelah Nazeela mengabarkan kondisi sang istri. Haru menyelimuti hati si gadis. Tak dipungkiri pikiran buruk berkali-kali melintas dibenaknya. Namun, selalu dia tepis dan menumbuhkan keyakinan jika Farah pasti akan baik-baik saja."Kakak harus sembuh. Aku ngga mau lihat Kak Farah sakit kayak gini.""Aku juga ngga mau, Zee, tapi ....""Ngga ada tapi-tapian." Nazeela menggenggam tangan Farah yang dipasangi infus, "dokter bilang, udah enam bulan Kakak ngga pernah kemo lagi."Farah terdiam mendengar Nazeela menyela kalimatnya. Memang tidak ada yang bisa ditutupi lagi. Tiba-tiba wanita t
Kinaya mengetuk-ngetuk gelas yang berisi ice lemon tea yang tinggal separuh. Dia memilih mengamati pemandangan jalan raya dari jendela restoran. Matahari bersinar amat terik di.luar sana,.meski jam sudah menunjukkan pukul empat sore.Pedagang kaki lima dan asongan mendominasi trotoar yang seharusnya menjadi hak pejalan kaki. Kamacetan tak terelakkan ketika para pedagang juga memakai bahu jalan untuk menggelar dagangannya. Mata wanita itu juga sibuk mengamati pejalan kaki yang mondar-mandir turun-naik.dari jembatan penyebrangan. Apa saja dia perhatikan asal bukan pria di hadapan yang kini sedang menatapnya lekat."Puas matamu jalan-jalan?"Kinaya mendengkus. Sindiran pria itu membuatnya kesal. "Apa urusanmu dengan mataku. Kalau ngga suka jangan liat," ketusnya sembari menyorot lawan bicaranya.Pria itu terkekeh. "Masih saja judes."Kinaya memutar matanya malas. Dia menyeruput minumannya cepat, lalu bersiap berdiri. "Kalau ngga ada yang mau diomongin aku pergi, Dru.""Wait!" Dru menahan
Nazeela tersenyum melihat Farah makan dengan lahap. Tidak berapa lama Fairuz meninggalkan kamar, wanita itu membuka kelopak mata perlahan. Yang pertama dia lihat adalah sosok sang gadis sedang menatapnya dengan mata yang diselimuti embun. Farah mengangkat tangan, sebagai isyarat dia telah kenyang. "Udah, segini aja.""Satu suap lagi, Kak," pinta Nazeela dengan sendok teracung di depan mulut Farah.Namun, Farah menggeleng. "Perutku ngga sanggup lagi. Ntar malah begah, kekenyangan. 'Kan ngga lucu," balasnya terkekeh pelan.Nazeela meletakkan mangkuk yang berisi bubur yang tinggal separuh ke atas meja yang ada di sebelah brankar Farah. Dia menelisik raut wanita tersebut. Masih terlihat pucat dengan pipi yang semakin menirus, ada cekungan di kelopak mata bawahnya, dan kulit bibir yang mengelupas. Meski seperti itu kecantikan Farah tak berkurang sedikit pun. Benar sekali, jika kecantikan itu berasal dari hati, bukan rupa. Dia pernah mendengar sebuah hadis yang berbunyi. "Ingatlah bahwa