"Ibu ini apa-apaan sih, Bu?" pekik Heru selaku ayah dari Dava. Pasalnya Heru juga kurang setuju atas ide sang istri yang ingin menikahkan lagi putranya dengan wanita lain, hanya karena ingin segera memiliki cucu dari dari darah daging putranya.
"Ayah, di dalam agama, poligami itu diperbolehkan. Apa lagi ini Hanum punya kekurangan. Dia nggak bisa hamil. Alasan ibu kuat ingin menikahkan Dava sama Nara." Nani yang saat ini duduk sofa panjang, bicara sambil membelakangi Heru karena sebal. Sejak tadi sang suami terus saja menentang pendapatnya.
"Ayah tau, Bu. Tapi coba Ibu pikirkan lagi bagaimana perasaan Hanum, pasti sakit. Kalau Ibu ada di posisi Hanum, apa Ibu mau membagi aku dengan wanita lain?" seru Heru.
"Ya nggak maulah, tapi cukup tau diri aja nggak bisa ngasih keturunan, kok."
"Bukan nggak bisa, Bu. Tapi belum. Lebih tempatnya Allah belum ngasih keturunan." Dava yang baru datang pun langsung menyahuti statement tentang istrinya yang selalu dikatakan tidak bisa memberikan keturunan, padahal pada kenyataannya mereka berdua sehat.
Nani bersama Heru menoleh ke arah sumber suara, lalu Nani tersenyum melihat putranya datang. "Ini baru putra ibu. Sini, Nak!" Nani menurunkan kakinya ke lantai, membuka map berwarna coklat yang ada di atas meja, lalu mengeluarkan isinya.
Heru hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah sang istri yang begitu sangat antusias.
"Nara sehat, Dav. Dia subur," ucap Nani seraya menyerahkan hasil pemeriksaan kepada Dava yang saat ini sudah berdiri di depan meja ruang keluarga.
Dava menerima hasil leb milik Nara, lalu membacanya sekilas. "Bahkan dengan hasil sebagus ini, kalau Allah belum berkehendak, Ibu bisa apa?" Dava menutup berkas, lalu kembali ia letakkan berkas tersebut di atas meja.
"Nggak mungkin. Ibu yakin Nara bisa hamil."
Dava memijat pangkal hidungnya yang terasa pening, lalu sang adik yang bernama Laras menuntun Dava untuk duduk. "Duduk, Mas."
Dava duduk, dia tidak tahu harus bicara apa lagi agar sang ibu berhenti meminta permintaan yang sangat berat untuk diikuti.
"Bukan ayah nggak mau nolongin kamu, Dav. Ayah udah berkali-kali bilang sama ibu kamu untuk berhenti meminta kamu menikah lagi. Ibu kamu ngeyel."
Dava terus diam, dia masih menundukkan wajahnya ke bawah. Sedangkan sang adik terus mengusap punggung Dava seraya menenangkan.
"Sabar ya, Mas. Ibu memang keterlaluan. Aku sebagai perempuan, rasanya sakit kalau harus merelakan suami menikah lagi." Laras menyampaikan pendapatnya.
"Halah, anak kecil tau apa sih? Kamu belum menjadi ibu, kamu belum merasakan apa yang saat ini ibu rasakan."
"Ibu nggak ada di posisi Hanum, Ibu nggak tau rasanya dipaksa membagi suaminya dengan wanita lain." Lagi Laras menambahkan.
Semua orang membela Hanum, hal itu membuat Nani murka. "Kalian keterlaluan!" Suara Nani membentak. "Kalian hanya memikirkan perasaan Hanum, tapi kalian melupakan perasaan ibu. Kalian melihat kesakitan Hanum, tapi kalian nggak ngeliat kesakitan ibu! Kamu laki-laki, Dava. Sampai kapan pun anak laki-laki adalah milik ibunya."
"Tapi Ibu nggak bisa seegois ini, Bu." Dava coba bicara dengan lembut. Sekalipun seorang ibu sedang dalam posisi salah, tidak dibenarkan seorang anak meninggikan suaranya. Dava selaku mengingat itu, walau terkadang pernah juga ia lakukan.
"Dava. Ibu cuma minta kamu menikah dengan Nara, memiliki keturunan, lalu kalian bercerai. Cuma itu. Setelah kamu bercerai, kamu bisa bahagia sama Hanum."
"Astaghfirullah, Ibu. Hanum nggak mau, Bu. Berapa kali sih aku harus bilang?" geram Dava menahan amarah.
"Kenapa harus nggak mau sih? Ibu aja nunggu dia hamil udah lebih dari tiga tahun. Yang egois itu sebenarnya siapa? Ibu atau Hanum? Pokoknya ibu nggak mau tau. Kamu harus menikah dengan Nara. Kalau nggak ...."
"Kalau nggak kenapa, Ibu?" Dava Mama kasih kalimat yang belum sepenuhnya diucapkan.
Nani berdiri. Dia berjalan cepat menuju dapur, lalu mengambil pisau dan diletakkan di pergelangan tangannya.
"Ibu, apa yang Ibu lakukan?" Dava berdiri, begitupun dengan yang lain.
"Ibu ini apa-apaan sih, Bu. Masa cuma masalah kayak gini aja pake ngancem-ngamcem mau bunuh diri?" seru Haru.
"Kenapa? Bapak pikir ibu lagi bercanda? Atau Bapak pikir ibu cuma menggertak?"
Heru diam, dia memalingkan wajahnya ke arah lain sambil berkacak pinggang.
"Ibu, udah dong, Bu. Nggak lucu ibu bersikap kayak gini," lirih Laras coba membujuk.
"Kalau sampai ibu mati, Laras. Orang pertama yang harus kamu salahkan adalah kakak kamu, Dava."
"Nggak bisa gitu dong, Bu."
"Satu kali lagi ibu bertanya, mau atau nggak kamu menikahi Nara?" Kembali Nani bertanya kepada Dava.
Dava diam, tidak lama ia pun menjawab, "Nggak, Bu. Dava nggak mau."
"Baiklah."
Pisau yang sudah diletakkan di atas pergelangan tangan, ia tekan, lalu ditarik satu arah hingga pergelangan tangan Nani mengalami luka, hitungan detik darah segar pun mengalir deras.
"Ibu." Dava berteriak, berlari menghampiri sang ibu.
Bukan hanya Dava. Heru juga Laras pun berlari menghampiri Nani, untuk memberikan pertolongan.
"Laras, ambil kain kasa di kotak P3K!" titah Dava kepada sang adik. Laras pun pergi mengambil apa yang diperlukan. Setelah memberikan perintah kepada sang adik, Dava bicara kepada Nani. "Nggak lucu tau nggak ibu bersikap kayak gini. Ibu pikir nyawa bisa untuk main-main?"
"Itu salah kamu, Dava. Ibu nggak pernah main-main dengan ucapan ibu," lirih Nani sambil meringis menahan sakit.
"Bunuh diri bukan jalan keluar, Bu," ucap Heru sambil menahan darah dengan menggunakan bajunya sendiri.
"Ayah tau, kan." Setelah itu Nani melihat ke arah Dava. "Untuk itu, bilang setuju kamu menikahi Nara, Dava."
"Sekarang bukan waktunya membahas masalah itu, Ibu. Kita harus ke rumah sakit," ujar Dava.
Laras datang membawa kain kasa, lalu menyerahkannya kepada sang kakak. "Ini, Mas."
Dava menarik kain kasa tersebut, lalu mulai dililitkan, tetapi Nani menolak dengan mengibaskan tangan Dava.
"Selagi jawaban kamu tidak, biarkan ibu mati, Dava. Untuk apa ibu hidup kalau anak sendiri sudah tidak menginginkan lagi ibunya hidup." Terus Nani mengancam.
"Ibu, tolong jangan sekarang." Dava masih terus berusaha menolak.
"Baiklah kalau begitu, tinggalkan ibu di sini. Biarkan ibu mati!"
Kondisi Nani semakin lemas, membuat Dava juga semua orang yang ada di sana menjadi semakin panik, lalu ia meminta sang ayah menyiapkan mobil. "Ayah, lebih baik siapkan mobil sekarang. Kita ke rumah sakit."
"Iya, Nak." Heru berdiri, dia keluar menyiapkan mobil.
Laras menangis ketakutan sambil memegangi tangan sang ibu. "Lakukan sesuatu, Mas. Aku nggak mau kehilangan ibu."
Dava terus berusaha melilitkan kain kasa untuk menekan volume darah yang keluar, tetapi Nani terus menolak. "Biarkan ibu mati, Dava."
Sambil meneteskan air mata, Dava pun memberikan jawaban. "Iya aku akan menikahi dia, aku akan menikahi Nara!"
Mendengar jawaban yang diinginkan, Nani pun tersenyum bahagia. "Terima kasih, Nak."
Setelah mendapatkan penanganan khusus dari rumah sakit, Dava pun memutuskan untuk pulang dan meninggalkan sang ibu di rumah sakit dengan ditemani oleh Laras juga Heru.Dava menarik napas panjang ketika berada di depan pintu kamarnya untuk menenangkan diri, lalu membuka pintu secara perlahan, masuk ke dalam tanpa menghidupkan lampu utama.Terlihat sang istri tengah tertidur pulas di atas ranjang, ia pun memilih berbaring di sebelahnya, memeluk Hanum dari belakang.Merasakan kehadiran seseorang, Hanum pun membuka matanya, lalu bertanya, "Mas Dava, kamu udah pulang?""Iya," jawab Dava singkat."Maaf aku tidur duluan. Tadi habis minum obat anti nyeri, tapi malah ngantuk banget," ucap Hanum sambil mengusap punggung tangan Dava yang melingkar di perutnya."Nggak apa-apa, Sayang. Seharusnya aku yang minta maaf karna pulang terlambat.""Nggak masalah. Yang penting kamu pulang dalam keadaan utuh, sehat, dan baik-baik aja." Hanum bicara sambil tersenyum tulus."Kamu nggak marah?" tanya Dava lagi
Dava mempersilahkan Nara duduk di kursi di depannya seraya menutup laptop. Setelah Nara duduk, Dava mulai bicara dengan raut wajah penuh keseriusan. "Aku sangat mencintai istri aku, Nara." "Saya tau, Pak. Hanum sahabat saya sejak dulu, dia selalu menceritakan kepada saya juga Gina betapa Anda sangat mencintainya dan betapa Hanum juga sangat mencintai Anda, hingga akhirnya kalian menikah dan hidup bahagia sampai sekarang," terang Nara sambil tersenyum mengingat akan masa itu. Saat mereka masih sangat dekat, tidak seperti sekarang yang seperti memiliki jarak semenjak Nara diisukan menyukai Dava."Tapi Nara, kebahagiaan kita terancam punah. Hanum akan menderita jika aku menikahi kamu." Sudah bisa dibayangkan bagaimana kehidupan rumah tangganya bersama Hanum akan seperti apa jika dirinya menikahi Nara. Hanum pasti akan menderita."Loh kenapa?" Dahi Nara mengerut. "Aku datang untuk membantu melengkapi kekurangan rumah tangga Bapak loh, Pak.""Kami tidak pernah merasa kekurangan, Nara. Kam
"Kenapa kamu nggak bilang kalau ibu dirawat?" tanya Hanum masih berdiri di depan pintu."Itu ...." Dava melihat ke arah sang ibu, lalu menjawab pertanyaan Hanum. "Aku nggak mau buat kamu khawatir.""Harusnya kamu bilang, Mas. Biar aku bisa ikut jaga ibu."Belum sempat Dava bicara, Nani menyahutinya. "Kamu itu ke sini mau mengintrogasi Dava atau mau menjenguk ibu?""Maaf, Bu. Hanum nggak bermaksud seperti itu.""Ya udahlah nggak usah tanya panjang lebar. Kamu bawa apa?" tanya Nani.Hanum mengangkat jinjingan yang ia bawa. "Makanan kesukaan Ibu." Dia bicara sambil tersenyum."Ya udah bawa ke sini!"Hanum berjalan menghampiri Heru lebih dulu untuk bersalaman. Dava, Laras, lalu Nani. Hatinya bertanya-tanya sendiri saat melihat ada Nara di sana dan anehnya lagi mereka berdua terlihat sangat akrab, ibu terlihat begitu ramah. Hanum bisa menilai demikian, karena saat ia datang, Nani bersama Nara sedang mengobrol saling
Hari berlalu, saat ini Hanum sedang mengobrol di ruang keluarga bersama Gina, sahabat Hanum yang sengaja ingin datang berkunjung setelah cukup lama tidak bertemu.Sedang asik mengobrol, ponselnya berdering. Notifikasi pesan masuk, lalu Hanum pun mengambil handphone dari atas meja, melihat nama Mas Dava tertera jelas pada layar handphonenya. Dia membuka pesan tersebut yang berisi, "Hanum, kamu di rumah?""Iya, Mas. Ada apa?" balas Hanum. Sambil menunggu, ia kembali mengobrol bersama Gina. Membicarakan pekerjaan yang sedang Gina geluti saat ini.Tidak lama setelah itu, dering ponsel kembali terdengar. Ada balasan dari Dava, kembali Hanum membaca isinya. "Aku mau minta tolong dong. Tolong siapin beberapa baju, karna malam ini aku mau pergi ke luar kota.""Iya, Mas. Tapi kok mendadak?" balas Hanum lagi.Bukan hanya Hanum, Gina pun memiliki panggilan masuk dari seseorang. "Num, gue angkat telpon dulu, ya.""Oh iya." Hanum mempersilakan.Gina berdiri, berjalan ke arah pintu akses menuju tam
Hanum: Kamu ke mana aja, Mas? Kenapa nomernya baru aktif?Balasan yang Hanum kirim kepada sang suami yang sejak pergi tugas tidak ada kabar selama beberapa hari. Lama tidak mendapatkan balasan, Hanum pun memutuskan menghubungi Dava dalam sambungan telepon, tetapi tidak ada yang menjawab, hingga akhirnya ia pun memutuskan kembali mengirim pesan.Hanum: Kenapa nggak diangkat?Dava: Maaf, Sayang. Di sini susah sinyal, mau ganti kartu juga tanggung banget cuma satu Minggu di sini. Kamu apa kabar?Hanum: Aku nggak bisa bilang kabar aku baik, karena pada kenyataannya sekarang aku lagi nangis, aku takut kamu kenapa-kenapa. Kamu tau, selama kamu nggak ada kabar, selama itu juga aku nggak bisa tidur.Pada kalimat terakhir Hanum menyisipkan emoticon menangis.Dava: Jangan nangis dong, nanti aku ikut nangis di sini. Kamu sabar sebentar ya, Sayang. Aku pasti pulang."Hanum: Iya, Mas. Tapi kapan kamu pulang?Dava: Kemungkina
Setelah pingsan beberapa menit, akhirnya Hanum pun sadar. Dia membuka matanya perlahan, melihat Dava ada di sebelahnya sedang memegang tangannya dengan erat."Kamu udah sadar, Sayang?" tanya Dava tanpa melepaskan genggamannya. Dia mengusap kening Hanum yang sedikit mengeluarkan keringat.Hanum melihat ke arah Dava, Nani juga Haru yang saat ini berdiri di belakang Dava, lalu melihat ke ujung ranjang ada Nara. Saat melihat Nara, Hanum langsung bangkit dari tidurnya."Jangan dulu bangun. Kamu istirahat dulu, Num," ucap Dava."Lepas!" Hanum berusaha melepaskan tangannya, tetapi Dava malah semakin mengeratkan genggamannya."Kamu mau ke mana?"Sambil beringsut turun Hanum berkata, "Ini bukan rumah aku lagi. Kamu bukan suami aku, kita udah nggak punya hubungan apa-apa lagi. Buat apa aku tinggal di sini?""Hanum! Jangan egois kamu. Dava berhak bahagia dengan memiliki keturunan di mana kamu sendiri nggak bisa ngasih. Masih untung
Iya, sejak hari di mana mereka menikah di kota Cirebon, sampai tiba di Jakarta, dan sudah selama satu minggu itu Dava belum menyentuhnya kecuali mengecup kening Nara ketika selesai mengucapkan ijab kabul. Dan, hari ini saat mereka sedang berdua, Nara memberanikan diri mempertanyakan alasan kenapa sampai sekarang Dava belum juga menyentuhnya."Maafkan aku, Nara. Aku belum bisa selama Hanum belum menerima pernikahan kita.""Apakah menyentuhku harus mendapatkan izin dari Hanum?""Bukan izin dari dia, tapi dalam keadaan seperti ini aku nggak bisa melakukan apa-apa. Aku bisa melakukannya jika dalam keadaan tenang dan hal yang membuat aku tenang adalah menemukan di mana Hanum berada.""Itu artinya, aku masih harus menunggu?" tanya Nara lagi."Iya, aku sudah mengatakannya sejak awal. Aku harap kamu bisa menerima keputusan aku."Dengan berat hati Nara pun mengiyakannya. "Baiklah.""Maafkan aku."Nara melingkarkan tangan pada lengan Dava, lalu menyandarkan kepala di atas bahunya. "Tetaplah sep
"Hanum." Nara terkejut saat kembali ke ruangannya, melihat Hanum sedang menangis sambil menunduk, menutupi wajah dengan kedua tangannya. Nara menghampiri Hanum, lalu duduk di sebelahnya. "Hanum."Hanum menurunkan tangannya, lalu memeluk Gina. "Mas Dava jahat, Gin. Dia mengkhianati janji suci pernikahan kita, dia nikah lagi sama Nara. Sahabat kita.""Serius?" Pernyataan tersebut membuat Gina benar-benar terkejut.Masih menangis Hanum menganggukan kepalanya. "Buat apa gue bohong?""Kok bisa sih?"Hanum melepaskan pelukannya, Gina tidak berhenti mengusap bahu Hanum seraya menenangkan. Setelah merasa tenang, Hanum pun kembali bercerita."Tiga tahun gue nikah sama mas Dava dan sampai sekarang gue belum juga hamil. Mertua gue pengen cucu, Gin. Cuci dari darah daging mas Dava. Itulah alasan kenapa mas Dava nikah lagi." Hanum menjelaskan sambil sesegukan."Anjir. Baru tiga tahun nikah dia udah nikahin anaknya sama perempuan lain?"Hanum mengangguk tanpa berkata. Gina menggeleng-gelengkan kepa