Share

Bab 5

Malam hari. Dava yang baru saja sampai di rumah, masuk ke dalam langsung mencari keberadaan Hanum. Dia melihat sang istri sedang berada di dapur, berkutat dengan masakannya yang entah sedang membuat apa.

Dava meletakkan tas kerjanya di atas sofa, berjalan menuju dapur sambil melepaskan kancing lengan, lalu menggulung bagian lengannya sampai sikut. Dalam hati ia berkata, "Ya Allah. Berilah kepercayaan kepada kami untuk memiliki keturunan, hamba tidak tega kalau harus mengikuti keinginan ibu hamba. Kami hidup berkecukupan, kami sangat menyukai anak-anak, usia kami sudah cukup matang, apakah itu semua belum cukup, Ya Allah?"

Terus ia bergumam. Berjalan menaiki dua anak tangga sebagai pembatas antar ruang keluarga dengan ruang makan. 

menghampiri istri tercinta, memeluknya dari belakang secara tiba-tiba, hal itu sontak membuat Hanum terkejut.

"Mas Dava, ngagetin aja deh. Untung adonannya nggak jatuh." Hanum bicara seraya melihat wajah wajah Dava dari samping.

"Namanya juga kejutan." Setelah bicara kepada Hanum, Dava bicara kepada sang asisten rumah tangga. "Bibi, bisa tinggalkan kami?"

Ratih yang sedang memotong sayuran pun langsung menghentikan aktifitasnya. "Baik, Pak." Dia mencuci tangannya, lalu pergi dari dapur.

Setelah Ratih pergi, Dava melepaskan pelukannya, memutar tubuh Hanum hingga posisi berdiri mereka sekarang saling berhadap-hadapan, lalu Dava melingkarkan tangan pada pinggang Hanum.

"Kenapa?" tanya Hanum seraya menatap lekat-lekat wajah Dava yang menurutnya seperti sedang merasakan sesuatu, seperti sedang menyembunyikan sesuatu.

Dava menggelangkan kepalanya sambil tersenyum, hanya demi menutupi kegusaran yang sedang ia sembunyikan dari sang istri.

"Bohong!" seru Hanum seraya memukul dada Dava. "Pasti terjadi sesuatu di rumah ibu tadi. Kenapa? Ibu kamu marah-marah?"

"Nggak, kok. Siapa bilang marah?"

Dengan cepat Hanum menjawab. "Kamu."

"Aku nggak bilang gitu."

"Wajah kamu yang bilang."

"Emangnya wajah aku bilang apa?" Dava merubah percakapan dengan sedikit gurauan.

"Wajah kamu bilang, kalau tadi terjadi pertengkaran hebat antara kamu sama ibu kamu."

"Lalu?" tanya Dava lagi.

"Wajah kamu juga bilang, kalau ibu kamu akan tetap meminta kamu menikah lagi sama perempuan pilihannya. Ibu kamu juga bilang, kalau aku adalah wanita yang egois, kamu juga pasti disuruh menceraikan aku, kalau aku nggak mau kasih kamu restu menikah lagi."

"Lalu?"

"Lalu apa? Apakah masih ada? Atau memang masih banyak?" Hanum membuka matanya lebar-lebar.

"Bukan mau menambahkan, bukan juga mau mengurangi, tetapi aku mau meluruskan, kalau semua tebakan kamu itu salah. Sama sekali nggak ada yang beneran."

"Oh, ya?" Hanum menatap tidak percaya.

"Iya, dong. Kenapa juga harus bilang kayak gitu?"

"Ya karna aku ...."

Belum selesai bicara, Dava memangkasnya dengan cepat. "Belum bisa memberikan keturunan?"

Kali ini Hanum diam. Dava melanjutkan bicaranya sambil menautkan rambut panjang ke belakang telinga. "Punya keturunan bukan tujuan utama dalam pernikahan, Sayang. Tujuan utama menikah itu untuk menjalankan ibadah dan mendekatkan diri kita kepada Allah. Aku rasa hidup berdua pun cukup."

"Tapi, tetep aja yang namanya punya keturunan itu adalah impian setiap insan yang berumahtangga." Kali ini Hanum bicara dengan menatap sendu.

Dava terus berusaha membuat Hanum kuat. "Iya aku tau, tapi jangan dijadikan beban yang akhirnya mengganggu hati dan pikiran kamu."

"Mungkin aku akan menerima kalau ibu kamu nggak mengulang lagi permintaannya."

"Tadi aku udah ketemu sama ibu, udah bilang juga untuk berhenti meminta restu dari kamu dan insyaallah ke depannya ibu nggak akan minta lagi."

"Serius?" tanyanya lagi untuk lebih memastikan.

"Iya, Sayang."

Setelah mendengar pernyataan Dava yang membahagiakan, lalu Hanum pun memeluk Dava dengan erat. Tidak lama Hanum melepaskannya, lalu mengecup singkat bibir Dava sebagai hadiah. Namun, saat akan melepaskannya, Dava malah menahan pinggang Hanum, sehingga permainan berlangsung cukup lama.

Setelah puas, Dava melepaskan pautannya, lalu mengusap bibir mungil Hanum dengan jarinya. "Terima kasih, Hanum. Tetaplah menjadi Hanum yang kuat. Kamu harus selalu ingat, Tuhan tidak akan memberikan cobaan kepada hambanya, di luar batas kemampuan."

Hanum mengangguk. "Iya, Mas."

"Kalau nanti ibu minta izin lagi sama kamu, kamu abaikan aja, ya. Jangan terlalu ditanggapi."

"Iya aku usahakan."

"Ya udah, sekarang mana makanan aku? Suami kamu yang ganteng tiada tara ini perutnya minta diisi."

"Makan malam udah ada di meja makan. Kamu mau makan sekarang?"

"Iya, dong. Laper banget."

Dava melepaskan pelukannya, lalu mereka duduk di kursi meja makan. Hanum melayani Dava dengan baik dengan mengambilkan nasi juga lauknya di atas piring sang suami.

Hidup mereka tetap bahagia, walau tanpa dikarunia keturunan. Yang membuat keadaan menjadi runyam, Nani sebagai mertua tidak bisa terima itu. Pertengkaran hebat yang Hanum katakan, perintah yang Hanum, katakan, semua tebakan Hanum saat Dava di rumah Nani, itu adalah benar. Nani benar-benar mengatakan kepada Dava untuk menceriakan Hanum. Hal itu yang membuat Dava merasa pusing tujuh keliling.

Sedang asik makan malam bersama istri tercinta, ponsel Dava berdering. Tanda notifikasi pesan masuk, lalu ia pun mengambil handphone yang kebetulan diletakkan di samping piring, dan membaca isin.

"Besok ibu sama Nara mau pergi ke dokter. Ibu nggak mau tau, kalau hasilnya bagus kamu harus tetap menikahi Nara."

Tidak ada niatan untuk membalas. Dava meletakkan kembali ponselnya ke tempat semula, lalu melanjutkan makannya.

***

Waktu berjalan. Karena hari ini hari minggu, Dava menghabiskan waktu di rumah seharian bercengkrama dengan sang istri. Saat ini mereka sedang ada di taman, menyiram tanaman sambil mengobrol ringan. Lagi dan lagi ponsel milik Dava berdering. Dia menghentikan aktifitasnya sebentar, lalu menjawab panggilan telepon dari Nani sambil berjalan menjauh dari Hanum.

"Assalamualaikum, Bu. Ada apa?" tanya Dava.

"Nara sudah melakukan tes kesuburan. Kamu mau ibu yang datang ke sana, atau kamu yang datang ke rumah ibu?"

"Ibu ini apa-apaan sih, Bu. Kenapa Ibu nekat melakukan itu? Dava nggak mau nikah lagi, Bu. Dava nggak mau menyakiti perasaan Hanum."

"Kamu nggak mau menyakiti perasaan Hanum, lalu bagaimana dengan perasaan ibu? Ibu ini ibu kamu, Dava. Yang melahirkan kamu. Tega kamu nggak mikirin bagaimana perasaan ibu? Ibu mau keturunan dari kamu. Cuma itu."

"Tapi, Bu ...."

Belum selesai satu kalimat diucapkan, Nani memangkasnya dengan cepat. "Ibu nggak mau tau. Pokonya mau kamu yang ke sini, atau ibu yang ke rumah kamu?"

"Aku nggak akan ke mana-mana," tegas Dava.

"Oke, kalau gitu ibu yang ke rumah kamu. Sekalian bawa hasil dari pemeriksaan."

"Ibu." Suara Dava menggeram. Ingin sekali Dava marah, tetapi tidak bisa.

"Ya udah, kalau gitu kamu yang ke sini."

"Oke, aku yang akan ke rumah Ibu."

"Nah gitu dong, kan enak. Ibu tunggu sekarang, ya."

"Iya, iya. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Selesai bicara dengan Nani, Dava mengakhiri sambungan telepon, lalu memasukkan handphonenya ke dalam saku celana.

"Gimana caranya aku bilang sama Hanum? Ya Allah, ibu. Kenapa ibu menempatkan aku dalam keadaan sesulit ini?" Batin Dava bergumam.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
icher
lanjut terus kak author. seru
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status