"Haruskah aku jadi yang kedua?" Cinta pada pandangan pertama, membuat Kirana atau biasa di sapa Anna menaruh rasa cinta di antara belas kasihan pada rekan bisnis atasannya. Tugas pertama Anna mengantarkan dokumen pada pria bernama Aditya ini menjadikan awal dari sebuah kisah cinta rumit. Aditya mengalami kekecewaan pada sang istri akan pengkhianatan dan lelah untuk terus memahami, membuat Anna menjadi wanita yang hadir di saat dan waktu yang tepat. Anna adalah pelipur lara, penggugah perasaan kepercayaan cinta yang sempat pudar dan juga gairah. Namun bagi Jessica, kehadiran Anna adalah malapetaka. Pencitraan bisnis dengan pernikahan dan juga ketergantungan akan sosok Aditya dalam mengelola bisnis, membuatnya melakukan segala cara untuk menyingkirkan Anna. Keputusan Aditya ingin menjadikan Anna sebagai istri selama masa proses cerai, menjadi titik awal dari dilema Anna yang harus memilih antara cinta dan empati terhadap sakit mental dan kemandulan Jessica di tengah cercaan dirinya sebagai wanita perebut suami orang. Apa yang akan di pilih oleh Anna? Mempertahankan cinta ataukah melepaskannya demi kebahagiaan istri sah Aditya?
View More"Kirana. Masuk ke ruangan. Sekarang!" perintah seorang atasan bernama Alan.
"Sa saya, Pak?" sahut Anna yang telah berdiri dengan sikap bingung. Belum pernah ada sejarah Alan memanggil pegawai dengan jabatan rendah seperti dirinya. "Iya. Siapa lagi? Cepat ke sini!" perintah Alan lagi lalu masuk ke ruangannya. Anna lalu menuju ke ruangan Alan dengan pikiran penuh tanda tanya. "Selamat pagi. Iya, Pak?" Alan menelusuri wajah cantik alami Kirana. Ada tujuan terselubung Alan menginginkan Anna untuk melakukan perintahnya kali ini, yaitu agar menarik rekan bisnisnya ini untuk mau bekerjasama dengannya. "Ada tugas untukmu. Setelah ini aku ada meeting penting, jadi antarkan dokumen ini ke temanku." "Baik, Pak." Alan menyodorkan sebuah tas file transparan dan berisi beberapa tumpukan berkas. Annapun meraihnya. "Saya berikan berkas ini di mana, Pak?" tanyanya setelah menerima lalu menaruh di pangkuannya. "Gedung apartemen Oakwood. Apa kamu tahu, Anna?" "Gedung apartemen setelah puteran balik lampu merah ini, Pak? Tentu saja saya tahu. Setiap hari saya lewat di situ." "Bagus. Rekan bisnisku sudah menunggu di lobby. Pergilah sekarang dan sebelum jam makan siang kamu harus sudah balik ke sini." "Siap, Pak!" sahutan sigap Anna setelah di beritahu telah di tunggu. Anna kemudian bangkit dan segera keluar dari ruangan Alan ini, berjalan cepat ke meja kerjanya untuk mengambil tas dan dalam sebelum 5 menit sudah berada di luar kantornya. "Sebelum makan siang... sebelum makan siang," gumam Anna berulang seraya melihat jam tangannya yang menunjukkan pukul. 10.15. "Ok. Jalan kaki saja," putus Anna agar persingkat waktu daripada harus memutari mall dan beberapa gedung lain dengan kemungkinan besar terjebak kemacetan. Anna berjalan cepat sambil terus memperhatikan jam tangannya. "Baru sampai sini saja sudah makan waktu 10 menit!" keluh Anna ketika baru lepas dari gedung kantornya. "Huft. Semangat. Jangan kecewain atasanmu." Anna beri dorongan pada dirinya sendiri sambil mengusap peluh di dahi. Setelah berada di depan gedung yang di tuju, Anna putuskan untuk berlari kecil. Tapi sial bagi Anna. Salah satu high heelsnya menyangkut di lubang antara beton cor-coran jalan yang retak, dan alhasil Annapun jatuh dengan menimbulkan dentum yang lumayan keras. Beberapa security yang berjaga di pos di buat tercengang dengan apa yang terjadi dengan Anna ini. Rasa malu Anna jadi tak terhindar lagi. "Eh, mbak. Hati-hati!" Salah seorang security berlari mendatangi Ann untuk membantunya berdiri. "Kakinya nggak apa-apa, Mbak?" tanyanya setelah melihat beberapa deretan luka baret dengan hiasan cairan merah semerah wajah Anna yang tak bisa menutupi rasa malunya. "Terima kasih, Pak. Saya nggak apa-apa kok." "Beneran nggak apa-apa? Di kantor security ada kotak obat. Non bisa obati dulu di sana," ucap sang security. Anna menggeleng. "Nggak perlu, Pak..." Anna lalu melihat emblem nama pada seragam security ini. "Nama?" gumam Anna setelahnya. "Iya, Non?" "Siapa namanya ya?!" pekik Anna panik. "Namanya siapa? Nama saya Anwar, Non." Anna menggeleng-geleng lagi. "Bukan... bukan Bapak." Anna jadi semakin panik, sambil menoleh ke belakang. Nggak akan mungkin kembali ke kantornya hanya untuk bertanya pada Alan lagi siapa nama temannya yang harus dia temui. "Oh, ya. Maaf ya Pak Anwar, saya buru-buru. Terima kasih ya, Pak." Anna berjalan cepat meninggalkan security yang terus memperhatikan Anna hingga dia benar-benar tak terlihat berbelok ke arah pintu lobby gedung lalu duduk di salah satu sofa lobby lounge bergaya modern ini. "Aduuh, Anna. Kenapa bisa nggak tanya dulu siapa nama orangnya, sih!" sesal Anna karena kecerobohannya sendiri. Annapun terpaksa menghubungi Alan untuk menanyakannya dengan rasa takut. Sudah lima kali lakukan panggilan, tapi Alan belum juga berikan jawaban. Anna semakin gusar. Jalan satu-satunya hanyalah menunggu, memendarkan tatapan di area lobby lounge. Anna terdiam membeku ketika seorang laki-laki keluar dari salah satu lift dan membuatnya terpana. Laki-laki itu berwajah tampan, berpostur tinggi atletis, dan berpenampilan rapi. Saat Anna memperhatikan pria itu, ternyata pandangan pria itu tertuju juga kepadanya, sehingga mereka saling memandang sekarang. Anna segera membuang muka untuk menutupi salah tingkahnya. Setelah beberapa detik Anna dapat melihat kalau pria itu sedang menelpon seseorang. "Telpon!" pekik Anna tiba-tiba, baru menyadari kalau dia belum juga mendapat tanggapan dari Alan. Annapun kembali mencoba menghubungi Alan, tapi tetap saja Alan tidak juga mengangkat. Satu ide kemudian tercetus. Anna kemudian mengambil berkas dari dalam tasnya, lalu membolak-balikkan bagian isinya untuk mencari sekiranya ada nama rekan bisnis atasannya, lalu menanyakannya pada resepsionis. Annapun berpekik senang seolah telah mendapatkan solusi. "Aahh... Aditya Winata!" "Iya?" Anna menoleh. Ternyata suara dari pria itu. "Maaf, Pak. Anda Pak Aditya?" tanya Anna untuk memastikan. "Iya, dan kamu ..." Aditya memperhatikan penampilan Anna, dan apa yang di bawanya, lalu membuat kesimpulan. "Apa kamu pegawai temanku, Alan?" "Iya, Pak." Anna menyodorkan tangan untuk perkenalan. "Saya Kirana. Ini dokumen dari Pak Alan." Saat meraih dokumen tersebut, suara deringan dari ponsel membuat Aditya kemudian berbalik lalu menerima panggilan. "Iya, Alan? ... Sudah ketemu sama asistenmu ... Oh, begitu. It's oke, asal dia sudah jalankan tugasnya. Yes, bye." Aditya kemudian beralih pada Anna. "Barusan atasanmu yang telpon. Dokumen ini harus aku baca dan tanda tangani terlebih dulu. Setelah meeting Alan rencana menyusul ke sini. Sebaiknya kamu ikut aku." "Ikut kemana, Pak?" tanya Anna dengan polosnya. "Ikut ke kondominiumku." "Baik, Pak." Tak ada jawaban lain bagi Anna selain harus mengikuti perintah Ravi ini. "Duduklah dulu. Aku buatkan minuman." Hal ini Aditya lakukan karena merasakan ada sesuatu berat dalam dirinya. “Argh … kenapa rasa panasnya nggak mau hilang juga?” keluhnya dalam gumaman. Fokusnya jadi terbelah antara menuang jus jeruk kemasan dengan rasa terbakar dari dalam tubuhnya. Ya, semalam sejak meminum minuman yang dipesan oleh Jessica–istrinya, hasrat dalam dirinya seolah menguar hingga membuat kepalanya terasa sangat pusing dengan tubuh yang panas seperti butuh pelampiasan. Bahkan Aditya sempat tergoda saat melihat Jessica memakai dress dengan belahan dada rendah, padahal sebelumnya hasrat itu sama sekali tidak ada, sepadam perasaan cintanya pada istrinya tersebut karena kekecewaan. Setelah menuangkan minuman tersebut, Aditya berpamitan pada Anna untuk mandi sebentar, berharap rasa panas di tubuhnya bisa mereda, dan beberapa menit kemudian bunyi bel apartemennya terdengar. Aditya pun keluar dari kamar mandi dengan hanya mengenakan bathrobe yang menampilkan dada bidangnya. "Ada siapa?" tanyanya pada Anna yang sudah menutup pintu. "Petugas keamanan, Pak. Saya bilang Bapak sedang mandi, jadi orangnya rencana balik lagi nanti." Anna yang polos, sontak segera mengalihkan wajah dengan penampilan Aditya saat ini. "Ma maaf Pak," ucapnya malu sendiri. Hal ini di lakukan Anna sembari menunggu perintah lanjutan Aditya. Tak diketahui Anna, Aditya sedang duduk gelisah disofa, berjuang melawan rasa terbakar yang menyiksa ini. Pertemuan semalam dengan Jessica kembali berakhir seperti biasanya. Aditya sudah terlanjur kecewa akan kelakuan Jessica yang kembali terjerumus dengan kehidupan hedonnya, sampai adanya laporan dari salah satu teman Jessica menunjukkan foto-foto Jessica berpesta dengan beberapa pria lajang bayaran. Aditya kini menyadari, kemungkinan semalam Jessica telah memberinya minuman yang di campur dengan obat-obatan tertentu, dan kemungkinan besar adalah obat penambah stamina dan gairah khusus bagi pria. Kini dorongan sesuatu yang tak dimengertinya ini semakin membakar dan menyiksa. Aditya spontan berdiri, lalu mendekati Anna yang sudah balikkan tubuh, kemudian ditarik dalam pelukannya.Perkataan Ivan mempunyai dua sisi baginya. Pertama, sebagai sanjungan pertama yang di dengarnya selama di rumah ibunya Aditya, yang kedua berkaitan dengan emosi Aditya, yang akan bertambah sinis pada Ivan.Anna menatap terang-terangan ke arah Aditya yang tercengang dengan ucapan Ivan.'Hei singa, tenanglah! Dia hanya memujiku, bukan mau merebutku!'Aditya bergerak, sedikit memundurkan letak duduknya, mengendalikan rasa tidak nyaman."Iya, tentu saja. Karena dia istriku," tegasnya tanpa ekspresi. Anna mengira Aditya memang tidak berniat menampakkan ekspresi apa-apa, hanya bersikap dingin seperti biasanya.Pandangan Ivan beralih pada Anna, dan langsung di balasnya dengan senyuman. Rasanya naif buat Anna kalau tidak tersenyum pada pria itu, karena dia benar-benar seperti cowboy Texas dengan garis wajah old westnya yang tampan."Anna, kamu bekerja di perusahaan bidang apa?" tanya Ivan berat dan dalam. Ivan merasa mendapat peluang mengambil alih pembicaraan, yang tadi hanya di isi percakap
Selama perjalanan menuju ke rumah Ivan. Masih saja terjadi adu argumentasi antara Anna dan Aditya. Hal yang masih mengganjal pada pikiran, selalu saja segera di ungkapkan. "Apa pentingnya kamu bertemu dengan Fita?" tanya Aditya seketika. Merasa heran, karena Anna terlihat sangat ingin melakukannya, bahkan seperti memaksakan diri. "Dia orang pertama yang menyadarkanku suatu hal," sahut Anna mencoba memberi jawaban masuk akal buat Aditya yang rasional person. Memang benar, selama di pesawat menuju ke tempat Aditya berada saat ini, Anna banyak mengobrol dengan wanita itu. Seornag wanita yang sudah menikah tiga kali dan kemudian menyadari kalau pernikahan tidak hanya sebuah skin to skin relationship, tapi juga pengorbanan. Pengorbanan yang tidak hanya satu, dua, tapi bisa mengorbankan banyak hal, dengan harapan mendapatkan imbalan yang manis, dan itulah yang ingin di dapatkan dalam sebuah pernikahan. "Apa itu?" sahut Aditya sangat ingin tahu. Anna menghela napas dalam-dalam sebelum
Anna menatap sebuah benda dalam jepitan kedua jarinya dengan perasaan campur aduk. Sebenarnya, Aditya yang berniat membuangnya, tapi karena rasa ingin tahunya lebih besar dari rasa jijiknya, jadi Anna ngotot minta dia saja yang membuangnya. "Owh, jadi begini?" ucapnya pelan, lalu segera di buang cepat-cepat ke tempat sampah. Tanpa di sadari, Aditya telah membuntutinya dari arah belakang. Laki-laki itu tertawa tak tertahankan. "Sekarang kamu tahukan?" candanya, masih dengan tawanya. Anna berlari kecil melewati Aditya, "Aku nggak mau tahu lagi!" balas Anna, kedua tangannya melambai, ekspresi wajahnya cemberut. Aditya menyeringai. "Nggak mau tahu, tapi dianya yang ngebet duluan!" Setelah membersihkan diri bersama, masih menggunakan handuk mantelnya, Anna berlari ke arah lemari dan memilih baju yang akan di kenakan nanti. "Kalau kamu nggak mau datang, tak apa, aku janjian sama Fita aja," seru Anna sesaat setelah berpakain dan sambil menyiapkan hair dryer, mengeringkan rambu
Anna kemudian turun dari mobil secara enggan dan perlahan. Bertemu anak-anak saudara ibu Aditya di jadikan Anna sebagai kamuflase rasa canggung yang masih di rasakannya ketika harus berhadapan dengan adik-adik dari mendiang ibu Aditya. Anna berusaha mengajak mereka mengobrol di selingi canda."Jadi, kalian akan pulang sekarang? Tante juga akan pulang besok," ucapnya memulai pembicaraan, berjongkok dengan satu kaki menekuk, juga menggandeng si kembar. Mereka berdualah yang paling syok saat dirinya teriak kala bersama Aditya menjalin pelukan di bawah selimut pagi itu."Tante sama Om nanti ke sini lagi, kan?" tanya Kiki."Tentu saja. Tante bahkan sekarang sudah tahu mana yang Kiki dan mana yang Koko, kalian di bedakan dari garis panjang seperti lesung pada pipi kiri saat tersenyum, yaitu padamu Koko." balas Anna, lalu beralih cepat ke arah Koko, dan anak itu tersenyum setelah di kejutkan Anna yang di lakukannya secara sengaja itu.Kiki lebih cerewet dan banyak tanya, sedang Koko lebih ba
Ketidaktahuan cerita yang sebenarnya, membuat Anna berusaha bijak. "Para singa berasal dari kumpulan yang sama, apa kau tega membiarkan kami para heyna betina kelaparan?" sahutnya dengan melingkarkan kedua tangannya pada lengan Aditya dengan manja, membuat Fita jadi terkekeh, Ronny dan Ivan yang menyaksikan juga jadi tersenyum. Urat syaraf pada kening Aditya berdenyut, dia berpikir sejenak menentukan apa jawabannya sebelun akhirnyapun menjawab. "Lebih baik kau siapkan tidak hanya satu daging, karena itu tidak cukup bagi seorang singa yang mudah marah," balas Aditya diplomatis, lalu dia menarik tangan Anna mengajaknya meninggalkan area pemakaman dan orang-orang yang di temui setelah berpamitan.Setelah keduanya berjalan menjauh, Adityapun melanjutkan isi dalam pikiran yang belum di utarakan semua. "Singa dan heyna tidak pernah akur. Lain kali, sepertinya aku harus berhati-hati dengan wanita yang menganggap dirinya heyna betina di sampingku ini, kalau tidak aku akan menerkamnya terleb
"Anna, aku nggak pake pengaman lagi." Suara lembut bisikan Aditya pada kuping Anna yang masih terlelap. Suaranya memang lembut tapi justru membuat Anna sontak terperanjat. Tak perlu mengumpulkan nyawa dulu untuk bangun, karena ucapan Aditya itu sudah cukup berfungsi sebagai alarm yang memekakkan telinga Anna. "Ke kamar mandi! Buang-buang!" pekik Anna. Matanya langsung terbuka lebar walaupun kesadaran belum sepenuhnya. Meski begitu, artikel yang pernah di bacanya di sebuah kolom khusus wanita itu, segera saja terlintas. Anna berlari ke kamar mandi, dan sibuk sendiri, sedang Aditya tertawa sambil menggelengkan kepala. "Sebegitunya. Anna Anna," sahut Aditya tak habis pikir. Selama Anna di dalam kamar mandi, ponsel miliknya bergetar. Aditya meraihnya yang di letakkan Anna serampangan dan di temukannya di samping bawah nakas. Dengan tubuh masih di dalam selimut, Aditya meraih dengan sedikit membungkuk. Di lihat sebuah nama kontak yang di kenalnya, tapi justru karena itu Aditya
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments