Share

Bab 6

"Ibu ini apa-apaan sih, Bu?" pekik Heru selaku ayah dari Dava. Pasalnya Heru juga kurang setuju atas ide sang istri yang ingin menikahkan lagi putranya dengan wanita lain, hanya karena ingin segera memiliki cucu dari dari darah daging putranya.

"Ayah, di dalam agama, poligami itu diperbolehkan. Apa lagi ini Hanum punya kekurangan. Dia nggak bisa hamil. Alasan ibu kuat ingin menikahkan Dava sama Nara." Nani yang saat ini duduk sofa panjang, bicara sambil membelakangi Heru karena sebal. Sejak tadi sang suami terus saja menentang pendapatnya.

"Ayah tau, Bu. Tapi coba Ibu pikirkan lagi bagaimana perasaan Hanum, pasti sakit. Kalau Ibu ada di posisi Hanum, apa Ibu mau membagi aku dengan wanita lain?" seru Heru.

"Ya nggak maulah, tapi cukup tau diri aja nggak bisa ngasih keturunan, kok."

"Bukan nggak bisa, Bu. Tapi belum. Lebih tempatnya Allah belum ngasih keturunan." Dava yang baru datang pun langsung menyahuti statement tentang istrinya yang selalu dikatakan tidak bisa memberikan keturunan, padahal pada kenyataannya mereka berdua sehat.

Nani bersama Heru menoleh ke arah sumber suara, lalu Nani tersenyum melihat putranya datang. "Ini baru putra ibu. Sini, Nak!" Nani menurunkan kakinya ke lantai, membuka map berwarna coklat yang ada di atas meja, lalu mengeluarkan isinya.

Heru hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah sang istri yang begitu sangat antusias.

"Nara sehat, Dav. Dia subur," ucap Nani seraya menyerahkan hasil pemeriksaan kepada Dava yang saat ini sudah berdiri di depan meja ruang keluarga.

Dava menerima hasil leb milik Nara, lalu membacanya sekilas. "Bahkan dengan hasil sebagus ini, kalau Allah belum berkehendak, Ibu bisa apa?" Dava menutup berkas, lalu kembali ia letakkan berkas tersebut di atas meja.

"Nggak mungkin. Ibu yakin Nara bisa hamil."

Dava memijat pangkal hidungnya yang terasa pening, lalu sang adik yang bernama Laras menuntun Dava untuk duduk. "Duduk, Mas."

Dava duduk, dia tidak tahu harus bicara apa lagi agar sang ibu berhenti meminta permintaan yang sangat berat untuk diikuti. 

"Bukan ayah nggak mau nolongin kamu, Dav. Ayah udah berkali-kali bilang sama ibu kamu untuk berhenti meminta kamu menikah lagi. Ibu kamu ngeyel."

Dava terus diam, dia masih menundukkan wajahnya ke bawah. Sedangkan sang adik terus mengusap punggung Dava seraya menenangkan.

"Sabar ya, Mas. Ibu memang keterlaluan. Aku sebagai perempuan, rasanya sakit kalau harus merelakan suami menikah lagi." Laras menyampaikan pendapatnya.

"Halah, anak kecil tau apa sih? Kamu belum menjadi ibu, kamu belum merasakan apa yang saat ini ibu rasakan."

"Ibu nggak ada di posisi Hanum, Ibu nggak tau rasanya dipaksa membagi suaminya dengan wanita lain." Lagi Laras menambahkan.

Semua orang membela Hanum, hal itu membuat Nani murka. "Kalian keterlaluan!" Suara Nani membentak. "Kalian hanya memikirkan perasaan Hanum, tapi kalian melupakan perasaan ibu. Kalian melihat kesakitan Hanum, tapi kalian nggak ngeliat kesakitan ibu! Kamu laki-laki, Dava. Sampai kapan pun anak laki-laki adalah milik ibunya."

"Tapi Ibu nggak bisa seegois ini, Bu." Dava coba bicara dengan lembut. Sekalipun seorang ibu sedang dalam posisi salah, tidak dibenarkan seorang anak meninggikan suaranya. Dava selaku mengingat itu, walau terkadang pernah juga ia lakukan.

"Dava. Ibu cuma minta kamu menikah dengan Nara, memiliki keturunan, lalu kalian bercerai. Cuma itu. Setelah kamu bercerai, kamu bisa bahagia sama Hanum."

"Astaghfirullah, Ibu. Hanum nggak mau, Bu. Berapa kali sih aku harus bilang?" geram Dava menahan amarah.

"Kenapa harus nggak mau sih? Ibu aja nunggu dia hamil udah lebih dari tiga tahun. Yang egois itu sebenarnya siapa? Ibu atau Hanum? Pokoknya ibu nggak mau tau. Kamu harus menikah dengan Nara. Kalau nggak ...."

"Kalau nggak kenapa, Ibu?" Dava Mama kasih kalimat yang belum sepenuhnya diucapkan.

Nani berdiri. Dia berjalan cepat menuju dapur, lalu mengambil pisau dan diletakkan di pergelangan tangannya.

"Ibu, apa yang Ibu lakukan?" Dava berdiri, begitupun dengan yang lain.

"Ibu ini apa-apaan sih, Bu. Masa cuma masalah kayak gini aja pake ngancem-ngamcem mau bunuh diri?" seru Haru.

"Kenapa? Bapak pikir ibu lagi bercanda? Atau Bapak pikir ibu cuma menggertak?"

Heru diam, dia memalingkan wajahnya ke arah lain sambil berkacak pinggang.

"Ibu, udah dong, Bu. Nggak lucu ibu bersikap kayak gini," lirih Laras coba membujuk.

"Kalau sampai ibu mati, Laras. Orang pertama yang harus kamu salahkan adalah kakak kamu, Dava."

"Nggak bisa gitu dong, Bu."

"Satu kali lagi ibu bertanya, mau atau nggak kamu menikahi Nara?" Kembali Nani bertanya kepada Dava.

Dava diam, tidak lama ia pun menjawab, "Nggak, Bu. Dava nggak mau."

"Baiklah."

Pisau yang sudah diletakkan di atas pergelangan tangan, ia tekan, lalu ditarik satu arah hingga pergelangan tangan Nani mengalami luka, hitungan detik darah segar pun mengalir deras.

"Ibu." Dava berteriak, berlari menghampiri sang ibu.

Bukan hanya Dava. Heru juga Laras pun berlari menghampiri Nani, untuk memberikan pertolongan.

"Laras, ambil kain kasa di kotak P3K!" titah Dava kepada sang adik. Laras pun pergi mengambil apa yang diperlukan. Setelah memberikan perintah kepada sang adik, Dava bicara kepada Nani. "Nggak lucu tau nggak ibu bersikap kayak gini. Ibu pikir nyawa bisa untuk main-main?"

"Itu salah kamu, Dava. Ibu nggak pernah main-main dengan ucapan ibu," lirih Nani sambil meringis menahan sakit.

"Bunuh diri bukan jalan keluar, Bu," ucap Heru sambil menahan darah dengan menggunakan bajunya sendiri.

"Ayah tau, kan." Setelah itu Nani melihat ke arah Dava. "Untuk itu, bilang setuju kamu menikahi Nara, Dava."

"Sekarang bukan waktunya membahas masalah itu, Ibu. Kita harus ke rumah sakit," ujar Dava.

Laras datang membawa kain kasa, lalu menyerahkannya kepada sang kakak. "Ini, Mas."

Dava menarik kain kasa tersebut, lalu mulai dililitkan, tetapi Nani menolak dengan mengibaskan tangan Dava.

"Selagi jawaban kamu tidak, biarkan ibu mati, Dava. Untuk apa ibu hidup kalau anak sendiri sudah tidak menginginkan lagi ibunya hidup." Terus Nani mengancam.

"Ibu, tolong jangan sekarang." Dava masih terus berusaha menolak.

"Baiklah kalau begitu, tinggalkan ibu di sini. Biarkan ibu mati!"

Kondisi Nani semakin lemas, membuat Dava juga semua orang yang ada di sana menjadi semakin panik, lalu ia meminta sang ayah menyiapkan mobil. "Ayah, lebih baik siapkan mobil sekarang. Kita ke rumah sakit."

"Iya, Nak." Heru berdiri, dia keluar menyiapkan mobil.

Laras menangis ketakutan sambil memegangi tangan sang ibu. "Lakukan sesuatu, Mas. Aku nggak mau kehilangan ibu."

Dava terus berusaha melilitkan kain kasa untuk menekan volume darah yang keluar, tetapi Nani terus menolak. "Biarkan ibu mati, Dava."

Sambil meneteskan air mata, Dava pun memberikan jawaban. "Iya aku akan menikahi dia, aku akan menikahi Nara!"

Mendengar jawaban yang diinginkan, Nani pun tersenyum bahagia. "Terima kasih, Nak."

Komen (2)
goodnovel comment avatar
icher
aku suka banget ini ceritanya
goodnovel comment avatar
Meriatih Fadilah
keren ceritanya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status