Kuhempaskan tubuhku keatas ranjang kamar setelah mengusir gundik tak tahu diri itu. Biar saja, aku memang sengaja meluapkan emosi yang sudah tak bisa kubendung lagi. Entah setelah itu Mas Naufal mengantarnya entah kemana, aku sungguh tak peduli lagi. Yang kurasakan kini hanyalah sebuah rasa puas karena telah memberi pelajaran kepada wanita seperti dia.Wanita seperti Kirani harus paham jika aku bukan seorang istri yang mudah terkalahkan oleh seorang gundik sepertinya. Enak saja, dia mau langsung masuk ke dalam kehidupan suamiku sedangkan saat susah saja bersamaku.Dua jam berlalu dan kudengar suara deru mobil Mas Naufal memasuki pekarangan rumah. Aku lantas menarik selimut dan pura-pura tidur. Pikiranku menerawang jauh setelah sebelumnya aku berhasil menemukan kediaman Kirani dan mengatakan kebenarannya pada kedua orang tuanya."Maaf, Nona. Ada yang bisa saya bantu?" tanya seorang lelaki paruh baya yang sepertinya adalah ayah Kirani.Aku tersenyum manis pada mereka, lalu mengeluarkan
Belum sempat aku sampai di rumah, aku memutuskan untuk singgah sebentar di sebuah swalayan untuk membeli beberapa perlengkapan yang telah habis. Baru setelah itu aku pulang ke rumah tapi tak menemukan keberadaan Mas Naufal dan Kirani. Dadaku bergemuruh, mungkinkah mereka tengah liburan? Mengingat bahwa hari ini adalah akhir pekan, mungkin bisa saja mereka sedang liburan.Aku memutuskan untuk mengurus tanaman hiasku yang sempat terabaikan karena masalahku dan Mas Naufal. Menyiangi rumputnya dan mengganti beberapa pot yang telah rusak. Hingga sampai akhirnya Mas Naufal pulang dan mencariku.Awalnya aku tak mengira jika dia mencariku hanya untuk membicarakan tentang kedua orang tua Kirani. Sepertinya beberapa saat yang lalu mereka pergi ke rumah Kirani dan mendapat wejangan dari kedua orang tuanya. Syukurlah, ternyata pengorbananku untuk jauh-jauh mendatangi kediaman Kirani berbuah hasil juga. Dan semoga saja usahaku untuk memisahkan mereka berhasil.Aku benar-benar tak akan rela jika Ma
"Hamil? Kamu hamil anak siapa? Anak kodok? Bahkan Mas Naufal belum menyentuhmu barang sesenti pun. Iya kan?" ucapku telak. Membuat wajahnya pias. Dia fikir aku bisa di kelabuhi, tapi dia lupa jika aku lebih ulung darinya.Kirani mendelik kearahku, lalu membusungkan dada seakan menantangku. Sudah jelas dia bersalah, tapi justru menantang seperti itu. Menjengkelkan sekali."Siapa bilang? Dia sudah menyentuhku, dan kini aku tengah hamil anaknya," ucapnya tak mau kalah, tapi hal itu justru membuatku tertawa."Oh, ya? Baiklah, kita tunggu saja kapan anak kodokmu itu akan lahir," jawabku sembari menyeringai. Dengan keras kepalanya dia mengatakan demikian, dia seakan ingin menguasai Mas Naufal seutuhnya.Tanpa tahu malu dia menerobos masuk dan langsung menyambar makanan yang tersedia di meja makan. Mas Naufal pun juga hanya diam membisu mendengar pertengkaran kami. Sungguh pria seperti itu tidak pantas untuk menjadi suami dari dua istri."Mas, uangku habis. Nanti transfer, ya?" ungkap Kirani
Tak kudapatkan lagi balasan darinya setelah itu, mungkin dia takut untuk bermain-main lagi denganku karena jika sampai aku tak memberinya uang maka ia tak akan bisa menghidupi gundiknya itu. Biarkan saja, setidaknya sekarang dia tahu jika aku ini tak sebodoh yang ia kira.Tak berselang lama sebuah pesan singkat masuk kembali ke dalam ponselku. Namun disana tertera nomor baru yang masih asing untukku.Gegas aku membukanya dan membaca pesan yang baru saja masuk itu.[Jangan karena kamu menguasai semua pendapatan Mas Naufal, lantas kamu bisa memisahkannya dariku. Apapun yang terjadi dia juga sah sebagai suamiku]Aku memutar bola mata malas. Tanpa tertera nama pun bisa kupastikan bahwa itu adalah nomor gundik tak tahu diri itu.Kita lihat saja wahai gundik. Siapa yang akan menang pada akhirnya. Mungkin sekarang kamu bisa tertawa atas kemenangan hati suamiku, tapi besok aku lah yang akan berganti menertawakanmu atas kecerobohanmu yang sudah berani mengusik hidupku.Bukan karena aku terlalu
Kulihat ia berbincang dengan Sintia dan Kirani, lalu melangkah menuju mobil dan meninggalkan tempat itu.Senyum licik mengembang di bibir, kemudian aku menginjak pedal gas dan mengikutinya hingga sampai rumah. Sengaja aku memilih jalan pintas, agar sampai lebih dulu darinya.Tepat lima menit setelah kedatanganku, kudengar deru suara mobil Mas Naufal memasuki pekarangan rumah kami. Aku yang semula masih ada di dapur mengambil air mineral, lantas keluar menuju ruang tamu untuk berbicara dengannya."Dek," sapanya ketika masuk ke dalam rumah dan mendapatiku yang tengah mengunyah wafer cokelat di atas sofa ruang tamu."Hmmm ... Dari mana?""A-aku ... Aku habis bertemu Sintia," jawabnya gugup."Ada hubungan apa kamu sama Sintia? Berselingkuh lagi? Belum cukup punya dua istri?" cecarku yang berhasil membuatnya menghembuskan nafas kasar."Kenapa, sih. Kamu selalu berfikiran buruk tentangku? Bisa tidak dengar dulu penjelasanku?"Aku mencebik, lalu memasukkan wafer terakhir ke dalam mulutku."K
Ia menatapku tajam dari cermin meja riasku yang berada tepat di depannya. Aku tersenyum genit kearahnya untuk menambah kegundahan hatinya."Mas ... Kamu sedang apa? Jawab? Kamu tidak sedang main-main sama Mbak Zia kan?" Kudengar samar gundik suamiku itu semakin meradang."Mas ... Kamu wangi banget, deh." Kuusap pipinya lembut dan mendekatkan bibirku kearah ponselnya, agar Kirani semakin jelas mendengar perkataanku."Mas! Aku marah denganmu!" teriaknya kasar dari seberang sana lalu mematikan ponselnya secara tiba-tiba. Membuatku tertawa terbahak-bahak hingga membuat wajah Mas Naufal kebingungan.Kurebahkan tubuhku diatas ranjang dengan tertawa terbahak-bahak, sedangkan Mas Naufal bingung melihat aksiku. Sungguh kasihan kamu, Kirani. Sepertinya di sana kamu sedang kepanasan karena ucapanku.Tapi tiba-tiba Mas Naufal meletakkan ponselnya di atas nakas, lalu memandangku dengan penuh hasrat. Seketika itu juga tawaku terhenti dan beringsut mundur darinya. Sepertinya aksiku bak senjata makan
Sudah lebih dari satu bulan aku berusaha berdamai dengan hatiku. Berusaha menerima kenyataan meski sulit, menelan pil pahit yang telah ada di dalam rongga tenggorokan. Mau tak mau aku harus menelannya meski menyakitkan. Tapi inilah hidup, harus tetap berjalan meski di terpa kerikil-kerikil kecil maupun bongkahan batu besar seperti yang tengah aku alami kini.Selama satu bulan ini juga aku mendiami sebuah kos-kosan kecil yang kusewa karena aku pergi dari rumah meninggalkan Mas Naufal. Ya, sudah satu bulan. Itu artinya bukan waktu yang sebentar untukku. Berada jauh darinya membuatku seperti tak bernyawa, tapi setidaknya aku ingin memberikan sedikit pelajaran berharga untuknya.Hari ini aku pulang kerja lebih awal, aku sengaja singgah di sebuah cafe untuk sekedar minum kopi setelah penat dengan pekerjaanku siang ini. Kupesan satu gelas cappucino hangat dan duduk termenung di pojok cafe yang menghadap langsung ke arah taman kota. Sungguh pemandangan yang indah ketika ada dia sejoli yang t
Pov KiraniHatiku sedikit tersentil ketika Mas Naufal begitu memperdulikan istri tuanya daripada aku. Bahkan aku mendengar mereka bermesraan di seberang telepon sana. Membuat hatiku terbakar cemburu, sedang aku sampai detik ini belum disentuhnya.Dengan sengaja pagi-pagi sekali aku sudah mendatangi rumah mereka, lalu menggedor pintu kasar agar mereka segera keluar rumah.Ternyata yang membukakan pintu untukku adalah istri tua yang sombong itu. Membuatku semakin malas, ketika melihat rambutnya tergerai dan basah, itu artinya semalam mereka memang melakukan hal itu. Jahat kamu Mas!Dan lagi-lagi hatiku dibuat panas ketika Mas Naufal tak membukakan pintu untukku ketika istri tuanya itu marah. Sebenarnya kamu cinta tidak, sih, Mas. Apa lebih baik aku mundur?Aku melangkah gontai meninggalkan rumah Mas Naufal, tak terasa buliran kristal keluar dari sudut mataku. Apa yang aku lakukan ini salah? Karena telah mencintai lelaki yang telah memiliki istri? Tapi bukankah cinta itu datang dengan se